Semakin Berlaru-larut

Pak Min masuk, Aruna mengisyaratkan untuk diam, dan menunjuk Cara yang tertidur.

"Beruntung tangannya yang patah hanya satu," batin Aruna sambil mengelus kepala Cara.

Tepat saat Cara membuka mata dan mendapati tangan Aruna berada di kepalanya.

"Lah sudah siuman ini orang," batin Cara sambil menggeser tangan Aruna.

“Pagi Non,” sapa Pak Min membuat Cara kaget.

“Lho Pak Min kapan datang?”

“Tadi jam 4 an Non, semalan tidak bisa langsung kesini, soalnya Tuan masih di luar negeri jadi saya disuruh nyiapin dulu keperluan rumah baru kesini,” papar Pak Min.

“Kenapa gak bangunin saya Pak?” tanya Cara merasa tak enak.

“Ih Non Cara kan lagi tidur, kayanya capek, saya tidak tega mau bangunin. Mas Aruna juga gak ngebolehin,” kata Pak Min membuat Cara menoleh pada Aruna yang masih tertidur.

“Lho dia sudah siuman Pak?” tanya Cara kaget.

“Tadi sudah Non, tapi barusan diauntik lagi obat pereda rasa sakit, jadi Mas Arunanya ngantuk lagi,” kata Pak Min membuat Cara mengangguk.

"Ya sudah Pak, saya pulang dulu, titip Aruna ya Pak,” kata Cara diangguki Pak Min.

Biru sedang menuju apartemen Rilla, setelah menghubungi orang kantor untuk handle pekerjaan hari ini, karena dia harus memastikan Rilla juga baik-baik saja. Biru tahu Rilla akan mulai bekerja hari ini. Itu kenapa dia berangkat pagi.

Beruntung Biru melihat Rilla di lobby apartemen.

“La, kamu mau ke kantor? Aku antar ya,” kata Biru membuat Rilla kaget.

“Kenapa Bi?”

“Nanti aku jelaskan di mobil,” mau tak mau Rilla mengikuti Biru.

“La, ini hari pertamamu bekerja, tapi aku harus bilang, Aruna semalam kecelakaan. Aku sudah berusaha menghubungimu, tapi handphonemu tidak aktif. Dia sekarang dirawat di RS Persada,” papar Biru membuat Rilla membelalak kaget.

Rilla menutup mulutnya, menahan teriakannya, dan berusaha menata hatinya.

"Jangan-jangan Aruna ngebut karena aku tidak menerima lamarannya," batin Rilla merasa bersalah.

“Bi ...m”

“Kamu kerja saja dulu, nanti setelah kerja aku jemput. Kemana arah kantornya?” tanya Biru. Rilla menunjukkan arah dengan perasaan campur aduk.

Bagaimana bisa dia tenang bekerja kalau Aruna sedang tidak baik-baik saja.

“Inget La, nanti aku jemput, kita ke RS sama-sama,” kata Biru begitu Rilla turun. Rilla mengangguk.

Cara sedang berusaha konsentrasi pada maket yang harus dikerjakannya, karena akan digunakan untuk pameran beberapa hari lagi. Biru mengetuk pintu ruangannya.

“Bi,” sapa Cara tanpa beranjak dari meja.

“Aruna bagaimana?” tanya Biru sambil membantu Cara menata maketnya.

“Sudah siuman, tapi aku belum sempet ngobrol karena pas aku mau balik dia lagi tidur habis kena obat,” kata Cara.

“Hatimu, baik-baik saja?” tanya Biru membuat Cara mendelik.

“Kan aku harus terima kenyataannya Bi, Aruan sudah ngelamar Rilla, lagian apalagi sih yang kuharapin Bi, mereka juga gak bakalan putus kan walau Aruna gak melamarnya,” kata Cara pasrah.

“Kalau mereka putus bagaimana?”

“Jangan memberiku harapan dengan pengandaian.”

“Tapi kan tetap ada kesempatan.”

Cara menatap Biru,  bagaimana bisa mereka membicarakan tentang perasaan saat Aruna saja terkapar di rumah sakit.

“Udahlah Bi, besok aku ke Surabaya, aku akan pegang project yang di sana, mungkin sebulan. Jangan cegah aku. Aku titip Aruna, semoga dia baik-baik saja bersama Rilla,” kata Cara membuat Biru kaget.

“Ca?” Biru mendekat dan memegang pundak Cara tak percaya.

“Jangan cegah aku Bi, biar aku tenangin diri di sana. Ada Frasa di sana,” kata Cara menyakinkan.

Biru tak bisa mencegah, hanya memeluk Cara untuk menenangkan. Ingin rasanya dia mengatakan kalau Aruna kemilihnya, tapi dia tidak bisa mendahului Aruna.

“Oke, tapi pamit sama Aruna nanti sore sebelum berangkat,” kata Biru mengalah.

Cara mengangguk berat. Padahal dia ingin menghindari Aruna. Karena kalau dia menghadapi Aruna dia harus menata hatinya untuk tak mengingat lamaran Aruna pada Rilla.

Rilla berusaha menahan perasaannya dan bekerja semaksimal mungkin. Kini dia merasa menyesal menolak Aruna, tapi, kalau dia menerimanya, mungkin karir yang ingin ditempuhnya akan stagnan, karena dia menjadi punya kewajiban terhadap keluarga yang dibangunnya. Hah, bagaimana kalau memang Aruna kecelakaan karena tolakannya?

Biru sudah menunggu di depan kantor saat Rilla keluar. Dia benar-benar menjemputnya.

“Cara mana Bi?” tanya Rilla melihat Biru sendirian.

“Oh, dia harus lembur, karena ada kerjaan yang harus selesei hari ini,” papar Biru seraya melajukan mobil ke arah rumah sakit.

“Bi, kamu tahu kenapa Aruna kecelakaan?” tanya Rilla membuat Biru sedikit kaget.

“Aku tidak tahu La, aku di telfon kantor polisi jadi kronologinya aku belum bisa memastikan,” Biru berdusta.

“Apa karena aku menolaknya?”

“Hah, apa La?”

“Semalam Aruna melamarku Bi, dan aku menolaknya, apa karena itu?” Rilla menileh kepada Biru yang berusaha tidak menunjukkan perubahan wajahnya.

“Kita tanya Aruna saja ya,” kata Biru mengalihkan pembicaraan.

Sepanjang perjalanan akhirnya mereka berdiam dengan pikiran masing-masing. Biru hanya berharap semuanya tidak akan terluka parah.

“Na, sudah sadar?” tanya Biru saat Aruna sudah memainkan handphonenya.

“Sudahlah, kamu berharap aku koma? Lho La, kesini juga, dikabari Biru?” tanya Aruna membuat Rilla terkejut.

“Iya aku yang ngajakin Rilla,” Biru berusaha mencairkan suasana.

“Bi, bisa tinggalkan kami?” pinta Rilla membuat Aruna kaget.

“Oke.” Biru beranjak.

“Gak usah Bi, duduk saja di kursi, tutup saja tirainya,” kata Aruna membuat Rilla semakin terkejut.

“Tapi Na, aku ingin kita bicara serius,” pinta Rilla.

“Antara kita sudah selesei La, tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Bukankah aku sudah mengatakan semalam. Kamu terima lamaranku disaat itu juga atau kita berpisah,” terang Aruna membuat Rilla merasakan perih.

Biru hanya berdiam. Tak mengeluarkan sepatah kata.

“Tapi Na, bagaimana kalau aku berubah pikiran?” Rilla mencoba menahan pedih hatinya.

“Tidak La, sudah terlambat. Kamu tahu bagiku tidak ada kesempatan kedua untuk apapun,” kata Aruna tegas. Ya, dan Rilla sadar akan hal itu.

Biru membisu.

Cara yang melihat Rilla di dalam mengurungkan niatnya untuk masuk. Saat berbalik ada perawat yang akan memberikan obat kepada Aruna, seketika Cara mengisyaratkan untuk diam dan menitipkan bawaannya, dan dia berlalu menahan airmatanya. Perawat itu mengetuk pintu, memecah kebisuan diantara mereka.

“Mas, tadi ada yang nitip. Gak berani masuk,” kata perawat itu sambil meletakkan bungkusan Cara di meja.

Biru melangkah untuk melihat isinya.

“Setan kecil Na,” kata Biru.

“Lho, kenapa dia gak masuk sih?” Aruna kesal.

“Siapa setan kecil?” tanya Rilla kebingungan.

“Oh, Cara,” Biru terkekeh.

Rilla tidak pernah mendengar mereka menyebut Cara setan kecil sebelumnya.

“Itu nama yang hanya kami sebut saat bertiga,” terang Biru melihat wajah kebingungan Rilla.

Perawat menyerahkan obat pada Aruna dan berlalu.

“Jadi La, we dont have anything to talk about anymore. Kita sekarang hanya berteman, jadi ya, kamu seperti Biru juga posisinya, nothing special anymore,” kata Aruna.

“Na, udahlah. Gak usah dipertegas. Aku menghormati apapun keputusan kalian. Apapun itu, we friends?” Biru menepuk pundak Rilla menenangkan.

Rilla berusaha menahan perasaannya. Aruna mendengus.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top