04. Wisteria, Cinta dan Keabadian

Sudah berapa hari terlewati, seminggu? Tidak, mungkin lebih. Tapi keadaan [Name] tak kunjung membaik, dan sepertinya malah memburuk. Akaashi bahkan hampir putus asa ketika [Name] terkena demam tinggi dua hari yang lalu, dan sampai saat ini keadaan [Name] masih memprihatinkan—bahkan kini ia terlalu lemah untuk bangkit dari kasur.

Kenma bilang, dia belum mendapatkan informasi tentang cara mematahkan sihir yang mengikat [Name] saat ini, karna sihir itu memiliki efek berbeda di setiap bunga, begitu pun cara mematahkannya. 

Kuroo pun melaporkan hal yang serupa setelah ia bertanya pada beberapa orang yang ahli dalam hal bersangkutan, dan mereka bilang sihir itu jarang ada pada bunga selain daisy dan tulip, makanya belum diketahui secara pasti cara mematahkan sihir yang ada pada bunga aster. 

Sedangkan Bokuto, dia bahkan sudah jauh-jauh pergi ke Crowflight dan meminjam buku hampir di semua perpustakaan yang ada di sana. Dia juga bertanya pada seorang healer terkenal di tanah itu yang rupanya membuka toko obat-obatan. 

Betapa beruntungnya Akaashi memiliki teman yang mau menolongnya sejauh itu, ia sangat berterima kasih dan bersyukur dengan semua yang telah dilakukan ketiganya untuk membantu.

Karna sebenarnya, tak banyak yang bisa Akaashi lakukan. Ia sangat ingin pergi keluar, mencari informasi tentang sihir tersebut dan cara mematahkannya, tapi disisi lain hanya dirinya yang bisa merawat [Name], mana mungkin Akaashi meningalkan kekasihnya yang sedang sakit seorang diri—terlebih, [Name] sudah tidak memiliki orang tua dan hilang kontak dengan keluarganya, makanya ia berakhir menjadi cleric dan tinggal di gereja sebelum bertemu Akaashi.

Alih-alih tak bisa meninggalkan [Name], Akaashi pun berakhir dengan setumpuk buku mengenai sihir dan kutukan yang harus dibacanya—seperti yang sudah di sebutkan sebelumnya—Bokuto yang meminjamkannya dari perpustakaan. Meski Akaashi itu seorang white mage yang pandai menggunakan sihir dan punya wawasan cukup luas, ia tetaplah hanya seorang penduduk desa biasa dan bukanlah wizard yang berilmu tinggi. Ia hanya gemar membaca.

Bahkan hingga saat ini, dari kamar itu masih terlihat cahaya redup dari lampu dian yang menerangi sekitaran meja belajar Akaashi. Ya, pemuda itu masih berusaha. Hanya ditemani secangkir teh dan suara nyaring jangkrik dari halaman, ia bersikukuh untuk terus membaca dan mencari cara mematahkan sihir yang mengikat [Name]. Hanya di malam hari Akaashi bisa membaca dengan tenang, karna [Name] biasanya sudah tertidur.

Akaashi tak tahu berapa lama ia membaca, mungkin cukup lama sampai-sampai sisa teh yang sebelumnya masih hangat kini telah menjadi dingin. Konsentrasinya seakan dibuyarkan ketika ruangan mulai terasa pengap dan cahaya lampu dian di sampingnya mulai berbaur dengan cahaya ruangan yang mulai menerang. Pada akhirnya ia pun mengurungkan niatnya untuk melanjutkan kegiatannya lalu mulai membuka jendela di depan mejanya untuk membiarkan udara segar masuk ke ruangan. Benar saja, matahari sudah menampakan dirinya, kini Akaashi harus mulai memasak sarapan.

Pemuda itu pun bangkit dari tempat duduknya, namun sebelum ia benar-benar pergi menuju dapur, pandangannya menangkap sosok [Name] yang masih berbaring. Ia akan pergi setelah melihat keadaan [Name] sejenak, setidaknya itu niat Akaashi sebelumnya, karna saat itu Akaashi menyadari kelopak mata [Name] yang terbuka. 

"[Name], kau sudah bangun?" Ujarnya sembari berjalan mendekat.

Gadis itu bangkit untuk duduk, kepalanya langsung menoleh dan mengikuti kemana Akaashi pergi sambil menatapnya dengan intens dan menunjukan ekspresi datarnya yang nampak seperti boneka cantik. Hingga mage itu berhenti tepat di samping kasur [Name], sedikit membungkukkan punggungnya dan mengelus rambut [Name] yang lembut. 

"Tidurmu nyenyak? Kau terihat menikmati tidurmu." Senyuman tipis terukir di wajah Akaashi, menyambut [Name] yang baru saja bangun dari tidurnya.

Namun senyumannya memudar menyadari tidak ada respon dari [Name] selain tatapan kosong dan ekspresi datarnya, Akaashi menjadi khawatir. "[Name], ada apa?" Tanyanya sekali lagi sambil duduk di sisi kasur.

Masih menatap mata Akaashi, gadis itu hanya terdiam. Tatapannya menyiratkan kebingungan, nampak tegas dan kosong memandangi manik Akaashi. Hingga [Name] mengucapkan satu kalimat yang seakan memutuskan harapan Akaashi yang selama ini ia pertahankan. Suara lirihnya berkata,

"Maaf, tapi kau siapa ya?"


Mata Akaashi terbelalak. "I-ini aku, Akaashi, tunanganmu. Ka,kau... tidak ingat? Aku sudah memperkenalkan diriku lagi bukan." Suara pemuda itu terdengar bergetar meski gelagatnya masih terlihat tenang. "Kau ingat namamu?" Dan kini ia mengganti pertanyaannya.

[Name] terdiam, ia menundukan kepalanya, seakan hendak mengingat sesuatu. Tapi malah erangan yang terlontar dari mulutnya, sambil tangannya menangkis tangan Akaashi yang hendak menyentuhnya dan kemudian menutupi wajahnya. 

Dari sela-sela jari yang menutupi wajahnya dapat terlihat mata [Name] yang terbeliak berkaca-kaca dan meneteskan air mata. "Nama... nama... namaku... tidak ingat," gumamnya. "Sa,sakit. Kosong. R-rasanya hampa. Berapa banyak hal yang kulupakan?! AAAGGHHH!!" [Name] mulai menjerit kesakitan dan menarik rambutnya sendiri, bahkan sesekali mencakar kulit kepala dan wajahnya.

Ia ingat rasa sakit ini, tapi kenapa hanya itu yang ia ingat. Semua rasa sakit yang sebelumnya, kini kembali ia rasakan. Pikirannya yang tak memiliki memori, kosong dan hampa, membuatnya merasa sesak. Benaknya melupakan banyak hal, tapi hatinya tidak, meninggalkan luka mendalam dan rasa menyesal. 

Hatinya tau pria di sampingnya itu sangat berharga, hatinya mengenal siapa pria itu, tapi memorinya tidak mengingat siapa pria itu. Dan itu sangat menyakitkan.

Akaashi tak dapat berkata apa-apa lagi, hanya air matanya yang berbicara, sambil tangannya berusaha menghentikan [Name] yang menyakiti dirinya sendiri. Tidak ada yang lebih menyakitkan selain melihat orang yang dicintainya menyakiti dirinya sendiri. Akaashi bisa melihat luka bekas cakarannya sendiri di pipi [Name], dan rambutnya yang berantakan bahkan rontok karna jambakannya. Tenaga [Name] sangat kuat, tapi tak cukup kuat untuk mengalahkan Akaashi. Dengan satu tarikan pemuda itu menarik kedua tangan [Name], menggenggam sangat erat pergelangan tangan gadis tersebut.

Manik [e/c] bertemu dengan manik green forest. Hati [Name] seakan menjerit meminta maaf ketika pandangannya bertemu dengan Akaashi, melihat air mata yang mengalir deras dari mata indah pria itu. Pria itu menangis hebat di hadapannya. 

Suaranya yang lirih dan terdengar putus asa itu berkata, "[Name]..... berhenti. Aku merasa sakit jika kau seperti ini." Tangannya mengelus pipi [Name] dengan lembut. 

"Lihat, kau melukai dirimu sendiri. Aku akan mengobatinya," ibu jarinya pun mulai mengusap kulit sekitar luka sang gadis, sebelum berganti mengusap sisa air mata ada di pelupuk matanya dengan pelan. Lalu Akaashi menarik sang gadis dalam pelukannya dan berbisik, "Jangan menangis."

Nafas terengah-engah [Name] mulai kembali tenang. Afeksi yang diberikan Akaashi berhasil menenangkan [Name]. Tidak, bukan hanya karna afeksi itu. Semacam perasaan hangat dan tenang yang dirasakan [Name] saat ini terasa begitu familiar. Gadis itu merasa semua akan baik-baik saja selama orang itu masih bersamanya, ia merasa aman. Dan Itu membuat [Name] sadar, dia sangat menyukai pria ini.

[][][]


"Tidak, tolong!" Tanpa sengaja pemuda bersurai hitam itu meninggikan suaranya. Sadar dengan cara bicaranya yang sedikit kasar, ia pun mencoba kembali tenang dan berbicara dengan pelan. "Kenma, apa benar tidak ada cara lain?"

"Maaf, tapi hanya informasi itu yang kudapatkan. Benar kata Kuroo," sang mage melirik ke arah Kuroo yang ada di samping lainnya Akaashi. "Sihir itu jarang ada pada bunga selain daisy dan tulip. Sulit mencari informasi sihir pada bunga aster." Jelasnya.

Akaashi hanya terdiam. Sikutnya bertumpu pada meja disaat tangannya menggenggam kepalanya cukup erat. Ia terlihat begitu menyedihkan, terlebih lingkaran hitam dibawah matanya dan wajahnya yang nampak lesu membuatnya nampak lebih menyedihkan lagi. Kuroo disisi lain hanya bisa mengelus punggung Akaashi. Ada hal yang harus dikatakannya, namun terasa begitu berat karna melihat keadaan Akaashi saat ini, tapi bisa celaka jika informasi itu tidak diketahui Akaashi. Oleh karna itu, terpaksa Kuroo memanggil nama kawannya itu dengan suara beratnya.

"Akaashi," ucapannya tercekat sesaat, pemuda berjubah merah itu pun menarik nafasnya. "berat untuk mengatakan ini, tapi..."

"....maaf. Kurasa waktu [Name] hanya tersisa sedikit."

Suara decitan antara kursi kayu dan lantai, juga getaran pada meja akibat dari dorongan yang tak sengaja Akaashi lakukan membuat pemuda berambut puding dan berjubah merah di sampingnya itu tersentak kaget. Keduanya menatapi Akaashi yang kini telah berdiri dari duduknya. Tak ada yang bisa melihat jelas ekspresi pemuda itu, kepalanya tertunduk dalam-dalam. Lalu dengan suaranya yang terdengar putus asa ia berkata, "Terima kasih untuk semua yang kalian lakukan. Aku sangat menghargainya. Tolong beritahu Bokuto-san untuk berhenti mencarikanku buku." 

Dengan perlahan Akaashi pun mengangkat kepalanya. Tapi bukan wajah penuh penyesalan dan putus asa yang ia pasang, wajah yang nampak lebih menyakitkan dari pada itu. Ia menyunggingkan senyuman. 

"Aku sudah menduga ini akan terjadi tak lama lagi, jadi akan kucoba untuk merelakannya." namun ucapan, suara, dan mata yang telah sembab itu tidak menyiratkan kebahagiaan sedikit pun dari senyuman yang ia buat. Ia memasang senyuman nan pahit.

Sejak [Name] terbangun dan mengalami amnesia untuk yang kedua kalinya, Akaashi sudah menduganya. Bunga aster bertangkai abu itu semakin layu dan ingatan [Name] kembali menghilang, di tambah kesehatan [Name] semakin hari semakin melemah, waktunya untuk pergi sebentar lagi.

Awalnya sangat berat bagi Akaashi, harus berpisah dengan kekasihnya yang telah lama bersamanya. Sudah banyak yang Akaashi lakukan demi [Name], bahkan teman-temannya ikut membantu, ia tidak ingin semakin merepotkan kawannya. Mereka sama-sama sudah menderita, terlalu berat jika malah [Name] tetap hidup namun memorinya kian menghilang setiap paginya, lebih baik Akaashi yang menderita kehilangan sosok [Name] setiap pagi namun [Name] bisa tenang di alam sana, Akaashi tidak mau melihat kekasihnya menderita lagi.

"Maaf, Kuroo-san, Kenma. Aku harus pergi, jadi kalian boleh pulang."

"Eh, tapi... Akaashi—" ucapan Kuroo terhenti ketika ia menyadari tatapan Kenma di belakang Akaashi. Kenma menggeleng pelan sebelum ia memakai tudung jubahnya dan mengambil tongkatnya, secara tidak langsung menginsyaratkan Kuroo untuk pergi dan membiarkan Akaashi. Kuroo diam sejenak. "Baiklah. Pastikan kau menjaga diri, Akaashi." Pesannya sebelum ia menepuk bahu Akaashi dan pergi bersama Kenma.

Untuk sejenak Akaashi masih berdiri di tempatnya, terdiam melamunkan sesuatu, sebelum akhirnya ia pergi ke kamarnya dan menghampiri [Name]. Bibirnya tersenyum lembut ketika ia memasuki ruangan, menyapa [Name] dengan ramah.

"[Name], ayo kita pergi melihat bunga."

[][][]


Bunga.

Bentuk dan warna setiap bunga berbeda, memiliki arti dan makna yang berbeda. Mawar yang menyimbolkan cinta dan gairah. Daisy yang berarti kemurnian. Tulip yang artinya cinta yang sempurna. Aster amellus yang bermakna perpisahan dan kepergian.

Wisteria yang melambangkan cinta dan umur panjang, sebuah keabadian.

Angin sepoi, langit sore, aroma wangi dan hamparan bunga bagai permadani berwarna-warni. Semua terasa begitu tenang dan menyejukan—seperti hari-hari biasa ketika Akaashi berdiam diri disini bersama [Name], dan kenangan itu seakan menambah sayatan luka di hati Akaashi. Tidak, pemuda itu sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak terlihat sedih di depan [Name].

Gadis itu duduk bersandar pada pohon wisteria dengan selimut menutupi kakinya—Akaashi yang membawanya. Akaashi yang duduk di sampingnya. 

Senyuman tipis terukir di wajah cantik [Name]. Mulutnya bergumam, "Indah," dengan suara lirihnya. Tentu Akaashi yang mendengarnya ikut tersenyum, menyadari [Name] menikmati pemandangan di hadapannya.

"Kau tau. Ladang bunga ini adalah tempat kesukaanmu."

'Karna itu aku membawamu kesini.'

Akaashi mulai bercerita, meski tak mendapat balasan apapun dari [Name]. Gadis itu nampak tenang memandangi hamparan bunga di hadapannya, bersandar pada bahu Akaashi dan mendengarkan ceritanya. Matanya mulai sayu, ia nampak kelelahan. 

"Kau sangat menyukai bunga, makanya kamar kita terdapat banyak bunga. Kau rajin merawatnya." Entah kenapa, sekarang mencium aroma bunga saja membuat pemuda itu merasa sedih.

"Kita sering duduk di bawah pohon ini, tapi kau lebih sering pergi ke tengah sana dan mengambil beberapa bunga untuk kau teliti." Jari telunjuk Akaashi menunjuk ke arah tengah-tengah ladang bunga. 

"Apa kau tau, bunga wisteria ternyata juga wangi." Kali ini pemuda itu mendapat respon berupa gelengan kepala. Akaashi menoleh ke arah [Name] sejenak dan tersenyum—bukan hanya karna senang mendapat respon dari [Name] tapi juga karna ia melihat bunga wisteria dan beberapa helai kelopaknya terjatuh di rambut [h/c] [Name]. Tangannya pun meraih bunga tersebut dan memberikannya pada [Name].

Tanpa perlu mengatakan apa-apa, [Name] menerima bunga tersebut dan mencium aromanya. Matanya langsung berbinar menatap bunga wisteria kecil itu setelah ia mencium wanginya. 

Benar apa kata Akaashi, bunga itu memiliki aroma wangi yang khas. "Wangi 'kan? Aku sedikit curiga kau tidak terlalu memperhatikan bunga wisteria yang paling dekat denganmu dan lebih tertarik dengan bunga-bunga di tengah sana." Ujar Akaashi kembali.

[Name] melirik ke arah Akaashi yang tengah tersenyum sayu memandangi ladang bunga. Tanpa sadar matanya mulai berkaca-kaca. "Akaashi," panggilnya ragu, karna itu nama yang baru ia dengar belum lama ini. "Maafkan aku." Lanjutnya setelah pemuda itu menoleh ke arahnya.

"Kenapa kau meminta maaf?" Karena menurut Akaashi dialah yang seharusnya meminta maaf.

"Maaf karna sudah melupakanmu." Balas sang gadis. "Aku tak bisa mengenalmu dan mengingat apa saja yang sudah kita lakukan bersama. Aku tidak bisa mengenal teman-temanmu yang datang ke rumah waktu itu. Aku tidak bisa mengenal diriku sendiri, bahkan jika kau tidak memberitahu namaku aku tidak akan pernah tau." Kini suaranya mulai terdengar serak dan bergetar. Intonasinya pun meninggi, menandakan betapa beratnya ia mengatakan hal tersebut. Kepalanya sudah lelah mencoba mengingat kenangannya, kini ia hanya bergantung pada hatinya.

"Meski ingatanku tak mengenalmu, hatiku tau siapa dirimu, Akaashi." Ujarnya. Lalu bibir pucatnya tersenyum lembut.


Air mata seakan meluap dari pelupuk mata Akaashi. Ahh, ia melanggar janjinya sendiri, ia menangis di samping [Name]—meski gadis itu tidak melihatnya. 

"Tidak, kau tidak bersalah," Akaashi pun angkat bicara. "Aku yang seharusnya meminta maaf karna tidak bisa melindungimu. Dan aku sudah cukup bersyukur hatimu mengenalku. Sungguh. [Name]...." Suaranya terdengar begitu putus asa meski tak terdengar isakan dari tenggorokannya. "Terima kasih sudah mengingatku."

[Name] hanya tersenyum tipis, ia senang mendengar ucapan terima kasih dari kekasihnya itu, meski sedikit membenci permintaan maafnya. "Kau juga tidak bersalah kok." Ujarnya singkat, sebelum matanya yang terasa berat mulai terpejam. Nafasnya terdengar begitu ringan hingga perlahan berhenti, mungkin ia menjadi tenang karna pemandangan bunga di hadapannya juga aroma wisteria yang masih tersimpan di memorinya, dan Akaashi yang masih di sampingnya hingga saat ini.

Akaashi tak berani menoleh ke arah [Name]. Selain karna tak ingin memperlihatkan wajahnya yang menangis, ia masih belum berani menatap wajah cantik [Name] dengan perasaan bersalah. Mungkin ucapannya tadi adalah kalimat terakhir yang Akaashi dengar. 

Akaashi menutupi matanya dengan telapak tangan kirinya sambil kepalanya sedikit mendongak ke atas. 

"[Name], aku sangat mencintaimu."

Nafasnya sempat terhenti sejenak, tapi tiba-tiba saja tangan gadis itu bergerak menggenggam tangan kanan Akaashi. Dengan lembut ia berbisik, "Wisteria, cinta dan keabadian."

"Ah!" Kedua mata Akaashi terbelalak menyadari sesuatu. Tidak, bukan hanya karna [Name] tiba-tiba kembali bernapas, tapi ucapannya juga. Tanpa banyak pikir pemuda itu pun menoleh ke sampingnya, memandangi kekasihnya yang kini seakan tengah tertidur dengan pulas dan tenang. "[Name]?" Panggilnya meski sedikit ragu.

Perlahan kelopak matanya terbuka, menampakan manik [e/c]nya yang begitu indah dipandang, nampak sedikit sembab karna air mata. Masih dengan senyuman yang sama gadis itu melirik ke arah Akaashi, saling bertukar pandang untuk sejenak. 

"Akaashi..... aku ingat bahasa bunga dari wisteria," ujarnya sambil perlahan senyumannya memudar dan matanya semakin berkaca-kaca. "Aromanya begitu berkesan bagiku." Kini ia mulai mengeratkan genggamannya. "Dan itu mengingatkanku ketika kita pertama kali pergi kesini hingga terakhir kali mengunjungi landang bunga ini sebelum sekarang." 

Matanya mulai mengeluarkan air mata, mengalir melalui pelupuk matanya. [Name] terisak, menangis sambil menggenggam tangan kanan Akaashi dengan kedua tangannya.

"Aku ingat semuanya. Ingatanku kembali. Aku pulang, Akaashi."

Tak ada yang bisa Akaashi lakukan selain menarik [Name] dalam pelukannya. Ia terlalu bahagia, sampai-sampai mulutnya seakan membisu untuk sejenak. Perasaan lega langsung menyelimuti hatinya, ia memeluk [Name] erat-erat, seakan gadis itu akan terbang pergi seperti kelopak-kelopak bunga yang terbawa angin. Kekasihnya membalas pelukan Akaashi, sama eratnya karna rasa rindu, takut, dan khawatir yang telah ia rasakan selama ini seakan menghilang seperti debu. Keduanya sama-sama merasa lega. Akaashi tersenyum, dan berbisik di telinga [Name], "Selamat datang kembali, [Name]."

Karna cinta kami abadi, seperti wisteria yang menaungi kita di senja hari ini.

[Fin.]


Author's note:
Dan mereka pun hidup bahagia~
Akhirnya selesai juga!! Setelah banyak hal yang Fi lalui untuk ngetik cerita ini. Terlebih lagi, Fi ikutan tersayat hatinya karna ngetik cerita angst ini. Perjuangannya bikin cerita ini kerasa bro.

Ekhem. Oke, mari berhenti curhatnya. Fi ingin sekali mengucapkan terima kasih kepada kalian yang sudah membaca fanfiksi ini dan kepada kalian yang setia membacanya sampai selesai. Fi punya harapan untuk kalian memberikan vote dan comment, tapi Fi tidak memaksa, karna Fi lebih suka kalian memberikan apresiasi tanpa paksaan. And thanks to DemyNyan yang sudah membuatkan cover buku ini~

Juga, maaf kalau karakternya (terutama Akaashi) out of character dan banyak typo atau semacamnya. I'm trying to give the best here.

Semoga harimu menyenangkan!

FidelaFi.

[Also!]
Check another Haikyuu!! Fanfiction in my collaboration account with Demy DemyFidela *wink*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top