20. Storm
Gray membuka matanya, ia menegakkan badannya lalu menengok pada jendela di sebelah kasurnya. Langit masih gelap, bulan masih bersinar dengan terang, dan suasana sangat sepi saat itu. Gray menengok pada Ervan yang tertidur di sebelahnya. Gray turun dari ranjangnya lalu turun ke lantai bawah untuk sekedar mencari angin. Tapi, begitu ia hendak membuka pintu depan, ia melihat Kazuto yang sedang duduk termenung di teras rumah sambil bernyanyi.
Gray mendengar dari balik pintu, nada yang Kazuto nyanyikan, memiliki kesedihan yang terasa nyata dan membuat Gray merasa kedinginan. Kazuto terus bernyanyi, dan semakin lama, suaranya semakin merdu dan nyata. Gray melihat Kazuto yang meneteskan air matanya.
Akhirnya, Gray memberanikan diri untuk membuka pintu. Dan seketika, Kazuto menghentikan nyanyiannya dan menengok dengan kaget.
"Gray!" Kazuto langsung mengusap air matanya dan Gray duduk di sebelah Kazuto.
"Jadi? Ada apa?" Tanya Gray yang menatap langit dan melihat bintang yang bertebaran di atas sana.
Kazuto melihat kepada pohon yang ada di seberang rumahnya, lalu mengusap-usap kedua tangannya sendiri.
"Tidak ada. Hanya mimpi buruk, kurasa aku terlalu merindukan adikku." Kata Kazuto lalu kembali berdiri dan matahari mulai muncul.
"Benarkah?" Tanya Gray begitu Kazuto membuka pintu dan hendak masuk ke dalam. Kazuto tak menjawab lalu masuk dan memutup pintunya kembali.
Gray tertawa kecil, tapi merasakan sesuatu yang buruk akan datang. Ia melihat ke utara, langitnya begitu gelap.
"Sepertinya hujan akan datang."
***
Setelah berpakaian rapi, Sarah keluar dari kamarnya dan ia melihat Gray yang juga baru keluar dari kamarnya.
"Yo, Sarah!" Sapa Gray yang keluar membawa handuk.
"Hai!" Sarah menjawab masih setengah canggung lalu turun bersama Gray sambil berbincang-bincang.
Hujan perlahan mulai turun, dan semakin lama, semakin deras, petir-petir mulai bersahutan. Ervan menghela nafasnya lalu duduk di sofa.
"Kak Reine! Oma dimana?" Tanya Chloe begitu sampai di dapur dan ikut membantu memasak sarapan.
"Kurasa, Oma tadi bilang kalau dia mau ke dunia nyata. Entahlah, sepertinya ada sesuatu disana, aku tidak tau." Kata Reine sambil memotong-motong roti.
Chloe lalu ber-oh panjang dan melihat Lyra dan Leon datang.
"Ah benar. Aku ingin bertanya pada kalian." Kata Lyra lalu melihat Sarah dan Ervan yang sedang melihat orang-orang di luar rumah, kehujanan.
"Hm?" Sarah menengok, begitu juga dengan Ervan yang merasakan tatapan dari Lyra.
"Sejauh apa yang kalian tau tentang Frost?"
Sarah dan Ervan awalnya terdiam, menghela nafasnya, lalu Sarah akhirnya mulai berbicara.
"Seperti yang kami bilang kemarin, Frost hanya ingin kedudukan dunia. Ia orang yang akan melakukan apapun untuk mendapatkan itu. Contohnya," Sarah menunjuk pada mata Kazuto.
"Jadi, ia merekrut sebanyak mungkin anggota dan melatih kemampuan fisik dan sihir mereka. Agar nantinya, Frost bisa memakai mereka yang sudah terlatih sebagai tentaranya. Sejauh yang kami tau, Frost memiliki 10 asisten pribadi, dan 15 letnan. Mereka adalah yang terkuat. Para letnan, masing-masing dari mereka memiliki setidaknya 2 pasukan yang sudah cukup untuk menghabisi satu desa. Walau begitu, kekuatan para letnan dan asisten itu sendiri sudah setara dengan 10 peleton."
"Dan yang kami ketahui hanyalah beberapa dari mereka. Asisten Frost dengan nomor 9, Teckin, merupakan orang yang bisa menggunakan ingatannya dan menciptakan sihir baru dengan itu. Lalu, asisten dengan nomor 6, Fiona, memakai suatu sihir musik yang bisa ia pakai untuk menyerang musuh. Asisten nomor 10, Vear, adalah seorang penyihir dengan kemampuan memanipulasi pasir. Lalu, asisten nomor 7, Sav, ia menggunakan tulang untuk menyerang."
"Tulang?" Tanya Kazuto setengah tak percaya.
"Iya, dia cukup menakutkan." Kata Sarah.
"Dan untuk para letnan, kami hanya kenal 2 orang saja, letnan divisi 2, yaitu Reid, memakai sihir kecepatan, dan letnan divisi 7, Chaver, menggunakan sihir yang bisa memanipulasi rantai. Hanya itu yang kami berdua ketahui." Kata Sarah lalu mengambil roti yang Reine berikan padanya, sambil berterima kasih.
"Menakutkan mendengarnya. 2 pasukan, itu artinya ada 30 pasukan, astaga. Aku tak bisa membayangkannya." Kata Lyra.
"Ah, kalau tidak salah. Kalian sudah menghancurkan satu pasukan itu. Saat, kita pertama kali bertemu, mereka yang ada di tank itu, merupakan pasukan divisi 7." Kata Ervan.
"Oh... benar juga. Saat itu kami kalah telak dari kalian." Kata Leon tertawa sinis. Ervan dan Sarah tertawa kecil.
"Tapi, kurasa kalian bisa mengalahkan pasukan-pasukan itu dengan mudah jika kalian menggunakan senjata suci kalian." Kata Sarah.
Mereka berenam saling bertatapan lalu Gray berkata, "Bukan begitu. Menggunakan senjata suci membutuhkan tenaga yang sangat banyak. Dan akibat dari senjata suci itu juga sangat besar. Satu kota bisa hancur begitu saja jika kami menggunakannya. Terlebih, tidak semua dari kami memiliki senjata suci ini."
"Maka dari itu, senjata suci kalian disegel?" Tanya Ervan.
"Untuk saat ini, Oma sudah memberikan senjata suci milikku, Kazuto, dan Gray kembali. Tetapi tetap saja, ia memperingatkan untuk menggunakan disaat genting saja." Kata Chloe.
Hujan turun semakin deras, matahari tidak memberikan sinarnya sedikitpun karena terhalang oleh gelapnya awan hari ini. Sudah 1 jam, tetapi tak ada tanda-tanda bahwa Oma Laine akan pulang dari dunia nyata. Hingga akhirnya, Reine pergi menuju ruang baca ayahnya dan mencari-cari buku tentang sihir.
Reine mengambil sebuah buku tebal yang usang dan menaruhnya di meja. Debu-debu yang menempel pada buku itu langsung terhempas bwgitu Reine meniupnya. Reine membuka halaman pertama, dan mulai membaca buku itu.
Bzzt!
Seluruh ruangan menjadi gelap seketika, dan mereka terkejut secara tiba-tiba.
"Listriknya mati?" Kata Kazuto lalu membuka pintu depan. Angin kencang langsung masuk dan membuat Kazuto harus menyipitkan matanya agar anginnya tidak mengeringkan matanya. Kazuto menengok ke kanan dan kiri. Tak ada siapapun, seluruh orang tak ada yang mau keluar dari kediamannya karena hujan lebat ini.
Gray lalu membuat api di tangannya dan duduk di lantai ruang tengah. Penerangan yang Gray buat sudah cukup untuk mereka bisa kembali berkumpul dan melihat wajah masing-masing.
"Aku tak memiliki perasaan yang baik tentang hal ini." Kata Chloe lalu menengok ke arah jendela luar. Hujannya tak terlihat akan berhenti, Chloe lalu mengecek saklar listriknya dan memberikannya sedikit tegangan. Tapi, itu tak mempan dan listrik tetap saja mati.
"Lyra, bisa ambilkan lilin dari dapur? Di atas sini tidak ada." Kata Leon yang baru saja turun dari tangga.
Lyra menjawab dengan tangannya yang mengisyaratkan 'OK' lalu ia pergi ke dapur dan membongkar-bongkar isi dapur. Lalu, Lyra melemparkan lilin pada Ervan. Ervan menangkap lilin itu dengan baik lalu memberikan lilin itu sebuah api. Tiba-tiba, sebuah portal lingkaran berwarna ungu terbentuk di depan mereka. Dan Oma Laine keluar dari portal itu.
"Hai, kalian!" Kata Oma Laine lalu sedikit terkejut melihat Sarah dan Ervan yang sudah terlihat akrab dengan semuanya.
"Oma!" Sapa Chloe lalu ia duduk di dekat lilin dan menghangatkan tubuhnya.
Oma Laine menengok pada Sarah dan Ervan yang merasa canggung.
"Kalian bisa memanggilku Oma juga kalau kalian mau." Kata Oma Laine tersenyum.
"Dan Leon?" Tanya Oma Laine.
"Yep?" Leon keluar dari kamar mandi dan mengeringkan tangannya dengan menepuk-nepukkan tangannya di celananya.
"Aku menemukan milikmu." Kata Oma Laine lalu munculah sebuah kotak panjang di tangan Oma Laine.
"Apa isinya?" Tanya Leon lalu membuka kotak itu.
"Senjata sucimu. Dan sebenarnya, kalian bisa menamai senjata suci kalian dengan apapun yang kalian mau." Kata Oma Laine, meletakkan kotak besar itu di tengah ruangan.
"Senjata suciku?" Tanya Leon lalu mengeluarkan sebuah hammer raksasa. Dengan kepalanya yang terbuat dari besi dan juga sebuah permata berwarna oranye di tengah-tengahnya.
"Wow, itu besar sekali. Kurasa aku bisa duduk di bagian pemukulnya." Kata Leon mencoba mengangkatnya dengan susah payah.
"Ya, aku menemukannya di dunia nyata. Tepat di bawah halaman rumahmu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top