26. Nightmare

Juna mendecak untuk yang kesekian. Menggaruk rambut dengan gerakan sebal. Bagaimana tidak sebal jika di belakangnya, Sena, terang-terangan mengikuti langkahnya menuju lapangan luas yang letaknya lima ratus meter di belakang sekolah. Dia akhirnya berhenti, lalu menoleh dengan ekspresi terganggu. Semoga saja Sena sadar.

Anak itu hanya nyengir lebar. “Aku udah bilang tadi kalau pengin ikut.”

“Lo kesambet apa?”

“Aku juga pengin ikut main, Bang.” Sena bersikeras.

“Gue males ya kalau dengerin Mama ngomel karena lo pulang telat!”

“Nggak akan diomelin. Aku bakal jelasin sendiri.”

Juna menghela napas. Berkacak pinggang. Menatap Sena yang tampak berbeda di balik jaket milik Juna. Sementara jaket Sena yang dilemparkan padanya, tertinggal di dalam kelas. Lagi pula Juna tidak ingin mengenakan jaket milik Sena. Tapi anehnya, Sena terlihat nyaman-nyaman saja mengenakan jaket yang bukan gayanya setiap hari.

“Lo nyari temen sendiri sana, terus ajakin main futsal. Nggak perlu nempel ke gue gini. Atau lebih baik lo mendekam di perpus. Tempat itu lebih cocok buat lo.”

Sena tersenyum. “Aku punya temen kok. Enak aja. Tapi ‘kan pengin sekali-sekali ikut di lingkaran Bang Juna.”

“Ngapain?!”

“Ya biar aku juga kenal temen-temen Bang Ju—”

Juna mengibaskan tangan, memotong. “Kalau bisa jauh-jauh dari gue. Nanti lo luka dikit, gue yang kena omel lagi!”

“Tapi—”

Sebuah decitan ban terdengar. Juna mengurai tangan dari pinggang. Menatap bingung mobil yang tiba-tiba berhenti di belakang Sena. Sedetik kemudian, seiring dengan pintu mobil yang terbuka, keluar beberapa lelaki kekar berbaju hitam. Alarm di kepala Juna seketika menyala nyaring. Tanda bahaya yang segera dia kenali. Sebelum dia berbalik lari, satu tangannya terulur, hendak menarik Sena bersamanya.

Namun, terlambat. Ketika Sena menoleh untuk melihat siapa yang berderap ke arahnya, saat itu juga lehernya dipiting. Tiga orang yang turun dari mobil dalam sekejap berhasil meringkus Juna dan Sena. Membekap mulut Juna yang sempat berontak dan menyeretnya masuk ke mobil. Didorong kasar agar menurut. Satu orang sigap memasangkan kain hitam untuk menutup kepala.

“SIAPA KALIAN?!” Juna berteriak geram. “LEPAS! WOI, LEPAS! JANGAN MAIN-MAIN SAMA GUE!”

“Diem atau kembaran lo mati di sini!”

Juna langsung bungkam oleh ancaman itu. Mobil melaju meninggalkan jalan aspal yang sepi dan gersang. Di balik kain penutup, Juna mencoba membaca situasi. Kedua tangannya dipelintir ke belakang untuk kemudian terdengar suara plester. Percuma berontak. Juna merasa jika di setiap sisi, dijaga penuh. Tapi, setidaknya, dia lega bisa merasakan jika Sena ada di sebelah kanannya.

Dia tahu jika Sena akan diam dan menurut. Atau parahnya, Sena mungkin sedang menggigil ketakutan. Juna bisa merasakan lewat paha mereka yang bersinggungan kalau Sena gemetar, luar biasa ketakutan.

“Bang—” Sena lirih memanggilnya.

“Apa? Mau nangis? Lo lelaki apa perempuan?” Juna menjawab galak. “Di situasi kayak gini lo percuma nangis.”

Terdengar tawa di sekitarnya. “Ngeri juga ini anak.”

“Kecil-kecil udah jadi preman. Nggak heran gue kalau dia nggak takut sama kita.”

Ditimpali yang lain. “Kita lihat nanti, sejauh mana keberanian dia.”

Juna mendesis. Emosinya sudah sampai di ubun-ubun. Dia ingin kembali berteriak, membalas hinaan mereka. Tapi, sialnya dia teringat dengan ancaman yang ditujukan pada Sena. Sebelum dia tahu mereka akan dibawa ke mana, Juna memilih cara aman. Diam dan pasrah. Menekan habis emosinya.

Mobil berhenti, entah di mana. Yang jelas, begitu pintu digeser, Juna kembali ditarik kasar. Sena juga demikian. Juna mencoba membaca situasi lagi, menajamkan segala indra. Mereka digiring melewati rerumputan yang tinggi, terasa sekali dua kali menyentuh lengan Juna. Terdengar suara gemerincing kunci, sebuah pintu sedang coba dibuka. Juna bisa menebak jika rumah yang mereka tuju sudah cukup tua, terdengar dari bagaimana suara kerit pintu yang berat dan membuat ngilu.

Mereka berjalan masuk, naik beberapa anak tangga, lantas terdengar pintu dibuka lagi. Penutup kepala mereka dibuka dengan kasar. Sena mengerjap, menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. Juna tak punya waktu untuk itu. Begitu penutup lolos dari kepalanya, dia segera menoleh beringas. Menatap tajam lelaki dewasa dengan codet di wajah itu. Yang dibalas dengan kekehan penuh remeh. Belum sempat Juna merangsek maju, dua orang itu lebih dulu mendudukkan Juna dan Sena di kursi yang berbeda. Menambah ikatan plester dengan tali di bawah rentetan umpatan Juna yang sia-sia. Ikatan kali ini lebih kencang. Kedua kaki mereka diikat menjadi satu dengan kaki kursi.

Ketiga lelaki itu mundur, menutup pintu dari luar. Juna sekali lagi mengumpat kencang tepat ketika pintu menutup.

“Bang—”

Juna menghela napas, terengah.

“Bang ....”

“Diem! Gue lagi cari cara supaya kita bisa kabur.”

Sena menoleh, menatap sedih kakaknya. “Mereka siapa?”

“Mana gue tahu!”

Mereka diikat dengan kursi yang membelakangi jendela, yang Juna rasa tidak pernah dibuka dalam waktu yang lama. Ruangan ini pun terlihat menyeramkan. Sesak penuh debu. Juna terbatuk berkali-kali karena udara yang pengap.

“Mereka mau apa dari kita?” Sena bertanya lirih, takut kena bentak Juna lagi.

Juna sedang mengusahakan tangannya lepas dari ikatan tali. “Tebusan dan sebagainya.”

“Nyawa?” Sena bertanya polos.

“Mungkin. Bisa aja. Mereka bunuh kita dan ngejual organ tubuh ki—”

Sena memotong cepat. Takut jika kalimat kakaknya justru membuatnya berpikir sejauh itu. “Oke, mereka minta tebusan.”

Di antara usahanya melepas tali yang sia-sia, Juna menggeram frustrasi. Tapi kemudian terkekeh. Mendengar kalimat Sena barusan. Kemudian bertanya serius. “Lo bisa ke sini?”

“Mana bisa?”

Juna tak bertanya lagi. Dia langsung menggulingkan kursi. Terdengar suara berdebam. Sebelah bahunya menghantam lantai yang kotor. Juna mengernyit menahan sakit. Dia mendongak, menatap Sena yang masih duduk di kursi. “Ikutin apa yang gue lakuin.”

“Sakit?”

“Lo kelamaan di keteknya Mama, gue lupa.” Juna kesal sendiri. “Buruan!”

Alih-alih mengikuti apa yang diperintahkan Juna, Sena justru mencoba berdiri dari kursi, tak menunggu lama untuk dirinya hilang keseimbangan dan jatuh mencium lantai. Juna nyaris tertawa di situasi seperti ini.

Hidung Sena berdarah. Tapi bukan itu masalahnya sekarang. Dengan kondisi tangan terikat ke belakang dan kaki yang terikat erat, Juna mencoba mencapai Sena.

“Bang, masih ingat jaman kita kecil, kita main ulat-ulatan?”

Astaga. Juna mengernyit heran. Kenapa pula malah mengenang dalam situasi genting begini?

“Pakai selimut, terus kita balapan. Mbak Sarah seringnya curang.” Sena hanya mengalihkan rasa paniknya.

Sementara Juna masih terus berusaha untuk tiba di tempat Sena. Dia tidak punya waktu untuk mengenang. Mentang-mentang melihat Juna merangkak menggunakan bahunya, Sena langsung teringat kenangan masa kecil mereka.

“Ambil pisau di ikat pinggang gue.”

“Hah?”

“Buruan. Kita nggak punya banyak waktu!” desis Juna.

Kali ini Sena menurut, dia berusaha bangun. Juna di dekatnya sudah dalam posisi tengkurap. Sena membungkuk ke arah ikat pinggang Juna. Dengan hati-hati mengambil pisau lipat kecil dengan giginya. Mengetahui jika kakaknya membawa benda tajam seperti ini, membuatnya kesal. Bagaimana mungkin Juna membawa benda ini setiap hari ke sekolah?

“Bang, selama ini—” Sena tercekat, urung untuk melanjutkan kalimatnya. Dia kemudian memperhatikan bagaimana Juna dengan ujung jari yang luput dari ikatan, membuka pisau lipat.

“Siniiin tangan lo,” perintah Juna. Sena menurut lagi, dia berbalik, hingga punggungnya menghadap Juna.

Dengan hati-hati—karena gerakannya yang terkekang oleh ikatan kuat—dia mengarahkan pisau ke tali yang membelit tangan Sena. Butuh waktu yang lama untuk perlahan tali mulai terputus. Sena mengambil alih pisau, tidak banyak bicara seperti tadi, dia langsung memutus simpul tali di tangan Juna.

Seperti diburu waktu, mereka melepas tali di kaki dengan cepat. Beruntung pintu tidak dikunci, dengan pelan, Juna menarik handle dengan jantung berdebar. Memastikan jika di luar pintu tidak ada yang berjaga, barulah sekali sentak, dia membuka pintu lebar dan mengendap menuju ke dinding yang berseberangan dengan ruangan. Sena sigap mengikuti di belakangnya.

Berhitung dengan situasi, Juna mengedarkan pandangan. Mencari ke mana mereka  bisa keluar dari rumah ini tanpa lewat pintu depan. Di belakangnya, Sena juga diam-diam mencari celah. Ketika Juna bergerak maju, Sena menahannya. Terdengar suara langkah kaki mendekat. Sena tepat waktu menarik kakaknya ke sebuah ruangan tanpa pintu. Merunduk di antara barang-barang terbengkalai.

Orang itu bersiul. Sepertinya menuju kamar mandi kotor di belakang sana. Ketika dirasa aman, Juna dan Sena kembali mengendap, mencari jalan keluar. Mati-matian tidak menimbulkan suara derap langkah. Sialnya, bekas rumah ini tak sekecil yang mereka kira. Ada banyak bilik ruangan dan setiap koridor memiliki banyak cabang. Juna mengumpat, menyadari jika itu memang bukan rumah biasa, melainkan bekas bangunan rumah sakit.

Terdengar derap kaki lagi. Juna dan Sena sembunyi di balik dinding yang berbeda. Begitu orang itu berlalu, Juna mengisyaratkan mereka untuk berpencar. Siapa pun yang bisa keluar lebih dulu, lari sekencangnya dan mencari bantuan. Apa pun itu. Sena sempat tak setuju dengan ide ini, bahwa mereka harus tetap bersama. Tapi Juna terus meyakinkan. Mereka justru akan tertangkap jika tetap bersama.

Di ujung koridor, keduanya berpisah. Juna melangkah ke sisi utara, dan Sena ke selatan. Mencoba mencari pintu yang tak terkunci. Memecahkan kaca tentu bukan solusi. Yang ada mereka akan sadar kalau tawanan berniat kabur.

Juna melangkah cepat, setiap menemukan pintu, dia berusaha mendorong knop dan berakhir dengan umpatan lirih. Sial. Sial. Sial. Semua pintu terkunci. Tak ubahnya labirin yang membuat mereka sebenarnya hanya kembali ke tempat semula dan menemui jalan buntu.

Tiba-tiba, terdengar suara pecahan kaca yang nyaring. Juna menoleh kaget sekaligus panik. Dia berbalik, mencari sumber suara. Takut kalau-kalau memang Sena yang nekat memecahkan kaca. Dia sudah ingatkan agar tidak gegabah atau membuat suara dengan memecahkan kaca. Tapi tetap saja—

Juna terkesiap, berdiri mematung saat apa yang dia takutkan sungguh terjadi.

Sementara di satu sisi, dia mendengar derap kaki yang memburu, tanpa pikir panjang, Juna lompat melewati jendela yang berlubang itu. Mengabaikan jika lengannya terkena goresan kaca. Sena yang berlari beberapa meter dari bangunan, menoleh dan tanpa pikir panjang memutuskan kembali. Tidak mungkin dia meninggalkan kakaknya di belakang.

Juna memegang lengannya yang terasa perih. Menekan di bagian yang terluka, mencoba menghentikan darah yang mengalir dari guratan panjang itu. Langkahnya terjerembap, berusaha lekas bangun saat dilihatnya Sena berlari ke arahnya. Dia menggeleng. Tidak. Seharusnya Sena terus berlari dan tidak pernah berbalik padanya.

"Pergi, Sena! Jangan ke sini! Pergi!"

Dalam sekali gerakan, Juna terperanjat dari tidurnya. Tersengal oleh napas yang memburu. Keringat membasahi seluruh badan. Beberapa saat dirinya masih terdiam di sofa. Hanya deru napas yang tak kunjung normal dan bulir-bulir keringat yang kembali meluncur di wajah.

Juna menatap sekitar, menyadari dirinya berada di apartemen Nina dan bukannya bangunan rumah sakit bekas. Mengerang pelan saat kepalanya berdenyut. Lantas menyadari ruangan yang sudah gelap. Dia mengusap wajah. Baru ingat jika dia tertidur begitu saja di sofa sejak pulang dari bandara.

Danisha dan Vian mungkin sudah tidur. Dengan sempoyongan, Juna berusaha bangkit dari sofa. Kepalanya masih berdenyut ngilu. Tenggorokannya kering. Dia terseok mencapai kulkas. Menarik satu botol air mineral dari sana. Menenggaknya hingga separuh. Air dingin yang melalui tenggorokan tetap saja tak mampu menenangkan badai yang kadung mengamuk di hatinya.

Mimpi barusan jelas-jelas membawa badai yang menggulungnya. Menyeretnya kembali ke bangunan tua itu. Untuk kemudian menyaksikan apa yang tidak pernah ingin dia lihat dalam hidupnya.

Merasa lelah, Juna menyandarkan tubuh di tepian kabinet dapur. Merasakan kenangan menusuk-nusuk hatinya. Napasnya tak kunjung berdetak normal. Semakin dia menenangkan diri, napasnya justru kian memburu. Juna tidak tahu harus apa. Mau bagaimana pun, dia tidak akan bisa melupakan semuanya kalau alam bawah sadarnya masih bisa mengenali jika kehilangan itu sudah merekat erat. Melupakannya sama saja dengan membunuh dirinya sendiri.

Karena begitu banyak yang menjejal di hati, Juna kalah oleh setitik yang menetes dari sudut mata. Dia menunduk. Membiarkan sejenak kenangan memeluknya yang kalah. Sedangkan air mata kembali luruh tanpa bisa dicegah.

***

“Juna butuh melupakan seseorang.”

Danisha teringat potongan kalimat itu. Sudah pukul 01.00 dini hari tapi matanya enggan terpejam. Kalimat Yasmin selanjutnya, juga sama, ikut menghantui.

“Melupakan salah satu di antara kalian.”

Dia memutuskan bangun, menyingkap selimut hati-hati, takut gerakannya akan membuat Vian terbangun. Sama halnya ketika menarik knop pintu, dilakukan sepelan mungkin. Juna mungkin sudah bangun dan dia bisa mengobrol sebentar sampai kantuknya datang. Atau mungkin dia bisa menanyakan—

Langkahnya terhenti sebelum pintu benar-benar terbuka. Dari celah pintu, Danisha melihat Juna mengusap wajah. Lelaki itu terlihat susah payah beranjak dari sofa demi menuju kulkas. Danisha urung membuka pintu lebih lebar, memberi waktu kalau-kalau lelaki itu kembali lagi ke sofa dan melanjutkan tidurnya.

Namun, dia keliru. Lelaki itu justru termenung setelah menenggak air mineral. Menyandar lelah di kabinet dapur. Danisha seketika merasa prihatin. Lelaki itu pasti luar biasa lelah. Memang, melihat Juna yang sibuk, hal yang lumrah. Lelaki itu senang-senang saja dengan kesibukannya, terlihat menikmati. Hanya saja, Juna tak pernah memperlihatkan lelahnya di depan banyak orang.

Seperti sekarang. Juna terpekur sendirian di antara remang cahaya di dapur. Entah sedang memikirkan apa. Namun, hal yang Danisha lihat selanjutnya, segera mematahkan semua asumsinya.

Kepala itu menunduk seiring dengan bahu yang bergetar pelan.

Lagi-lagi, Danisha salah. Lelaki itu bukan hanya lelah.

Danisha tanpa sadar meremas knop pintu lebih keras. Menahan dirinya yang ingin menempati ruang kosong di sebelah lelaki itu, menawarkan sebentang bahu untuk tempat muara semua air mata yang tak bisa dihentikan.

Dia ingin selalu ada hingga bisa memeluk Juna. Sama halnya dia yang tahu bahwa tangis lelaki itu membawa luka masa lalu, yang terlalu menyakitkan untuk ditanggung seorang diri.

Namun, Danisha adalah seorang pengecut yang hanya berani berdiri di balik pintu. Menonton semua kesakitan yang sedang dihadapi Juna. Hatinya ikut berkecamuk lirih. Sesuatu seperti menahannya tetap di tempat. Meski hati kecilnya mati-matian berteriak untuk mendekat.

Hingga beberapa saat, Danisha tetap berdiri di sana. Menit yang terus berlalu dan Juna akhirnya bisa menguasai diri. Lelaki itu tertatih kembali ke sofa, meringkuk, memeluk tubuhnya sendiri.

Danisha diam-diam ikut patah.

Juga diam-diam menyesal sudah menjadi si Pengecut.

***

Nina tiba di apartemen pukul enam pagi. Mengecek ke kamar, melihat Danisha dan Vian yang masih pulas. Memutuskan tidak membangunkan. Dan ketika melewati sofa, dia mengernyit heran melihat tas milik Juna. Lelaki itu memang seharusnya ada di sini, tapi tadi ketika membuka pintu, Nina tak mendapati siapa-siapa.

Mengempaskan tubuh di sofa, Nina menggulir ponsel, mencari menu sarapan yang enak sebelum menekan pilihan order. Bukannya dia malas memasak, tapi daripada sahabat-sahabatnya teracuni, lebih baik memesan. Selain tidak ribet, dijamin makanan juga enak rasanya.

Juna muncul di lobi apartemen bertepatan dengan Nina yang turun mengambil pesanan sarapannya. Tapi Nina tiba-tiba memasang wajah datar, begitu ingat yang mengantar adalah orang yang sama dengan kemarin. Tadi dia tidak sadar saat orderannya diterima oleh orang yang genitnya bikin ilfeel ini.

Tiba-tiba Nina mengibaskan rambut panjangnya. Dengan gerakan setengah memaksa, merangkul Juna yang hendak melewatinya. Tanpa sungkan dia menggelayuti sebelah bahu Juna yang basah oleh keringat.

Nina berkata manja. “Suami, kok jogging nggak pamit? Aku ‘kan jadi bangun sendirian.”

Juna memelotot kaget. Apa barusan yang dia dengar? Suami? Jogging? Bangun sendirian? Nina kesurupan setan mana?!Dia hendak menepis tangan Nina tapi kena cubit di pinggang.

“Ehm, maaf, pesanannya, Mbak.” Suara lain menginterupsi.

Dengan wajah pura-pura terkejut, Nina menoleh dramatis. “Oh iya, maaf, Mas. Jadi lupa. Habisnya suami saya mengalihkan dunia begini modelannya. Semakin seksi kalau keringetan.”

Juna menatap Nina dengan horor. Pun ketika orang yang mengantar pesanan sudah berlalu dari lobi. Juna masih bengong di sana setelah diperlakukan begitu kurang ajar oleh Nina. Apakah ini karma? Bisa nggak datangnya siangan dikit?

“Ngapain sih tadi?!” Juna menyusul Nina ke lift.

Nina menahan pintu, menunggu Juna masuk lift. “Ngedrama-lah, ngapain lagi. Yang biasa kita lakuin.”

“Tapi tadi udah—geli gue!” Juna bergidik. Mengusap bahu yang digelayuti Nina tadi. “Gue merasa dilecehin.”

Nina tertawa. “Habisnya si Mas-mas itu genit banget, Jun. Sumpah, risi. Ya udah mumpung lo lewat lobi, barengan sama dia, sekalian aja. Biar kapok dan nggak ganggu lagi.”

“Kelihatan normal-normal aja tuh dia.”

“Ya normal. Orang lo juga laki. Kecuali kalau dia omnivora. Kalian satu spesies.”

“Apa sih.” Juna mendecak. Obrolan yang semakin ngawur. Lift terbuka, mereka keluar berbarengan.

“Oh, hai, Dan. Udah bangun?” Nina membuka pintu, mendapati Danisha sudah bangun dan sedang membuat teh di dapur.

“Balik jam berapa?” Danisha bertanya serak. Nyawanya belum sepenuhnya terkumpul.

Nina meletakkan plastik di meja. Menarik satu kursi dan duduk membongkar sarapan. “Jam enam sampai sini. Vian belum bangun?” Dia cemas bukan main semalam, tapi laporan dari Juna membuatnya tenang.

“Di kamar mandi.”

Danisha membawa empat mug teh hangat ke meja. Lalu sudut matanya memperhatikan Juna yang memilih duduk di sofa, sibuk menekuri ponsel. Mulut Danisha sudah terbuka, hendak melontarkan entah apa pun itu. Tapi kalah cepat dengan gerakan Juna yang tiba-tiba berdiri dan mengemasi tasnya. Eh, mau ke mana?

“Eh, mau ke mana, Jun?” Nina kaget melihat lelaki itu sudah menyandang ransel dan selempangnya dan bukannya bergabung sarapan dengan mereka.

Meeting bentar.”

“Nggak sarapan dulu?”

“Nanti gampang.”

“Tapi lo juga belum mandi. Mana keringetan habis jogging gitu.”

“Gampanglah. Gue bisa ganti baju di mobil terus tinggal pakai parfum.”

Danisha menatap lekat Juna. Pandangannya meneliti wajah itu saksama. Memastikan apa yang dia lihat semalam masih tersisa di sana. Tapi belum juga berhasil meloloskan satu kalimat dari mulutnya.

Hingga Juna beralih padanya, bertemu tatap sebentar, diakhiri dengan mengusap rambut Danisha singkat. “Gue duluan, Dan.”

“Ha? Ya, oke, hati-hati.”

“Nanti pamitin sama Vian ya.” Setelahnya Juna hilang di balik pintu.

Di kursinya, Danisha mengutuk diri sendiri. Ini akibatnya kalau menuruti ragu. Dia jadi kecewa karena tak sempat mengatakan apa-apa pada Juna.

Memangnya mau bilang apa? Soal kalimat Yasmin yang terus menghantui? Atau tentang dia yang semalam melihat Juna menangis?

Danisha menempelkan dahinya di atas meja kaca. Mengatai dirinya sendiri. “Bego, bego, bego.”

“Gue kira cuma gue doang yang anggap Juna bego.” Nina menyahut, salah paham. “Dia saking cintanya kerja sampai sebego itu ya. Muka sepucet itu masih aja diforsir kerja.” Seakan baru menyadari sesuatu, Nina menggebrak meja makan. "Lah, gue juga bego, ngapain nggak gue tahan barusan!"

***

Aku tadi siang ngajuin Juna ke editor Cabaca, gaiss. Dan lgsg dapat jawaban gak lama kemudian ....

They said yes!

Tp masih antre, bulan November baru bisa masuk katanya. Maklum, sekarang Cabaca udah pemes 😂😄

Jadi, masih sekitar 2 bulan Juna di wattpad. Entah nanti bisa tamat atau gak di sini, let's see aja yaa.

Aku gak mau ngoyo, tp karena Juna udah bikin aku jatuh hati, jd bawaannya pengin setiap hari ngetik dia. Ini aku sedang nge-rem 😅😅😅

Juna bakal selesai di bab 40. Semoga ide lancar dan gak ambyar, jadi bisa tamat di sini kemudian baru pindah lapak ke Cabaca.

Thx for all the supports, gengs!

Rabu, 11/09/2019
Revisi: 14.12.2021

Note: nyengir sendiri baca author's note di atas🤣🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top