18. Broken Heart?
Rabu pagi, Juna sedang mencuci mobilnya di halaman kos sambil bersenandung. Dibantu oleh si Kembar. Ralat. Bukan dibantu. Lebih tepatnya direcoki. Juna harus berseru beberapa kali ketika selang air justru dijadikan mainan tembak-tembakan. Juna bahkan kena beberapa kali, kaus dan celananya basah.
Jangan tanya si Kembar bagaimana, sudah basah kuyup mereka. Tinggal menunggu Mama mereka kelar memasak dan bisa dipastikan akan marah besar ketika melihat anak-anaknya kuyup begini. Sementara sang suami asyik menyeruput kopi di teras rumah. Membiarkan si Kembar mengganggu Juna.
“Minta beliin mobil gih sama Papi.” Juna melirik teras.
“Tutup mulut lo, Juna! Gue udah peringatkan ya!” Mas Rizki bersiap melempar sebelah sandalnya.
“Papi ‘kan nggak punya duit.”
“Siapa bilang?” Juna terkekeh, menuju ke sisi mobil yang jauh dari teras. Mengantisipasi sandal melayang. “Papi kalian banyak kok duitnya. Sengaja aja bilang nggak punya, biar kalian nggak jajan mulu.”
Si Kembar kompak menoleh ke teras. Menatap papinya dengan sengit. Juna terpingkal seraya menggosok bumper belakang.
“Papi, mau yang kayak gini satuuuu.” Dafa yang memulai. Rafa ikut mengangguk. Mendukung. “Biluuuu ya, Pi?”
“Enggak! Bagusan melah.” Rafa langsung keberatan.
“Biluuu!”
“Melah!”
“Bagusan ijo deh.” Juna menimpali.
“Enggak!”
“Enggak!”
Juna angkat tangan dan diam. Memilih melanjutkan menggosok badan mobil daripada ikut dalam perdebatan si Kembar yang sebenarnya bermula dari dirinya.
Si Kembar masih berdebat soal warna, sementara Mas Rizki sudah meninggalkan teras sambil menggerutu.
“Om, bagusan melah, ‘kan?”
“Ijo lebih bagus.”
“AAAA!!!”
“Bagusan bilu ya ‘kan, Om?”
“Ijo.”
“Lese, Om lese!”
***
Selesai mencuci mobil, Juna berusaha melipir dari si Kembar yang bersiap menghadang di dekat gerbang—seperti biasanya. Dia mengendap-endap menuju mobil ketika si Kembar sedang disuapi mamanya di teras. Segera tancap gas begitu terdengar seruan salah satu dari mereka. Bisa gagal rencananya kalau sampai si Kembar menahan kepergiannya atau malah rewel ingin ikut.
Hari ini jadwal Juna kosong. Dia bisa menghabiskan seharian tanpa takut ditelepon mendadak karena ada pekerjaan mendesak. Mengendarai sekitar setengah jam, Juna sampai di apartemen Nina. Dia hafal kode pintu, tidak perlu menekan bel. Lagi pula dia yakin jika sang empu masih bergulung di balik selimut.
Seperti yang diduga, Nina masih berupa ulat di tengah kasur. Juna melepas sepatu converse, menyisakan kaus kaki putih, lalu melangkah ke kasur. Dihempaskannya begitu saja tubuhnya ke sisi kasur. Satu tangannya ditelentangkan di atas punggung Nina.
“Singkirin tangan lo,” desis Nina.
“Udah jam sembilan ini. Lo jadi ikut nggak?”
“Lima menit lagi.”
Baiklah. Juna mengalah. Dia menarik ponsel dari saku celana. Mengecek beberapa sosmed. Membalas pesan-pesan. Sudah lima menit dan Nina masih tidak mau bangun.
“Nin, ayo bangun. Keburu telat, ntar berdiri paling belakang. Nggak asyik.” Juna mulai mengomel. “Suka banget sih begadang? Kalau nggak bisa bangun pagi, nggak usah begada—argh!”
Satu bantal menghantam kepala Juna, menghentikan ocehan lelaki itu. Sambil mengomel, Nina turun dari kasur dan melangkah ke kamar mandi.
***
“Jemput Yasmin dulu.”
Juna menginjak pedal rem mendadak. Hampir mengumpat ketika ada sepeda motor yang tiba-tiba menyalip dari sisi kiri. Mobilnya berhenti di lampu merah.
“Yang ngajak gue.” Nina membaca kebingungan di wajah Juna.
“Bilang dari tadi kek. Gue ‘kan bisa jemput Yasmin dulu. Nggak mesti muter lagi, Maemunah.”
“Sengaja.” Nina bersedekap dan membuang pandangan keluar jendela. Tidak mau disalahkan.
Setelah lampu berwarna hijau, Juna memutar arah. Kembali ke arah kosnya, menjemput Yasmin dan memutuskan tidak memperpanjang urusan dengan Nina. Ini masih pagi. Dia tidak ingin bertengkar dengan siapa-siapa. Apalagi ini Nina, yang kadang masalah sepele suka diributkan. Dan selalu berakhir dengan kesalahan ada pada Juna. Selalu saja begitu.
Ketika tiba di depan kos Yasmin, perempuan itu sudah siap di teras. Juna dari balik kemudi, melambaikan tangan dan tersenyum. Yasmin duduk di bangku belakang. Sebenarnya tadi Nina menawarkan duduk di depan, tapi Yasmin bilang ingin di belakang saja. Kalau saja Juna peka, ada yang berbeda dari Yasmin hari ini. Sayangnya Juna terlalu bebal. Jika di awal bertemu Juna tampak tertarik dengan Yasmin, maka kali ini berbeda. Ketika melihat perempuan itu, Juna tidak berdebar. Entah yang salah bagian mana. Normalnya dia menyukai Yasmin seperti yang lelaki lain lakukan. Apalagi Yasmin terbuka padanya, memberi kesempatan secara tidak langsung untuk dikenali Juna.
Namun, Juna tidak ingin menyakiti Yasmin. Jadi, sebelum terlalu jauh, Juna tidak ingin memberi harapan apa-apa. Begitu juga sebaliknya. Juna tidak ingin merusak kepercayaan Yasmin. Mungkin lebih baik mereka berteman saja. Ya, terdengar menyenangkan. Meski kalau dipikir-pikir lagi, lingkar pertemanan Juna lebih didominasi para perempuan. Juna sebenarnya tidak pilih-pilih, di lingkungan kerja dia punya banyak teman lelaki, tapi untuk sahabat, ya seperti yang kalian tahu. Hidup Juna hanya seputaran orang yang itu-itu saja.
Sepanjang perjalanan ketiganya diam. Sama sekali tidak ada yang berniat menciptakan sebuah obrolan. Lagu yang terputar di radio membantu banyak. Setidaknya masih ada suara.
Tugas Juna bertambah, selain memastikan Nina tidak terlepas dari jangkauannya, dia juga harus menjaga Yasmin yang sepertinya baru pertama kali mendatangi konser. Sangat terlihat dari gestur perempuan itu yang rikuh. Ketika berpapasan dengan orang, dia sebisa mungkin menghindar. Ketika melihat ketidaknyamanan itu, Juna bergeser ke Yasmin. Melempar tatapan yang semoga saja membuat perempuan itu tenang.
Nina dan Yasmin berdiri di dekat loket. Juna berlari ke kedai terdekat, membelikan tiga botol air mineral. Membenarkan letak waist bag-nya sambil mengangsurkan botol ke dua perempuan itu.
“Nonton sampai kelar?” Yasmin bertanya, urung membuka segel botol.
“Tadi gue telepon Danisha, dia muncul di segmen 2 sama 4. Habis itu cabut aja.”
Nina mengangguk. Setuju. Seakan Yasmin butuh informasi tambahan, dia berkata. “Kalau Danisha manggung gini, biasanya kita nonton pas dia nongol aja. Selesai nyanyi, kadang suka nongkrong di mana gitu.”
Yasmin melirik Juna. “Wah, kalian pasti sering nonton ya?”
“Ya kadang aja. Nggak mesti kok. Kalau gue sama Vian free dan Juna sibuk, ya nggak bakal nonton.”
“Kenapa begitu?”
Juna pura-pura tidak dengar. Dia ikut nyempil duduk di bangku semen yang berbentuk melingkar itu. Memandangi lalu-lalang orang di sekitar, yang lama-lama sebenarnya membuat pusing sendiri.
“Tanpa Juna kita bisa apa sih.” Dengan nada bercanda dan wajah yang dibuat konyol itu.
“Ah, masa segitunya?”
Kali ini Nina menjawab serius. “Juna yang tugas jagain kalau nonton konser.”
“Tapi ini siang. Perlu penjagaan juga?” Yasmin masih heran.
Juna memotong percakapan mereka. “Masuk sekarang aja kali ya. Takutnya malah dapet belakang.”
***
Sehabis Danisha manggung, seperti ritual biasanya, mereka akan mencari tempat nongkrong.
Tapi bukan formasi seperti ini yang diinginkan Juna.
Apalagi dengan posisi duduk yang tentu saja menguntungkan bagi si Dewa-dewa itu. Seisi restoran serasa milik berdua, dan tiga orang di meja yang sama dianggap angin. Tak terlihat. Sambil menunggu pesanan datang, mereka terkekeh berdua. Entah saling berbisik soal apa.
Oke, biar Juna jelaskan sedikit. Tadi ketika Danisha selesai tampil, rombongan Juna langsung menuju backstage, seperti biasanya. Juna sudah tersenyum lebar ketika Danisha melangkah ke arahnya. Tapi ternyata perempuan itu menggandeng seorang lelaki yang mengenalkan diri sebagai Dewa.
Senyum Juna pelan-pelan pudar. Ah, akhirnya Juna bertemu dengan Dewa. Lelaki yang mungkin akan bernasib sama seperti Ryan dan Aldi. Entah faktor apa, yang jelas para lelaki yang mendekati ketiga sahabatnya terasa tidak benar di matanya.
Semoga saja hanya karena Juna tidak ingin para sahabatnya mendapat lelaki yang tidak baik. Jangan. Jangan berpikiran jika Juna cemburu buta. Sekali lagi, dia hanya memastikan jika ketiga sahabatnya mendapatkan yang terbaik. Entah Dewa akan lolos seleksi atau tidak. Tapi dilihat dari attitude-nya yang matang itu, tentu sulit untuk mencari kekurangannya. Terlebih lagi Danisha terlihat memuja lelaki itu. Iya, iya, pengusaha emas. Meski Juna juga tahu jika Danisha tidak mencari lelaki hanya karena pekerjaannya.
“Ehem!” Nina berdeham. Mengambil sikap yang sejak tadi ingin dilakukan Juna. Sementara Yasmin yang duduk di sisi kiri Juna hanya diam.
“Ah, maaf, kami asyik sendiri. Jadi Nina ini jadi model sejak kapan?”
“Lima tahun lalu,” sahut Juna. Di bawah meja, Nina menyenggol paha Juna. Yang ditanya dirinya, Juna tidak perlu menyerobot begitu.
“Kayak nggak asing.”
“Wajahnya sering muncul di majalah. Wajar kalau nggak asing.” Juna kembali menyahut. Kali ini kena injak. Sebisa mungkin tidak mengaduh dan hanya melempar tatapan tajam pada Nina.
Danisha tiba-tiba terkekeh. “Juna suka iseng, Wa. Maklumin ya. Dia aslinya baik kok.”
Di tempatnya duduk, Juna memutar bola mata bosan. Semoga saja Dewa lihat. Biar dia tahu kalau tidak semudah itu menghadapi sahabat-sahabatnya Danisha. Tapi sepertinya kali ini Nina tidak di pihak Juna. Dasar perempuan. Kalau lihat yang ganteng dan matang, langsung norak. Oke, baiklah, Juna minta maaf. Hal itu wajar. Dirinya kalau jadi perempuan juga akan seperti itu ketika melihat Dewa, apalagi bisa mengobrol sedekat ini dengan makhluk ciptaan Tuhan yang paling seksi itu.
Astaga, barusan dia bilang apa?!
Namun, sayangnya Juna bukan perempuan. Jelas dia tidak akan menyukai lelaki ini. Kalau berteman pun, Juna sendiri belum yakin bisa. Apa salahnya Dewa ini? Banyak! Terlalu tampan. Terlalu baik. Terlalu kaya. Terlalu asyik. Dan banyak terlalu-terlalu lainnya yang kalau disebutkan membuat harga diri lelaki di luar sana tak ada artinya. Oh, baiklah. Juna sebenarnya sedang membicarakan dirinya sendiri.
Tanpa sadar Juna membandingkan dirinya dengan Dewa. Jelas langit dan bumi. Sekali kedip semua orang juga tahu. Dari barang yang melekat di tubuh mereka sudah mengatakan segalanya; Juna dan Dewa ada di level yang berbeda. Jika mengesampingkan masalah finansial dan penampilan, entah Juna akan menang atau tidak. Setelah diamati, Dewa sepertinya memang sesempurna itu.
Tepukan keras terasa di paha kanannya. Nina yang melakukannya. Lewat alis Juna bertanya. Lalu dengan gerakan mata, Nina memberi kode agar Juna segera makan.
Juna meraih sumpit. Obrolan sudah berganti topik. Yasmin bersuara, menjawab satu-dua. Juna ketinggalan obrolan karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Sampai-sampai mi pangsit di mangkuknya sudah mengembang. Dengan iseng, Juna mencomot udang dari mangkuk Nina menggunakan sumpitnya. Comotan kedua, dia berniat mengambil potongan cumi. Dengan cepat Nina menangkis sumpit Juna yang terangkat di udara.
“Pesen baru deh.”
“Males. Lama. Antrenya ‘kan banyak.”
“Ya udah. Nggak usah makan.”
“Tega lo.”
“Biar.”
Mereka pulang terpisah. Dewa yang ada urusan, segera melesat setelah memaksa membayari makanan mereka. Lantas berpamitan dan sempat menatap Danisha lama. Sepertinya mereka punya janji setelah ini, tapi karena Dewa ada acara makanya batal. Terlihat sekali tatapan bersalah—yang dibalas senyum maklum dari Danisha. Seumur-umur, Juna baru melihat senyum itu. Dasar pelit. Senyumnya pilih-pilih.
“Mau bareng gue sekalian?” tanya Juna ketika mereka sudah di parkiran.
Danisha menggeleng. “Mau ke studio.”
“Ngapain?”
“Ngulik calon lagu baru.”
“Pulang jam berapa?” Juna tidak sadar jika mendadak dia secerewet ini. Nina sampai menatap heran. Dia hendak menyela tapi terpotong Juna. “Pulang jam berapa, Dan?”
“Hah? Oh, belum tahu.” Danisha sibuk dengan ponselnya, mengabaikan Juna yang bertanya tentang jam pulangnya.
“Mau naik apa ke studio?”
“Ini gue pesen ojek online. Biar cepet daripada naik taksi. Udah otw ke sini kok abangnya.” Danisha kemudian beralih ke Yasmin yang sejak tadi banyak diam. Dia tersenyum. “Makasih, Yas, udah datang tadi. Dijagain Juna, ‘kan?”
“Iya. Berasa dijaga ayah banget.”
Semua tertawa kecuali Juna.
“Jangan kapok-kapok buat nonton ya, Yas. Kalau longgar, ikut aja sama anak-anak.”
Yasmin mengacungkan jempolnya.
***
Tahu hal absurd apa yang Juna lakukan setelah mengantar Nina dan Yasmin pulang? Dia menyusul Danisha ke studio. Untuk apa? Juna juga tidak tahu. Ya mumpung dirinya sedang libur dan tidak tahu apa yang harus dilakukan di kos. Main dengan si Kembar? Itu bisa nanti malam. Sebelum tidur, si Kembar pasti menyambangi kamarnya. Sekadar membuat berantakan. Menurunkan miniatur-miniatur tokoh hero Marvel kesayangan Juna dari lemari. Mengacak-acak kasur.
Sampai di halaman studio, Juna yang baru keluar dari mobil, disambut oleh Mang Dadang. Beliau ini yang menjaga dan merawat studio. Tinggal di bangunan samping studio, sementara keluarganya ada di Bandung.
“Eh, Den Juna, lama nggak kelihatan. Mamang kira udah kawin.”
Juna terkekeh seraya menekan kunci. Dia menyalami Mang Dadang dengan kedua tangan. “Alhamdulillah masih perjaka sampai detik ini, Mang.”
Bahu Juna ditepuk. “Ganteng pisan gini siapa yang nolak?”
“Banyak. Hehe.” Juna kemudian bertanya. “Mau ke mana, Mang?”
“Beli titipan rokok ke depan sebentar. Den Juna mau ketemu Mbak Danisha?”
Juna mengangguk. “Tapi kayaknya Danisha sibuk. Aku ngobrol sama Mang Dadang aja deh.”
“Oke. Sebentar. Mamang lari beli rokok dulu.”
Juna mengangguk dan melangkah ke teras bangunan yang ditempati Mang Dadang. Ada dua kursi rotan di sana. Studio ini dipenuhi pepohonan sehingga sejuk dan teduh. Seraya menunggu, Juna mengeluarkan sebatang rokok dari saku celana. Mulai menyulut dan mengisap rokok dalam-dalam. Mengembuskan gumpalan-gumpalan asap ke udara melalui celah bibir.
Mang Dadang benar. Juna rasanya lama tidak menyambangi studio ini. Entah kali terakhir kapan. Padahal dulu Juna sering duduk-duduk santai di teras ini seraya menunggu Danisha selesai dengan kegiatannya di dalam studio. Entah menulis lagu, menemukan komposisi nada, membicarakan konsep album dan banyak hal yang Juna tidak mengerti.
Tidak ada lima menit, Mang Dadang susah kembali. Beliau masuk ke studio, menyerahkan titipan rokok sebentar lalu bergabung dengan Juna di kursi rotan. Bersamaan dengan pesanan Juna yang datang diantarkan ojek online. Sebelum tiba di studio, dia sudah memesan.
Dua cup jus mangga dan sekotak besar kue pancong. “Mang, dimakan, Mang.”
“Waduh, repot-repot.”
“Ah, enggak.” Juna mengalihkan. “Gimana kabarnya, Mang?”
“Baik, Den.”
“Anak-anak berandal itu udah nggak ganggu lagi ‘kan?”
Ah iya, Juna akhirnya ingat. Dia terakhir menginjakkan kaki di studio ini empat-lima bulan lalu. Juna membuat keributan di sini. Ketika itu ada grup band baru yang sombongnya minta ampun. Kalau hanya sombong mungkin tidak apa-apa. Tapi sopan santun mereka benar-benar di titik kritis—tak tertolong lagi. Berani-beraninya mengerjai Mang Dadang, disuruh membelikan ini-itu. Sengaja membuat kotor studio. Bahkan parahnya, mengadu domba pemilik studio dengan Mang Dadang.
Di saat yang lain tidak berani maju atau sekadar menegur, karena konon katanya salah satu anggota grup adalah keponakan si Bos, maka Juna maju. Tidak peduli jika Danisha berteriak dan menariknya mundur. Keempat anak bau kencur itu babak belur di tangan Juna. Biar rasa. Mereka perlu diberi pelajaran sejak dini.
“Berkat Den Juna, mereka kalau ke sini, pasti bungkuk sopan ke Mamang. Sering-sering main ke sini, Den. Kangen ngobrol-ngobrol kayak gini.”
“Penginnya gitu, Mang.” Juna mematikan puntung rokok di asbak yang ada di meja. “Tapi rezeki ada aja. Hehe.”
“Alhamdulillah kalau begitu. Sibuknya menghasilnya rezeki yang baik.”
Dulu, Juna sering mampir ke studio dengan niat menemui Danisha tapi selalu berujung mengobrol seperti ini dengan Mang Dadang. Ya mengobrol apa saja. Seperti teman sepantaran meski umur mereka terpaut belasan tahun. Sekarang rasanya seperti nostalgia. Juna senyum-senyum sendiri menatap dedaunan yang rindang dan pagar yang catnya baru. Terakhir Juna ke sini catnya sudah mengelupas.
“Den Juna masih menyukai Mbak Danisha?”
Juna tersedak jusnya. Berkali-kali. Sampai Mang Dadang membantu menepuk punggungnya.
“Mang Dadang kalau bercanda suka keterlaluan,” sergah Juna ketika batuknya mereda.
“Loh, nggak begitu?”
“Ya nggaklah, Mang. Kami sahabatan. Gimana mungkin bisa sejauh itu.”
“Soalnya selama Mamang di sini, cuma Den Juna yang selalu ngapelin Mbak Danisha. Dulu juga suka nungguin selarut apa pun pulangnya. Kayak orang mau nikah aja. Den Juna kelihatan sabar menghadapi Mbak Danisha yang kadang uring-uringan.”
Andai saja Mang Dadang tahu bagaimana Juna terlatih untuk sabar ketika menghadapi ketiga sahabat perempuannya. Danisha hanya contoh sepertiganya saja.
Juna tersenyum tipis. “Bentar lagi juga ada yang ngapelin Danisha kok, Mang. Tunggu aja.”
“Eh? Den Juna nggak patah hati?”
Suara tawa Juna memenuhi teras itu. Patah hati? Apakah ada tanda-tanda jika Juna akan patah hati? Perlahan tawanya memudar. Pertanyaan itu bercokol di kepalanya. Patah hati. Bagaimana definisi patah hati yang sebenarnya?
***
Kamis, 18/07/2019
Revisi: 07.12.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top