Kenapa?

Cara terbangun karena alarm, Frasa sudah berangkat. Dengan enggan dia beranjak dari tempat tidur dan ke kamar mandi. Membasuh tubuhnya dengan air, segar, kontras dengan hatinya yang sedang tak menentu.

“Pagi Mas, hari ini sudah boleh pulang, tanggal kontrol seminggu lagi, rawat luka juga boleh dilakukan seminggu lagi sekalian kontrol. Jangan lupa obatnya di minum.” Perawat yang memeriksa Aruna pagi itu membawa kabar yang membuatnya ingin segera berlari keluar.

“Untuk administrasi sudah dilakukan oleh teman saya ya Mbak?” tanya Aruna.

“Oh iya, nanti akan diinfokan kalau sudah bisa keluar ya Mas.” Perawat itu meninggalkan Aruna yang sekarang berjalan mondar-mandir di kamar.

“Bi, aku ke Surabaya ya?” Aruna menelepon Biru dengan tak sabar.

“Gak ada Na!” teriak Biru yang sedang menyetir mobilnya ke kantor.

“Tidak ada penolakan. Aku sudah bilang kan? Tahan dirimu. Biarkan waktu membuat semuanya siap.” Biru menekankan kata waktu, agar Aruna berpikir waras.

Aruna kesal, hampir saja dia membanting handphonenya.

Cara sedang berada di depan kantor cabang di Surabaya. Kemudian masuk ke dalam sambil menghela napasnya.

“Selamat pagi, Mbak. Saya Cara, dari kantor pusat, saya yang ditugaskan untuk menghandle proyek rusun yang sedang berjalan.” Cara melaporkan dirinya ke resepsionis yang berjaga.

“Oh tunggu sebentar Mbak, saya konfirmasi dulu ke Pak Dani. Silakan duduk dulu di sebelah sana.” Resepsionis itu menunjuk sofa yang berada di sudut.

Cara kemudian mengempaskan tubuhnya di sana. Menikmati langit Surabaya yang berkabut polusi.

“Selamat pagi, Mbak Cara. Perkenalkan saya Dani. Saya manajer yang kebetulan ditempatkan di cabang sini,” kata seorang laki-laki yang membuat Cara terkejut.

“Oh iya, saya Cara. Panggil saja Cara.” Cara mengulurkan tangannya ke arah Dani

“Mari ikut saya ke ruangan meeting, agar lebih leluasa berbicara. Sekalian nanti berkenalan dengan tim dari sini.” Dani mengajak Cara menuju ruangan di lantai dua.

“Di sini tinggal di mana, Ca?” tanya Dani membuat Cara terkejut dengan sikap Dani yang berusaha membuka obrolan.

“Oh, kebetulan ada teman di sini, jadi saya menumpang di tempatnya.” Cara mencoba membuka dirinya untuk keramahan orang lain.

“Begitu rupanya. Saya kira di hotel,” kata Dani sambil membuka pintu dan mempersilakan Cara masuk terlebih dahulu.

“Saya berusaha memangkas beban akomodasi untuk kantor,” kata Cara membuat Dani terkekeh.

“Coba semua karyawan seperti kamu, mungkin perusahaan akan untung banyak.” Dani berbicara santai.

“Oh ya, apakah kamu berada di bawah divisi Mas Biru?” tanya Dani membuat Cara menoleh padanya.

“Tidak, Biru lebih berada di divisi marketing kan?” Cara penasaran dengan Dani karena terasa akrab saat menyebut nama Biru.

“Kirain. Bukankah kamu adik Biru?” Cara terkejut saat Dani mengatakannya.

“Pak Dani tahu hubungan kami?” tanya Cara.

“Kamu ini polos arau bagaimana? Kalian bertiga kan sudah terkenal sebagai trio yang membuat perusahaan ini berkembang, terlebih karena Mas Aruna adalah anak dari Owner kita.” Cara bahkan lupa kalau Aruna adalah anak dari Pak Winata, CEO perusahaan mereka.

“Sebenarnya mereka berdua yang lebih berjasa, saya hanya pengikut,” kata Cara.

Satu per satu tim datang, membuat obrolan mereka tertunda. Setelah semuanya berkumpul, salah seorang melakukan presentasi untuk proyek yang akan mereka kerjakan. Cara kemudian menambahi apa yang harus mereka lakukan.

“Proyek ini akan berjalan panjang, akan tetapi saya hanya akan membantu selama satu bulan, jadi mari kita maksimalkan waktu sebulan ini untuk efisiensi dan produktivitas yang akan membuat proyek ini berjalan lancar. Contoh maket dan desain besok akan kita kerjakan.” Cara menutup meeting, Dani terkesiap dengan presentasi tambahan Cara yang detail dan rapi.

Bagi Dani, Cara memiliki nilai lebih. Selama ini dia hanya mendengar Cara dari orang lain, dia penasaran dengan wanita yang terkenal di perusahaannya itu. Desas-desus bahwa Cara tidak menyukai laki-laki tak menyurutkan rasa penasaran Dani. Sehingga saat kabar bahwa Cara dengan sukarela datang ke Surabaya untuk mengurus proyek besar mereka membuatnya merasa bahwa ini kesempatan untuk melihat secara langsung wanita itu.

“Sudah waktunya makan siang, ayo aku traktir Rawon yang terkenal di Surabaya,” tawar Dani begitu Cara membereskan laptopnya.

Cara berpikir, dia sebenarnya hanya ingin sendirian di sini, tapi karena tak enak akhirnya dia mengangguk setuju.

Mereka menyusuri jalanan macet Surabaya.

“Jadi, apakah Surabaya memikat hatimu, Nona?” tanya Dani.

Cara masih belum terbiasa dengan sikap Dani yang tiba-tiba dan to the point.

“Hm ...,” gumam Cara tak jelas karena tak tahu harus menjawab apa.

“Apakah kamu tidak nyaman?” tanya Dani membuat Cara merasa bersalah.

“Bukan seperti itu. Saya hanya merasa canggung,” jujur Cara.

“Kenapa?”

“Ya karena mungkin saya masih belum terbiasa bersama orang asing yang baru saya kenal hanya berdua saja,” kata Cara membuat Dani tersenyum.

Cara merasa asing, karena memang selain dengan dua laki-laki yang selalu bersamanya hampir sepanjang hidupnya, Biru dan Aruna, dia tak pernah berduaan dengan laki-laki lain.

“Apakah kamu belum punya pacar?” tebak Dani.

“Saya bahkan tidak tahu harus menjawab bagaimana. Ya, saya tidak sedang berhubungan dengan orang dalam artian romansa.” Ada getir dalam kalimat Cara yang tak disadari oleh Dani.

“Bisakah berhenti menggunakan saya? Kita bisa mulai untuk mengakrabkan diri dengan beraku kamu.” Dani membuat Cara merasa sangat jengah.

Cara terdiam. Beruntung mereka sampai di tempat tujuan, sehingga Cara tak harus menjawab perkataan Dani.

Aruna sedang berada di mobil bersama Pak Min, menuju rumah, dengan pikiran yang hanya bagaimana caranya dia bisa menemui Cara saat ini. Dia bahkan ingin memesan tiket pesawat saat itu juga untuk menyusul ke Surabaya.

“Mas Aruna tidak ingin mampir ke mana gitu kan?” tanya Pak Min membuyarkan lamunannya.

“Nggak Pak. Pulang saja.” Aruna tak bisa menyembunyikan nada kesal dari kalimatnya.

“Mbak Cara pasti baik-baik saja, Mas, di Surabaya,” kata Pak Min membuat Aruna terenyak.

“Aku tidak sedang memikirkannya,” elak Aruna membuat Pak Min tersenyum.

“Mas Aruna tidak bisa membohongi saya.” Pak Min menoleh untuk melihat wajah Aruna yang kini bersemu merah, karena jengah merasa ditelanjangi oleh Pak Min.

“Apa Non Rilla, tidak apa-apa kalau Mas Aruna memilih Mbak Cara?” lanjut Pak Min.

“Pak Min lebih setuju aku dengan Rilla atau Cara?” Aruna malah melempar pertanyaan balik.

“Kalau saya lebih memilih Mbak Cara. Karena Mbak Cara lebih bisa membuat Mas Aruna tidak marah-marah.” Kalimat Pak Min membuat Aruna menoleh.

Jadi selama ini bahkan Pak Min bisa melihat perbedaan sikapnya saat bersama Rilla atau Cara.

“Mas Aruna selama ini tidak paham ya, kalau Mbak Cara itu memperhatikan Mas dengan sungguh-sungguh?” tanya Pak Min malah membuat Aruna merasa bersalah karena tak melihat keadaan itu.

“Tapi baiknya, Mas sama Non Rilla juga baik-baik putusnya, biar tidak menimbulkan masalah.” Tambahan yang malah membuat Aruna semakin tak tahu harus bagaimana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top