14. Be There, As Always

Hari ini Juna menganggur. Lebih tepatnya, libur. Jadi dia tadi bangun pagi-pagi, menarik tubuhnya dari pelukan kasur, dan lari mengelilingi kompleks kosnya. Dia juga ikut mengantre bubur ayam favoritnya. Membuat beberapa remaja melirik ke arahnya lalu berbisik-bisik. Karena Juna sudah terbiasa, dia tidak risi. Menyendok bubur ayamnya dengan santai di bawah tatapan-tatapan terpesona.

Dia sebenarnya masih kuat lari mengelilingi kompleks dan taman ini sekali lagi, tapi perutnya tiba-tiba berbunyi melihat gerobak bubur ayam Mang Ujang. Jadilah, dia mampir. Rasanya lama tidak sarapan di sini. Juna sibuk mengumpulkan uang. Kadang, hari kosong seperti ini dia manfaatkan untuk bertemu sahabat-sahabatnya. Tapi sepertinya mereka juga sibuk sendiri. Terlihat dari grup chat yang sepi sejak semalam.

Selesai dengan bubur ayam, Juna beranjak dari sana. Setelah sebelumnya sempat berdebat soal uang kembalian, tetap Juna yang akhirnya menang. Dia selalu memberi uang lebih dan menolak kembalian. Mang Ujang mengucapkan terima kasih berkali-kali. Juna hanya tersenyum dan melangkah pergi.

Taman dekat kompleks kosnya ini tidak terlalu besar, tapi cukup ramai. Terlihat beberapa babysitter mengajak anak majikan mereka berjalan-jalan sambil menyuapi sarapan. Juna senang dengan pemandangan seperti ini. Dia suka keramaian, meski kadang di tengah keramaian, Juna merasa kesepian. Tapi, setidaknya, di tengah keramaian dia tidak sendirian.

Tidak ada tujuan lain, Juna memilih pulang. Dia bisa mandi, kemudian entah melakukan sesuatu yang tidak penting atau bermain dengan si Kembar. Baru selangkah meninggalkan area taman, tiba-tiba ada sebuah taksi berhenti di dekatnya. Seseorang yang membuka pintu dan turun membuat Juna terhenyak senang.

Tanpa keraguan, Juna menghambur pada wanita paruh baya itu. Memeluk erat-erat. Wanita yang biasanya hanya bisa dia dengar suaranya lewat telepon, kini berdiri di depannya. Juna bahkan menangis di bahunya. Berbisik tentang rindu.

***

“Kamu tinggal di sini?” Ratih mengingat baik-baik daerah kos yang pernah Juna sebutkan lewat telepon. Hingga dia bisa datang menemui dan memberi sedikit kejutan.

Juna mengangguk. Mereka duduk di ayunan yang ada di halaman kos. Beruntung penghuni kos kebanyakan sedang keluar. Sehingga Juna tidak khawatir ada yang menguping. Keluarga si Kembar juga sedang tidak di rumah—entah pergi ke mana.

“Tante sejak kapan datang?” Juna masih tidak percaya jika bisa melihat tantenya ada di sini.

“Kemarin.”

“Mama yang minta datang?”

“Iya. Mamamu minta ditemani. Kakakmu sudah pindah tiga bulan yang lalu.”

“Iya, aku tahu.”

Ratih menatap keponakannya. “Kamu belum mau pulang?”

“Memangnya Mama pengin aku pulang?” Pertanyaan itu dibalik. Bukan Juna bermaksud kurangajar. Tapi, memang kenyataannya begitu. Untuk apa Juna pulang jika kehadirannya tidak diinginkan di rumah itu?

“Tante lega lihat kamu baik-baik saja. Kirain cuma bohong. Tiap ditelepon kamu selalu bilang baik-baik saja.” Ratih tidak bisa menjawab pertanyaan Juna.

Juna tersenyum. Jika pun sakit, dia akan berbohong pada tantenya. Tidak ingin membuat orang kesayangannya cemas dan kepikiran.

“Tante di sini berapa lama?”

“Belum tahu. Nanti pulang kalau mamamu sudah mendingan.”

“Mama tetap akan begitu sampai nanti.” Juna skeptis sendiri.

“Kamu benar.” Ratih harus mengakui itu. Bahkan semua orang tahu fakta ini. “Hati mamamu ikut mati bersama Sena.”

Juna berdeham. Mengalihkan pandangan ke mana saja asal tidak bersitatap dengan tantenya. “Kalau ada yang bisa aku lakukan lagi agar diterima di rumah itu, akan aku lakukan, Tan. Tapi aku sudah di ujung. Mama sudah mendorongku begitu jauh, sampai rasa-rasanya aku lupa cara pulang. Aku juga nggak bisa mengemis kasih sayang ke Mama, Papa dan Mbak Sarah seperti yang lalu-lalu. Lima tahun ini, sejak pergi dari rumah, aku berusaha menerima. Kalau pun nanti, aku tetap nggak bisa pulang, ya udah. Aku nggak keberatan.”

Pundaknya ditepuk sedikit keras. Ratih bergetar mengatakan, “Pulang. Kamu harus pulang suatu hari nanti!”

Ratih diam-diam menyeka pipi, membuat Juna bungkam. Tapi dia sendiri menolak mati-matian air yang menggumpal di sudut mata. Dia tidak akan menangis.

“Juna ini apa sih buat mereka. Nggak ada artinya sama sekali. Aku mati nyusul Sena juga nggak akan ditangisi.”

“Tante yang akan menangis untuk kamu.”

“Kalau begitu Juna mati aja.”

Ratih tahu jika Juna hanya bercanda. Tapi air matanya semakin deras. Ketika sibuk menyeka pipi, tangannya diraih Juna.

“Tante kenapa sebaik ini? Dulu, ketika semua orang lebih memilih Sena, Tante selalu ada buat Juna. Ketika semua orang sibuk menangisi kepergian Sena, Tante bawa aku ke Jogja. Aku dirawat dengan baik. Diberi kasih sayang yang Mama nggak pernah kasih.”

“Mama kamu juga sayang kamu, Juna. Hanya saja ....” Ratih tidak menemukan kalimat yang tepat. Semua orang juga tahu bagaimana kakaknya memperlakukan anak kembarnya dengan berbeda. Percuma saja mengucapkan kalimat manis untuk menghibur Juna.

Jadilah Ratih mengusap kepala Juna dengan sayang, alih-alih melanjutkan kalimatnya.

“Hanya saja ....” Juna melanjutkan sendiri. “Juna memang tidak layak jadi anak Mama.”

***

Vian sakit. Itu kabar dari Danisha beberapa menit lalu sebelum naik ke pesawat—dia ada konser di Semarang. Sambil menyetir ke rumah Vian, Juna berusaha menghubungi Nina, tapi selalu tersambung ke operator yang mengatakan jika nomor yang dituju berada di luar jangkauan. Jam di atas dasbor menunjukkan pukul satu siang.

Ke mana anak itu? Ke luar kota? Juna menggeleng. Berhenti menebak dan fokus menyetir. Dia menambah kecepatan agar lebih cepat tiba di rumah Vian. Dia juga sempat menelepon Vian, tapi tidak diangkat. Juna makin cemas.

Tak selang berapa lama, Juna sampai. Dia memarkir sembarangan di depan pagar yang masih dalam keadaan tergembok. Juna memanjat pagar setinggi dua meter tanpa kesulitan yang berarti. Dia menemukan lampu teras yang masih menyala. Itu artinya Vian belum keluar dari kamar sejak semalam. Bertambahlah panik dia.

Pintu depan masih terkunci. Dia memaki pelan, besok-besok dia akan meminta kunci duplikat. Termasuk dengan apartemen Danisha dan Nina. Juna menyusuri rumah, dia ingat dengan jendela samping yang bisa dipecahkan. Terpaksa. Besok-besok dia akan ganti kaca itu.

Ruang tengah masih menyala terang. Juna segera menuju kamar Vian di lantai atas. Menaiki anak tangga dua-dua sekaligus. Kepanikannya sudah memuncak. Dia mulai berpikir macam-macam. Karena ini bukan Vian yang biasanya. Meski perempuan itu pendiam, dia selalu bilang jika ada apa-apa—termasuk soal sakit sepele seperti pilek sekali pun.

Beruntung kamar Vian tidak dikunci. Juna menerobos masuk, lalu jantungnya mencelos mendapati tubuh itu meringkuk di tengah kasur. Kepalanya ditelungkupkan di antara lutut yang ditekuk. Buku-buku tangannya memutih—memeluk dirinya sendiri dengan erat.

Juna bergegas mendekat. Menyentuh lengan Vian, membuat perempuan itu mengangkat kepalanya.

“Juna ....”

“Iya, ini Juna.”

Sedetik kemudian Vian menghambur ke arah Juna. Menangis tersedu-sedu di dalam dekapan Juna. Hanya menangis, tidak mengatakan apa-apa. Juna masih membiarkan, tapi dia bisa merasakan suhu tubuh Vian yang panas.

“Kita ke rumah sakit?”

“Aku nggak mau sendiri.”

“Ada aku, Vi.”

Vian menurut ketika Juna melepas pelukannya. Juna menuntun Vian duduk di tepi ranjang sementara dia membuka lemari. Mengambil satu tas besar, memasukkan beberapa baju Vian ke dalamnya. Berbalik, memeluk Vian dengan sebelah tangan dan membawanya ke rumah sakit.

Dalam dekapannya, Vian gemetar. Juna menahan diri untuk tidak bertanya sekarang. Vian harus cepat sampai rumah sakit.

***

“Nanti malam? Kenapa mendadak? Gue nggak bisa.”

“Sumpah, Bang, gue juga baru dihubungin lima menit yang lalu.”

“Tolak aja.”

“Ya nggak bisa gitu, ini klien signature kita.”

“Gini, Siska.” Juna mondar-mandir di koridor rumah sakit yang sepi. “Gue lagi di rumah sakit—”

Dipotong begitu saja. “Lo sakit apa, Bang?! Bukannya kemarin lo baik-baik aja?”

“Bukan gue, Sis. Vian yang sakit. Gue nggak bisa ke mana-mana. Dia nggak ada yang jagain.”

“Tapi gue nggak berani nolak, Bang. Gimana dong?”

“Tolak. Kasih alasan jujur aja. Gue emang nggak bisa beneran. Mau dibayar lima kali lipat, tetep nggak bisa.”

“Ya udah. Gue coba bujuk Bang Ben dulu deh.” Ben sama seperti Juna. Tapi karena Ben sibuk dengan bisnis barunya, Juna lebih sering mengambil jatah pekerjaannya.

Telepon dimatikan. Juna kembali ke ruang inap Vian sambil mencoba menghubungi Danisha. Dia seharusnya sudah mendarat.

“Halo, Jun. Gimana kondisi Vian?”

Juna melirik Vian yang terlelap. Beberapa menit yang lalu dokter menyuntikkan obat tidur agar Vian bisa beristirahat. “Buruk.”

“Buruk gimana? Yang spesifik. Sakit apa?”

“Dokter bilang tekanan darah rendah sama kecapekan.”

“Yakin?”

“Gimana lo tahu kalau Vian sakit?”

“Tadi pas jalan ke bandara, dia telepon gue.”

Juna lantas ingat dengan beberapa missed call dari Vian ketika dia sedang mengobrol dengan Tante Ratih. “Vian masih tidur, habis dikasih obat sama dokter. Nanti kalau bangun dan mendingan, gue bakal tanya.”

“Gue khawatir ini. Suara dia pas telepon kayak ketakutan. Tapi dia yakinin gue kalau lagi pusing aja.”

Juna juga merasa aneh ketika menemukan Vian meringkuk di kasur. Ketakutan tergambar jelas di mata yang biasanya teduh itu. Dia ingin menceritakan bagian ini, tapi berpikir ulang, takut Danisha malah tidak fokus dengan kerjaan.

“Dia bakal fine kok. Lo tenang aja. Gue bakal jagain.”

“Oke. Besok gue pakai penerbangan pertama.”

“Manggung jam berapa?”

“Habis magrib.”

“Semangat, Dan.”

“Okay.”

Sebelum meletakkan ponselnya, Juna mengetik beberapa pesan untuk Nina. Dia belum bisa dihubungi. Malah nomornya tidak aktif. Juna juga heran, sebenarnya Nina ada di mana. Tapi berkali-kali pula logikanya menjawab, tentu saja perempuan itu sedang bekerja. Hanya saja Juna tidak tahu di mana.

***

“Habis dari mana, Rat?”

“Keliling-keliling sebentar, Mbak.” Ratih seperti ingin melanjutkan. Sempat ragu sesaat sebelum akhirnya jujur. “Aku juga sempat bertemu Juna sebentar.”

Ratih menunggu ekspresi seperti apa yang akan muncul di wajah kakaknya. Beberapa saat dia tetap diam. Seakan takut jika interupsi sedikit saja membatalkan ekspresi yang dia tunggu.

“Bantu aku nyiapin makan siang, ya. Mas Arya sebentar lagi turun.” Selli meletakkan piring-piring yang dia bawa ke meja makan.

Diam-diam Ratih menghela napas. Dia hendak protes karena kalimatnya diabaikan, tapi kakaknya sudah berbalik ke dapur. Mengambil lauk yang sudah ditata di piring.

“Juna sehat, Mbak.” Ratih belum menyerah. Dia membantu membawakan gelas ke meja makan.

“Aku lupa belum nuangin puding ke wadah.” Selli bergegas ke dapur lagi. Calon puding itu masih ada di panci, di atas kompor.

Dengan sabar, Ratih mengikuti kakaknya. “Juna tinggal di kosan yang lumayan besar, Mbak. Tadi sempat ngobrol juga soal kerjaan dia. Aku bangga sama dia. Udah bisa beli mobil sendiri. Menghidupi diri sendiri. Mandiri.”

Seakan tidak terganggu dengan racauan adiknya, Selli menuangkan calon puding yang sudah dingin ke wadah. Santai mengelap beberapa tetes yang mengotori meja.

“Mbak ... sudah lima tahun.”

Selli menutup kulkas dengan gerakan biasa, setelah menaruh wadah itu di freezer. Dia menuju westafel, mencuci tangan dan melepas celemek yang sejak tadi dia pakai. Menggantungnya di dekat kulkas.

Ratih menatap sedih dan tak percaya. Bukan karena kalimatnya diabaikan sejak tadi. Tapi karena kakaknya itu tidak ingin mendengar apa-apa soal Juna. Dia hendak membuka mulut lagi ketika kakaknya itu tersenyum, menyambut suaminya yang menuruni anak tangga.

Di meja makan yang besar itu, Ratih merasakan kesepian yang mencekam.

***

Juna yang terkantuk-kantuk di bingkai jendela, segera terjaga ketika Vian memanggilnya. Kantuknya lantas hilang dan dia berlari mendekat.

“Mau minum?”

Vian mengangguk. Juna meraih gelas, dan dengan satu tangannya dia membantu Vian bangun. Menatap wajah pucat itu dengan sedih.

Meletakkan gelas kembali ke meja, Juna menarik kursi. Pukul sembilan malam ketika dia melirik jam di dinding.

“Mau makan?”

Vian menggeleng.

“Masih pusing?”

“Iya.” Lirih sekali.

Juna tidak ragu ketika meraih tangan Vian di sisi ranjang. “Gue takut lihat lo kayak tadi, Vian. Gue udah bilang, kalau ada apa-apa, lo harus bilang.”

“Aku hanya anemia,” belanya.

Melarikan telunjuknya ke dahi Vian seraya berkata. “Mikirin apa?”

Vian diam, enggan menjawab. Bahkan menghindari tatapan Juna.

“Soal rumah? Dia datang lagi?” Juna akhirnya menebak sendiri. Dia mengenal Vian dengan baik. Perempuan ini mudah terusik dengan hal-hal kecil. Masalah rumah tentu saja hal besar. Maka bertambahlah beban pikiran itu.

“Bisa kita pulang sekarang?” Vian mengalihkan.

Juna menggeleng. “No.”

“Juna ....”

Benar. Ini soal rumah itu. Apakah diam-diam Vian kembali bertemu dengan Om Gunawan? Jika iya, sejauh apa obrolan mereka? Juna rasanya ingin mendesak agar Vian mau bercerita, tapi tidak bisa. Ketimbang memaksanya bercerita, dia ingin Vian kembali tidur.

“Nggak apa-apa kalau nggak mau cerita.” Juna tidak memaksa. “Tidur lagi ya. Gue di sini.”

Vian menatap Juna, merasa tidak enak. “Kamu pulang aja, Jun. Aku nggak apa-apa.”

Juna tidak menjawab, dia menarik kursi satunya lagi. Menaruhnya di dekat lemari di samping ranjang. Kedua kakinya dia naikkan ke sana. Sekarang posisinya berlawanan arah dengan Vian. Punggungnya menyandar nyaman di kursi.

“Udah ngantuk. Lo tega biarin gue nyetir?”

Vian tahu jika itu dusta. Ketika Juna siap memejamkan mata, Vian justru masih terjaga. Dia setengah bangun, mencari jam dinding. Pukul sembilan malam.

Setelah menatap wajah terlelap Juna cukup lama, Vian merebahkan tubuh lemahnya. Satu tangan Juna yang ada di tepian kasur, dia genggam pelan-pelan. Tangan yang juga menggenggamnya tadi.

Seulas senyum tercetak di wajah pucat itu. Diikuti dengan air mata yang diam-diam menetes di atas bantal. Dia tidak tahu menangis untuk hal apa. Entah pikiran yang sedang menjejal kejam di otak atau karena keberadaan Juna di sini.

Ada hal yang tidak pernah bisa Vian ingkari; Juna adalah orang yang selalu membuatnya merasa tidak pernah ditinggalkan.

***


Kalian tim mana:

1. JunaDanisha

2. JunaNina

3. JunaVian

4. JunaYasmin

5. JunaAku 🤣


Rabu, 10/07/2019
Revisi: 01.11.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top