Segalanya
“Jangan sembarangan berbicara dengan orang lain,” kata Aruna menggelandang Cara kembali ke ruang meeting.
“Aku bahkan belum mengatakan apa pun,” sergah Cara, setengah geli dengan sikap Aruna.
“Lalu apa yang akan kamu katakan sebenarnya?” selidik Aruna, membuat Cara terkikik.
“Kamu maunya aku bilang apa?” goda Cara membuat Aruna memasang wajah masam.
“Mungkin saja kamu akan mencari kesempatan,” jawab Aruna membuat Cara tertawa.
“Gila saja, aku mampu bertahan selama ini, dan kamu masih meragukanku? Memangnya kamu,” sanggah Cara membuat Aruna kecut.
Dani yang mengikuti mereka kembali ke ruang meeting hanya bisa menahan hatinya yang perih melihat kedekatan itu. Ya, dia memang harus mundur sekarang sebelum terlanjur menaruh harap lebih banyak lagi.
Semua staf melirik ke arah Aruna yang menggandeng Cara tanpa malu. Bisik-bisik langsung terjadi.
Meeting sudah selesai. Biru sudah membereskan laptopnya.
“Ayo makan siang dan kita bahas soal 'kalian’,” kata Biru seraya menatap Aruna dan Cara bergantian.
Cara tersenyum melihat Aruna kesal dengan sikap Biru.
“Dan, nanti malam kita makan bareng ya, sekalian hang out. Sebelum kami balik,” kata Biru membuat Dani kaget.
“Nanti aku ajak Frasa,” timpal Cara.
“Good.” Aruna menjawab singkat. Dia paham maksud Cara.
“Oke, Mas, nanti kasih tahu saja ketemu di mana,” jawab Dani pada akhirnya.
Dani paham dengan tawaran Cara.
Akhirnya mereka bertiga meninggalkan kantor.
“Aku tidak akan mengatakan apa pun,” kata Aruna bahkan sebelum Biru bertanya.
“Pak, ke TP enam,” kata Biru mengabaikan Aruna.
“Bi, bagaimana Rilla?” tanya Cara.
“Dia kembali ke Perancis. Dengan terluka pastinya. Tapi juga dengan pengakuanku tentangnya,” desis Biru.
“Kamu mengatakan padanya tentang perasaanmu?” desis Cara membuat Aruna terlonjak.
“Jadi selama ini kamu memendam perasaan terhadapnya?” Aruna mencengkeram leher Biru dari belakang.
“Lepaskan. Kamu sudah melepaskannya, aku berhak memberitahu dia ada orang yang peduli padanya,” kata Biru seraya melepaskan tangan Aruna.
“Maksudku, selama ini kalian diam saja tentang perasaan kalian, dan rela menahan sakit hanya demi melihat orang yang kalian sukai bahagia?” desak Aruna tak habis pikir dengan cara pikir kedua orang ini.
“Itu jalan yang kami pilih, tidak menyakiti siapa pun.” Biru menyindir Aruna yang langsung melayangkan jitakan ke kepala Biru.
“Sial!” rutuk Biru.
“Kamu yang sial,” desis Aruna tak mau kalah.
“Kalian, bisa gak sehari saja akur? Aku pusing,” protes Cara melihat kedua laki-laki itu tak pernah bisa baik-baik saja saat bicara.
Pembicaraan terhenti karena mereka harus turun dan menuju tempat makan.
“Aku mau makan di Hanamasa.” Cara sudah menentukan dan melangkah menuju lantai di mana pilihannya berada.
“Tanganmu baik-baik saja?” tanya Biru.
“Hanya sedikit nyeri, kontrol masih lama,” jawab Aruna.
Mereka mengikuti langkah Cara.
“Adikmu,” desis Aruna.
“Pacarmu,” balas Biru membuat mereka akhirnya tertawa. Menyadari kekonyolan hidup di antara mereka.
Setelah duduk melingkari meja, Biru memandang Aruna dan Cara bergantian.
“Setelah ini, apa yang akan kalian lakukan?” Biru bertindak sebagai orang tua untuk Cara. Karena tinggal dialah orang terdekat Cara.
“Menikah.” Aruna dengan enteng menjawab.
“Heh, siapa yang bilang?” Cara mencubit lengan Aruna kesal.
“Sakit. Serius, aku akan menikahinya, kapan kamu mau?” Aruna menantang Biru yang kini menggaruk kepalanya tak gatal.
“Runa,” protes Cara, membuat Aruna menoleh padanya dan menatap tajam mata Cara.
“Oke, oke, menikah, tapi gak dalam waktu dekat. Hargai perasaan Rilla.” Akhirnya Biru mengalah.
“Berapa lama?” tawar Aruna.
“Na, serius. Aku belum siap. Menurutmu menikah itu gampang?” kata Cara seraya memandang Biru meminta dukungan.
“Gampang, kamu pernah bilang kan ingin menikah di pantai, kita bisa sewa plataran Four Season Jimbaran, atau mau di ClubMed juga boleh,” jawab Aruna membuat Cara terenyak. Aruna bahkan masih ingat dengan perkataan lalunya tentang pesta pernikahan yang diinginkannya.
“Tunggu, Runa. Om Winata tahu tentang hal ini? Kita harus beritahu beliau dulu,” kata Biru menengahi, berharap Aruna mundur.
“Halo Pa, aku akan menikahi Cara. Papa, bagaimana?” Aruna sudah menghubungi Papanya, membuat Cara dan Biru syok.
“Oh, tentang itu tenang saja, Biru sudah setuju kok.” Aruna membuat Biru melayangkan tendangan ke kakinya. Aruna hanya meringis.
Cara bahkan menekuk mukanya.
“Kamu gak suka menikah denganku?” tanya Aruna membuat Cara melempar pandangan sinis.
“Kan perlu banyak pertimbangan Na. Gak serta merta seperti itu,” kata Biru mewakili Cara.
“Lah emangnya aku ngajakin nikah hari ini? Kan tidak,” bantah Aruna.
“Hah, katamu saja,” sungut Cara seraya memakan pesanan mereka yang datang.
“Na, we will discuss later, just you and I.” Tatapan Biru mengancam.
“Gak mau,” sergah Aruna.
“Na,” tekan Biru.
“I just want to marry her. Why so hard to do?” protes Aruna membuat Biru memukulnya dengan sumpit.
“Just marry her? She is my dearest one, my precious, then I want it special. Not just marry her,” protes Biru balik.
“Mohon maaf, Anda berdua, di sini yang sedang diperbincangkan, masih berpikir untuk menerimanya atau tidak,” kata Cara membuat keduanya menatap Cara dengan sengit.
“Slow brother, slow. I will marry him, just if he accept my condition, not just marry me,” tegas Cara.
“What is your condition?” tantang Aruna.
“Aku Cuma pengen, kita dan beberapa orang terdekat, tanpa banyak undangan. Lalu, biarkan aku tetap bekerja, then, do you core, we build a team, thats okay?” Cara menatap Aruna penuh tanya, tak yakin Aruna akan memenuhi itu, dia sangat paham dengan sikap Aruna yang main memerintah orang itu.
“What do you mean with do my core?” selidik Aruna.
“Kita bagi, seperti aku dan Biru, siapa mencuci baju, membereskan piring kotor, membersihkan rumah, memasak,” kata Cara berharap kali ini Aruna menyerah.
Biru tertawa karena sangat paham Aruna tak mengenal semua pekerjaan itu.
“Okay, I will take it for granted. Apa susahnya mengerjakan semua itu? Just pay the maid.” Aruna sukses mendapatkan pukulan di lengan kanannya dari Cara.
“My condition is we living at our own house or flat without maid. Do you agree with that?” Cara mendelik.
“Kamu melakukan semua pekerjaan itu Bi?” Aruna balik bertanya ke arah Biru.
“Iya, kamu tahu kami tak punya pembantu,” jawab Biru menahan tawanya.
“Pikirkan sekali lagi,” kata Cara geli melihat reaksi Aruna.
“Tunggu, masalah rumah, kita tak akan tinggal bersamanya, kan?” tanya Aruna sangsi.
“Ya menurut Anda? Ya nggaklah, apa aku harus melihat kalian berdua bertengkar sepanjang waktu? Bisa gila aku,” sergah Cara membuat keduanya melotot ke arahnya.
“Apa aku harus membeli rumah di samping rumah kalian itu? Mumpung belum laku kan?” Ide gila dari Aruna lagi.
Sungguh siang itu habis hanya untuk membahas hal yang membuat Cara pusing sekaligus bahagia. Aruna menjadi miliknya. Mendekapnya dalam perasaan yang tak terbantahkan. Pertautan yang mungkin menyakiti Rilla, tapi, Cara merasa egoisnya kali ini beralasan. Aruna yang selalu dengan gamblang mengatakan semua keinginannya, Biru yang selalu menengahi semuanya, membuat Cara merasakan hidupnya sudah sempurna.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top