10. Let's Making Friend [3]
Juna sempat terlelap beberapa saat sebelum pintu kamarnya diketuk. Dia membiarkan. Berpikir jika itu Mas Rizki yang akan ngomel atau mengajaknya merokok di halaman. Tapi gedoran ketiga, Juna terpaksa bangkit. Dia tahu siapa yang datang. Bukan Mas Rizki.
Bener dugaannya. Nina ada di depan pintu sekarang. Dengan raut wajah yang tak tertebak. Lebih tepatnya, Juna malas menebak.
“Kali ini kenapa?” Mau tak mau, Juna bertanya ketika Nina masuk begitu saja dan mengempaskan diri ke kasur.
“Jun, gue bawa makanan.”
“Terus?”
“Temenin makan.”
“Mana? Lo nggak bawa apa-apa.”
“Abang ojol-nya lagi otw.”
Juna mengacak rambutnya, gusar. “Keluar. Gue mau tidur.”
“Si Kembar nangis lo apain?”
Merebahkan tubuh di sebelah Nina. “Gue godain soal kolam renang yang gede.”
Nina memukul punggung Juna. “Mereka nangisnya imut.”
“Ya kali ada nangis yang imut.”
Juna bersiap memejamkan mata. Masa bodo dengan Nina yang minta ditemani makan.
“Jun, besok main ke panti, ya. Gue udah bilang ke Danisha sama Vian. Mereka free besok.”
Bergumam dengan suara serak. “Kebiasaan. Bikin acara tapi nggak tanya gue dulu. Semena-mena.”
“Besok lo kerja?”
“Kerja.”
“Yaelah, Jun.” Nina berpindah posisi, menyamping. Memeluk Juna yang membelakanginya. Membujuk. Wajahnya menumpu di punggung kokoh itu.
“Gue kangen pengin ke sana. Udah lama, ‘kan? Terakhir kapan sih? Awal tahun. Emang lo nggak kangen?”
“Nggak.”
“Nggak kangen Sena?”
Juna diam. Kalah. Jika beberapa orang berusaha memahami Juna dengan tidak menyebut nama itu, maka Nina adalah orang yang memaksa Juna untuk tetap ingat.
Nina bangkit, membuka jendela, kemudian duduk di tepian kasur. Sementara Juna masih membelakanginya. Dia sudah memeluk punggung itu berkali-kali. Namun, berkali-kali pula, punggung itu masih saja rapuh. Nina gagal menguatkan Juna dengan cara itu. Maka dia memilih membuka semua kenangan, tanpa takut membuat Juna terdiam seperti sekarang.
Mungkin saja, kenangan-kenangan itu justru menguatkan Juna.
Atau justru sebaliknya?
***
Si Kembar Juna dan Sena selalu mampir hampir setiap hari, kecuali Minggu. Ralat, kadang Minggu mereka juga bertandang ke panti. Diantar jam sekian, dijemput jam lima. Selalu begitu. Mereka jarang bergabung makan malam dengan penghuni panti.
Namun, kali ini berbeda. Si Kembar bahkan menginap di panti. Semua anak lelaki berebut menawarkan kamar pada Sena. Tapi tidak dengan Juna. Merasa diabaikan, Juna menyingkir dari meja makan yang masih berisik karena Sena belum memutuskan akan tidur di kamar mana.
“Semua orang siap di meja makan. Kenapa di sini?” Juna menegur.
Nina yang tadi menatap langit, menoleh. Tapi tidak menjawab. Sama seperti anak-anak di sini, dia juga tidak menyukai Juna—yang gayanya selangit itu.
Juna tetap mendekat. Dia melompati sepetak taman, lalu duduk di ayunan satunya yang kosong. Ikut menatap langit sebentar. Langit malam yang bersih tanpa mendung.
“Ada yang mau ngadopsi, kenapa malah sedih?” Juna sudah mendengar berita itu. Tapi dia tidak tahu kenapa mendadak sok akrab begini dengan Nina. Dia juga dengan mudah menebak apa gerangan yang membuat Nina terpekur di sini.
“Bukan urusanmu.”
“Emang bukan.” Juna mengangguk. “Tapi kenapa sedih?”
“Siapa yang sedih?”
“Lo. Biasanya ‘kan semangat banget kalau udah urusan makan. Paling heboh panggil-panggil yang lain. Kalau ada yang nggak habisin nasi, suka ngomel.”
“Berisik!”
Juna sedikit terkesiap. Bukan karena bentakan itu. Tapi lebih ke kalimatnya barusan. Sejak kapan dia menjadi pengamat dan hafal perangai cewek ini?
Mana Juna yang acuh tak acuh? Yang sama sekali tidak punya simpati, apalagi empati. Tapi, malam ini, melihat Nina duduk sendiri di sini, dia ingin menemani. Meski tentu saja dia tahu kalau cewek ini tidak suka kehadirannya.
“Kapan dijemput?” Juna bertanya setelah hening beberapa saat.
Nina melengos. Tidak mau menjawab.
“Iya. Gue nggak akan tahu rasanya diadopsi. Lima belas tahun hidup gue, gue tumbuh di tengah keluarga yang—”
“Yang sempurna. Yang lo tinggal tunjuk, semua bakal dituruti.” Nina memotong dengan kesal. Bisa-bisanya cowok ini sok tahu.
“Begitu, ya?” Juna bertanya pada dirinya sendiri. Jadi, ini yang selama ini orang pikirkan tentangnya?
“Iya, emang bakal dituruti semua. Mau minta barang apa juga bakal dibeliin. Mau liburan ke mana, tinggal berangkat. Itu kebahagiaan dari sudut pandang lo?” Juna tahu hanya bicara sendiri. Sia-sia. Tapi dia tetap melanjutkan. “Kalau dari sudut pandang gue, beda.”
Nina menoleh. Mengusap sebelah pipinya.
“Gue senang main ke panti. Meski anak-anak nggak suka gue, dan lebih menyukai Sena yang ramah dan pintar. Dia bisa bantu mengerjakan PR. Jadi teman yang baik. Sementara gue cuma debu di sebelahnya.” Juna terkekeh sebentar. “Lo sedih karena harus meninggalkan panti atau dapat orangtua baru?”
“Dua-duanya.” Nina akhirnya merespons. Tapi kemudian dia berseru. “Tahu apa sih lo?!”
Juna tetap tenang. “Lingkungan baru, teman baru, suasana baru, itu mutlak. Lo nggak selamanya di panti ini terus. Lo mau ngerepotin Bunda Hani terus-terusan? Besok-besok, Danisha sama Vian paling diadopsi juga. Ngapain sedih. Kalau pada akhirnya ya harus pisah.”
Nina mencengkeram tali ayunan. Diam-diam membenarkan kalimat Juna meski terasa sakit.
***
Makanan pesanan Nina datang. Setelah pertanyaan Nina dibiarkan menguap di udara, tanpa jawab, Juna menemani Nina makan di selasar depan kamarnya.
Si Kembar yang tadi menangis sudah diam. Kembali bermain kapal-kapalan di kolam plastik. Mas Rizki ikut bergabung ketika Nina menawari. Empat kotak besar pizza.
“Si Kembar udah berapa tahun, Mas?” Nina melempar pertanyaan.
“Tahun depan mereka udah masuk TK.”
“Wah, cepet ya, Mas. Perasaan baru kemarin aku nengok pas mereka lahir.”
“Iya. Nggak berasa. Tapi yang ngasuh mereka, berasa banget.” Mas Rizki tertawa. Nina juga tergelak.
“Sebandel apa sih?”
“Nggak bandel. Cuma kalau udah rewel, ampun dah!”
Juna diam, menyimak. Tidak tertarik nimbrung.
“Juna dulu juga kembar, Mas.”
Mas Rizki tersedak. “Heh? Serius?!”
“Juna nggak cerita?”
“Pantesan!”
“Emang gimana?” Nina penasaran.
“Pantes kampret ini bisa ngehandle si Kembar.”
“Mas belum tahu?”
“Juna pelit cerita.” Tunggu dulu. Ada yang aneh dari kalimat Nina. Mas Rizki menelan pizza di mulut, sebelum bertanya. “Juna dulu punya kembaran?”
Dulu?
“Iya.”
Meletakkan sisa gigitan pizza ke dalam kotak, Juna berdiri. Enggan mendengar dirinya menjadi topik obrolan secara terang-terangan begini.
“Mau ke mana?” Nina meraih ujung kaus Juna.
“Cari rokok.”
Nina ingin menahannya, tapi yang dia lakukan adalah membiarkan Juna meninggalkan selasar kamar. Melambai pada si Kembar yang bertanya heboh Juna mau ke mana. Lalu, punggung itu hilang di balik pagar.
Tanpa sadar Nina mengembuskan napas.
“Kembarannya sekarang di mana?” tanyanya hati-hati, setengah berbisik. Seolah takut akan didengar Juna.
Nina menoleh, tersenyum tipis. Menjawab pendek. “Pergi jauh.”
***
“Sendirian aja, Bang?”
Juna tak menjawab. Mengepulkan asap dari sela bibirnya. Dia sedang malas bertemu orang dan berbasa-basi.
“Suntuk?” Freska tersenyum menggoda. “Check in, yuk?”
“Sorry, Fres.” Juna akhirnya menoleh dan seketika menyesal. “Gue nggak kuat bayar.”
“Gratis deh buat Abang.” Lengkap dengan kedipan maut.
“Tapi gue nggak suka gratisan.”
Freska bergeser lebih dekat. Juna gerah. Tapi dia mencoba sabar. Meski dia tidak punya adik perempuan, entah kenapa sejak mengenal Freska lima tahun lalu, dia bersimpati.
“Fres, mau lanjut kuliah nggak?”
“Nggak.” Freska langsung menjauh satu jengkal ketika topik sensitif itu disinggung.
“Lanjut gih. Gue bantu bayarin.” Juna menatap santai meski dia tahu, gadis itu tidak suka dicampuri urusannya.
“Itu bisa bayarin. Diajak check-in nggak mau!”
“Lebih berfaedah buat lo nyari ilmu daripada ....” Juna tidak melanjutkan kalimatnya. “Lo pinter gambar, ‘kan? Sana kuliah seni, gue tanggung sampai lulus. Sayang bakat lo.”
Freska melengos. Malas menjawab atau membantah. Dia sibuk mengipas-ngipasi lehernya yang berkeringat. Juna nyaris mengumpat. Gadis ini hanya mengenakan tanktop dan hotpants.
“Kak Nina main ke kosan?” Dia tadi sempat lihat dari celah pagar ketika lewat di depan kosan Juna.
“Hm.”
“Kenapa malah di sini?”
Freska mengenal Juna sudah lama, yang artinya dia juga mengenal siapa saja orang-orang di sekitar Juna dengan baik. Meski orangnya itu-itu aja. Juna berteman dengan banyak orang, tapi membatasi wilayah privasinya untuk beberapa orang saja.
“Gue lagi pengin ngerokok.”
Mendengar kata rokok, Freska menengadahkan satu telapak tangan. “Bagi dong, Bang.”
Juna melempar bungkus rokok yang baru berkurang satu itu ke tong sampah. Freska mendelik kesal. “Selalu pelit.”
“Perempuan ngapain ngerokok?”
“Dih, kuno banget sih. Emansipasi.”
“Emansipasi lo kebablasan.” Juna mengambil kembalian di saku celana. Mengangsurkan dua puluhan ke gadis itu. “Buat jajan es krim.”
“Kurang!”
Juna berdiri, meninggalkan teras minimarket. Melambaikan tangan.
***
Kamis, 16/05/2019
Direvisi: 12.11.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top