Rilla, Pergi Bersama Luka
Biru sedang mengantar Rilla, bukan mengantar, lebih tepatnya bersama Rilla ke bandara, dengan tujuan berbeda.
“Kamu, tak ingin berpamitan dengan Cara?” tanya Biru membuat hati Rilla sedikit berdenyut nyeri.
“Aku tak sanggup untuk menemuinya. Mungkin aku akan membencinya jika harus menemuinya sekarang.” Rilla menggenggam erat kopernya.
“Maafkan perasaan Cara. Maafkan perasaan Aruna. Kamu berhak membencinya. Tapi tolong, jangan melupakan kebersamaan kita.” Biru meraih Rilla ke dalam pelukannya.
“Aku, mungkin akan terdengar memanfaatkan kesempatan ini. Tapi aku, menyukaimu, cukup itu yang perlu kamu tahu, aku tak menunggu jawaban apa pun. Pergilah.” Biru kemudian berlalu seiring dengan panggilan boarding untuk pesawatnya.
Biru berlari, membawa hatinya yang berserakan, meninggalkan Rilla yang masih tak menyangka dengan kalimat yang terlontar dari mulut Biru tadi. Dengan gamang, dia menuju terminal keberangkatan luar negeri. Pilihan untuk kembali ke Perancis, adalah pengasingan diri yang dia inginkan. Jauh dari Aruna dan Cara, agar hatinya tak membenci mereka. Lukanya, akan dia obati sendirian. Dalam kesepian. Karena dia juga tak bisa membalas perasaan Biru seketika itu juga. Biru begitu baik, Biru begitu memberinya ruang untuk marah dan meluapkan semua kekecewaannya. Walaupun dia juga sadar, bahwa dia juga salah karena mengabaikan perasaan Aruna yang sebenarnya selama ini.
Biru memasuki badan pesawat dengan hari ringan. Perasaannya sudah ter ungkapkan. Dia tak berharap Rilla akan membalas, setidaknya dia tak menyimpan perasaannya. Kini, dia hanya harus menemui dua orang yang membuatnya sakit kepala, Aruna dan Cara.
Pesawat Biru mendarat di Surabaya saat tengah malam, dia menyusul ke hotel di mana Aruna berada. Mengetuk pintu kamar Aruna, dan menemukan sahabatnya itu membuka pintu dengan mata setengah terpejam.
“Jangan mengomel sekarang. Aku ngantuk.” Bahkan sebelum Biru membuka mulutnya, Aruna sudah protes.
Aruna kemudian melanjutkan tidurnya. Tak memedulikan Biru yang memandangnya dengan tatapan tak percaya. Setelah membuat Rilla terluka dia bahkan bisa tidur. Ingin sekali Biru menendang Aruna untuk memberinya pelajaran.
“Tidurlah.” Aruna mengatakan itu karena Biru masih memandanginya dengan posisi berdiri.
Akhirnya Biru menyerah dan tidur di samping Aruna.
“Rilla, berangkat ke Perancis, meninggalkan luka mengangga. Kamu melukainya dalam,” desis Biru.
“Aku minta maaf, aku menerima semua kebenciannya, tak akan kuelakkan.” Mata Aruna terpejam, tapi tidak dengan pikirannya.
Ternyata luka itu membawa Rilla pergi, dan dia pantas untuk membenci Aruna lebih dari itu.
“Semalam, kamu tidur dengan senyum mengembang, ada apa? Sudah menemukan laki-laki yang membuatmu jatuh cinta selain Aruna?” desak Frasa.
Cara salah tingkah. Lalu menceritakan apa yang terjadi kemarin. Frasa terkejut dan menutup mulutnya.
“Ternyata kalian sama-sama bodoh,” desisnya.
Cara tersenyum dan mencoba menahan diri untuk tak berteriak. Penantiannya dalam diam ternyata berbuah manis, walau harus melukai Rilla.
“Aku merasa bersalah kepada Rilla.” Cara menutup wajahnya.
“Harus ada yang dikorbankan. Sudah ayo berangkat kerja. Aku penasaran dengan Dani, atasan yang mengganggumu, aku ingin melihat bagaimana reaksinya saat mengetahui kamu dan Aruna sekarang adalah pasangan.” Frasa membuat Cara memutar bola matanya.
Saat mereka tiba di kantor, Cara terkejut melihat Biru juga ada di sana. Aruna, Biru dan Dani sedang berbincang.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Cara tanpa basa-basi.
“Mengawasi kalian berdua,” jawab Biru menatap Aruna dan Cara bergantian.
Dani meredam hatinya yang berdenyut nyeri.
“Lho Sa, gak kerja, mau aja disuruh nganterin Cara,” kata Biru membuat Frasa tertawa.
“Mas Biru lho, jahat banget sama Cara. Aku lagi ada event sekitar sini, sekalian mau nyapa Mas Aruna, dah lama pun gak ketemu. Kantor kalian bahkan tidak pernah kerja sama denganku,” kata Frasa membuat Biru tertawa.
“Ditodong proyek Na, sama Frasa.” Biru mengedipkan matanya ke arah Frasa.
“Atur saja, Dani yang memegang kekuasaan di sini. Dan, ini Frasa, sahabat Cara, kalau mau ngadain event, kalian bisa berhubungan,” kata Aruna membuat Dani menjabat tangan Frasa.
“Dani,” kata Dani.
“Frasa,” jawab Frasa.
“Kaya kenalan ya,” celetuk Cara.
Dani bisa melihat perubahan sikap Cara, saat pertama melihatnya, Cara terlihat sendu dan menjaga jarak, tetapi kini Cara terlihat lebih santai dan ceria.
“Baiklah, aku pergi dulu, tadi aku Cuma pengen mampir buat nyapa Mas Aruna, eh malah ketemu Mas Biru juga.” Frasa pamit dan meninggalkan mereka.
“Oke, hari ini aku ingin menyelesaikan semua tugas di sini. Masa tugas Cara dipercepat, aku membawa surat perintah.” Biru menunjukkan surat dari pimpinan divisi di mana Cara berada.
“Ini bukan akal-akalan dia kan?” Cara melirik Aruna yang seolah tak tahu permasalahannya.
“Aku yang meminta,” jawab Biru membuat Cara cemberut.
Sungguh, Dani melihat perubahan yang drastis dari Cara. Dari yang menjaga jarak, tertutup, menjadi sosok ceria dan blak-blakan. Dani mengira ini karena Aruna. Hatinya berusaha mengatakan mereka tak ada hubungan apa pun selain sahabat.
“Baiklah Dan, mari bicara, aku yakin setelah ini, mereka berdua akan menghilang, apalagi laporan Cara sudah selesai tinggal pengaplikasian.” Biru melirik Cara yang seolah mengatakan tidak seperti itu.
“Aku tidak akan ke mana-mana,” jawab Cara.
“Iya kamu, aku tak percaya padanya. Dani bilang dia menculikmu kemarin,” sergah Biru membuat Aruna mendelik.
“Aku tidak mengatakan menculik,” sanggah Dani tak enak.
“Pantas saja kamu langsung terbang ke sini,” kata Aruna kesal.
“Tenang Dan, dia tak akan memecatmu hanya karena mengatakan kebenaran,” kata Biru mengetahui Dani takut dianggap pengadu.
Mereka akhirnya ke ruang meeting. Aruna hanya duduk melihat mereka, karena bagiannya sudah dipegang oleh Biru.
Dani melihat Aruna memandangi Cara tanpa berkedip. Aruna bahkan tersenyum sendiri. Sungguh hati Dani terasa perih. Saingannya adalah Aruna. Berat. Itulah kenapa Cara terlihat sangat menutup diri padanya. Aruna adalah laki-laki yang jauh di atasnya. Mungkin memang dia harus melupakan keinginannya untuk mendekati Cara.
Binar mata Aruna tak bisa membohongi Dani, bahwa laki-laki itu sungguh mencintai Cara. Begitu juga sebaliknya. Cara bahkan terlihat lebih berwarna dengan kedatangan Aruna.
“Aku ke toilet dulu,” kata Cara setelah meeting selesai.
Dani kemudian mengikutinya setelah mengatakan harus mengecek pesanan kue untuk tea break mereka.
Cara terkejut saat melihat Dani menunggunya di depan pintu toilet.
“Maaf mengganggumu, aku hanya ingin memastikan sesuatu,” kata Dani membuat Cara berhenti dan mencoba untuk tak terlihat jengah.
“Ada apa?”
“Apakah kamu dan Mas Aruna adalah sepasang kekasih?” Pertanyaan Dani membuat Cara semakin salah tingkah.
“Benar, dan kamu tak berhak menanyakan seperti itu padanya.” Tiba-tiba Aruna sudah berada di antara mereka.
Dani terkejut dan merasa tak enak. Sementara Cara semakin salah tingkah.
“Maaf Mas, saya hanya ingin memastikan sebelum salah langkah.” Dani menundukkan wajahnya.
“Tak apa, hanya saja, seharusnya kamu menanyakan langsung kepadaku,” kata Aruna seraya menarik Cara pergi dari hadapan Dani.
Dani merutuki dirinya sendiri, seharusnya dia bisa menjaga sikapnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top