20. Take Me Home, Juna!
Gorden berkerit ketika Juna menyibaknya hingga terlihat pemandangan pantai yang memanjakan mata. Tidurnya semalam tidak nyenyak. Kalian tahu apa yang membuatnya hanya berguling dari satu sisi kasur ke sisi yang lain. Ya, pertemuan dengan mamanya kemarin ternyata tak semudah itu dilupakan hanya dengan terbang ke Bali. Juna bahkan masih bisa mengingat ekspresi dingin di wajah Mama yang tak sudi menatap ke arahnya.
Masih sama menyakitkannya dengan lima tahun yang lalu. Lebih baik dipukul agar badan merasakan sakit, besok-besok luka akan mengering, bukan pengabaian yang justru membunuh hati seperti ini. Menciptakan luka yang sampai kapan pun masih menganga ... kecuali ada sebentuk maaf. Juna tersenyum. Masih berdiri di depan jendela. Mengatai pemikirannya sendiri soal maaf.
Bali mulai menggeliat. Pantai mulai ramai oleh turis dan masyarakat lokal. Hidup terus berjalan meski kemarin atau semalam mereka dirundung sedih oleh masalah hidup. Hari terus berganti, tak pernah memberi jeda istirahat. Atau merenung menatap langit-langit kamar sepuasnya.
Rutinitas dan kewajiban memanggil. Memaksa bangun dari kasur, peristirahatan sesaat dari bisingnya dunia. Tapi, nyatanya, di atas kasur pun, bisingnya dunia ikut merebah di samping. Siap membangunkan tatkala pagi datang lebih cepat dari yang diinginkan.
Sama halnya dengan Juna. Dia harus bangun dari tidur tidak nyenyaknya ketika alarm di ponsel menjerit.
Meninggalkan jendela, dia melangkah ke kamar mandi. Satu jam lagi dia harus sampai venue. Acara gathering sebuah perusahaan outsourcing besar di ibu kota. Semalam, Juna tak sengaja satu pesawat dengan salah satu staf perusahaan yang terpaksa pisah dari rombongan karena mengurus hal lain lebih dulu.
Kebetulan yang lain, mereka menempati hotel yang sama. Karena hotel yang dipakai rombongan perusahaan sudah penuh.
“Hai, Jun.” Amelia menyapa. Terlalu banyak kebetulan. Kamar mereka pun bersebelahan.
“Oh, hai, Mel.” Juna membenarkan belakang sepatunya yang menyangkut. Mengobrol selama di pesawat, Juna tahu kalau mereka sepantaran.
Berbanding terbalik dengan Juna yang berusaha mengusir wajah lelahnya, Amelia seakan punya banyak energi. Rambutnya pendek, sebahu. Pipinya tembam. Mata besarnya berbinar. Sekilas saja sudah ketahuan kalau perempuan ini punya vibe yang positif. Tiga jam lebih mengobrol, meski suasana hati Juna luar biasa buruk, sangat terbantu oleh Amelia yang memosisikan diri sebagai teman mengobrol yang menyenangkan.
Amelia, lulusan terbaik di fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan, tapi memilih mengkhianati jurusan. Dari yang seharusnya menjadi tenaga pengajar, banting setir menjadi staf HRD. Juna jadi ingat salah satu potongan obrolan mereka di pesawat.
“Dosenku bilang kalau guru adalah panggilan hati, bukan profesi.”
“Terus?”
“Dari sana, aku kayak ketampar, Jun. Mana udah telanjur nyemplung. Mau pindah jurusan, udah nggak memungkinkan kecuali ngulang dari semester awal. Waktu itu udah mau skripsi sih. Jadi, telat banget sadarnya.” Amelia tertawa renyah. Kalau dipikir-pikir, perempuan ini suka sekali tertawa. Sedikit-sedikit tertawa. Mengingatkan Juna akan sosok Yasmin. Perempuan itu sedang apa ya?
“Sadarnya kok bisa telat?” tanya Juna, sekaligus mengalihkan pikirannya sendiri.
“Punya temen yang asyik-asyik. Waktu nggak berasa. Tahu-tahu udah kelewat aja.”
Iyalah, jelas teman-temannya asyik. Orang dia-nya aja nyenengin begini.
“Pas awal masuk jurusan, kayak gambling apa gimana?”
“Bukan sih. Tapi nurutin keinginan almarhum Papa. Ya sebenarnya nggak dipaksa kok. Cuma aku mau berani nyoba aja. Tahunya, aku memang nggak ada jiwa guru sama sekali. Kalau ditanya nyesel apa nggak. Iya, nyesel. Tapi aku ambil sisi baiknya aja. Papa nangis bangga pas aku wisuda, jadi lulusan terbaik juga. Aku bahagia banget, Jun.”
“Kamu nggak punya impian yang lain? Maksudku, impian kamu sendiri, yang harus kamu korbankan demi masuk ke jurusan yang diinginkan papamu.”
“Jadi kuli tinta.” Amelia tersenyum lebar. “Nggak terlalu aku korbankan kok. Nanti kesannya malah aku nggak ikhlas. Ya coba diimbangin aja. Kadang, apa yang kita pengin nggak mesti terkabul ‘kan, Jun?”
Juna ikut tersenyum.
“Siapa tahu dalam perjalanan, impian kita nggak cuma satu, bisa nambah jadi dua atau tiga.”
“Wah, berarti udah happy sama kerjaan sekarang?”
“Nyaman,” jawabnya yakin.
Lamunan Juna buyar ketika mobil jemputan sudah berhenti di bungalo, yang jaraknya sekitar tiga kilo dari hotel tempat mereka menginap. Juna yang hendak mencari ojek online, ditawari untuk ikut mobil sekalian.
Suara tawa Amelia kembali terdengar meski mereka berjalan memisah ketika turun dari mobil. Juna berhenti, menoleh sebentar. Menatap punggung yang sedang mengobrol dengan penjaga bungalo.
Kalau kalian penasaran Amelia ini seperti siapa. Dia sedikit mirip dengan Putri Titian. Hanya saja dengan tubuh yang lebih tinggi. Kalau pipi tembam dengan lesung pipinya, hampir sama.
***
“JUNA!!!”
Seperti biasa, Nina suka sekali berteriak kalau sedang kesal. Juna segera mematikan panggilan. Dia masih di lobi hotel, baru pulang dari bungalo. Kali ini tanpa gladi bersih. Dia hanya ingin tahu tata letak panggung saja. Mempelajari rundown acara, juga menelepon Siska soal wardrobe yang akan dia kenakan nanti. Yang ternyata sudah disiapkan oleh sang empu acara.
Acaranya cukup sederhana, nanti akan ada jamuan makan malam dan sambutan-sambutan dari petinggi perusahaan. Besoknya, mereka outbound di salah satu tempat oleh-oleh besar di Bali yang juga menyediakan banyak fasilitas. Lalu ditutup dengan makan siang bersama. Untuk hari ketiga, merupakan bonus. Mereka bebas stay hingga hari ketiga atau ikut rombongan pulang di hari kedua. Jelas, pilihan pertama lebih menggiurkan. Mereka bisa mengunjungi banyak tempat lagi.
Juna pulang ke hotel diantarkan lagi oleh mobil sewaan perusahaan. Baru sampai lobi, ponselnya bergetar, nama Nina muncul di layar. Sedetik kemudian, dia menyesal sudah mengangkat telepon Nina. Jeritannya membuat Juna nyaris membanting ponsel di lantai pualam lobi.
Begitu di dalam lift, Juna melakukan video call. Wajah cemberut Nina muncul memenuhi layar.
“Jahat banget sih, ke Bali nggak bilang-bilang.”
“Kalau bilang, emangnya mau ikut?”
“Ya nggaklah.” Nina menyibak rambutnya. “Gue baru balik pemotretan Subuh tadi.”
“Terus tahu gue di Bali dari siapa?”
“Gue telepon si Siska. Orang yang selalu tahu lo ada di mana.”
“Iya, di Bali tiga hari. Ambil job dadakan.”
“Tumben mau?”
“Kejar setoran.”
“Sombong amat. Lo beli mobil aja kagak nyicil, langsung lunas.”
Juna terkekeh. “Anak istri gue butuh makan.”
“Halu.” Layar kemudian berganti dengan jendela besar yang masih tertutup gorden. “Gue ganti baju dulu bentar. Awas ngintip.”
“Bra lo item, ya?” Juna mengeluarkan kartu akses. Terdengar bunyi bip dan Juna mendorong handle pintu. Iseng saja melontarkan kalimat itu. Nina ini. Tidak akan marah dan mengatainya mesum.
“Anjir! Kok tahu?”
“Gue pernah deh nemenin lo beli bra. Beli selusin item semua.”
Nina tertawa. Wajahnya muncul kembali di layar. Rambutnya ternyata masih basah. Sudah mandi rupanya. Baju tidur piama sudah berganti kaus putih.
“Mau nyari brunch?” Juna bertanya seraya mengempaskan tubuh di kasur.
“Iya. Enaknya brunch apa?”
“Nasi padang.”
“Ide bagus.”
“Tapi pakai jaket atau apa kek. Itu nyiplak begitu.”
“Iya, Suamikuh.” Nina menghilang lagi dari layar. Juna meletakkan ponselnya, berguling untuk mengambil sekaleng soda di kulkas. Terdengar suara mendumal. “Lagaknya udah kayak suami aja.”
Membawa kaleng soda dan ponsel mendekat ke jendela. Sesekali menyesap soda sambil menunggu Nina mengakhiri video call.
“Habis brunch, gue mau ke salon sama Vian.” Hanya suara, tanpa wajah.
Juna menggumam, mengiakan.
“Pengin ngajak Danisha tapi takut doi sibuk sama Mamas Dewa.”
Juna tersedak soda.
“Cemburu, Bang?” Nina muncul di layar dengan outer cokelat.
“Siapa juga—”
“Muke lu sejak ketemu Dewa berkata sebaliknya. Cemburu ya cemburu aja,” potong Nina telak. Dia melambaikan tangan. “Udah ya, Jun. Gue tutup. Ganggu lo ah. Gue jadi telat nyari sarapan.”
Juna memutar mata bosan. Siapa juga yang duluan meneleponnya?
***
Satu panggilan masuk persis ketika semua penumpang pesawat mulai mengisi kursi-kursi, beberapa pramugari tampak sibuk membantu para penumpang menaikkan barang bawaan atau ransel ke bagasi atas. Menjawab beberapa pertanyaan. Sementara semua kesibukan itu tiba-tiba tak terdengar di telinga Danisha tatkala otaknya sedang mencerna sebuah kabar yang baru saja dia dengar.
Diucapkan dengan hati-hati oleh seorang suster yang biasa menelepon untuk mengabari kondisi terbaru Mama. Kali ini, kabar buruk datang. Bukan lagi tentang kondisi Mama yang menurun. Ini ... ini tidak sesederhana itu.
Danisha tersentak oleh sebuah tepukan di bahu. Kesadarannya kembali. Dia panik seketika. Bersamaan dengan air mata yang berkejaran turun. Yuan, salah satu kru band yang kebetulan duduk di sebelahnya, bertanya panik.
“Kenapa, Dan?”
“Gu—gue mesti turun ....” Terbata-bata.
“Lo kenapa?”
“Gue mesti ketemu Mama.”
“Tapi kita udah—”
“Gue harus ketemu Mama!”
Melihat kepanikan Danisha, Yuan bisa menebak apa yang sudah terjadi. Dia berdiri, membantu bicara dengan manajer mereka yang duduknya terpisah beberapa kursi. Sementara Danisha sudah berdiri, menarik ransel yang memang masih dia pegang sendiri. Beberapa kru band ikut mendekat, heran melihat Danisha yang justru meninggalkan kursinya di saat semua penumpang sudah duduk nyaman menunggu lepas landas.
Yuan membantu menjelaskan pada seorang pramugari. Danisha tak sempat berpikir yang lain selain menuju pintu, berlarian melewati garbarata. Bahkan tidak sempat berpikir untuk menjelaskan situasinya sekarang. Berterima kasih pada Yuan yang sangat peka.
Berkali-kali menabrak bahu yang berlalu-lalang di bandara, Danisha tak sempat berhenti untuk meminta maaf. Pikirannya hanya satu. Bagaimana caranya dia sampai di rumah sakit dalam waktu yang cepat.
***
Sudah dini hari ketika Juna tiba di rumah besar salah satu kerabat Danisha. Kursi-kursi plastik masih berada di halaman. Karpet-karpet belum digulung dari ruang tamu. Juna bertemu Nina dan Vian di ruang tengah. Duduk saling menggenggam tangan. Baru terurai ketika Vian berdiri dan memeluk Juna.
“Danisha?” Juna melepas pelukan Vian.
“Di teras belakang.”
Juna langsung melangkah ke sana. Mendapati Danisha yang duduk memeluk lutut di undakan. Juna sengaja berhenti satu undakan di atas Danisha, duduk di sebelah kanan, belum mengucapkan sepatah kata. Sedang berusaha membaca situasi. Tentu saja perempuan di depannya ini sadar ada orang yang menyusul duduk di belakangnya.
Bahu itu terkulai, tak tegar seperti biasanya. Punggung itu terlihat rapuh, sekali sentuh saja mungkin akan runtuh. Juna dan orang lain bisa melihat jika dunia milik Danisha sedang dilanda badai. Dan pemiliknya, entah sedang berusaha meredam badai atau justru pasrah menunggu hingga badai berlalu.
Juna tak tahan dengan kesenyapan yang tercipta. Dia ingin memecah gelembung milik Danisha. Jika pun tangisan yang kemudian dia temui, dia akan memberi tempat paling nyaman untuk perempuan itu menangis.
“Dan, sori, gue telat. Gue memang dapat tiket di menit terakhir, tapi delay hampir empat jam.”
Kepala yang semula menunduk, mulai sedikit terangkat. Andaikan perempuan ini tahu bagaimana Juna hampir mengamuk di bandara. Lepas kendali dan nyaris diseret ke pos keamanan karena secara tidak langsung memprovokasi penumpang lain dengan membuat keributan.
“Jun ....” Wajah sembap itu menoleh perlahan.
Hati Juna seperti diremas demi melihat gurat sedih yang tergambar jelas itu. Pipi yang membekas air mata, terlihat sudah diusap berkali-kali. Sepasang mata sayu yang memerah dan lelah.
Danisha bertanya serak. “Kapan sampai?”
“Barusan,”
“Jun—”
Panggilan itu membuat Juna memberikan seluruh fokusnya pada sepasang mata Danisha. Mencari jawaban di sana, apakah perempuan itu ingin sekadar ditemani saja atau mendengar kalimat-kalimat penghiburan yang setidaknya mampu mengalihkan sebentar.
Juna berdiri, turun satu undakan, dan duduk di sebelah Danisha. Merangkulkan satu tangan di bahu itu dengan hati-hati. Perempuan ini memilih untuk ditemani saja. Danisha yang selama ini dikenalnya sebagai sosok yang tangguh, pasti memilih untuk menangis sendiri dan menutup telinga dari semua kalimat klise tentang kehilangan.
Terkadang, Juna seperti melihat dirinya sendiri dalam diri Danisha. Secara tidak langsung, dia mengetahui apa yang tak terucap. Apa-apa yang hanya tersembunyi di sudut hati dan tak ingin semua orang tahu. Menelan sendiri semua sedih dan sakit. Memeluk luka itu erat-erat, menganggapnya sebagai bagian dari hati yang harus ada. Manusia mana bisa memilih kapan merasa senang dan sedih. Semuanya amat tiba-tiba.
Kepala berat Danisha pelan luruh di bahu Juna. Meletakkan beban yang sejak tadi menghimpitnya. Gejolak di batinnya mulai reda. Badai itu perlahan surut. Yang tersisa hanya angin yang bertiup tenang, membawa sisa-sisa debu.
“Jun, besok-besok kalau gue tersesat, bawa gue pulang ya.”
“Lo nggak akan tersesat.”
“Kalau gue tersesat—”
Juna memotong. “Gue akan menemukan lo secepat yang gue bisa.”
***
Mobil yang lain juga merapat di depan pagar itu beberapa menit kemudian. Dengan tergesa, Dewa melangkah masuk. Menyalami beberapa orang, yang dia tebak kerabat Danisha, sebelum dihadang Nina di ruang tamu.
“Mas Dewa bukannya lagi di Malaysia?”
“Aku sempatkan pulang.” Matanya memindai sekitar. “Danisha di mana? Udah tidur?”
“Belum. Ada di teras belakang sama—” Kalimat Nina terpotong begitu saja karena Dewa melangkah melewatinya dan menuju teras belakang. Tak sabar menemui Danisha. Perempuan itu membutuhkan kehadirannya ...
atau sebaliknya?
Langkah Dewa terhenti persis di ambang pintu. Matanya menangkap dua punggung di undakan.
“Jun, besok-besok kalau gue tersesat, bawa gue pulang ya.”
“Lo nggak akan tersesat.”
“Kalau gue tersesat—”
“Gue akan menemukan lo secepat yang gue bisa.”
Sebuah sentuhan terasa di lengannya. Dewa menoleh, wajahnya kentara bingung. Vian mengerti situasi ini. Dewa mungkin saja salah sangka dengan apa yang baru saja dilihat dan didengarnya. Vian memberi isyarat untuk meninggalkan pintu itu dan mengajak Dewa duduk di ruang tengah. Membiarkan lelaki itu tenang sebentar.
Nina yang tak sabaran, sudah angkat bicara. Menjelaskan situasi. “Danisha sejak tadi nggak bisa diajak bicara, Mas. Juna juga baru datang dari Bali. Kami sadar, di antara kami, hanya Juna yang bisa mengajak Danisha bicara.”
Dewa menghela napas. Mengusap wajahnya yang lelah.
“Mas Dewa jangan salah paham dengan Juna.” Vian akhirnya bicara, setelah memilih kalimat yang pas. “Kami berempat sudah seperti saudara. Apa yang Mas Dewa lihat dan dengar, sudah menjadi bagian dari kami selama sepuluh tahun lebih.”
“Iya, aku mengerti.” Dewa mencoba tersenyum. Dia tahu jika dua sahabat Danisha ini hanya khawatir saja jika dirinya akan salah paham. “Yang terpenting Danisha udah tenang, aku juga ikut lega.”
Dewa menatap pintu itu sekali lagi. Mencoba menepis hal-hal yang sempat melintas di kepalanya.
***
“Seriusan nggak ada yang bisa gantiin?”
“Nggak bisa.” Juna mengusap wajah, membersihkan sisa air setelah dia cuci muka. Meraih ponsel di meja, berniat memesan ojek online.
Pukul tiga dini hari. Danisha masuk ke kamar setelah dibujuk Juna. Dia boleh bersedih, tapi harus tetap ingat kesehatan. Sangat kontradiktif dengan Juna sendiri yang hampir tak tidur dua hari ini.
“Nggak usah. Kita anter. Sekalian pulang.” Nina menghentikan gerakan jempol Juna di layar ponsel.
“Tapi bandara kan nggak searah sama rumah kalian.”
“Jun, nurut deh. Udah pagi juga, jangan ngajak berantem.” Vian membujuk sebelum Nina marah.
“Oke, oke.” Juna mengalah. Sebelum meninggalkan ruang tengah itu, dia menatap pintu kamar yang tadi dimasuki Danisha.
Sepanjang perjalanan, Juna pasrah menjadi penumpang di jok belakang. Menyandarkan sebentar punggungnya yang lelah, kemudian memejamkan mata.
Vian sering menoleh, hanya untuk memastikan tidur Juna masih lelap. Bahkan dalam tidurnya, wajah itu masih terlihat sangat lelah.
“Jam berapa tadi pesawatnya Juna?” Nina bertanya setelah tiba di parkiran. Mematikan mesin mobil dan melirik dari spion tengah.
“Jam lima kurang lima belas.” Vian melirik jam digital di atas dasbor. Masih pukul empat. Juna masih punya waktu untuk tidur.
Nina melepas sabuk pengaman. Melipat kedua kakinya ke atas kursi. Meraih ponsel dan membuka media sosial. Sementara Vian menatap kesibukan bandara dari kaca di sampingnya.
***
Setelah baca bab ini, kalian tim yg mana:
#JunaDanisha
#JunaNina
#JunaVian
#JunaAku
Rabu, 21/08/2019
Revisi: 09.12.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top