24. The Fears

Antrean mengular di salah satu stand di mal besar itu. Vian merengek minta diantarkan. Juna menuruti, mumpung hari ini libur, sebelum besok terbang ke Jogja. Si Kembar nyaris ikut ketika melihat Juna memanasi mesin mobil, tapi sang mama berhasil menghalau. Juna juga kasihan kalau si Kembar ikut mengantre, akhirnya hanya berjanji akan membawakan oleh-oleh nanti.

Berdua berdiri di barisan antrean. Sudah satu jam dan Vian mulai kesemutan. Dia duduk begitu saja di lantai.

"Yasmin nggak marah, 'kan?"

"Nggak kok." Juna menunduk, menjawab.

"Kamu udah bilang kalau pergi sama aku?" Vian memastikan lagi.

Juna ikut duduk di sebelah Vian. Cuek saja jika ada yang memperhatikan atau gerombolan anak kuliahan yang terang-terangan menatapnya dari antrean sebelah. Awalnya, memang risi. Juna tidak suka jadi pusat perhatian. Tapi karena pekerjaan yang menuntutnya tampil di depan banyak orang, Juna jadi terbiasa. Malah, kalau Juna sedang iseng, dia akan balas menatap mereka. Melempar senyum dan seketika mereka girang.

Tanpa sadar Juna menoleh, tersenyum. Seketika suara heboh terdengar.

"Kyaaaa! Dia senyum ke gue!"

"Suami-able!"

"Gue nggak mau kuliah, pengin nikahin dia aja!"

Untuk kalimat yang terakhir, Juna bergidik ngeri. Dia akhirnya kembali ke Vian setelah kena cubit di lengan.

"Apa?"

"Udah pamit 'kan sama Yasmin kalau nemenin aku ke sini?" ulangnya.

"Kenapa mesti pamit segala?"

Vian mendecak. "Takutnya nanti dia salah paham."

"Nggak bakal."

"Aku-nya yang nggak enak sama Yasmin."

"Ya udah tadi harusnya lo ngajak gue lewat Yasmin aja. Biar dia yang nyampein ke gue." Juna sedikit senewen.

"Jangan ngambek."

Juna sungguh tidak ngambek. Sudah biasa.

"Vi, pertama, gue pacaran bukan untuk saling ngekang ya. Begitu juga sebaliknya, gue nggak nuntut Yasmin untuk ngelaporin kegiatan dia sehari-hari. Mau pergi sama siapa ya terserah. Kedua, agak kekanakan kalau apa-apa mesti pamit dulu. Masih pacaran ini, belum juga nikah. Kalau udah nikah, beda perkara. Mau ke toilet pamit pun, ya lucu-lucu aja." Juna menarik napas.

"Tapi aku nggak enak. Nanti kayak yang udah-udah, kamu diputusin karena jalan sama aku, Nina atau Danisha."

"Anggap aja sekalian filter. Gue jadi nemu perempuan yang benar-benar ngerti gue, termasuk masalah lingkup pergaulan gue yang isinya perempuan semua."

Vian menatap Juna lamat. "Yasmin bisa ngertiin kamu?"

"Sejauh ini, bisa. Dia nggak yang ribet kok. Paling kalau malem, misal lagi males ketemu di luar, kita teleponan aja."

"Aku ngabarin Yasmin deh kalau gitu."

Juna merebut ponsel Vian. "Nggak usahlah."

"Oke, oke." Vian memasukkan ponsel ke dalam tas, sebelum Juna benar-benar ngambek.

Ketika antrean bergerak maju, Juna sigap berdiri. Satu tangannya terulur ke Vian, tapi perempuan imut itu bertingkah imut juga. Juna tidak protes ketika Vian memilih minta ditarik dan bukannya bangkit dari duduknya. Vian sempat terkekeh ketika dirinya tertarik maju.

Gerombolan anak kuliah tadi berdengung heboh lagi. Kali ini Juna tak menghiraukan. Dia kembali duduk, menghadap ke Vian.

"Vi, tahu nggak kalau Danisha dilamar Mas Dewa?"

"Hah?" Matanya membulat.

"Belum diceritain ya?" Juna meringis. "Kemarin pas ketemu pengin nanyain soal lamaran. Tapi nggak enak. Nunggu dia cerita sendiri aja."

"Tapi belum ada cincin di jari Danisha."

"Iya, belum ada." Juna juga tahu hal ini. "Menurut lo gimana? Danisha bakal terima lamaran Mas Dewa?"

"Ya, kalau aku jadi Danisha, aku senang hati terima Mas Dewa."

"Dih." Juna mencebikkan bibir.

"Ih, ya gimana. Mas Dewa itu idaman semua perempuan, Jun. Kamu kalau jadi perempuan pasti suka deh sama Mas Dewa."

"Ya jelaslah suka-apa sih!" Juna mengibaskan tangan. "Tapi gue laki-laki."

"Cuma misalkan," tekan Vian.

"Kayak nggak ada lelaki lain aja."

"Mas Dewa baik, Jun. Kali ini pakai alasan apa buat nggak setuju?" Untung yang bertanya Vian, bukan Nina dengan nada nge-gas seperti biasa.

"Tapi tampang kayak Mas Dewa nggak jadi jaminan kalau dia juga sempurna akhlak, 'kan?" Juna masih saja ragu.

"Percaya aja sama Danisha, Jun. Dia tahu apa yang dia pilih."

"Gue cuma-"

Vian memotong pelan. "Iya, lelaki terbaik buat kami cuma satu. Pengganti ayah, kakak, dan sekaligus jadi sahabat. Tapi kita udah gede. Kadang kita merasa nggak rela kalau masing-masing dari kita mulai menemukan orang lain yang diberi porsi sama besarnya."

Ini obrolan berat dan mereka bisa-bisanya membahas hal itu di sini. Duduk melantai sambil menunggu antrean gila-gilaan demi minuman boba-boba itu. Juna terharu dengan kedewasaan Vian. Perasaan baru beberapa menit lalu perempuan itu bertingkah imut.

"Tapi, Jun, meski akan ada orang baru, yang lama tetap dapat tempat istimewa. Memang, porsinya akan berbeda. Kita nggak sesempurna itu untuk bersikap adil, 'kan. Cuma bisa mengusahakan bagaimana persahabatan kita tetap sama. Kita selama ini juga sibuk-sibuk sendiri. Terutama kamu. Tapi hebatnya, kamu bisa kasih kami waktu. Diajak ke mana pun selalu oke. Kami yang ribet ini bisa kamu handle."

Sudah. Sudah cukup. Juna mau menangis rasanya. "Vi, stop. Jangan dilanjut. Mau bilang terima kasih, 'kan? Iya, sama-sama."

Vian tersenyum. "Yasmin beruntung banget dapat kamu, Jun."

"Yaah, kami baru mulai, Vi. Belum tahu ke depannya gue sama siapa. Kalau emang jodoh gue Yasmin, ya tinggal lanjut."

"Kamu bakal dapat yang sebaik kamu, Jun. Katanya, jodoh cerminan diri."

"Iya, aamiin. Lo juga. Jangan sampai dapat suami sembarangan ya. Takutnya bonyok di tangan gue."

Lengan Juna dipukul. Yang dipukul hanya terkekeh. Kembali berdiri, antrean sudah bergerak. Mengulurkan tangan lagi ke Vian.

***

"Jun, banyak amat?!" Mbak Nana kaget menerima plastik besar dari tangan Juna.

"Nggak apa-apa. Biar sebanding sama yang antre, Mbak." Juna tak melihat si Kembar, kemungkinan sedang jajan bakso di ujung gang.

"Seharian antrenya??"

Juna mengangguk. "Anak-anak mana, Mbak?"

"Biasa, kalau kamu nggak ada, ikut papinya nongkrong di Bakso Asep."

Juna mengacungkan jempol. Memasukkan kunci mobil ke saku celana dan menyusul si Kembar. Hanya dua ratus meter dari kos-kosan.

Warung bakso itu penuh. Juna langsung nyempil di meja Mas Rizki. Si Kembar berbinar menyambut Juna. Bahkan Dafa menjulurkan sendok berisi satu bakso. Juna membuka mulut, menerima suapan itu dan mengusap kepala Dafa. Berterima kasih.

"Pacar lo sebenernya siapa? Si dokter hewan nggak jadi?"

Juna sedikit tersedak. "Sirik aja lo, Mas."

"Kalau ditanya suka nyebelin," dumal Mas Rizki ketika Juna meninggalkan meja dan mendekat ke gerobak bakso. Memesan bakso sendiri.

"Jun, buruan. Nina telepon nih!" Mas Rizki berseru melihat ponsel di atas meja bergetar. Dia tidak berani asal angkat.

Juna datang cepat sebelum ponsel diambil-alih Rafa. Menyingkir dari warung yang cukup bising.

"Kenapa, Nin? Udah di Semarang?"

"Iya. Udah. Lagi sama Vian nggak?"

"Tadi sama Vian. Tapi udah gue anter pulang."

"Gue telepon kok nggak diangkat-angkat."

"Udah tidur kali."

"Tolong cek ke rumahnya dong."

"Iya, bentar. Gue makan bakso dulu."

"Cepetan ya, Jun. Penting soalnya."

"Emang sepenting apa?"

"Urusan perempuan."

"Hilih." Juna kesal kalau gender sudah dibawa-bawa untuk alibi biar Juna tak banyak tanya.

Juna memutus sambungan dan kembali ke meja. Baksonya sudah datang.

***

Suara sirine bersahutan. Klakson panjang terdengar memekik. Beberapa mobil menepi dengan sigap. Termasuk Juna yang ikut menepikan mobilnya. Memberi jalan pada tiga mobil pemadam kebakaran yang melintas cepat.

Ponsel di saku bergetar. Sambil menunggu timer lampu merah, Juna mengangkat telepon dari Nina.

"Gue udah di jalan kok. Tenang aja."

"Vian udah bisa dihubungi ... Jun, lo sampai mana sih?!"

"Oh, oke. Berarti gue balik aja nih?"

"LO SAMPAI DI MANA?"

"Udah di jalan. Sekilo lagi nyampe. Astaga. Sepenting apa sih."

"Ini bukan lagi masalah itu. Tadi yang angkat telepon gue bukan Vian, tapi suara Bapak-bapak. Bilang kalau Vian kena musibah."

"Ngomong apa sih, Nin. Orang jelas-jelas dua jam lalu gue ketemu sama Vian kok. Baik-baik aja." Barulah Juna menyadari kalau suara Nina memang panik. "VIAN KENAPA?!"

Sambungan terputus. Sungguh sialan. Juna melempar sembarangan ponsel ke jok samping. Melirik ke timer, bersiap menginjak gas. Menyalip beberapa kendaraan. Memacu gila-gilaan, dihadiahi klakson dan umpatan. Tapi Juna tidak peduli. Pikirannya mendadak kalap. Teringat dengan tiga pemadam kebakaran yang mendahului tadi.

Ketakutan Juna benar-benar terjadi. Mobilnya berhenti di depan gerbang kompleks, tak bisa masuk karena penuh oleh mobil pemadam kebakaran. Keluar dari mobil dengan tergesa, berlarian untuk segera tiba di rumah yang membumbungkan asap tebal di pekatnya langit ibu kota. Menabrak bahu-bahu orang yang berkerumun-menonton. Mencoba menemukan keberadaan Vian.

Bertanya gemetar pada salah seorang yang berdiri di dekatnya, kemudian dirinya diarahkan ke sebuah rumah yang berhadapan dengan rumah Vian. Di sana, di teras itu, Vian terduduk lemah dengan beberapa tetangga yang mencoba menenangkan.

Juna mendekat. Mereka mengenali Juna, sering melihatnya berkunjung ke rumah Vian. Beberapa menganggap Juna adalah calon suami Vian, tidak percaya ketika Vian menjelaskan kalau mereka bersahabat sejak lama.

Ibu-ibu itu menyingkir. Membiarkan Juna mengambil tempat di sebelah Vian. Menggantikan kalimat-kalimat penenang dengan sebuah pelukan. Juna mendekap erat-erat tubuh perempuan itu yang gemetar hebat. Kedua pipi Vian masih berlinang air mata. Tapi sedikit pun tidak ada yang terucap dari bibir pucat itu.

Maka Juna hanya bisa mengeratkan pelukan. Mengusap-usap punggung yang gemetar. Membenamkan tubuh mungil itu dalam dadanya. Hingga terasa remasan di lengan jaketnya. Vian mulai meresponsnya.

Suara lirih itu bergetar. "Juna ... aku takut."

"Ada gue, Vian. Lo aman sama gue." Juna merutuki dirinya sendiri yang datang terlambat. Jika Nina tidak meneleponnya, mungkin dia tidak di sini, dan membiarkan Vian menggigil ketakutan sendirian.

Sementara rumah yang ditempati Vian sepuluh tahun itu sudah menjadi abu. Luluh lantak menjadi debu. Asap tebal masih muncul dari puing-puing kebakaran. Vian memilih tenggelam dalam pelukan Juna. Melupakan satu fakta penting bahwa dia kehilangan segala hal kenangan akan rumah itu.

Untuk yang kesekian kali, air mata kembali luruh di pipi. Vian membiarkan. Namun kali ini ada jemari yang menyekanya.

Dengan ibu jarinya, Juna mengusap pipi yang dingin itu. Tidak membiarkan tangis membawa kerapuhan pada Vian.

Setelah api benar-benar padam, Juna membawa Vian beranjak dari teras. Dia melepas jaket dan mengenakannya ke tubuh Vian lantas mendekapnya tubuhnya dengan satu lengan. Sebelum beranjak, Juna mengucapkan terima kasih pada para tetangga yang cepat tanggap, yang mungkin membantu Vian keluar dari kungkungan api.

Sebelum membuka pintu mobil, Juna berbisik. Vian mengangguk pelan. Kemudian masuk ke bangku di samping kemudi.

Sepanjang perjalanan menuju apartemen Nina, Juna seringkali menoleh. Memastikan keadaan Vian yang duduk di sebelah. Perempuan itu diam-diam kembali menangis. Juna membiarkan. Ketika melewati minimarket, Juna berhenti. Memegang tangan Vian, menginterupsi tangisnya, pamit jika hendak membeli minum sebentar.

Juna kembali dengan sebotol air mineral dan sebungkus tisu basah. Dia membuka pintu di samping Vian, berdiri di antara pintu yang terbuka, memutar botol dan mengulurkannya pada Vian.

Uluran yang tak kunjung diterima. Vian menatap kosong tangan yang terjulur di depannya.

"Minum dulu, Vi." Barulah botol itu berpindah dari tangan Juna.

Sambil menunggu Vian yang meneguk pelan, Juna membuka bungkus tisu basah. Menarik sehelai dan mengarahkannya ke pipi Vian. Membersihkan noda arang yang membekas di wajah perempuan itu.

"Ada luka lain?" tanya Juna lembut seraya mengusapkan tisu di pipi. Mengambil lagi sehelai yang bersih, mengusap bagian dahi.

Vian menutup botol. Menggeleng pelan. "Jun, aku-"

"Gue bantuin ngurus semuanya besok. Gue tahu apa isi kepala lo sekarang. Kita pikirin itu besok. Sekarang, lo butuh istirahat."

Tiba-tiba isak tangis kembali lolos dari bibir itu. Juna meraih kepala Vian, meletakkannya di perut, memeluknya.

"Aku salah apa, Jun?" Bertanya di sela sedu-sedan.

Juna hanya bisa menepuk-nepuk punggung itu. Meski pertanyaan itu mau tak mau membuat Juna sadar kalau seseorang memang sengaja membakar rumah itu. Sekarang bukan waktunya untuk menuruti emosinya. Ketenangan Vian jauh lebih penting saat ini.

***



Rabu, 04/09/19
Revisi: 13.12.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top