11. Memorable Place

“Pada janjian pake baju putih, tapi nggak bilang-bilang.”

Nina menggeplak lengan Juna. “Udah dibilang nggak sengaja samaan gini.”

Juna merengut, mengeluarkan banyak plastik dari bagasi. Masing-masing membawa dua plastik. Hari ini libur nasional. Mereka yang sama-sama tak ada kegiatan, menyempatkan berkunjung ke tempat mereka tumbuh bersama.

Tempat tumbuh bersama. Mungkin terasa tepat untuk Danisha, Nina dan Vian. Tidak untuk Juna. Dia memang bukan bagian dari mereka. Tapi lebih dari itu, Juna punya predikat spesial: menjadi sahabat sekaligus keluarga dalam perjalanan hidup mereka setelah keluar dari panti karena diadopsi.

Di pintu utama, Bunda Hani menyambut dengan senyum lebar. Memeluk erat mereka satu per satu. Terharu melihat empat anak yang tetap membekas dalam ingatan tak peduli tahun-tahun berlalu. Rasanya baru kemarin melihat anak-anak ini bermain di halaman belakang.

Juna yang dipeluk terakhir dan paling erat. Punggungnya ditepuk-tepuk penuh sayang. Dia tahu apa arti pelukan ini. Selalu sama. Setiap kali dia berkunjung ke panti ini, pelukan Bunda Hani selalu sama.

“Kalian udah makan? Berangkat jam berapa tadi? Macet sekali ya?” Bunda mengakhiri pelukannya, menyusut hidung sebelum bertanya. Beliau sesaat berpaling dari Juna. Mencegah air mata yang akan tumpah.

Vian menjawab, “Rencana berangkat jam enam, tapi Nina susah dibangunin, Bun.”

“Aduh, gue lagi yang kena.” Selalu saja. Kalau ke mana-mana telat, Nina yang jadi alasan.

Panti terletak di jantung ibu kota, tapi kemacetan membuat perjalanan berkali lipat lebih lama.

“Udah sarapan?”

“Belum, Bun.” Danisha nyengir. Lalu kena sikut Nina.

Bunda Hani menengahi. Dia menggamit keduanya dan menggiring ke ruang makan. Juna yang belum lapar, memilih berjalan ke arah yang berbeda. Vian bingung ikut siapa. Tapi melihat Juna yang berbeda, dia tahu, dia harus menemani lelaki itu.

Langkah mereka terhenti di ujung teras belakang. Anak-anak sepertinya berada di aula. Terdengar celotehan mereka. Belum menyadari jika Kakak-kakak kesayangan datang. Sebelum mereka menyadari, Juna ingin mengenang sebentar. Memberi ruang untuk hatinya melepas beban, walau hanya sedikit.

“Rasanya baru kemarin ya, Vi.” Juna tahu jika Vian mengekorinya.

Vian maju hingga sejajar dengan Juna. Menatap lapangan basket yang senyap. “Iya, rasanya baru kemarin kita berlima main di sini.”

“Kalian lebih dekat dengan Sena.”

“Dia lebih ramah. Sedangkan kamu galak.” Vian menoleh, meneliti perubahan ekspresi di wajah Juna. “Nggak masalah mau dekat dengan siapa. Di mata kami, kalian sama.”

“Kami berdua ... berbeda.”

Namun Vian mengabaikan. Dia meraih satu tangan Juna, menggenggamnya. “Terima kasih karena dulu kalian datang ke sini. Berteman dengan kami. Hingga kami berpisah karena diadopsi, tapi kamu membuat kami tetap bersama. Kami sangat, sangat bersyukur bertemu kamu.”

Juna tahu, apa yang dikatakan Vian tulus. Itu bentuk penghiburan yang perempuan itu berikan padanya. Alih-alih mengenang hal buruk, Vian selalu mengatakan hal-hal baik yang Juna lakukan.

Jika banyak orang memandang Juna sebelah mata, maka Vian orang pertama yang memercayai jika Juna sebenarnya baik. Dengan cara yang berbeda.

Vian mengerti alasannya. Juna lelah dibanding-bandingkan dengan Sena.

“Gue cuma bayang-bayangnya Sena. Di mana pun. Setiap hal buruk yang gue lakukan, mereka bakal menghakimi tanpa ampun. Mereka nggak pernah tanya, kenapa gue lakuin itu. Seharusnya mereka tanya.” Juna mulai larut. Vian di sebelahnya, menepuk punggungnya dengan lembut.

Vian membasahi bibir. Iya, seharusnya mereka tanya. Hingga mereka paham bahwa Juna juga ada. Semua tidak melulu soal Sena, Sena dan Sena.

Beberapa menit meratap, Juna mengusap wajah. Sepuluh tahun sudah berlalu. Tapi dia masih seperti ini. “Sorry, Vi. Gue kekanakan banget.”

“Nggak apa-apa. Kita bisa ngobrol tentang ini lebih lama. Santai, Jun.”

Mereka beralih duduk di kursi besi yang sudah tua. Tepat di bawah rindangnya pohon randu.

“Selama ini, kamu memilih tenggelam sama kerjaan. Dari satu tempat ke tempat lain. Belum termasuk ngurusin kami—aku, Danisha dan Nina—yang ribet banyak drama ini.”

Hati Juna menghangat. Mengunjungi panti ini selalu tidak mudah untuknya. Terlalu banyak kenangan tercipta di tempat ini—di setiap jengkalnya ada nama Sena. Bahkan lapangan basket di depan mereka, membayang raga Sena.

Lalu, yang hadir di kepalanya mulai membuat sesak. Ada jeritan tangis Mama. Tatapan kecewa Papa. Dan juga tatapan dingin Mbak Sarah. Juna tidak pernah diberi kesempatan untuk menjelaskan atas sebuah cerita. Dia sudah telanjur biasa disalahkan. Biang masalah. Orang-orang tidak lagi percaya padanya.

Apakah seburuk itu Juna di mata orang-orang, atau bahkan di mata keluarganya sendiri?

“Kita bisa mulai dari mana pun, Juna.” Suara Vian menginterupsi lamunan.

Juna membuang napas. Masalah antara dirinya dengan Sena, bukan lagi sebuah beban. Hatinya sudah terlatih untuk menerima dan melepaskannya sekaligus. Yang terburuk dari semua ini adalah, sepuluh tahun Juna hidup dalam pengasingan. Apakah terdengar berlebihan?

Dia masih tinggal di ibu kota, setelah lima tahun lalu memutuskan pergi dari rumah tanpa ada yang mencoba menahan. Lima tahun, dia banting tulang menghidupi diri sendiri. Menyelesaikan kuliah dengan biaya sendiri. Tidak ingin menyusahkan Mama atau Papa. Termasuk di hari kelulusan yang tidak dihadiri satu pun keluarganya.

Apakah orang—yang mereka juluki pembunuh—ini memang layak dibenci seumur hidup?

Kalau iya, Juna akan berhenti berharap sekarang. Sudah sepuluh tahun. Juna lelah.

***

Alih-alih bercerita, Juna lebih memilih bangkit dari duduknya. Vian tidak banyak bertanya, hanya mengikuti langkah lelaki itu. Dia tahu, Juna sebenarnya rindu dengan panti ini. Jikalau Nina tidak memaksa, pasti Juna tidak sempat berkunjung. Selain tidak mudah untuk mendatangi tempat yang menyimpan banyak kenangan, Juna juga selalu menyibukkan diri.

Berharap kesibukan menelannya dan bisa membuatnya lupa dengan segala rasa sakit yang tersimpan baik di hati. Segala rasa sakit itu, biarkan saja mengendap di dasar hati. Yang mungkin suatu hari nanti akan membunuh dirinya sendiri.

Sampai di aula, langkah Juna terhenti. Dari jendela, dia bisa melihat semua anak panti berkumpul di sana. Semua fokus menatap ke seorang perempuan yang sedang memberi contoh cara membuat ... entah apa. Suaranya tak terdengar dari sini. Tapi ada sedotan di tangan kirinya, dan alat yang lain di tangan kanan.

“Lo kenal, Vi?”

“Oh, Yasmin?”

“Yasmin?” Keningnya berkerut. “Siapa?”

“Nanti aku kenalin.”

“Kalian kenal?”

“Iya. Pernah ketemu dia. Sering kok main ke panti.”

“Emang lo kapan ke sini?”

“Bulan lalu.”

“Kok nggak bilang-bilang?”

“Kamu sibuknya macem bapak pejabat gitu.”

Juna kembali menoleh ke sisi kirinya. Memperhatikan perempuan bernama Yasmin itu.

“Jangan dilihatin terus. Nanti naksir.” Vian berdeham, menyindir.

“Biasa aja. Nggak cantik dia.”

“Awas ya kemakan omongan sendiri.”

“Beneran. Mukanya sama kayak kalian.”

“Hih, beda. Dia kalau dari dekat, cantik banget, Jun. Aku mah apa.”

“Lo imut, Vi. Jangan insecure.”

“Dokter hewan.”

“Ha?”

“Profesi dia.”

“Oh.”

“Anak mana?”

“Bandung. Tapi ngekos di Jakarta.”

Melepas tatapan dari jendela, Juna kembali melanjutkan langkah.

***

Barulah ketika jam makan siang, anak-anak meninggalkan aula bersama Yasmin. Ribut sekali memasuki ruang makan. Apalagi setelah melihat Danisha, Nina dan Vian meja makan, mereka menjerit.

Juna yang meluruskan kaki di ruang tengah sampai berjengit. Mendumal pelan lalu kembali ke ponselnya. Membaca chat yang menggunung sejak kemarin. Semuanya urusan pekerjaan. Oh, tidak semua. Ada chat dari Mas Rizki. Dia membukanya. Tampak satu video si Kembar diikuti caption.

Mas Rizki: Lihat, kita main ke kolam renang beneran dong, Om!

JunaAwas ada buaya!

Mas Rizkilo beneran bilang gini ke anak-anak, gue bakar kos lo ya!

Junabakar aja sih, kos bini lo itu

Mas Rizkianjrot

Juna tertawa.

Beberapa anak yang tak sengaja mendengar tawa Juna di ruang tengah, menghambur ke sana. Mendusel begitu saja di sisi kanan-kiri Juna. Dibalas dengan rangkulan penuh sayang.

Akhirnya Juna diseret ke meja makan. Lebih tepatnya, dipaksa. Mendapati semua kursi yang penuh, Juna hendak menarik kursi dari ruang tengah. Tapi urung ketika suara itu terdengar di telinganya.

“Ini masih kosong satu.”

Juna berbalik, menatap ke tempat suara berasal. Wajah itu tersenyum. Ada yang meleleh di hati Juna. Segampang itu, ya? Kenapa Juna terlihat amatiran begini?

Ketika melangkah ke kursi itu dan melewati Nina, Juna kena cubit di lengan. Itu sebuah peringatan. Nina pasti sudah tanggap. Dia sudah punya firasat jika Juna akan jatuh cinta lagi. Masalahnya, bukannya Nina tidak senang dengan fakta itu. Tapi dia hanya tidak mau Juna menyakiti perempuan lagi.

Sambil mengusap lengan yang sakit kena cubit, Juna duduk di sebelah kiri Yasmin. Sedetik setelah duduk, Juna mengulurkan tangan tanpa ragu. Tanpa malu-malu. Oh iya, tolong ingat, tidak ada kamus malu berkenalan dengan perempuan dalam hidup Juna.

Nina di seberang meja sudah menatap keki. Danisha juga melirik senewen. Hanya Vian yang tetap positif thinking.

“Juna.”

Yasmin menjabat tangan yang terulur. Tersenyum seadanya, tapi tetap cantik. “Yasmin.”

“Pantes aku bau melati terus dari tadi,” godanya.

“Mungkin lo diikutin Suzanna.” Nina menyahut asal. Memecah suasana bunga-bungaan yang sempat tercipta.

“Gue ngemil melati selama di mobil.” Danisha tak mau kalah.

Vian menatap dua sahabat perempuannya bergantian. Bingung, dirinya perlu ikut menyumbang suara atau tidak.

Yasmin menarik tangannya lepas. Juna segera tanggap. “Oh, maaf, maaf.”

Makan siang dimulai. Juna mencari celah. Dia bertanya apa saja ke Yasmin. Awalnya hanya obrolan ringan. Tapi lama-lama justru mengundang perhatian yang lain.

“Makan dulu, kali.”

Roaming. Uhuk.”

Juna yang sadar sedang disindir, tertawa pelan. Yasmin yang terlihat mudah berteman, tersenyum ke arah Nina dan Danisha. Apa mereka juga sudah saling kenal? Seperti Vian yang sudah mengenal Yasmin?

“Yas, kamu udah kenal mereka berdua?”

“Kenal.” Yasmin menjawab pendek.

“Kenal di panti?”

Yasmin menggeleng. “Danisha kenal di salah satu acara pemkot Bandung. Kalau Nina sering lihat, tapi secara personal belum kenal.”

“Vian?”

“Kenal di sini.”

“Ya ampun.” Juna tampak takjub. Sungguhan. Tidak dibuat-buat. “Jodoh ya kita.”

“Eh, apa hubungannya, Jubaedah?” Nina tak terima.

Danisha hendak menambahi, tapi Juna bermanuver cepat. “Kalian iri dengki ya lihat gue bahagia?” Juna menyipitkan mata dengan gaya menyebalkan. “Atau cemburu? Udah, ngaku aja. Gue bakal terima kecemburuan kalian sebagai suatu kehormatan. Sepuluh tahun, Gengs. Gue nunggu siapa duluan yang ngaku cinta ke gue.”

Baik Danisha atau pun Nina menahan diri untuk tidak mengumpat. Pertama, ada Bunda Hani. Kedua, banyak anak kecil di sini.

Bunda Hani yang sedikit paham, hanya tersenyum mendengar perdebatan mereka. Tidak ada alasan untuk melarang Juna banyak bicara. Meski mereka sedang makan. Mengingat bagaimana dulu Juna yang lebih banyak diam. Melihat Juna yang sepuluh terakhir, sangat amat berbeda, membuatnya senang dan miris secara bersamaan.

Juna, yang sedang ditatapnya sekarang ini, entah Juna yang sesungguhnya. Atau Juna yang sedang menjadi Sena?

Ada pemahaman yang Bunda Hani tangkap sendiri. Juna bukanlah orang yang banyak bicara. Dulu, anak itu hanya bicara seperlunya. Lalu, setelah kejadian itu, Juna berubah. Entah tergerus oleh kemarahan atau rasa putus asa karena ditempatkan pada posisi dibenci.

Dibenci oleh keluarga sendiri.

Tanpa sadar Bunda Hani menyeka pipi. Beruntung, ramainya meja makan menyamarkan perubahan wajahnya. Tidak ada yang menyadari jika diam-diam beliau menangis.

Dari sekian banyak hal yang keluarga Juna lakukan untuk panti ini, Bunda Hani hanya berharap satu hal. Hal yang selalu beliau panjatkan dalam setiap sujud panjang.

Semoga anak itu bisa pulang suatu hari nanti.

***

Minggu, 26/05/2019
Revisi: 01.12.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top