16. Get Closer
Tebak siapa yang mengetuk ruang inap Vian siang ini. Bukan Danisha. Dia tadi sudah telepon, katanya dapat tiketnya yang sore. Nina? Bukan juga. Anak itu masih tidak terdeteksi keberadaannya. Juna jadi curiga kalau Nina sedang pemotretan di pedalaman hutan sana.
“Aduh, jadi ngerepotin. Padahal aku cuma nggak enak badan.” Vian meringis, lalu beralih ke Juna. “Kenapa harus ngabarin Yasmin segala?”
Juna melongo. “Eh, nggak niat ngabarin kok. Cuma bilang kalau gue di rumah sakit.”
“Jadi aku diusir nih?”
Vian memukul lengan Juna lalu tertawa. “Ayo, sini. Masuk. Duduk.”
Yasmin memeluknya sebentar kemudian meletakkan parcel buah di atas meja. Juna pamit keluar, mencarikan teh hangat.
“Jadi kalian udah sejauh apa? Ayo cerita.” Vian gemas untuk tidak bertanya. Dia bisa mengartikan bagaimana cara Yasmin menatap Juna.
Lihatlah. Yasmin tersipu. Vian benar soal tebakannya. “Belum terlalu jauh, Vian. Juna asyik kok diajak ngobrol.”
“Hanya sebatas teman ngobrol aja?” Vian mendesak. Entah kenapa dia begini. Dia bukan Danisha atau Nina yang agresif dan mudah melontarkan kalimat-kalimat tanpa berpikir lebih dulu.
“Iya, aku rasa dia punya bakat bikin nyaman orang di sekitar.”
Vian mengangguk. Memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Apalagi orang yang dibicarakan sudah muncul di pintu dengan dua cup teh hangat.
Juna hendak menarik kursi mendekat, tapi ponselnya berbunyi. Dia menjauh ke jendela dan mengangkatnya. Berbicara sebentar dengan si penelepon. Menghela napas pelan, lalu berbalik seraya meraih jaket di sandaran sofa.
“Sori, guys. Mesti cabut ini. Udah ditunggu.” Sebenarnya tidak tega meninggalkan Vian, tapi melihat keadaannya sudah mendingan, Juna
“Kerja?” Vian mendongak ketika Juna masih menggulir ponselnya. Mungkin mengecek kembali jadwalnya di notes, lalu mengerang pelan.
“Iya. Gue lupa kalau ada kerjaan, tapi cuma bentar kok. Nanti gue bilang ke counter perawat biar sering-sering nengok ke sini.” Lalu menatap Yasmin. "Sori, Yas. Nggak bisa antar pulang. Duluan ya.” Dia menepuk bahu Yasmin pelan dan menyambut uluran tangan kiri Vian.
Yasmin menganguk, tersenyum dan pandangannya mengikuti punggung itu hingga hilang di balik pintu.
***
Taman bermain itu sudah ramai ketika Juna tiba. Tenda-tenda besar terpasang. Anak-anak kecil yang menggemaskan datang bersama ibu mereka. Beberapa tampak bermain bersama, beberapa lagi sudah menguap, gerah dan sebagainya. Matahari memang terasa terik di pagi menuju siang ini.
Saking panasnya, di belakang panggung, Juna sempat mencuci muka dengan air mineral. Dia sudah naik ke panggung, membuka acara, dan sekarang membiarkan sekelompok anak berkostum kupu-kupu menari di atas panggung.
Juna mengambil botol mineral kedua. Dia masih punya waktu lima menit sebelum naik ke panggung lagi.
“Nin?!” Juna lega ketika akhirnya telepon Nina aktif. “Di mana sih? Pemotretan di hutan rimba? Kenapa nggak pamit?”
“Baru sampai apartemen. Ngomelnya bisa nanti aja?”
“Oke.”
“Vian gimana?”
“Udah mendingan.”
“Lo di mana kok rame? Vian sama siapa?”
“Gue kerja. Vian ditemenin Yasmin.”
“Ya udah. Gue merem bentar, terus ke RS.”
Juna menatap ponselnya sambil berkerut. Merasakan sesuatu yang aneh. Tapi apa? Nina terdengar baik-baik saja. Apa mungkin ini efek dirinya belum tidur sejak kemarin? Jadi pikirannya melantur ke mana-mana.
Anak-anak berkostum kupu-kupu sudah menuruni panggung dibantu panitia. Juna sempat menepuk kepala mereka dengan lembut. Dia gemas setiap melihat anak kecil.
Ketika akan mendekatkan mikrofon, satu siluet tertangkap oleh sudut mata Juna. Lalu, tiba-tiba kerinduan menyeruak di hatinya tanpa ampun. Juna berusaha fokus sepanjang acara, meski hatinya kalang-kabut.
***
“Juna di mata kalian, seperti apa?”
Tangan Juna berhenti di udara, urung mendorong gagang pintu. Dia masih berdiri di sana. Dari celah pintu, dia mendengar samar suara mereka. Ah, rupanya Nina dan Danisha sudah datang. Yasmin pun masih ada di sana.
Juna meremas pegangan di plastik ayam bakar yang dia bawa. Berdebar menunggu jawaban dari ketiganya.
“Nggak perlu tanya Juna gimana, Yas. Kalau yakin, tinggal maju aja. Kalau sampai Juna nyakitin lo, gue habisin dia.” Danisha menjawab berapi-api.
Kini giliran Nina yang bersuara. “Udah kelihatan dari awal dia badboy dan semacamnya, ‘kan? Kalau misal udah ada rasa, coba maju. Juna nggak berengsek-berengsek banget kok. Lo lihat kita bertiga, dia jagain kita banget.”
Juna terharu mendengarnya. Meski diawali dengan kalimat yang menyebalkan.
“Kalau masih ragu, gini aja dulu.” Vian memberi pendapat. Juna sempat terkejut dengan jawaban itu.
“Kenapa?”
“Aku nggak mau Juna kena tampar lagi.”
Tawa mereka pecah. Danisha sampai berguling di karpet. Memang lucu ya? Juna beralih ke wajah Vian. Perempuan itu tidak ikut tertawa. Wajahnya sudah tidak sepucat semalam.
“Yang gue lihat, dia bangga malah kena tampar.” Nina tertawa.
“Tapi akhir-akhir ini Juna nggak gencar deketin perempuan,” timpal Danisha. “Gue merasa dia sedang perjalanan menuju tobat.”
Juna berdeham. Akhirnya mengetuk pintu. Dia sudah pegal berdiri lama di sana. Takutnya disangka penguntit juga.
“Wah, lengkap nih. Udah pada makan?” Juna melangkah masuk dengan gestur biasa. Seakan tidak mendengar apa-apa tadi. “Gue bawa ayam bakar.”
Nina berdiri, merebut plastik dari tangan Juna. Sementara tiga yang lain mengamati Juna diam-diam.
“Kenapa lihatin gue begitu?” Juna merasa diperhatikan.
“Ha?”
“Apa?”
“Nggak.”
Ketiganya tergagap, menjawab bersamaan, lalu pura-pura sibuk sendiri. Nina sempat menoleh bingung. Tapi tak juga bertanya. Lebih mementingkan ayam bakar. “Ayo, makan. Jun, buruan duduk.”
“Makan gih kalian. Gue mau nyari kopi dulu.” Juna butuh kafein.
Alih-alih menerima uluran kotak makanan dari Nina, Danisha justru berdiri. “Gue juga mau ngopi. Belum laper.”
“Eh, Yasmin juga mau ngopi?” Nina heran karena Yasmin juga ikut-ikutan berdiri.
“Mau pulang. Papa mampir ke kos ternyata.”
***
“Pamitnya ngopi tapi nggak beli kopi?”
Juna nyengir. Danisha duduk di sebelahnya membawa dua cup kopi panas. Taman rumah sakit yang cukup temaram. Enak untuk menyendiri atau sekadar merokok. Danisha memang sengaja mengikuti lelaki ini. Sejak muncul di pintu tadi, entah bagaimana, Danisha merasa ada yang berbeda di wajah Juna.
“Thanks.”
“Anytime, Jun.”
Kopi yang diletakkan di tengah-tengah mereka, belum tersentuh. Tujuan mereka di sini bukan untuk kopi ini. Kopi hanya menjadi perantara alasan semata.
Menyilangkan kaki dengan nyaman, Danisha menikmati kebisuan di antara mereka. Angin dingin yang bertiup cukup membuat ngilu. Beruntung dia mengenakan sweater. Hanya saja lelaki di sebelahnya hanya mengenakan kemeja lengan pendek. Tidak membawa jaket dan sebagainya. Mau menawarkan sweater juga ragu, Danisha hanya mengenakan tank top di baliknya.
“Jun, dingin nggak?” Danisha memeluk dirinya sendiri. “Mau meluk lo tapi nanti disangka mesum di sini.”
Baru direspons semenit kemudian. “Haha, nggak usah. Nggak dingin kok.”
Ini dingin. Jelas-jelas dingin. Danisha gemas sendiri.
“Kenapa nggak ikut makan?”
“Udah makan di bandara tadi.”
Juna kemudian mengalihkan. “Berasa pacaran nggak sih ini?”
Danisha menoleh ke sekitar. “Iya, kayaknya yang lewat ngelihatin kita gimana gitu. Tapi ya bodo amat.”
Juna terkekeh. Lalu terdiam beberapa saat sebelum mengatakan kalimat yang membuat Danisha terjungkal. “Pacaran yuk, Dan?”
Tahu reaksi Danisha seperti apa? Dia memukul punggung Juna kencang. Berdiri, duduk, lalu berdiri lagi. Terpingkal-pingkal di depan Juna. Hingga dia terduduk di rumput, di dekat kaki Juna. Masih tertawa sambil sesekali memegangi perutnya yang terasa kram.
“Astaga! Ada nggak yang lebih lucu dari ini?” Rasanya dia tertawa sampai sudut matanya basah.
Kedua tangan Juna terulur, meraih tangan kanan Danisha. “Garing, ya?” Makasih udah ketawa, ngebantu banget.
Danisha menarik tangan Juna yang menggenggamnya. Dia mengamati wajah itu lama dan dalam. Sampai di satu titik di mana Danisha mengerti. Untuk memahami lelaki ini sebenarnya mudah, cukup tatap matanya dalam-dalam. Semuanya ada di sana. Dan bagaimana lelaki ini punya tatapan begitu meneduhkan?
“Lihat Juna yang sekarang, antara seneng sama sedih. Kadang nggak bisa bedain.”
“Senengnya?” tanya Juna.
“Juna ada buat kami. Dia ada kapan pun dibutuhin. Lelaki yang ditampar banyak perempuan, tapi justru jadi lelaki yang paling baik buat kami.”
“Sedihnya?” Juna mengabaikan kalimat terakhir Danisha.
“Pengin ngehibur Juna, tapi nggak tahu caranya.”
“Gue nggak nuntut kalian untuk—”
“Jun ....”
Danisha memberi jeda yang lama. Diam-diam, Juna menghela napas panjang.
“Tadi ketemu sama Mbak Sarah dan Lily.”
Genggaman di tangan Juna semakin erat. Danisha masih mendongak, mengunci tatapan mereka. Dia tidak ingin Juna lari dan urung bercerita, seperti yang sudah-sudah.
“Mereka baik-baik aja?”
Juna mengangguk pelan. Air matanya berkejaran di pipi. Dia tidak bisa menyeka karena tangannya digenggam erat seperti ini. Pun dikunci dengan tatapan yang membuat jantungnya bertalu. Danisha sialan. Juna tidak bisa lari ke mana-mana.
“Baik. Lily udah bisa jalan. Cantik. Secantik mamanya, Dan. Tapi gue nggak berani mendekat. Gue takut ditolak lagi. Gue takut kalau kemunculan gue bikin mereka terganggu.”
Satu tangan Danisha merangkum sebelah pipi lelaki itu, bergerak untuk menghapus air mata. “It’s okay, it’s okay, Juna.”
“Gue memang pengecut.”
“No. Nggak begitu.” Danisha menggeleng. “Semua ada waktunya. Kalau memang belum siap, nggak apa-apa. Jangan memaksakan diri. Di sini, lo nggak salah apa-apa.”
“Gue nggak tahu kapan gue siap buat ketemu mereka. Mama, Papa dan Mbak Sarah.”
Bahu tegap itu berguncang karena tangis yang coba diredam. Danisha tak punya lagi kalimat penenang. Juna adalah Juna. Yang tangisnya tak bisa dibujuk dengan apa pun.
Danisha beranjak dari rumput, mengambil tempatnya semula. Mendekap erat-erat bahu yang bergetar itu. Tangis tanpa suara yang ikut menikam hatinya.
Juna membiarkan ketika dirinya jatuh dan kalah dalam dekapan Danisha. Mungkin dia membutuhkan pelukan ini agar masa lalu yang menerjang perlahan surut, badai ingatan itu melunak dan Juna tak merasakan apa-apa selain nyaman.
Rasanya dia tidak ingin ke mana-mana. Seakan pelukan ini sudah membawanya pulang dan di luar sana badai sedang mengamuk.
***
Jum'at, 12/07/2019
Revisi: 07.12.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top