Time Traveler

Selama tinggal di rumah yang bergabung dengan laboratorium bekas kakeknya, baru tiga bulan belakangan tidur Felix selalu menampilkan mimpi tentang gadis misterius yang seakan akrab dengannya. Padahal, tak satu pun ingatannya mengatakan jika ia pernah mengenali gadis itu di masa lalu. Kepingan mimpinya, suara dan sentuhannya terasa begitu nyata.

Akibat mimpi yang menghantuinya tersebut, ia bercerita kepada Levi, sahabat sekaligus teman samping kamarnya. Sebagai ahli robotika, Levi berinisiatif menciptakan robot yang menyerupai gadis di mimpi rekannya itu, dan Felix secara antusias setuju. Walaupun pengerjaan hampir selesai, gadis itu tetap bertengger di mimpi Felix, seakan kalau replika versi robotnya selesai, maka selesai pula bunga tidurnya tentang gadis itu.

Hari ini, Levi dan Felix berniat kembali ke laboratorium di bawah tanah rumahnya. Rak buku besar dengan susunan yang rapat pada setiap buku di hadapan mereka berputar. Lantai ruangan menjadi lingkaran. Mereka masuk ke lingkaran itu. Rak buku kembali berputar. Ketika berhenti, mereka sampai di ruangan rahasia peninggalan kakek Felix yang sangat gelap. Felix menekan salah satu tombol pada pintu ruang rahasia itu untuk membukanya.

Lampu berwarna biru keputihan langsung menerangi perjalanan keduanya menuju tengah ruangan, tempat robot perempuan itu berada. Parasnya begitu mirip dengan yang mendatangi mimpi Felix. Di sekujur tubuhnya, banyak selang dan kabel yang melekat, pertanda belum sempurna. Mata indahnya tertutup rapat. Kulit putih bersih itu terlihat nyata. Felix tidak menyangka jika hasilnya akan semirip ini. "Cantik," gumamnya.

"Terima kasih kembali," balas Levi. Ia anggap pujian Felix terhadap gadis itu selama proses pengerjaan adalah perwakilan terima kasih Felix atas jasanya.

"Yang perlu kau ingat, tuhan (pencipta) robot ini adalah manusia."

Felix mendesah, bosan mendengar ucapan itu terlontar dari mulut sahabatnya, seakan-akan menegaskan jika robot ini hanyalah serangkaian besi belaka.

"Seandainya ada gadis yang persis dengan robot ini, aku akan menikahinya langsung." Felix bersumpah.

Levi geleng-geleng atas kebucinan temannya. Ia memasukkan kombinasi beberapa kabel listrik berwarna hijau dan merah ke dalam selang dari bahan karet tahan air.

"Yofan belum pulang dari perjalanan waktunya mencari sang adik. Barangkali, ia punya alat untuk mencari wanita nyata semirip robot ini. Ia 'kan pencari yang andal." Levi berusaha membuat Felix tidak putus asa.

Mengharapkan kepulangan Yofan, Felix pun memutuskan untuk tidak menghidupkan robot itu lebih dulu. Levi patuh saja. Toh, jika Felix tidak menginginkannya, Levi masih bisa menjual robot ini dengan harga fantastis, atau menunjukkannya kepada ilmuwan-ilmuwan senior agar mendapat penghargaan.

Hingga puluhan hari, akhirnya Yofan keluar dari portal yang membawanya ke masa lalu. Pemuda itu terlihat lusuh ketika disambut oleh kedua temannya. Di belakang Yofan, seseorang berbadan kurus digenggam tangannya oleh pemuda itu. Felix tidak mengerti siapa orang yang kepalanya ditutupi kain hitam itu. Namun, tanpa berbasa-basi, Yofan keluar dari laboratorium tanpa menyapa dua sahabatnya.

Sebagai sahabat bertahun-tahun, Felix curiga ada ketidakberesan saat Yofan berada di masa lalu. Bahkan sampai berhari-hari, Yofan jarang keluar dari kamarnya. Sekalinya keluar, ia hanya mengambil makanan untuk dibawa ke kamar. Celah pun hadir ketika orang yang dibawa Yofan itu masuk ke laboratorium di bawah tanah, menjelajahi tiap sudut kecanggihan yang ada.

"Hai, orang yang dibawa Yofan dari masa lalu. Bisakah kau beri tahu namamu?" pinta Felix kepada orang bertopeng itu.

"Shintya."

Seketika Felix membeku, merasa jika suara yang baru didengar begitu akrab di telinganya, sama sekali tidak asing.

"Apa kau adik Yofan yang kecelakaan itu?" tebak Felix.

"Y-ya." Jawabannya mewakili sebuah ketakutan, yang justru membuat Felix makin tertarik.

Felix menganggap Shintya sebagai tamu. Ia mengajak gadis itu berkeliling laboratorium, menyertakan penjelasan tentang nama-nama mesin yang ada di lab sekaligus kegunaannya. Shintya terkesan. Ia tanpa sadar menggenggam tangan Felix, seakan tak ingin berpisah dari pemuda itu.

Sampai pada tengah ruangab tempat robot buatan Levi berada, mereka berjumpa dengan Levi.

"Dia Levi, ilmuwan robotika yang baru-baru ini menyelesaikan robot persis manusia untukku," terang Felix. Levi pun menyalami Shintya, kemudian kembali pada pekerjaannya untuk menyempurnakan robot kemarin.

"Aku mencoba memasukkan senyawa dopamin ke robot ini sehingga punya perasaan layaknya manusia, sehingga kau bisa menikahinya. Itu 'kan keinginanmu?" tanya Levi, membuat Felix mengangguk. Penjelasan dari ilmuwan robotika itu mengundang penasaran di hati Shintya.

"Apakah Kak Felix akan menikahi robot ini? Keren! Apa boleh aku melihatnya?" Shintya memegang selembar kain hitam yang menutupi robot buatan Levi. Namun, Levi mencegahnya. "Apa kau benar adik Yofan dari masa lalu?"

Shintya mengangguk, mengundang kegelisahan di raut Levi. "Apa Yofan tidak mengatakan padamu bahwa masa lalu yang diubah akan merusak takdir berikutnya?"

"Y-ya, cepat atau lambat aku akan kembali mati dengan pelaku yang sama. Itu Teori Takdir Mutlak, 'kan? Kak Yofan tau. Sekarang ia berencana membunuh penabrakku kala itu," jelas Shintya.

"Yofan gila," ceplos Levi. Ia tidak menyangka bahwa Shintya tetap merengek agar membukakan kain penutup robot buatannya. Namun, ia membuat satu perjanjian jika ia akan membuka penutup robot itu bersamaan dengan Shintya membuka topeng pestanya.

"Kami perlu tau wajahmu, Shintya," terang Levi.

Shintya langsung setuju. Ia membuka topengnya, dan setelah itu matanya bisa melihat robot manusia yang amat persis dengan dirinya. Ia melongo, begitu pula Levi dan Felix.

"Adik yang bodoh! Felix itulah pembunuhmu!" Ujug-ujug Yofan hadir di belakang mereka dengan membawa pistol berisi cairan pelumpuh syaraf.

"Apa maksudnya?" Felix tidak mengerti, sementara Yofan tertawa sekencang-kencangnya bak orang gila.

"Berhari-hari aku berusaha memendam dendamku karena kau sahabatku, Felix, orang yang mau menampung aku dan Levi saat kami dianggap ilmuwan terburuk di Asia!" Tanpa diperintah, Yofan mengungkap fakta terdahulu. Di wajah pemuda itu, mulai turun air mata yang lama-lama membuat matanya memerah.

"T-tapi kau tau? Akhir tahun 2021, kau dan kakekmu pergi ke tengah kota. Kau yang masih belajar menyetir menabrak berbagai hal, dan salah satunya adalah adikku!"

Felix terhenyak. Ia masih ingat jelas memori itu, ingatan di mana ia menabrak robot percobaan yang memang terkenal di abad 21.

"Itu bukan robot, bodoh! Kakekmu penipu! Ia mengatakan demikian agar kau tak merasa bersalah telah membunuh adikku!" Yofan masih berapi-api.

"Lalu kau mau apa? Membunuhku? Yofan, aku tak sebodoh itu akan mencelakai adikmu di masa kini. Aku menyayanginya." Felix menggenggam jari jemari Shintya.

"Baru sehari lalu kaubilang jika menyayanginya? Atas dasar apa kau menyayangi adikku?" Yofan bertanya meremehkan.

"Atas dasar mimpi di mana adikmu selalu hadir sebagai bunga tidurku. Memang tak bisa dijelaskan secara logika, tetapi aku menyebut ini takdir," terang Felix.

Sebagai penonton, Levi hanya diam sembari mencari cara menurunkan emosi Yofan. Yofan telah pergi ke masa lalu, dan tahu jelas jika Felix-lah penabrak adiknya. Ia kenal betul soal Yofan yang amat menyayangi adiknya, dan tak menutup kemungkinan bisa membunuh sahabatnya sendiri.

Sekarang, tugasnya adalah mengambil pistol isi cairan pelumpuh syaraf itu. Namun, sedikit lagi tangannya meraih, Yofan lebih dulu menembakkannya ke arah Felix.

Felix bukan tipikal siap siaga, sehingga ia tak sempat menghindar. Kendati demikian, tanpa diduga Shintya memeluk Felix sehingga cairan itu justru mengenai leher Shintya. Felix melotot. Ia melihat tubuh Shintya yang melemas, diikuti matanya yang nyaris tertutup.

Levi lekas melempar pistol itu ke arah jendela sampai kacanya pecah. Ia bergegas mendatangi Shintya yang terbaring di pangkuan Felix. Yofan terdiam, berusaha mencerna kejadian yang begitu cepat. Kakinya lemas hingga terduduk di lantai.

"K-kak Felix, terima kasih touring-nya."

Felix menatap Shintya lamat-lamat, seakan menyampaikan rasa kasih terakhir yang bisa ia berikan. Mungkin Shintya akan tetap hidup, tetapi lumpuh total dalam 30 menit ke depan.

Dengan sisa tenaganya, Shintya merangkul leher Felix, mendekatkan wajahnya ke pipi kiri cowok itu. Dan berakhir Shintya memejamkan mata.

Selama beberapa menit setelah Shintya menutupkan tak ada percakapan sedikit pun yang keluar dari ketiga orang itu. Mereka enggan untuk berbicara bahkan bertatap-tatapan. Yofan merasa menyesal karena perbuatannya, sang adik kesayangan kembali tidur tak berdaya seperti itu.

"Aku benar-benar tidak menyangka Shintya meninggal karenaku," ujar Felix dengan sejujur-jujurnya.

"Aku tidak mau dengar apa pun alasanmu Felix, kau tetaplah penyebab adikku lumpuh selama-lamanya."

"Yofan, aku mohon maafkan semua kesalahanku di masa lalu, aku sangat mencintai dan menyayangi Shintya dengan tulus. Izinkan aku untuk menikahi Shintya jika dia sudah sadar," mohon Felix, membuat Yofan melotot.

"Menikah katamu?! Setelah apa yang terjadi pada adikku akibat ulahmu." Yofan meninggikan nada bicaranya.

"Ak-" kalimat Felix terpotong ketika menyadari adanya gerakan perlahan dari Shintya.

"Kak, sudah tidak apa-apa, Shintya baik-baik aja," ujar Shintya menenangkan sang kakak.

"A-apa ada yang sakit?"

Shintya menggelengkan kepalanya bertanda bahwa dia baik-baik aja.

"Jauh sebelum kecelakaan, aku bermimpi menghabiskan sisa umurku bersama seseorang. Walau wajahnya senantiasa samar, jelas jika pemilik suara itu adalah Kak Felix. Mungkin kau tak mempercayai takdir, tetapi aku mempercayainya." Mata Shintya berbinar-binar memandangi kakaknya.

"Menarik. Sepengetahuanku yang pendek, orang yang meninggal di masa lalu kemudian berada di masa depan, pasti akan kembali meninggal, sesuai Teori Takdir Mutlak. Tapi, ada celah sehingga teori itu keliru."

Yofan mengangkat alisnya. "Tolong jangan berbelit-belit, kami tidak sefilosofis dirimu dalam berbicara."

Levi mendesah. "Kau tau apa yang membuat seseorang mau mati konyol? Seperti kisah Romeo dan Juliet."

"Cinta?" tebak Felix. Levi mengangguk.

"Dan, apakah kalian tau apa yang membuat seseorang tetap hidup sekalipun berada di titik terendah? Seperti kau Yofan. Kau yang putus asa sekaligus sebatang kara masih saja menyempurnakan mesin waktu demi menjemput adikmu. Padahal, tren mesin waktu dicemooh oleh para ilmuan senior. Apa yang membuatmu tetap hidup?"

"Rasa cintaku kepada adikku."

Levi menjentikkan jari. Ia mengambil tangan kanan Felix dan tangan kanan Shintya. "Seseorang di masa lalu bisa kembali terbunuh, tetapi bisa juga menemukan takdir mutlak lain di masa kini. Dan, kupikir takdir yang dimaksud adalah jodoh."

"Fan, tak ada yang bisa sembuh dari pistol pelumpuh syaraf. Shintya bahkan mulai bisa menggerakkan bibirnya. Yang berarti, ada cinta di sekelilingnya yang membuat ia membaik."

"Dan itu adalah Felix." Yofan menebak, menatap sahabat setianya dan adiknya secara bergantian. Pemuda itu menghela napas, kemudian mengiyakan seandainya takdir adiknya selain kematian adalah menjadi jodoh Felix, sahabatnya sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top