17. Starry Night

“Sudah lama nunggunya?”

Danisha segera tersenyum ketika mendapati orang yang dia tunggu sudah berdiri di depannya. Lelaki dengan kemeja yang lengannya sudah dilipat hingga siku. Wajah lelahnya mencoba tersenyum. Danisha sangat menghargai itu.

“Belum, Wa. Aku ganggu ya?”

“Nggak sama sekali. Aku yang minta maaf karena telat. Biasalah, anak-anak suka caper.” Sama sekali tidak terdengar seperti keluhan karena wajahnya berseri. Danisha tersenyum.

“Wah, sainganku banyak.”

“Kalau kamu mau aku bisa singkirin mereka,” guraunya.

Meraih buku menu seraya terkekeh. “Mau dengan cara apa nyingkirinnya?”

“Santet aja gimana, yang cepet.”

Danisha tertawa. Mereka kemudian memilih menu. Seorang pramusaji mencatat pesanan mereka dan berlalu.

Restoran di atap itu tampak bermandikan cahaya di malam hari. Jika mengedarkan pandangan maka akan menemukan titik-titik cahaya dari bukit yang berpenghuni. Langit berbintang juga rasanya dekat sekali. Danisha yang biasanya mengenakan serba hitam, kini mengenakan dress selutut bermotif floral. Rambut panjang yang biasa dikucir, kini dibiarkan tergerai dengan ikal di bagian ujung. Terlihat manis dengan sapuan make-up sederhana.

Dewa sempat tertegun mendapati Danisha dengan dress itu. Dia beberapa kali bertemu dengan perempuan ini dalam balutan baju dan celana serba hitam. Malam ini, Danisha jauh lebih cantik. Dia ingin memuji, tapi kalah dengan jantungnya yang berdebar. Akhirnya hanya berani menatap Danisha lekat-lekat. Terpesona setengah mati.

“Kamu ke mana minggu ini?”

“Semarang kemarin. Besok sekitaran sini aja.”

Dewa meraih tangan Danisha yang ada di atas meja. “Besok jam berapa acaranya? Boleh aku lihat kamu nyanyi?”

“Memang kamu nggak sibuk, Wa?”

“Akan aku sempatkan. Jam berapa acaranya?”

Malam ini indah, langit menampilkan semburat yang menawan. Taburan bintang dan bulan sabit mengintip malu-malu di sana.

***

Dafa menggelayut di kaki kanan Juna ketika mereka sedang antre di kasir minimarket. Juna masih sibuk membalas chat Vian. Memastikan banyak hal. Dia sudah menawarkan diri untuk menginap—tadi sore perempuan itu sudah boleh pulang—tapi Vian menolak. Mungkin nanti kalau Juna tetap khawatir, dia akan langsung datang saja. Kalau masih ditolak juga, dia akan nekat tidur di teras.

“Nikah deh, Bang. Udah cocok tuh bawa anak.” Penjaga kasir menggodanya. Kali ini sepertinya lupa menawarkan rokok.

Bukan hanya Dafa yang menggelayut manja, Rafa ikut-ikutan menempel di kaki satunya. Juna harus menyeret kakinya yang berat mendekat ke meja kasir saat antreannya sudah tiba.

“Nikah, nikah, lo gampang banget ngomongnya kayak beli cabe di pasar.”

“Yaelah, nunggu apa lagi sih, Bang? Sahabat-sahabat lo cantik semua, tinggal tunjuk.”

Juna mengabaikan dan membayar tanpa meminta kembalian. Selalu seperti itu.

Dafa dan Rafa masing-masing menenteng satu plastik berisi snack dan es krim. Sesuai janji Juna kemarin, begitu mereka sembuh, dijanjikan es krim yang banyak. Ketika lewat di pos ronda, Juna memilih berhenti. Si Kembar mengikuti tanpa protes, duduk di tepian pos sambil menyendok es krim.

Ada tiga pemuda kompleks yang Juna kenal sedang menonton pertandingan bola di layar 24 inch yang menempel di dinding pos. Mereka menyapa Juna, sempat menggoda si Kembar, berpura-pura hendak merebut es krim mereka, lalu dihadiahi jeritan kesal dan tatapan sengit.

“Kalau mereka lagi di dunia es krim, dicolek aja jangan. Pake acara mau minta segala. Masih untung lo nggak kena cubit.”

Ketiganya tertawa lalu kembali ke layar televisi.

“Tumben di rumah, Bang?” Salah satu bertanya tanpa kehilangan fokus dari layar. “Biasanya udah kayak Bapak pejabat. Pagi di mana, siang di mana, sore di mana.”

“Libur.” Juna tidak ikut menonton. Hanya numpang bersandar di dinding pos.

“Nggak jalan sama cewek lo, Bang?”

“Gue jomlo, kali.”

“Lo yang seganteng ini aja jomlo. Apa kabar kita?” Mereka tertawa.

“Jodoh ‘kan nggak mandang tampang. Jelek kalau jodohnya udah deket, ya, tinggal nyiapin mental aja buat lanjut nikah.”

“Ngomongnya Bang Juna juga gampang banget dah. Situ ‘kan udah mapan, mobil udah ada, nikah bisa kali. Kita masih nggak jelas gini, nyebar lamaran kerja, kagak diundang-undang.”

“Ya sabar. Nanti kalau waktunya kerja ya kerja. Yang penting, jangan terlalu milih-milih mau kerja apa. Yang ada malah nggak kerja-kerja. Lakuin aja asal nggak yang aneh-aneh.”

“Siap, Brother!”

Juna terkekeh, beranjak dari sana. Si Kembar sudah menandaskan satu cup es krim dan menguap lebar-lebar. Waktunya pulang.

“Om.” Dafa yang berjalan di sisi kirinya, bersuara.

“Apa?” Juna menunduk.

Jombo itu apa?”

“Makanan bukan?” Rafa nimbrung.

“Iya, makanan yang nggak enak. Asem, pahit, ya semacam itu.”

Si Kembar bergidik ngeri. Juna tertawa tanpa suara.

“Om, lihat deh. Langitnya bagus.” Rafa berhenti, otomatis membuat dua yang lain ikut berhenti. Juna mendongak cukup lama. Si Kembar melakukan hal yang sama.

“Iya, indah.” Juna hampir melewatkan langit malam ini. Karena yang sudah-sudah, dia sering mengabaikan langit malam. Baginya, langit malam selalu sama. Hitam dan kelam. Dia takut menatapnya lama-lama dan tenggelam bersama pusaran hitam yang akan membawanya pulang—menuju tumpukan kenangan yang selalu berhasil membuatnya ingin kembali ke masa-masa itu.

Namun, kali ini dia membiarkan dirinya menikmati langit malam lebih lama. Taburan bintang-gemintang dan bulan sabit mengintip malu-malu di sana.

***

Jendela besar di kamar itu terbuka, menampilkan sepotong langit yang dihiasi bintang. Tak ada mendung yang menggantung. Langit sempurna bercahaya dengan bintang dan bulan. Angin bertiup dengan tenang. Menyapa lembut pori-pori kulitnya yang menua. Membelai rambutnya yang mulai memutih. Lalu membawa sejumput kenangan yang melesak ke rongga dada. Semuanya tentang satu nama.

“Besok Mbak mau ke mana? Biar aku antar. Sekali-sekali Mbak harus lihat dunia luar.” Ratih bergabung dengan kakaknya sejak lima menit lalu, mengambil duduk di tepi kasur dan tanpa diminta memijat kaki kakaknya yang diluruskan di atas kasur.

“Apanya yang mau dilihat, Rat? Aku tidak tertarik melihat-lihat dunia luar.”

Tentu saja Ratih mengerti. Genap sepuluh tahun ini kakaknya hidup dalam gelembung udara yang dia ciptakan sendiri. Menarik diri dari semua orang. Memasang topeng di balik kerutan-kerutan rapuh itu. Air mata yang pandai disembunyikan akhir-akhir ini. Rasanya ingin sekali Ratih pecahkan gelembung udara itu agar kakaknya sadar kalau tidak ada hal lain selain menerima dan menjalani hidup sebagaimana mestinya.

Dia hanya takut jika kakaknya terlambat pulang dan justru kehilangan lebih banyak.

“Kamu ndak pulang?”

Itu bukan kalimat pengusiran. Ratih mengangkat wajahnya. “Urusan di Jogja bisa aku titipkan ke Nimas, Mbak. Jangan khawatir. Aku senang di sini, menemani Mbak. Sama halnya dengan Juna dulu, aku punya banyak waktu untuk Mbak.”

Keduanya diam dan menatap sepotong langit dari bingkai jendela. Entah langit yang indah menyita perhatian atau karena barusan nama itu disebut lagi. Ruangan itu senyap, menyisakan suara jarum jam, yang seakan menghitung mundur bom waktu.

“Rat,”

“Mbak merindukan Sena?” Tanpa melepas pandangan dari langit. Ratih bisa membaca pikiran kakaknya; tentu saja setiap malam hanya diisi dengan ratapan tentang kerinduan pada anak lelaki kesayangannya itu.

“Kalau Sena masih di sini, kira-kira dia seperti apa, Rat?”

Demi membuat hati kakaknya lega, Ratih menjawab, alih-alih meneriaki kakaknya untuk mengikhlaskan Sena. “Dia akan sehebat papanya, Mbak. Atau malah, akan sehebat Eyang Kakung-nya. Seperti yang selalu Mbak katakan, Sena tidak akan pernah mengecewakan siapa pun.”

Selli menatap adiknya dengan berkaca. “Kamu benar, Rat. Dan mungkin dia akan duduk di tempatmu sekarang, memijat kakiku, menemani melihat langit sambil menceritakan kegiatan dia hari ini.”

Ratih hanya mengangguk. Tidak mampu mengucap apa pun. Dia sendiri tercekat. Tiba-tiba teringat dengan Juna yang dia temui tempo hari. Untuk kali ini, Ratih tidak akan membawa nama Juna lagi dalam gelembung imajiner yang diciptakan kakaknya. Di dalam gelembung itu sudah penuh dengan nama Sena. Percuma saja memaksakan nama Juna masuk ke sana. Terlalu menyakitkan.

“Sena akan menikah dengan wanita yang dia cintai. Memiliki anak-anak yang lucu. Hidup bahagia. Dan aku akan meninggal dengan tenang, Rat.”

Ratih tersenyum, menghalangi gumpalan bening yang hendak meluncur di pipi. Lagi-lagi hanya mengangguk.

“Sarah sudah hidup bahagia, Rat. Aku tidak perlu mencemaskannya lagi. Aku hanya ingin mendampingi Mas Arya sampai nanti.”

Ditatapnya Selli dengan nelangsa. Juna ... bagaimana dengan Juna?

***

Seraya merebahkan diri di atas dipan di atap rumah Mas Rizki, Juna menghubungi kedua sahabatnya lewat video call. Setelah hanya diam selama beberapa menit dan menatap kosong langit di atasnya.

“Danisha ke mana?”

Wajah mengantuk Nina menjawab. “Tahu, dinner sama Dewa deh kalau nggak salah.”

Vian menyahut. “Jadi sama si Dewa?”

“Harusnya jadi.” Nina menjawab. “Gue tahu anaknya, meski nggak kenal. Pengusaha emas, Bok.”

Juna masih diam. Tidak tahu harus menanggapi seperti apa. “Tidur, Vian.”

“Iya, habis ini tidur kok.”

“Danisha besok manggung di Ancol. Nonton yuk,” ajak Nina. “Gue sumpek sama rutinitas. Mau kabur sebentar.”

“Boleh.”

“Ikut,” rajuk Vian.

 “Nggak.” Dijawab kompak oleh Juna dan Nina.

“Jahat.”

 “Istirahat yang cukup. Nanti kalau udah sembuh, mau ke mana aja, gue anter.” Juna menghibur.

“Jemput ya, Jun. Mager gue.”

“Hm.”

Video call terputus ketika Vian pamit hendak istirahat. Juna meletakkan ponsel sembarangan. Kembali menatap langit malam yang terasa dekat. Satu tangannya terangkat, seakan bisa membelai bintang-bintang di sana. Tersenyum sendiri. Langit malam ini terlalu jahat karena melukiskan wajah-wajah yang dirindukan Juna.

Bicara sendiri. “Kangen kalian. Kira-kira kalian kangen Juna apa nggak?”

Jeda sebentar.

“Nggak ada yang kangen ya? Iya, tahu kok. Juna memang harus tahu diri.”

Juna tersenyum. Kontras dengan lapisan bening yang mulai menggumpal di sudut mata. Entah malam ke berapa sejak dia meninggalkan rumah dan melepas semuanya di belakang. Dengan segala luka yang dibawa, Juna menyeret langkahnya untuk tetap maju. Terseok-seok. Berusaha untuk tidak hilang arah atau dia akan tersesat.

Hati kecilnya kembali menyuarakan pertanyaan yang sama; apakah dia bisa pulang suatu hari nanti?

Juna tersenyum masam. Kasihan sekali hati kecilnya. Pertanyaan itu selalu dibiarkan menguap, tak menemukan jawaban apa-apa.

***

Untuk yang kedua kali, Danisha melambaikan tangan pada sebuah mobil yang meninggalkan halaman gedung apartemennya. Ketika mobil sudah menghilang dari gerbang, barulah Danisha berbalik dan melangkah menuju lift sambil bersenandung pelan. Dia sempat tersenyum, membalas sapaan petugas keamanan yang berjaga.

Di dalam lift pun, Danisha senyum-senyum sendiri. Malam ini dia bahagia. Sesederhana makan malam di atap restoran dan mengobrol dengan Dewa, entah kenapa begitu membahagiakan. Dan, iya, dia tidak memungkiri kalau dia menyukai lelaki itu. Mereka bukan lagi remaja yang perlu ungkapan. Danisha dengan mudah melihat ketertarikan Dewa akan dirinya.

Mereka sama-sama memiliki perasaan yang sama. Mudah sekali menebak. Danisha tidak perlu minta pendapat Nina atau Vian soal ini. Dia bisa melihat sendiri bagaimana Dewa memperlakukannya sepanjang makan malam tadi. Gestur dan mimik wajah yang membuat Danisha terkagum-kagum.

Menyalakan lampu dan membenamkan kepala di atas bantal, Danisha masih tersenyum. Dia sudah gila sepertinya.

***

“Sayang? Belum tidur?”

Sarah menyandarkan tubuh di tepian meja makan. Meletakkan gelas yang sejak tadi dia pegang. Isinya sudah tandas. Setelahnya sempat melamun di depan kulkas entah berapa lama.

“Aku tiba-tiba haus.”

Rendy melangkah mendekat, memeluk istrinya. Bertanya lembut. “Kamu mimpi buruk lagi?”

Dalam pelukan suaminya, Sarah menggeleng.

“Besok aku antar ke rumah Mama?”

“Aku nggak apa-apa kok, Mas.”

“Lily mungkin kangen Oma-nya.” Rendy belum menyerah.

“Lily mungkin harus bertemu Om-nya.”

“Hm?”

Sarah menggeleng. Memejamkan mata. Dia balas memeluk suaminya lebih erat. “Mas, dua hari yang lalu, aku ketemu Juna.”

“Ketemu di mana?”

“Acara gathering produk susu.”

“Kalian sempat ngobrol?”

“Juna lihat kami.”

 “Lalu?”

 “Tapi aku pura-pura nggak lihat dia.” Sarah sesak ketika mengatakannya.

Rendy tersenyum, membelai kepala istrinya. “Kamu sudah memaafkan Juna, Sayang?”

Sarah tidak bisa menjawab. Jadi Rendy menyimpulkan sendiri. “Iya, kamu sudah memaafkan dia. Aku ikut lega.”

“Aku nggak tahu kenapa tiba-tiba gini. Kemarin, rasanya kacau, Mas. Selama ini aku selalu benci dia. Ikut menyalahkan dia. Bahkan, sejak awal aku menjauhi Juna. Menganggap anak itu cuma benalu di rumah. Tapi ....” Sarah sudah menangis. “Kemarin pas lihat dia, aku tiba-tiba bangga. Ini Juna yang dulu selalu diabaikan di rumah, selalu dimarahi dan dipandang sebelah mata. Ini Juna yang selalu bikin masalah.”

Punggung Sarah diusap dengan lembut. “Rencana kamu setelah ini?”

“Aku malu bertemu dengan Juna, Mas.”

“Lily pasti tidak sabar ingin bertemu dengan Om-nya.”

Seketika Sarah teringat dengan box yang menggunung di gudang. Hadiah-hadiah yang dikirimkan Juna setiap bulan untuk Lily. Sarah tidak tahu apa isinya, dia belum pernah mencoba untuk membuka. Dibiarkan begitu saja berdebu di gudang.

“Mas, aku terlalu jahat. Aku bukan kakak yang baik.”

***

Selasa, 16/07/2019
Revisi: 07.12.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top