03. Aster Amellus, Selamat Jalan

Tutup panci yang baru saja dibuka itu menampakan gumpalan asap tipis diatasnya. Setelah memasukan beberapa sendok besar bubur ke dalam mangkuk, Akaashi pun pergi membawanya diatas nampan yang juga berisikan segelas air dan beberapa bungkus obat herbal dan ramuan, lalu membawanya ke sebuah ruangan kecil berpintu kayu di sudut rumah. Pemuda itu mengetuk lembut pintu tersebut, kemudian masuk tanpa menunggu balasan dari orang di dalamnya.

Akaashi tertegun sejenak memandangi [Name] yang duduk di kasurnya sambil memandangi dunia luar lewat jendela disampingnya. Sinar lembut matahari menyorot ke wajahnya yang terlihat begitu tenang, semilir angin meniup lembut helaian rambutnya yang indah. Cantik namun memilukan.

Semakin lama melihat keadaan [Name], semakin besar pula tekad Akaashi untuk mengembalikan ingatan [Name]. Setidaknya [Name] masih berharap untuk sembuh, masih ada sedikit semangat untuk tetap menjalani hidupnya yang hampa. Lagi pula mereka bisa membuat kenangan baru bukan.

"[Name], kau baik-baik saja?" Tanya Akaashi memecahkan keheningan.

Gadis itu perlahan menoleh, lalu menyungingkan senyuman manis yang dipaksakan. "Aku tidak apa-apa." Balasnya singkat, tak tau harus berkata apa lagi.

Akaashi tersenyum tipis membalas senyuman manis [Name] itu, setidaknya ia sudah berusaha untuk tersenyum di tengah penderitaannya. Sambil melangkah mendekat pemuda itu pun berkata, "Baguslah. Kalau begitu segeralah makan dan minum obat." [Name] mengangguk mendengar perintah Akaashi.

Meja kecil dengan kaki-kaki pendek Akaashi letakan di hadapan [Name], sebelum ia menyimpan semangkuk bubur di atasnya. "Makanlah." Ujarnya pelan, hanya di balas anggukan oleh [Name] untuk yang kedua kalinya.

[Name] menatap sejenak mangkuk berisikan bubur di hadapannya, sebelum ia mengambil sedok dan mulai memakannya dengan perlahan. Akaashi menarik kursi kayu, lalu duduk di samping kasur, mengawasi [Name] kalau-kalau hal yang tidak di inginkan terjadi.

Tumpukan buku di meja yang ada di seberang kasur menarik perhatian Akaashi sejenak. Buku yang menumpuk namun tidak terdapat debu, menandakan buku-buku itu baru saja di baca tidak lama ini. Ya, semua buku miliknya telah ia buka dan baca ulang, demi mencari cara untuk menyembuhkan [Name] dari amnesianya ini. 

Padahal Akaashi bisa saja memanggil cleric lain seperti Yukie, healer atau tabib dan orang-orang semacamnya yang bisa menyembuhkan [Name]. Tapi amnesia yang dialami [Name] ini terasa sedikit janggal. Akaashi berpikir berkali-kali tentang apa yang harus dilakukannya, hingga pada akhirnya ia memutuskan untuk menyembuhkan [Name] dengan caranya sendiri.

'Aku harus coba mencari buku di perpustakaan,' batin sang pemuda sebelum ia kembali mengalihkan perhatinnya ke [Name]. 

Kaget dan khawatir seketika muncul di hati Akaashi saat mendapati [Name] menteskan air mata sambil menatapi bubur di hadapannya. "Ada apa?"

"M-maaf," ucap gadis itu lirih. Perlahan [Name] menyimpan sendok yang di pegangnya lalu menutupi wajahnya dengan telapak tangannya, menangis dan terisak pelan di balik tangannya. "Aku seperti melupakan sesuatu yang sangat berharga. Hatiku sakit." Ujar [Name] diselingi isakan pelan. "Maaf, Akaashi-san. Maaf aku melupakan waktu-waktu indah bersamamu."

Isakan [Name] seketika menjadi tenang saat ia merasakan afeksi pada kedua tangannya. Akaashi menarik pelan kedua tangan [Name] dan mengenggamnya, wajah cantik [Name] yang basah oleh air mata pun terlihat. 

"Tidak, ini bukan salahmu." Akaashi berkata dengan pelan, mencoba menenangkan [Name]. "Kita bisa membuat kenangan baru, tenang saja. Lagipula aku akan mengembalikan ingatanmu, bagaimana pun caranya. Jadi jangan menangis ya." Karna sesungguhnya,

'Melihatmu menangis begitu menyakitkan.'

[][][]


Ketukan pelan dan sahutan dari luar pintu rumah kediaman Akaashi membuat sang pemilik segera beranjak. [Name] yang tengah membaca buku segera mengalihkan pandangannya ke arah Akaashi yang baru saja berdiri dari kursi di samping kasur. 

"Tunggu sebentar ya." Ucap Akaashi pada kekasihnya, sebelum ia berjalan meninggalkan kamar. [Name] hanya mengangguk kebingungan.

Mata [Name] memandangi sekeliling kamar, tapi telinganya berusaha menangkap suara samar-samar percakapan Akaashi dengan seseorang di luar sana.

"Akaaaashiii! Bagaimana keadaan [Name]?"

"Bokuto-san, kenapa kau kesini?" Suara Akaashi memang tidak terdengar terkejut, tapi sebenarnya ia cukup kaget dengan kedatangan sahabatnya itu. Terlebih lagi ketika ia melihat dua kawannya yang lain dari desa Cattswood—Kuroo dan Kenma. "Ah, Kuroo-san, Kenma. Kalian juga disini."

"Yo, Akaashi, lama tak berjumpa." Akaashi hanya membungkuk sopan mendengar sapaan pemuda berjubah merah itu. "Kudengar tunanganmu sedang sakit, jadi aku ikut bocah ini untuk menjenguknya, tentunya bersama Kenma." Sambung Kuroo sembari merangkul Bokuto dan mengusap kepala seorang white mage bertudung di sampingnya yang membawa keranjang dan tongkat kayu.

Akaashi hanya melirik sinis ke arah Bokuto, ia menyesal mengkabari keadaan [Name] padanya dan malah membawa orang lain ke rumahnya. Yah, tapi Kuroo dan Kenma sudah jauh-jauh datang ke Owlreach hanya untuk menjenguk [Name], jadi apa boleh buat.

Akaashi menghela nafas pendek sebelum ia mempersilahkan tamunya untuk masuk dan melayani mereka.

"Kalian ingin minum?" Tawar Akaashi disaat yang lainnya tengah melepas jubah mereka.

"Ah tidak perlu, tujuan kami kesini untuk menjenguk [Name]." Ujar Kuroo.

"Ya, makanya kami membawa ini." Sekeranjang buah-buahan dan roti pun Kenma letakan di meja, membuat Akaashi melirik sejenak dan berterima kasih.

"Jadi, dimana [Name]-ku? Dia sakit apa?" Celetuk Bokuto yang entah mengapa menarik perhatian ketiga pemuda lainnya, terutama perhatian Akaashi. 

Kuroo mengangguk-angguk mengisyaratkan ia juga bertanya hal yang sama, sedangkan Kenma nampak tak terlalu peduli karna kosentrasinya teralihkan pada hal lain.

Sesaat Akaashi menghela nafas panjang dan memijat pangkal hidungnya. Ia sedikit ragu untuk menceritakan kebenarannya. Tapi Kenma mendahului, "Apa perasaanku saja atau memang ada yang aneh disini?" Ucapnya sembari menarik kursi kayu dan duduk.

Akaashi menggeleng, lalu ikut menarik kursi lain dan duduk di hadapan Kenma. "Sebenarnya aku juga merasakan ada sihir gelap disini, dan sepertinya itu yang membuat [Name] mengalami amnesia," ujarnya pelan, tak ingin sampai terdengar oleh kekasihnya di kamar.

Kuroo terbelalak dan Kenma tersentak kecil. Sedangkan Bokuto yang berdiri di samping Kuroo, "Hah?! Amnemphh—" Akaashi dan Kenma pun menoleh ke Bokuto. 

"Sudah kuduga dia akan berteriak." Kuroo disana dengan sigap sudah menutup mulut Bokuto sebelum orang itu benar-benar meneriakan kalimat yang mungkin menyinggung Akaashi atau [Name].  "Ada orang sakit disini, jangan berteriak bodoh." Tegur Kuroo pada Bokuto seraya menarik tangannya. 

Bokuto hanya terkekeh dan menyengir, "Ehehe... maaf."

Sekali lagi Akaashi menghela nafas, cukup dengan helaan nafas yang terdengar berkali-kali itu Kuroo dapat mengerti se-stres apa Akaashi. "Jadi, kau berasumsi kalau hilangnya ingatan [Name] karna sihir gelap itu?" Tanya sang pria berambut bangun tidur tersebut.

Akaashi membalas ucapan Kuroo dengan anggukan, sebelum ia melanjutkan penjelasannya, "Masalahnya aku tidak tau dari mana sihir itu berasal, aku tau ada di rumah ini tapi tidak tau dari mana." Kedua sikutnya ia letakan pada meja dan tangannya menggengam erat kepalanya yang tertunduk, Akaashi nampak begitu terbebani dengan semua ini.

Semua terdiam, antara mencoba merasakan sihir gelap di tempat itu atau merasa iba dengan sepasang kekasih terebut. Akaashi nampak begitu khawatir, gelagatnya sejak awal tampak seperti kelahan, ditambah kantung mata mulai nampak pada wajahnya. 

Tidak ada yang berbicara untuk beberapa saat, atmosfer terasa begitu berat.

Tiba-tiba Bokuto berkata dengan polosnya, "Apa hanya aku disini yang tidak bisa merasakan sihir yang kalian maksud itu?" Tanpa Bokuto sadari, ucapannya membuat Akaashi dan yang lainnya tersenyum tipis karna terhibur.

Kuroo mengusap punggung Bokuto. "Iya, hanya kau. Aku disini juga bisa merasakannya."

"Hei! Itu curang. Seorang hunter juga bisa merasakan sihir meski samar-samar tau!" Bela pemuda berambut abu itu sambil menempis usapan pada punggungnya.

"Aku sedikit ragu jika hunter yang kau maksud adalah dirimu, Bokuto-san."

"Akaaaashi! Seharusnya kau membelaku!"

"Kalau begitu, sekarang lebih baik kita mengunjungi [Name]." Potong Kenma sebelum Bokuto benar-benar berulah.

"Kau benar Kozume," tanpa basa-basi, sang pemilik rumah pun berdiri dan memimpin jalan menuju kamar tempat [Name] beristirahat. Yang lain pun mengikuti.


Aroma bunga tercium ketika pintu kayu kamar Akaashi dan [Name] dibuka. Kamar yang cukup berwarna karna hiasan bunga di dalamnya, [Name]-lah yang biasanya merawat bunga-bunga itu agar tidak layu dan selalu mekar supaya tetap indah dan menghiasi kamar, tapi sejak [Name] sakit Akaashi yang merawatnya. 

[Name] menoleh ke arah para tamu dan Akaashi, menatap mereka kebingungan dari kasur tempatnya duduk. 

Ruangan itu bukanlah ruangan yang besar. Kasur besar tempat [Name] duduk saat ini diletakan di samping jendela sehingga ketika ia meloneh kekanan, ia bisa melihat pemandangan luar lewat jendela. Di sisi kiri kasur terdapat meja kecil, biasanya disana terdapat vas bunga tapi kali ini hanya mangkuk bekas makan [Name] yang terlihat di meja itu. Di samping meja kecil, meja rias milik [Name] berdiri paling cantik karena banyak dihiasi oleh bunga. Ada juga rak berisi banyak buku milik Akaashi di samping pintu, menghadap ke arah kasur. Dan di seberang kasur terdapat meja dengan tumpukan buku yang Akaashi baca.

Perhatian Kuroo tertuju pada setumpuk buku di atas meja, juga buku-buku koleksi Akaashi di rak. Berbeda dengan Kenma yang entah mengapa perhatiannya tertarik pada keranjang bunga di meja rias.

"[Name], mereka teman-temanku. Bokuto-san, Kuroo-san, dan Kenma." Ujar Akaashi memperkenalkan sambil tangannya menunjuk sang pemilik nama yang disebutkan.

Kenma menunduk sopan tanpa berkata apa-apa. Sedangkan Bokuto menyapa meriah kekasih Akaashi tersebut dan Kuroo tersenyum canggung. 

"Rasanya sedikit aneh memperkenalkan diri lagi padamu." Ujar Kuroo seraya menatap [Name], mata gadis itu sedikit membengkak bekas tangisannya. Dan itu cukup menarik rasa simpati pria berambut bangun tidur tersebut.

"Ah, halo, selamat siang." Sapa [Name] sedikit canggung.

"[Name], bagaimana keadaanmu? Apa Yukie sudah datang kesini?" Bokuto tiba-tiba saja membuka pembicaraan sedangkan Kenma berjalan mendekati meja rias. Kuroo yang berdiri di samping pria mirip burung hantu itu refleks memukul lemah kepala belakang Bokuto, "Dia lupa siapa Yukie," bisiknya yang direspon dengan ekspresi terkejut Bokuto.

[Name] yang tak tau apa-apa hanya tersenyum canggung. "Keadaanku cukup membaik."

"Oh sungguh? Syukurlah. Kuharap semuanya segera membaik." Ujar Kuroo hati-hati.

Disaat yang lain tengah berbincang, mencoba berinteraksi dengan [Name], disisi lain Kenma malah mencoba membuka keranjang bunga milik [Name]. Sejenak Kenma mendekati Akaashi. "Akaashi, kurasa ada yang aneh dengan ini?"

Akaashi diam sejenak memandang benda yang Kenma maksud. Dia tau Kenma mencoba membicarakan soal sihir aneh yang terasa sejak [Name] sakit. Akaashi melirik [Name] yang tengah berbincang bersama Kuroo dan Bokuto. 

"Kurasa, lebih baik kita membicarakan ini tanpa [Name]."

[][][]


Wajah tertidurnya nampak menenangkan, syukurlah jika [Name] sudah bisa tidur dengan nyaman. Akaashi menarik sedikit selimut yang menutupi tubuh [Name], lalu berjalan pergi meninggalkan kamar sambil membawa keranjang bunga di atas meja rias. 

Suara pintu kayu yang berdecit menarik perhatian ketiga pemuda yang masih singgah di rumah Akaashi. 

"[Name] sudah tidur?" Tanya Kuroo.

"Sudah," jawab Akaashi singkat sembari menghampiri dan menyimpan keranjang tersebut di meja. 

Pemuda itu pun membuka keranjang yang belum tersentuh sejak tiga hari yang lalu, beberapa bunga nampak layu karena tak terawat, ada juga yang rusak karna tertimpa buku milik [Name].

"[Name] pasti sangat suka bunga," komentar Bokuto seraya meraih buku di dalam keranjang tersebut dan membacanya seorang diri.

"Ya, dia sangat menyukai bunga." Akaashi terenyum lembut mengingat reaksi [Name] keika diberi buku tersebut olehnya, sambil menatap buku yang tengah dibaca—lebih tepatnya hanya sekedar dilihat—oleh Bokuto.

Kuroo ikut mendengarkan, sedangkan Kenma berinisiatif mengecek keranjang bunga itu. Hingga sebuah bunga bertangkai abu-abu ia keluarkan dari keranjang tersebut. 

"Ini. Kurasa sihir itu berasal dari sini." Kenma berucap sambil meletakan bunga berkelopak ungu itu di samping keranjang.

Akaashi dan yang lainnya menoleh. "Kapan [Name] mengambilnya?" Gumam Akaashi.

"Uoh! Bunganya aneh tapi keren!"

"Aku bisa merasakannya, sihirnya cukup kuat namun samar. Tapi, ini lebih terasa seperti sihir kutukan." Kuroo ikut menyampaikan pendapatnya.

"Jadi, [Name] hilang ingatan karna kutukan dari bunga itu?"

"Anggap saja itu hipotesis. Jangan terburu-buru, Akaashi."

"Ah, lihat apa yang kutemukan!" Ketiganya langsung menatap Bokuto yang kini tengah membalik bukunya dan menunjukan gambar bunga berkelopak sama seperti bunga bertangkai abu itu, hanya saja dalam buku itu tangkainya tidak berwarna abu. "Ini bunga yang sama bukan?"

"Coba kulihat," Kuroo segera merebut buku tersebut dan membacanya sekilas sebelum ia mulai membacanya dengan lantang. "Aster Amellus, dalam bahasa bunga, aster amellus menyimbolkan perpisahan atau kepergian. Bisa juga di artikan sebagai bunga selamat tinggal."

Mata Akaashi terbelalak, bukan terkejut hanya karna dikte-an Kuroo, tapi ia juga menyadari sesuatu. Dengan cepat Akaashi pergi ke kamarnya dan mengambil sebuah buku bersampul biru dongker dengan hiasan garis-garis spiral berwarna emas. Dengan terburu-buru pemuda itu meletakannya di meja dan membukanya. Jemarinya dengan lihai membuka setiap halaman​ pada buku tersebut, hingga ia berhenti pada satu halaman dan membacanya dengan hati-hati.

Akaashi tidak berkata apa-apa, ia hanya menggeram pelan dan menutup wajahnya deng kedua tangannya. Kenma mencoba mengambil buku itu dan membaca dalam hati, sebelum ia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada kedua kawannya yang lain. 

"Ini, sihir yang ada pada bunga. Sihir ini bisa menjadi berkat atau pun kutukan, tergantung bunga mana yang mengandung sihir ini," ujar Kenma mencoba menjelaskan dengan bahasanya meski matanya masih tertuju pada tulisan di buku tersebut. "Jadi, sihir ini akan berkerja sesuai dengan dengan bahasa bunga?" Kenma bertanya pada Akaashi mencoba memastikan. Namun bukan Akaashi yang menjawab.

"Ah, aku pernah dengar. Sihir itu akan bekerja sesuai dengan bahasa bunga, jika sihir itu ada pada bunga daisy yang berarti kesetiaan cinta, maka orang yang mengambil bunga bersihir itu akan setia mencintai satu orang, begitu 'kan?" Ujar Kuroo.

"Iya, tapi itu menjadi berkat jika sihir itu ada pada bunga daisy yang memiliki arti baik. Lalu bagaimana jika sihir itu ada pada bunga aster amellus yang punya arti kepergian?" Kenma menambahkan, membuat Bokuto yang sebelumnya celingak-celinguk mendengarnya seketika itu juga berseru kaget.

"Oh! Aku mengerti sekarang! Kalau begitu ini sangat gawat dong!"

Akaashi yang sudah dirundung rasa putus asa kini duduk di kursinya dengan lemas. "Itu benar. Dan arti 'kepergian' itu bisa saja mengacu pada kematian, dengan kata lain.... [N-name] bisa saja... benar-benar pergi dalam waktu dekat." Suaranya lirih namun ucapannya berhasil membuat semua yang mendengarnya ikut merasa tak percaya.

Spontan Kuroo berdiri dan memukul meja, membuat kursi yang di dudukinya terdorong kebelakang hingga menimbulakan suara gesekan antara kursi dan lantai kayu. "Tidak! Ini pasti kesalahan. Akaashi, kau tidak seharusnya berpikir begitu. Ingatan [Name] pasti kembali, bagaimana pun caranya. Kami akan membantu."

"Tidak. Yang kuucapkan tadi hanyalah kemungkinan terburuknya. Aku harus segera mencari cara untuk mematahkan sihir itu." Ujar Akaashi sambil memijat pangkal hidungnya, mencoba mengumpulkan harapan.

"Kami akan membantu," suara Kenma yang tiba-tiba itu membuat Akaashi menoleh. "Akan kucoba cari bagaimana cara mematahkan sihir itu, mungkin ada di salah satu buku di perpustakaan Cattswood." 

Kenma yang biasanya tidak ingin melakukan hal yang melelahkan dan meropatkan kini menawarkan diri untuk membantu, itu cukup membuat hati Akaashi senang. "Meski ini merepotkan, akan kuusahkan," gumam Kenma lirih di akhir kalimatnya.

"Akan kucoba bertanya pada beberapa orang yang mengerti tentang hal ini. Jadi aku akan membantumu juga." Kini giliran Kuroo yang menawarkn diri.

"Kau memang harus ikut membantu Kuroo, aku tak bisa membaca semua buku di perpus seorang diri."

"Jadi karna itu kau mengatakan 'kami' saat menawarkan bantuan tadi?"

Melihat kedua temannya sudah memiliki rencana untuk membantu Akaashi, Bokuto pun tak mau kalah. "Aku juga akan membantumu Akaashi!" Serunya. "Mungkin aku bisa membantumu mencari cara mematahkan sihir itu, kau harus menemani [Name] jadi tidak bisa ke perpus bukan?"

"Tidak, kurasa lebih baik kau carikan aku buku yang bagus untuk di baca, Bokuto-san." Dan Akaashi langsung menawarkan hal lain untuk dilakukan Bokuto, karna mage itu kurang yakin kalau Bokuto bisa bertahan membaca buku yang hanya berisi tulisan dengan kata-kata yang rumit.

Tanpa sadar Akaashi tersenyum tipis, kini kepalanya tertunduk. Ketiga kawannya pun menoleh kebingungan dan khawatir. "Terima kasih," ujar Akaashi lirih. 

"Sebenarnya, aku tidak tau harus bagaimana lagi. Tapi kalian mau menolongku, sungguh, terima kasih." Kini ia mengangkat kepalanya, Akaashi lebih ingin menatap ketiga temannya untuk menunjukan rasa terima kasihnya yang besar ketimbang menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca. Kenma, Kuroo, bahkan Bokuto dibuat terkejut dengan ekspresi Akaashi itu.

Tiba-tiba saja Bokuto berdiri dan menghampiri Akaashi, menepuk-nemuk punggung Akaashi sambil menyeringai lebar. "Eiii, ayolah! Akaashi yang seperti ini tidak seperti Akaashi yang kukenal."

Kuroo terkekeh puas dengan ekspresi langka Akaashi tersebut. "Kau keluar dari karaktermu, Akaashi."

Akaashi hanya tersenyum geli tanpa berkata apa-apa, bahkan ia membiarkan Bokuto memukul punggungnya dan merangkulnya hingga tubuh Akaashi terguncang kesana-kemari. Hanya satu kalimat yang kini terngiang di kepala Akaashi,

'Terima kasih kawan.'

[][][]


Author's note:
Give me applause for this chapter please~ /plak. Ehehe, mentang-mentang chapter ini paling panjang dari chapter lain dan diselesaikan dalam sehari, jadi songong gini nih Fi.

Gak banyak yang ingin Fi sampaikan, mungkin hanya permintaan maaf kalau-kalau ada typo karna Fi males baca ulang untuk ngedit (gini nih kalau bikin satu chapter kepanjangan :v). Dan Fi ucapkan terima kasih karna sudah membaca buku ini~

Angst nya makin kerasa yee... Fi yang bikin plot aja gak tega bikin Akaashi dan readernya menderita :')

Dan sepertinya buku ini gak lama lagi selesai /ohokspoiler. Well, tunggu saja update-an selanjutnya~

Have a nice day!

FidelaFi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top