Ketidakpastian Perasaan

Aruna menatapnya dan tersenyun, langsung menariknya duduk disampingnya. Seperti biasa Cara, Aruna, Biru, tanpa Rilla. Tapi sekarang ada Rilla diantara Aruna dan Biru.

“Lama sekali, ada apa saja di toilet,” sungut Aruna.

“Baru juga ditinggal sudah kangen," kata Cara membuat Aruna menjitak kepalanya.

“Kangen, itu makanan tidak ada yang makan.” Aruna menyodorkan piring berisi lasagna ke arah Cara.

“Biasanya juga kamu yang menghabiskan,” sungut Cara.

“Aku? Bukannya yang doyan kamu?” Sekali lagi Aruna menjitak kepala Cara. Biru  memperhatikan mereka dan menggelengkan kepalanya.

“Kalian ini tidak berubah ya, setahun aku pergi, kalian masih saja suka bertengkar,” kata Rilla membuat Cara tersedak. Aruna menyodorkan gelas yang dipegangnya ke arah Cara. Cara menegak isinya dan memukul dadanya sendiri.

“Dia masih menyebalkan La,” sahut Cara sinis membuat Aruna merebut gelasnya dan menegak habis isinya.

Rilla melihat jam ditangannya dan berdiri.

“Aku ada jadwal interview sekarang, aku pergi dulu ya.” Rilla mengusap kepala Cara dan berlalu.

“Dia cantik ya,” kata Cara seraya menatap punggung Rilla.

“Iya, tapi bersamanya serasa mempunyai lampu, terang menyinari, tapi tidak memberikan reaksi pada sekitarnya. Panas hanya saat kita menyentuhnya, dekat, tapi biasa saja saat kita jauh darinya dan itu sedikit mengurangi sensasinya.” Aruna menerawang.

Biru dan Cara melongo melihatnya mengoceh seperti ini, ini bukan Aruna yang mereka kenal.

“Sudahlah, lupakan dia, sebentar lagi juga dia akan menghilang seperti biasa.” Aruna menyandarkan kepalanya di bahu Cara membuat Cara sedikit bergetar.

“Jangan menghindar, sebentar saja buat dirimu berguna,” kata Aruna saat Cara beringsut.

Dipandanginya Biru meminta pertolongan, tapi Biru hanya mengedikkan bahunya membuat Cara menatapnya sinis dan Biru tersenyum nakal.

“Kamu baik-baik saja Na?” tanya Biru.

“Bi, aku lelah terus mengikuti Rilla, hilang datang, hilang sesuka hatinya tanpa pernah bertanya padaku, bagaimana pendapatku,” urai Aruna membuat Biru tertawa lepas.

“Sialan, apa yang kamu tertawakan!” Aruna duduk tegak dan menatap Biru kesal.

“Kamu, Aruna, bertingkah melankolis seperti ini, itu kejadian langka,” sahut Biru masih tertawa.

“Kalian ini, dasar cowok,” kata Cara seraya berdiri dan berlalu dari hadapan mereka.

“Kamu, cewek!” Biru dan Aruna berteriak bersamaan membuat Cara berhenti dan berbalik melihat kedua laki-laki itu dan mendelik k arah mereka, membuat kedua laki-laki itu tertawa bersama. Cara meninggalkan mereka dengan kesal.

“Na, aku mau bicara serius sama kamu,” kata Biru setelah Cara pergi.

“Masalah kerjaan? Jangan sekaranglah Bi, lagi males sama hal serius.”

“Bukan kerjaan, kamu ini kaya bisa handle kerjaan aja. Ini tentang Cara.”

“Kenapa dia?”

“Kamu tidak pernah memperhatikannya?”

“Maksudmu?”

“Selama ini, selama kita bersama sejak SMA apa kamu sama sekali tidak memperhatikannya?”

“Aku memperhatikannya sepertmu, ada apa sih?”

“Kamu pernah gak melihat dia sebagai perempuan?”

“Dia selalu terlihat perempuan dimataku Bi, dari awal.”

“Lalu?”

“Lalu apa?” tanya Aruna tak sabar.

“Apa kamu pernah berpikir dia menyukaimu?”

“Tunggu Bi, tunggu, jangan bilang kalau kamu akan membuatku merasa bersalah karena telah membuat Cara begitu menyukaiku, dan salahku juga kalau akhirnya Cara tidak pernah pacaran?”

“Dan sialnya itu benar Na,” kata Biru seraya menyandarkan punggungnya di kurai.

Aruna menegang dan menatap Biru tidak percaya, dan Biru menatapnya dengan sedih.

“Sejak kapan Bi?”

“Dari awal pertemuannya denganmu,”

“Serius?”

“Aruna, aku sangat serius.” Biru mendelik.

“Kenapa tidak bilang dari dulu Bi.” Lonjak Aruna membuat Biru kaget. Ini reaksi yang sama sekali tidak dibayangkan Biru.

“Maksudmu?”

“Bi, selama ini, selama aku mengenal Cara, tidak pernah satu haripun aku berhenti berharap dia menganggapku lebih dari sahabat, atau kakak. Bi, dia selalu jadi perempuan yang membuatku mengangguk untuk apapun yang dia inginkan.” Biru merosot di kursinya begitu Aruna jujur.

“Lalu, selama ini, perempuan-perempuan itu, Rilla?”

“Aku terlalu takut sakit hati Bi, dan terlalu takut untuk membuatnya sakit hati. Lebih-lebih aku takut menghadapimu.” Aruna menunduk lesu. Biru tertawa keras membuat Arina menendang kakinya.

“Kamu pikir aku akan memukulimu karena menyukai adikku?”

“Bi, melihatmu begitu menyanyanginya, menjaganya, kamu pikir aku tidak terbebani dengan predikat bas boy, player, jadi bagaimana aku tahu reaksimu kalau aku jujur aku menyukai adikmu.”

“Jadi, sekarang apa, tidak mingkin kamu memituskan Rilla tiba-tiba hanya karena ini kan?” Aruna duduk tegak dang menggaruk kepalanya.

“Jadi diamlah dulu, jangan bilang pada Cara.”

“Kamu pikir aku akan membuatnya senang semudah itu. Berusahalah,” kata Biru membuat Aruna melongo, setega itu kakak satu ini pada adiknya.

Biru meninggalkan Aruna sambil tertawa. Biru menarik nafas panjang, lega.

Aruna masih duduk menerawang, tidak pernah terpikirkan ternyata Cara begitu menyukainya, padahal selama ini dia berpikir Cara hanya menganggapnya kakak, dia berpikir Cara bersikap manja padanya karena Cara menganggapnya seperti Biru. Aruna tersenyum sendiri mengetahui kenyataan ini. Tapi begitu bayangan Rilla berkelebat, kepalanya langsung pening.

Rilla terpekur di bangku taman, setelah interview kerjanya berhasil sukses. Dia merasakan jetlag, karena begitu turun dari pesawat dia langsung ke kantor Aruna. Dia sangat merindukan laki-laki itu. Tapi setelah pertemuan itu dia malah merasa tidak pernah benar-benar ada di samping Aruna, dihatinya, ya, begitu melihat kedekatan Aruna dan Cara, membuat Rilla merasa seperti hiasan, hanya dipakai untuk kesenangan, sejak awal hubungannya dengan Aruna. Dan dia berusaha mengabaikan Cara, hanya menganggap mereka bersahabat. Rilla tahu ada sekat antara dia dan Aruna, dan sekat itu tak ada antara Aruna dan Cara. Ya, mereka bebas mengekspresikan perasaan mereka tanpa jengah, tanpa rasa takut disakiti atau menyakiti. Rilla menghela nafas, mencoba meyakinkan hatinya, bahwa kedekatan Aruna dan Cara hanya sebatas sahabat. Rilla mengambil handphonenya dan mengirim pesan pada Aruna.

[Nanti malam aku ingin berdua saja denganmu]

Setelah menekan tombol send, Rilla beranjak, tapi diurungkannya karena Biru sedang berjalan ke arahnya.

“Hai La, bagaimana interviewnya?” Biru duduk di samping Rilla.

“Mulai besok aku sudah mulai bekerja, yah tidak menganggur lama setelah course.”

“Selamat ya La. Sedang apa di sini sendirian?”

“Menikmati jetlag Bi. Kamu?”

“Menikmati kesendirian La,” jawab Biru sambil tertawa.

“Ngomong-ngomong Bi, kamu masih betah sendirian saja.”

“Menunggumu La,” canda Biru membuat Rilla mendelik.

“Jangan bilang kamu suka padaku Bi?”

“Siapa yang bisa menolak pesonamu La?”

“Bi, aku serius.”

“Haha, Rilla, ya tidak mungkinlah aku menyukaimu sedemikian rupa, apa kamu tega melihatku dipukuli Aruna?” Rilla menghela nafasnya.

“Sudahlah La, kamu ini seperti tidak mengenalku saja. Nanti juga kalau sudah ketemu dengan orang yang tepat kamu juga akan tahu.” Biru memandang Rilla yang terlihat lega. Aku tidak akan tega melihatmu patah hati La, semoga Aruna menemukan cara yang tidak akan melukai siapapun.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top