21. Mixed Feeling
Si Kembar langsung menghambur begitu Juna turun dari ojek online. Tadi, ketika ojek yang Juna tumpangi berhenti di depan gerbang yang sedikit terbuka, si Kembar yang sedang bermain air di kolam plastik langsung melempar bebek mainan dan berlarian menyambut ayah sekunder mereka.
Juna kewalahan menerima pelukan si Kembar. Dia nyaris terjengkang. Salahnya juga yang berjongkok dan membiarkan si Kembar mengalungkan tangan di leher. Melupakan jika kaus dan celana Juna ikutan basah. Anak-anak ini merindukannya, itu yang lebih mengharukan.
Mbak Nana keluar membawa mangkuk. "Eh, udah pulang, Jun? Udah kayak Bang Toyib aja. Pagi masih keliatan di kos. Sorenya langsung ke Bali, tiga hari pula. Itu anak-anak gue rewelnya ampun-ampunan."
Juna nyengir sambil mencoba melepaskan diri. Si Kembar mau makan siang dan dirinya ingin merebahkan punggung di kasur. Untunglah si Kembar bisa dibujuk. Setelah mendengar panggilan mamanya dari teras, mereka memenuhi panggilan dengan baik. Juna bernapas lega. Tidak perlu ada drama dadakan seperti si Kembar yang memalak es krim sekarang juga. Sehingga dia bisa istirahat.
Sebelum melangkah ke kamar kosnya, Juna menuju teras itu. Mengeluarkan plastik dari dalam ranselnya. Meletakkannya di meja dekat Mbak Nana duduk. "Oleh-oleh dikit, Mbak."
"Wah, ngerepotin. Makasih banyak, Jun."
Si Kembar sudah berkerumun di dekat kakinya. Tandanya Juna harus segera pergi dari sana sebelum mereka berubah pikiran dan bukannya makan siang disuapi mamanya malah ikut Juna tidur siang-seperti yang sudah-sudah.
"Om!" Entah Dafa atau Rafa yang memanggil.
Ya ampun.
"Apa?" Juna menoleh, urung memasukkan kunci ke lubang pintu.
Nyengir lebar dengan kompak. "Es klim!"
Tuhkan.
Beruntung Mbak Nana langsung menimpali. "Om Juna capek, Daf. Biarin istirahat dulu. Nggak sedih kamu lihat muka Om Juna pucat gitu?"
Si Kembar langsung menatapnya iba. Berbeda dengan sedetik lalu yang memasang wajah andalan ketika minta jajan es krim. Anak-anak itu ternyata sudah mengerti.
Melihat muka si Kembar yang nyaris mewek, Juna tak tega juga. "Iya, Om tidur bentar ya. Nanti sore beli es krim deh."
Si Kembar masih menatapnya iba. Tapi mengangguk juga. Dasar.
"Jun, nanti minta uangnya ke bapaknya anak-anak." Mbak Nana berpesan sebelum Juna membuka pintu dan melangkah masuk. Juna tidak mengiakan.
Menepati janji, sorenya dia muncul di pintu dengan menggaruk rambut, menguap sekali dan memindai mencari keberadaan si Kembar. Sore begini biasanya sudah mandi dan cemong-cemong penuh bedak sebadan sewajah-siap digoreng.
Rambut si Kembar klimis rapi. Harum minyak telon dan bedak memenuhi rumah itu. Si Kembar langsung lompat dari sofa ruang tamu. Siap diajak jajan ke minimarket.
Juna masih gembel; celana jins berwarna pudar selutut dan kaus hitam tanpa lengan. Badannya juga bau kecut. Sungguh berbanding terbalik dengan si Kembar. Tapi bodo amat. Mereka nggak protes ini. Senang-senang saja ketika melangkahkan kaki melewati gerbang. Berebutan menggandeng tangan Juna.
Kasir yang berjaga sampai heran. Dia mengenal siapa bapak si Kembar ini, tapi seringnya dia menemui Juna yang mengajak mereka jajan.
"Bapaknya pelit." Juna menjawab asal ketika ditanya sungguhan. "Kenapa sih? Anggap aja mereka anak gue."
Andaikan Mas Rizki mendengar ini, pasti Juna kena tampol sendal.
Sambil menunggu ritual si Kembar yang memutari minimarket sepuluh kali-oke, bercanda-Juna mengeluarkan ponsel. Menyandarkan pinggang di lemari frozen food yang berada di pojokan. Membuka chat di grup, kira-kira dua jam lalu ketika dirinya masih tidur.
Danisha: guys
Nina: yes?
Vian: kenapa, Dan?
Danisha: gw putus sm mas dewa
"Anjir!" Juna kelepasan mengumpat. Mengabaikan jika semua mata pembeli dan juga kasir, mengarah padanya dengan tatapan jengkel karena dibuat kaget.
Nina: kenapa setajir itu lo lepas?!!!
Vian: ada masalah? kalian berantem?
Nina: sori, gw ralat. kenapa sebaik mas dewa lo lepas?
Danisha: gpp
Juna ingin mengumpat lagi. Jawaban model apa itu? Danisha ini jarang curhat. Eh, sekalinya curhat ngeselin. Mana lewat chat pula. Nggak sesabar itu apa meminta semua sahabatnya kumpul dulu lalu baru cerita? Ini namanya ngerusak aturan curhat. Ketika semua sahabat udah excited, dijawab dengan pendek nan lempeng. Juna bisa jamin jika Nina sudah menggigit ponsel saking kesalnya. Kalau Vian, dia pasti kalem. Juna tak perlu berpikir macam-macam.
Nina: JWB YG BENER!
Vian: sabar, Nin
Danisha: ya emg putus, udah, selesai. gk perlu diceritain
"Mas, maaf ...."
Kegiatan Juna membaca chat terinterupsi. Dia mengangkat wajahnya dari ponsel. Ada satu Mbak-mbak yang tampak tersenyum sungkan.
"Oh, maaf, Mbak." Juna lekas menyingkir. Pindah ke rak bagian roti. Si Kembar belum selesai memutari minimarket.
Chat hanya sebatas itu. Tak lama setelahnya, panggilan dari Vian datang.
"Jun, masih di Bali atau udah balik?" Terdengar hati-hati bertanya.
"Udah balik."
"Aku shareloc ya."
Eh, shareloc apaan? Juna bingung. "Maksudnya?"
"Biar gue yang ngomong, Vi." Terdengar suara lain. "Ini Danisha, Jun. Kita lagi di rumah sakit."
Mendengar kata rumah sakit, membuat Juna mau tak mau langsung panik. Setelah mendapat kabar Danisha putus dengan Dewa, dan sekarang sahabat-sahabatnya ada di rumah sakit? Danisha kebetulan tidak habis menenggak pembersih lantai atau obat serangga, 'kan?! Eh tapi dari suaranya terdengar baik-baik saja.
"Siapa yang sakit?!" Suaranya meninggi. Si Kembar tergopoh mendekat mendengar om-nya berteriak. Mengerjapkan mata dengan bingung.
"Nina."
"Di rumah sakit mana?"
Danisha menyebutkan sebuah nama rumah sakit besar di ibu kota. Lalu mengakhiri sambungan. Juna mengajak si Kembar ke kasir, buru-buru pulang, dia harus segera ke rumah sakit.
***
"Gimana kalau Juna ngamuk, Dan?" Vian menggigit bibir, cemas. Dia paling tidak suka melihat Juna yang kalap dan lupa diri. Menjadi sosok yang asing di matanya.
"Itu tujuan gue, Vi. Juna emang harus ngamuk." Danisha mengembalikan ponsel Vian.
"Tapi-"
Danisha menepuk bahu Vian. "Tenang aja."
"Mana bisa tenang?"
"Lo takut yang mana nih? Nina kena marah sama Juna? Atau Juna ngamuk ke Rian dan kemungkinan Juna juga babak belur?"
Vian ingin menangis rasanya. "Dua-duanya!"
"Ya udah lihat nanti. Juna udah otw." Danisha masih bisa tenang. Mereka meninggalkan balkon lantai dua. Kembali ke ruangan Nina.
"Udah ngomong sama dokternya?" Begitu pintu ruangan terbuka dari luar, Nina langsung menagih janji Danisha. "Gue dibolehin pulang sekarang?"
"Besok pagi."
"Gue penginnya sekarang, Dan!"
Vian mendekat, mengusap bahu Nina. Menenangkan. Jangan sampai mereka bertengkar di sini karena Danisha sudah mengernyit kesal.
Tak lama, pintu terbuka. Semua kompak menoleh ke sana. Nina seketika lemas melihat siapa yang muncul di balik pintu. Seharusnya dia tahu jika cepat atau lambat, Juna akan datang dan Nina harus siap jika kena marah atau amuk.
Danisha maju ketika Juna melangkah masuk, menahan lengannya. "Plis, jangan marah sekarang-"
Terlambat. Rahang Juna sudah mengeras. Dia menatap tajam Nina yang terpekur duduk di ranjang, siap menerima penghakiman.
"BEGO APA GIMANA SIH, NIN?!"
Semua terdiam. Danisha pelan-pelan melepas tangannya dari lengan Juna, terkejut. Vian juga gentar di tempatnya berdiri, beralih duduk di ujung ranjang. Memegang dadanya sendiri. Tidak berani menatap Juna.
"Iya, gue bego. Lo malu punya sahabat bego kayak gue?" Nina bersuara serak. Memberanikan diri membalas kalimat Juna.
Demi apa pun, Juna sakit hati melihat Nina dalam keadaan seperti ini. Sudut bibir pecah, lebam di sudut mata dan pelipis. Lelaki banci seperti Rian kenapa masih dicintai juga? Otaknya Nina ditaruh di mana? Kenapa begonya orang se-Indonesia diborong sendiri?
Dan apa tadi? Malu? Boro-boro memikirkan malu. Juna saja kewalahan menahan sesak amarah yang memenuhi dada.
Takut jika emosinya makin tak terkontrol di dalam ruangan, Juna berbalik cepat. Tidak. Dia tidak membanting pintu. Dia masih sadar ini di mana, meski teriakannya tadi mungkin membuat kaget siapa pun yang lewat di depan ruangan.
"Jun, mau ke mana?" Danisha menyusul. Mengimbangi langkah kaki Juna yang lebar-lebar, menuju parkiran mobil. Pertanyaan retoris. Dia tahu Juna akan ke mana.
Diabaikan. Danisha mempercepat langkah, menghadang persis di pintu mobil. Mencari fokus di mata Juna, yang sialnya tak bisa dia temukan. Dia menarik kembali ucapannya. Sama dengan Vian, Danisha nyatanya tidak bisa melihat Juna kalap.
"Jun, tenang dulu, oke? Nggak semua masalah bisa diselesaiin dengan baku hantam."
"Oh maksudnya langsung lapor polisi aja?" Dengan nada sarkastik.
Danisha menelan ludah. Juna ada di mode tak bisa dibujuk. Seharusnya Danisha minggir sekarang juga, tapi dia masih bertahan. Berharap jika Juna akan berubah pikiran dan urung melakukan apa yang ada di kepalanya.
"Gue nggak mau lo urusan sama Rian lagi."
"Kenapa? Gue pastiin cuma dia aja yang bonyok."
"Juna!"
Juna maju. Tanpa berkata melingkarkan kedua tangan di bahu Danisha, nyaris memeluk perempuan itu. Tapi alih-alih memeluk, Juna memutar posisi mereka dan masuk ke dalam mobil secepat mungkin.
Kaca mobilnya digedor-gedor, tapi Juna memundurkan mobilnya dengan tenang. Menekan gelegak emosi. Memacu mobil dengan kecepatan penuh, menuju salah satu kelab di tengah kota. Tak banyak butuh waktu untuk mobilnya tiba di pelataran kelab. Juna mengempaskan pintu mobil, berderap menuju pintu masuk. Matanya nyalang mengedar di ruangan yang minim cahaya itu. Sementara musik berdentam-dentam memenuhi gendang telinga.
Begitu menemukan profil yang dia cari, Juna melangkah dengan tangan terkepal. Buku-buku jarinya memutih. Napasnya memburu.
Ketika langkahnya tinggal sejengkal, bersamaan dengan sosok itu yang menoleh. Setengah mabuk sambil menunjuk Juna. Mulutnya hendak terbuka, menyapa, tapi kalah cepat dengan pukulan Juna yang menyarang di rahangnya.
Rian terdorong hingga meja bar. Gelas-gelas di meja berhamburan. Pecah di lantai. Menimbulkan ricuh seketika. Juna yang belum puas, mencengkeram kerah Rian dan menariknya bangun. Hanya untuk mendapati wajah itu menyeringai dengan darah mengalir di sudut bibir.
"Ah, pasti Nina." Rian tertawa, meski tawanya teredam oleh musik yang memekakkan telinga. Tangannya mengibas pelan ke petugas keamanan yang mendekat, menahan mereka.
"MASIH BERANI LO NYEBUT NAMA DIA?" Juna benar-benar lepas kendali. Dia nyaris mencekik Rian.
Tapi yang dicekik justru makin tertawa. Menertawakan kebodohan Juna. "Jun, Jun. Jangan bego jadi orang."
"Sekali gue lihat lo berani munculin batang hidung lo di depan Nina, gue nggak segan buat habisin lo!"
Rian tergelak, kali ini tanpa suara. Oh, astaga. Sahabat Nina yang satu ini membuatnya gemas, alih-alih kesal. Lupakan soal bibirnya yang pecah atau malu yang mesti dia tanggung karena semua mata kini tertuju padanya. Ada yang lebih penting dari itu.
Dalam sekali sentak, Rian berhasil lepas dari cekalan Juna. Dia mengusap kedua bahunya sendiri. Seolah mengibaskan debu dari sana. Dia kemudian kembali ke wajah Juna yang merah padam.
"Lo tahu-" Terpotong oleh pukulan yang Juna kembali layangkan. Telak mengenai rongga hidungnya.
Oh, sungguh sialan. Rian menyeka darah yang menetes dari hidung sambil memaki. Dia tidak akan sesabar ini jika tidak ingat kalau Juna pernah mengenal baik. Iya, mereka memang bersahabat. Tapi semua berubah ketika Rian mengetahui sebuah rahasia kecil yang melukai egonya.
Juna hendak menerjang Rian yang tersungkur di lantai ketika dua petugas keamanan akhirnya bergerak. Menarik kasar Juna agar meninggalkan kelab.
"Tunggu. Saya belum selesai dengan dia." Rian berdiri, mencegah Juna yang hendak diseret keluar.
Mereka melepas cekalan di kedua lengan Juna.
Rian mendekat dengan seringai tipis. "Nina ngadu ke lo gimana? Lo tanya nggak kenapa gue mukul dia? Lo tanya kenapa kami harus bertengkar lagi? Gue muak lihat dia. Muak karena dia nipu gue untuk kedua kalinya! Sialan!"
"Nggak usah cari pembenaran, Berengsek!"
"Gue nggak akan segininya kalau Nina bisa terima gue dan nggak mencintai lelaki lain. Man, gue kasih dia kesempatan kedua. Gue jaga rahasia sialan yang dia punya. Tapi lihat apa, dia nggak berubah! Dia nyakitin gue setelah semua yang gue kasih. Dia nginjak harga diri gue. Persetan soal cinta! Asal lo tahu, dia yang datang ke gue. Bukan gue yang ngemis ke dia. Lo camkan baik-baik, dia yang datang ke gu-"
Juna merangsek maju. Kembali mencekal kerah kemeja Rian. Matanya menggelap oleh amarah. "Lo nggak lebih dari banci yang nyari pembenaran atas sikap tempramen lo!"
Emosi Rian akhirnya tiba di puncak. Dia sudah mencoba menahan diri. Tapi Juna terus memprovokasinya. Dia balas tatapan itu tak kalah tajam. Bibirnya menggumam satu kalimat yang mampu membuat Juna membeku-udara di sekitarnya seperti terampas dan keramaian seakan mencekiknya. Pijakannya di lantai melemah. Kalau saja dia diberi waktu lebih lama untuk menelaah semuanya.
Namun, pemahaman itu cepat sekali sampai di kepalanya. Terlalu cepat, hingga rasanya dia tidak sanggup dijatuhi bom waktu itu.
Di antara ingar-bingar, dentum musik yang tak pernah kehilangan tempo, Juna mundur. Melepas tangannya begitu saja. Berbalik dengan pikiran kosong dan satu kalimat yang terputar di benaknya.
***
Lorong rumah sakit sudah sepi. Hanya satu-dua suster yang tampak berlalu-lalang. Televisi di ruang tunggu yang dia lewati masih menyala. Dengan langkah gontai, Juna menuju ruangan tempat Nina dirawat. Sempat berhenti lama di depan pintu. Mengusap wajahnya yang pias. Seminggu ini banyak sekali yang menjejal di kepalanya. Dan kali ini, Juna tidak tahu harus apa. Tapi yang jelas, dia harus menemui Nina.
Maka, dibukanya pintu ruang inap itu dengan hati-hati. Takut membangunkan Nina yang mungkin sudah terlelap. Tidak ada siapa-siapa di ruangan. Danisha dan Vian mungkin sedang membeli kopi. Juna kembali menutup pintu tanpa menimbulkan bunyi. Duduk di kursi tanpa menimbulkan banyak suara.
Dalam diamnya, dia menatap punggung Nina dengan segala kecamuk perasaan yang Juna gagal atasi.
Mulut Juna terlalu kelu untuk memulai sebuah kalimat. Dia akhirnya tergugu di kursi. Mengusap wajah lagi. Menghalau air mata yang ingin menetes. Juna rasanya masih belum percaya dengan apa yang dia dengar. Di dalam mobil tadi, dia berpikir panjang. Mencoba memilah ingatan. Memutar semua momen yang dia kenali, lantas sampai di kesimpulan yang justru ingin dia sangkal mati-matian.
"Nin, kenapa mesti gue?"
Senyap. Jeda yang cukup panjang. Setiap tarikan napas yang membuatnya semakin sesak oleh perasaan yang tidak dia mengerti.
"Apa hebatnya seorang Juna sampai lo mencintai dia segininya?"
Dengan mata terpejam, jemarinya pelan meremas seprai putih di bawah bantal. Keningnya berkerut dalam. Menyangkal apa yang baru saja dia dengar. Tapi di sisi lain, dia tidak ingin membuka mata dan menemukan kenyataan itu tepat berada di balik punggungnya.
Seseorang juga berdiri persis di depan pintu semenit yang lalu. Dari celah yang tercipta karena pintu yang urung dibuka, dia diam-diam meremas gagang pintu. Mencari pegangan. Menghela napas tertahan.
***
Tebak, siapa yg ada di balik pintu? 😚
Rabu, 28/08/2019
Revisi: 10.12.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top