15. Meet Juna
"Aku juga lahir dari rahim Mama!" teriak Juna suatu ketika. Ruang tengah itu sempat lengang. Mencekam. Juna yang selama ini dikenal bandel hanya di lingkungan sekolah, akhirnya berani membentak mamanya.
"Coba kamu bersikap sedikit dewasa, Juna. Lihat kembaran kamu. Dia bisa dibanggakan di mana-mana. Mama heran, kalian satu rahim, kenapa tingkah kalian bumi dan langit?!" Selli memijat pelipisnya dengan frustrasi. Dia belum selesai. "Lihat piala di sana, Sena menggunakan waktu untuk belajar dan membanggakan kami. Sementara kamu, bikin onar sana-sini. Bikin pusing orang serumah. Kemarin kamu ngerusak motor teman di sekolah, hari ini tawuran, besok apa lagi?!"
"Berhenti membandingkan kami, Ma!" Juna sudah berusaha menekan suaranya agar tidak meninggi. Tapi emosinya kadung tersulut. Dia sebenarnya tidak ingin membentak Mama. Toh, biasanya Juna hanya akan mendengarkan dan diam jika Mama seperti ini. Dia terima dihakimi seperti apa pun. Tapi, kali ini rasanya Juna sudah lelah dan muak.
Juna juga anak Mama, kenapa harus dibeda-bedakan? Apa Juna harus meniru Sena agar orang-orang di rumah ini menyukainya?
Apakah di rumah ini semuanya melulu soal Sena, Sena, dan Sena?
Betapa Sena yang penurut. Sena yang selalu mendapat ranking satu di kelas, bahkan paralel. Sena yang mudah dipahami. Sena yang tidak neko-neko. Sena yang selalu dibawa ke mana-mana lalu dibangga-banggakan kepada semua orang. Sena yang bisa menyenangkan orang-orang di sekitar.
Sementara Juna adalah antitesis Sena.
Mama benar. Sena adalah langit. Juna adalah bumi. Bumi yang paling dasar. Semua orang hanya akan menatap langit yang elok dan melupakan bumi yang gersang.
"Masuk kamar. Kamu dihukum. Mulai besok kamu berangkat terpisah dengan Sena. Terserah naik apa."
Juna mulai akrab dengan hukuman-hukuman yang kalau mamanya mau sadari sedikit saja, hukuman itu justru membentangkan jarak yang mengerikan di antara mereka.
Namun, apakah mamanya memang mau mengerti sejak awal? Tidak. Sudah Juna katakan berkali-kali-sampai bosan rasanya-jika Sena anak emas di rumah ini. Juna hanya beruntung tidak ditendang dari rumah ini dan menggelandang di luar sana.
"Apa lo lihat-lihat?!" Mbak Sarah yang berpapasan di tangga, menatapnya dengan sebal.
Juna melanjutkan langkah, tidak menggubris. Kakaknya itu juga berpihak pada Sena. Sudah dibilang, Juna cukup beruntung tidak didepak dari sini. Atau tinggal menunggu waktu saja?
***
"Lo mending pulang deh. Daripada runyam nanti urusannya."
"Aku bakal pulang kalau kamu juga pulang, Jun."
Juna terpaksa menarik kerah baju Sena dengan kasar. "Pulang! Pulang sebelum kesabaran gue habis!"
Namun, Sena masih bergeming. Tak mau pergi. Dia mencoba membujuk kembarannya sekali lagi. "Mama bakal marah, Jun. Kamu besok bakal diskors lagi. Kemungkinan terburuk, sekolah bakal D.O kamu."
"Apa sih peduli lo?! Lo cukup jadi Putra Mahkota aja. Nggak usah campuri urusan gue. Sana pulang!"
Ketika mereka masih berdebat, ketika Juna lengah, sebuah batu sekepalan tangan melayang. Sebelum keduanya sempat menyadari, batu itu sudah menyasar di pelipis Sena. Tubuh Sena ambruk ke tanah, darah segar mengalir dari pelipis. Juna yang panik segera berjongkok, setengah memeluk Sena. Melindungi tubuh Sena seraya mengeluarkan sapu tangan dan menekan bagian yang terluka. Menghentikan aliran darah.
Satu-dua batu juga menyasar di punggung Juna. Dia menoleh geram, bukan untuk tahu siapa yang telah melemparnya. Matanya memindai cepat, mencari sahabat-sahabatnya. Begitu menemukan, dia cepat berteriak. "COVER GUE. CEPET!"
Seketika, Juna memapah Sena keluar dari persimpangan jalan itu. Juna tidak lagi peduli dengan tawuran di belakang sana. Rintihan pelan Sena membuatnya gugup. Ada ketakutan yang menyelinap di hati, yang mati-matian dia sembunyikan. Bukan kemarahan Mama yang sudah pasti menantinya.
Dia ... dia takut Sena kenapa-kenapa.
Sampai di tepi jalan raya, Juna melambai cepat pada sebuah taksi yang melintas. Sena yang dia papah sudah setengah pingsan. Dan Juna semakin gugup.
***
Koridor IGD itu lengang, setelah sebuah tamparan terdengar nyaring dan ngeri. Seperti yang Juna sudah duga. Dia tidak lagi terkejut dengan gerakan Mama yang tiba-tiba menamparnya. Sama halnya dengan darah yang muncul di sudut bibirnya. Tentu kali ini tamparan yang dia terima lebih kencang. Pipinya berkedut perih. Tapi siapa yang peduli.
Di bawah tatapan keluarga dan beberapa orang yang lewat, Juna berdiri tenang. Dia tidak menunduk seperti pesakitan. Dia hadapi kemarahan yang berkobar di mata teduh Mama. Juna diam-diam merindukan tatapan teduh milik mamanya, yang entah kapan terakhir kali dirinya ditatap seperti itu. Kenapa Juna harus kehilangan tatapan teduh itu sementara Sena tidak?
Tidak ada tanda-tanda Juna akan menyangkal apalagi membela diri. Dia sedang menunggu kalimat penghakiman mamanya. Menyiapkan hatinya, yang lama-lama akrab dengan situasi seperti ini.
"Kamu bukan anakku!"
Juna tersenyum tak mengerti. Bagaimana mungkin dirinya bukan anak Mama, kalau ada Sena yang memiliki wajah serupa dengan Juna? Bagaimana mungkin?
Papa mendekap istrinya dari samping. Mencegah kalimat selanjutnya. Juna mengdengkus pelan. Papanya juga sama, meski tidak memukul Juna, tapi mata tajam itu mengisyaratkan sebuah kebencian. Tidak ada yang membela Juna. Atau paling tidak, menasihati Juna dengan sabar. Mengatakan jika besok-besok jangan diulangi. Atau bertanya, alasan Juna nakal. Tapi mana mungkin. Selama ini, yang terjadi selalu begini: Sena terluka, maka Juna adalah penyebabnya.
Dokter yang menangani Sena muncul dari sebuah pintu. Papa dan Mama segera mendekat. Dengan suara bergetar, Mama bertanya keadaan anaknya. Ada iri yang secara terang-terangan Juna perlihatkan. Tapi siapa pula yang peduli?
Juna benar-benar ditinggalkan sendirian.
Kamu bukan anakku! Kalimat itu berhasil bercokol di kepala Juna. Tiga kata yang terus berulang. Apakah mamanya baru saja membuangnya? Sudah jelas-jelas Juna anaknya, kenapa harus meneriakkan kalimat itu? Seakan-akan perasaan Juna yang terluka bukanlah apa-apa.
Juna tertegun lama, hingga penjelasan dokter atas kondisi Sena tidak terdengar. Tapi dia melihat kedua orangtuanya berlari masuk, tergesa ingin melihat Sena.
Sudahlah. Juna tidak perlu cengeng. Dia sudah terbiasa begini. Dia tidak perlu repot-repot menjelaskan apa-apa. Kalau pun iya, apakah akan didengarkan dan dipercaya?
Ketika berbalik, dia berpapasan dengan seorang suster. Suster itu menatapnya lama sebelum berseru. "Mau ke mana? Telingamu terluka!"
Mama, Papa ... Juna juga terluka, bukan hanya Sena. Kenapa kalian menutup mata? Juna juga sakit. Juna juga ingin dipeluk seperti kalian memeluk Sena. Juna ingin ditangisi seperti kalian takut kehilangan Sena.
Juna hanya ingin diperlakukan sama.
***
"Juna!"
Juna tetap berjalan, tidak menoleh meski Sena nyaris melompat dari mobil yang melaju pelan itu.
"Jun, ayo bareng. Mama nggak bakal tahu."
Juna masih mengabaikan. Tidak tertarik dengan tawaran Sena. Dia mulai terbiasa berangkat sekolah naik bus.
"Bang Juna!"
Barulah Juna menoleh, dia menatap sengit kembarannya itu. Sena jarang memanggilnya seperti itu.
"Ah, terdengar lebih baik ya? Oke, mulai sekarang aku panggil 'Bang Juna' aja."
"Cerewet," tukas Juna. Tapi Sena tertawa. Dia tidak marah dengan kalimat-kalimat ketus kakaknya. Dia menyadari jika itu bentuk kasih sayangnya.
Sena turun dari mobil, ikut duduk di halte bus. Menunggu hingga bus yang akan ditumpangi Juna datang. Beberapa orang yang takjub dengan paras mereka, tidak sungkan-sungkan untuk menoleh lebih maksimal. Bagai pinang dibelah dua. Yang membedakan hanya ekspresi di wajah mereka. Yang satu kalem, yang satu jutek.
Bus merapat. Juna berdiri tanpa repot-repot menggubris Sena. Kemarin juga begini, Sena akan duduk menemani hingga bus datang lalu masuk ke dalam mobil dan sengaja menyuruh pak sopir untuk mengemudi di belakang bus. Tapi kali ini, Juna terperangah ketika Sena menyusul ke dalam bus.
"Ngapain lo?!" Ketika Sena menghempaskan diri di sebelahnya.
"Kayaknya naik bus lebih seru."
"Turun!"
Sena menoleh, tersenyum dan menggeleng. Benar-benar menyebalkan. Bus melaju, dan Juna mengabaikan keberadaan Sena di sana. Dia juga tidak peduli jika mereka kembali menjadi pusat perhatian di dalam bus. Kenapa sih mereka? Tidak pernah lihat anak kembar?
Begitu tiba di halte depan sekolah, Sena langsung menempel ke Juna. Pun ketika mereka melangkah menuju gerbang sekolah, Sena merangkulkan satu tangan ke bahu Juna. Sudah ditepis berkali-kali dengan kesal, tetap saja Sena ngeyel. Beruntung mereka berada di kelas yang berbeda. Sena tidak lagi menempel seperti anak koala.
"Bang Juna,"
Kaki Juna yang hendak menaiki anak tangga, terhenti. Dia berhenti tanpa berbalik. Bertanya dingin. "Apa lagi?"
"Nanti mau main futsal ya? Aku ikut!"
"Nggak." Juna melanjutkan langkah.
"Bang!"
Astaga. Anak itu. Kenapa pula Juna refleks berhenti juga? Kali ini dia menoleh. Biar Sena tahu jika kelakuannya pagi ini benar-benar menyebalkan.
Sena menunjuk jaket yang dikenakan Juna. "Bang, pinjem jaket."
"Lo 'kan udah punya sendiri."
"Beda. Lebih bagusan jaket itu."
Juna heran sendiri. Mereka sudah mengenakan apa-apa sesuai peran. Sena yang rapi selalu mengenakan barang-barang bagus dan layak pakai. Berbeda dengan Juna yang apa-apa senyaman dia. Ini padahal jaket jins Juna sobek sana-sini, dengan tempelan seperti gembel pula, sama sekali bukan gayanya Sena.
"Bang,"
Daripada lama dan ribet, Juna melepas jaketnya. Dia melempar begitu saja dan ditangkap dengan sigap oleh Sena.
"Eh, bentar. Kita tukeran," tahan Sena.
"Nggak usah. Jaket lo norak."
Keduanya tidak tahu jika itu percakapan terakhir mereka dalam keadaan normal. Tanpa firasat apa-apa. Andai ada sedikit saja, andai takdir sedikit berbaik hati, keduanya tidak akan saling kehilangan. Atau paling tidak, sebelum pergi, ada kata perpisahan yang terucap.
***
Juna menjalani perawatan di Jogja. Ratih berbaik hati melibatkan diri dalam konflik keluarga kakaknya yang seperti tak berujung itu. Dia mengambil keputusan cukup bijak untuk membawa Juna ke Jogja-entah akan sampai kapan. Yang paling menyedihkan, kakaknya itu tidak mau tahu. Jadi urusan membawa Juna ke Jogja tidak menemui kendala yang berarti.
Kemarin, dunia milik kakaknya runtuh dalam sekejap. Badai menggulung hidup kakaknya tanpa ampun. Ratih tidak bisa membantu banyak selain mengungsikan Juna. Meski rasanya dia ingin meledak juga. Tapi dia tidak boleh ikut hancur. Dia harus menjaga Juna. Fokus dengan pemulihannya.
"Tante kenapa baik sama aku?"
"Kenapa harus nggak baik?"
"Aku nakal."
Ratih mengusap dahi keponakannya dengan hati-hati. "Juna, jangan memikirkan apa-apa dulu. Kamu harus pulih cepat."
"Aku pengin pulang, Tante."
Sesaat, Ratih tertegun. Dia membawa Juna bukan tanpa alasan. Dia ingin merawat anak ini, yang mungkin akan terabaikan jika tetap di rumah itu. Tapi yang mengejutkan, anak ini justru ingin pulang. Kenapa ingin pulang setelah mendapat banyak hal menyakitkan di rumah itu?
"Juna Sayang, dengarkan Tante baik-baik." Ratih berusaha tegar. Meski suaranya sudah bergetar menahan tangis. "Kamu sementara di sini dulu. Nanti ketika kamu benar-benar pulih dan semuanya baik-baik saja, Tante antarkan pulang."
"Sena mana?"
Pertanyaan itu bagai bom waktu yang meledak tepat di jantung Ratih. Dia tidak tahu apakah berbohong akan memperbaiki keadaan. Tapi demi melihat wajah Juna yang menunggu jawabannya, Ratih akhirnya menunduk. Mulutnya membisu. Hanya bisa menggenggam tangan Juna.
"Sena di rumah, 'kan? Dia pasti lagi ikut Mama ke acara amal. Atau nggak, ikut Papa main tenis." Juna mendadak ragu saat melihat tantenya hanya diam. "Bukan, ya? Ah, dia paling diajak nonton ke bioskop sama Mbak Sarah."
Tangisan Ratih tak terbendung lagi.
***
Gimana, sejauh ini bingung gak? Hehe
Aku bikin flashback-nya random gais. Buat yg bingung, bab ini belum selesai ya, nanti bakal ada penjelasan lagi, entah di bab berapa.
Tp bisalah kalian raba-raba dikit alur cerita ini 😚
Besok malem masih update, sekitaran jam 21.00. Stay tune ❤
Kamis, 11/07/2019
Revisi: 01.12.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top