In Cold Day

Sampai di apartemen, aku membukakan pintu untuk Reon dan mempersilahkannya untuk masuk.

"Maaf ya tempatnya sempit." kataku.

"Gak papa kok, oh ya aku boleh numpang disini dulu gak?" katanya.

"Boleh. Kan diluar mendung jadi berteduh aja dulu disini."

"Arigato (Y/n) manis." katanya sambil tersenyum manis.

"Doumo."

Aku membuatkan teh untuknya. Tapi aku lupa untuk membeli gula di supermarket, jadinya teh yang kuberi gula hanya 1 gelas saja. Aku menghidangkannya ke Reon yang sedang duduk sambil bermain handphonenya.

"Reon san, ini tehnya diminum dulu."

"Arigato. (Y/n)."

Reon langsung meminum tehnya tanpa ditiup dulu, "Pleh."

"Kenapa Reon san?"

"Tehnya panas."

"Ya tiup dulu dong. Kan baru diseduh tadi."

"Iya juga ya, ya ampun."

Aku meminum teh ku tapi, "Pleh."

"Kenapa (Y/n)?"

"Gak papa, tehnya pahit banget."

"Umm kalo gitu tukeran aja gimana? Aku gak papa kok minum yang pahit."

"Eh gak usah, ini pahit banget loh."

"Gak papa, sini." katanya sambil mengambil cangkir teh ku dan memberikan cangkir teh nya.

"Nah, kuminum ya."

Dia meminum teh ku yang rasanya pahit, namun ia tampak sudah terbiasa. Satu hal yang membuatku malu adalah saat dia minum tepat dibekas bibirku. Dia santai saja meminum teh itu seolah tak ada apa-apa.

"Bagaimana? Pahit ya?" tanyaku.

"Manis banget loh ini."

"Manis?"

"Iya. Soalnya manisnya ada di kamu." katanya sambil menunjukku.

"Reon san..." aku memalingkan wajahku.

"Haha. (Y/n) malu-malu."

"Kamu jago ngegombal ya?" kataku.

"Enggak kok. Ah, kayaknya aku kebawa-bawa sama Miyuki deh."

"Miyuki? Siapa itu?"

"Dia teman bandku. Yang rambutnya pirang panjang."

"Oh yang itu. Tapi ngomong-ngomong rambutnya bagus banget."

"Benarkah?"

"Iya."

Saat sedang asik mengobrol, badai salju datang. Angin kencang dan hujan salju yang turun sangat deras itu hampir menutupi seluruh jalanan.

"Badainya parah sekali." kataku.

"Hah. Pasti cuaca bakal dingin, aku malas sekali." katanya sambil melipat tangan di dadanya.

Tak lama handphone Reon berbunyi dan menandakan bahwa ada seseorang yang sedang menelpon.

"Nayuta?"

"Oi Misono. Dimana kau? Kenapa lama sekali?"

"Gomen Nayuta, aku sedang mampir di apartemen kenalanku."

"Hah?"

"Iya. Disini sedang badai jadi aku tidak bisa kesana sekarang. Gomen kalau aku telat."

"Tch, cepat datang kalau badai sudah reda."

"Baik."

"Siapa yang menelpon?"

"Nayuta. Yang rambutnya putih. Dia tanya kenapa aku telat datang."

"Oh begitu ya. Bagaimana kalau kuantar saja?" tawarku.

"Ini sedang badai, kita tunggu saja dulu disini. Lagipula terlalu berbahaya jika keluar rumah sekarang." katanya.

"Baiklah. Kalau begitu kita tunggu sampai reda saja."

"Hm." jawabnya mengangguk.

Sekitar 10 menit badai salju itu berlangsung dan tak lama badai itu mereda. Reon yang sedang fokus bermain handphone melihat ke arah jendela, "Sepertinya sudah reda."

"Mau berangkat sekarang? Mari kuantar."

"Tidak perlu. Aku bisa ke stasiun sendiri."

"Tidak apa-apa. Ini sebagai rasa terima kasihku karena kamu telah mengembalikan kartu ku."

"Nanti jadi hutang budi loh." katanya.

"Yah gak papa. Kan aku pengen bantu. Ayo."

Kami berdua akhirnya menuju stasiun yang letaknya tak jauh dari apartemenku. Reon yang sedang berjalan nampak kedinginan, dia berulang kali menggosokan telapak tangannya lalu menempelkan ke pipinya. Aku memberikan sarung tangan kepadanya.

"Pakailah." kataku.

"Eh tidak usah. Itu kan punyamu."

"Kamu kedinginan Reon san. Lihat tanganmu."

"Kenapa dengan tanganku?"

Aku menarik tangannya secara tiba-tiba, Reon terkejut hingga hampir saja terjatuh ke arahku. Tapi untungnya aku berhasil menahan tubuhnya.

"Gomen." katanya.

"Tidak apa-apa, sini aku pakaikan."

Aku memakaikannya sarung tangan, kulihat jari tangan kirinya yang penuh dengan luka dan goresan. Aku dengan cepat memakaikannya dan menggenggam kedua tangannya.

"Nah sudah hangat." kataku.

"Arigato (Y/n)."

"Doumo. Boleh tanya sesuatu?"

"Boleh tanya apa?"

"Jari tangan kirimu kenapa banyak luka?"

"Oh ini. Aku selalu latihan gitar agar kemampuanku semakin bertambah."

"Sampai separah itu?" tanyaku.

"Ini tidak parah kok. Lagipula ini kan hanya bekas luka saja."

"Aku jadi khawatir denganmu Reon san."

"Tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku latihan seperti ini demi band ku sendiri kok. Lebih tepatnya band milik Nayuta."

"Apakah Nayuta orang yang keras?"

"Ya dia memang keras, namun aku mengakui bakatnya yang memang hebat itu. Makanya aku terus berlatih agar Gyroaxia bisa terus berkembang jadi lebih baik."

"Reon san orang yang pekerja keras ya."

"Eh benarkah? Aku tak merasa begitu."

Tak lama kereta pun datang, Reon pamit kepadaku karena dia merasa sudah sangat terlambat.

"(Y/n). Aku pamit dulu. Bye."

"Bye, hati-hati Reon san."

Kereta pun melaju dengan cepat meninggalkan stasiun. Sempat aku melihat wajahnya yang manis itu tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumannya dan entah kenapa hatiku rasanya jadi hangat dan sedikit berdetak lebih cepat. Aku melihat kereta yang membawa pergi dirinya itu dan berharap aku bisa bertemu dengannya lagi di suatu hari.

Aku kembali ke apartemen dan melanjutkan kegiatanku di sana. Sesaat aku ingin memejamkan mataku, suara bel kamarku berbunyi.

TING TONG

Aku terbangun dan langsung menghampiri pintu, kubuka pintu itu dan terlihatlah sosok pria berambut merah dan berkacamata sedang berdiri di depan pintu.

"Apa benar kamu (Y/n) kenalannya Reon?"

"Iya benar. Anda siapa?" tanyaku.

"Aku Satozuka Kenta. Rekan sebandnya Reon. Apa Reon ada disini?"

"Barusan dia pergi." kataku.

"Pergi kemana?"

"Katanya dia mau ke tempat kalian. Apa kalian tak tahu?" tanyaku.

"Benarkah? Kalau begitu, arigato. Gomen sudah mengganggu." katanya sambil menunjukkan senyuman yang menawan lalu pergi.

"Aneh, kenapa temannya sendiri tidak tahu kalau Reon ingin ke sana? Ah sudahlah."

Malam harinya aku pergi ke supermarket lagi untuk membeli beberapa keperluan yang belum sempat aku beli. Setelah membeli aku pun mampir ke warung soba yang masih buka di jam yang sudah hampir larut.

"Oji san. Aku pesan..."

"Soba dan kroket."

Aku menengok ke orang yang memesan barusan, ternyata itu adalah Reon.

"Reon san?"

"(Y/n)? Kau juga ke sini?"

"Tentu saja. Soba dan kroket disini sangat enak. Ini tempat langgananku."

"Begitu ya."

Oji san pun membuatkan soba untuk kami berdua. Aroma soba yang hangat dan lezat itu membuat setiap pelanggan di warungnya jadi tenang dan ingin cepat-cepat menikmatinya. Begitu juga dengan aku dan Reon yang tak sabar menikmati soba kroket.

"Silahkan, 2 soba dengan kroket."

"Arigato Oji san. Itadakimasu."

Aku dan Reon mulai menyantap soba dan kroket masing-masing.

"Ini sangat enak." kataku.

"Benar kan. Mungkin akan lebih bagus kalau warung soba ini punya menu seperti itu." katanya.

"Ah nanti tidak jadi rahasia lagi dong." kataku.

"Rahasia?"

"Iya. Kan kamu yang bilang sendiri kalau ini rahasia, jangan bilang ke orang lain ya."

Reon pun mengingat perkataan tersebut kemudian ia menepuk dahinya sendiri, "Ah iya juga. Kenapa aku jadi pelupa ya?"

"Oh iya. Tadi temanmu yang rambutnya merah itu datang ke apartemenku."

"Kenta san?"

"Iya. Dia bertanya apakah Reon ada disini. Padahal baru saja kamu pergi. Masa dia tidak tahu."

"Itu...sebenarnya aku tidak pergi ke sana.."

"Eh? jadi kau pergi kemana?"

Bersambung..

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top