🌻1 - Kantor, Pagi Itu🌻

Surabaya, 2 Februari 1925

Stefan Laurents tidak percaya cinta!

Itulah rumor yang tersebar di biro arsitek Muriel & Co begitu para anggotanya mendengar nama si arsitek muda yang akan datang hari ini. Stefan Laurents, lelaki Indo yang baru berusia dua puluh enam tahun, tetapi sudah menjadi salah satu arsitek muda yang paling bersinar di tanah Jawa. Tampan, gagah, sehat, dan cerdas. Benar-benar sosok idaman wanita, bukan?

Cuma dua kekurangannya. Pertama, ia bangsa campuran. Indo. Bukan pribumi, tetapi bukan pula Eropa. Kedua, ia tak tertarik pada hubungan romantis. Jangan salah, ia masih tertarik pada perempuan. Hanya, tidak untuk hubungan jangka panjang. Pemuda ini lebih senang berkawan kertas gambar dan penggaris, bahkan hingga larut malam di akhir pekan. Alasannya, tak ada yang tahu. Berbagai rumor dan duga pun menyebar, lebih cepat daripada api yang membakar ilalang di musim kemarau. Ada yang bilang bahwa ia benci merasa terikat. Ada pula yang bilang bahwa ia mungkin mengidap semacam kelainan jiwa.

Maka, ketika sang buah bibir tiba di kantor pada Senin pagi pertamanya itu, semua mata langsung terangkat dari meja. Ya, penampilannya memang sesuai dugaan mereka. Rambut hitam tersisir belah pinggir, tubuh setinggi kurang lebih seratus delapan puluh sentimeter, mata cokelat gelap yang menyiratkan kecerdasan, serta setelan jas kelabu yang tersetrika rapi. Tuan Frederik Muriel sendiri yang menyambutnya, lalu memperkenalkannya ke seluruh pegawai.

"Mulai hari ini, Insinyur Stefan Laurents resmi menjadi bagian dari kita," ujar Tuan Muriel dengan dada membusung bangga. Sementara pria paruh baya itu mengoceh, Stefan memperhatikan suasana kantor barunya. Bangunan satu lantai itu dulunya bekas penginapan. Sebagian besar kamarnya sudah digabungkan menjadi ruangan-ruangan besar sesuai divisi masing-masing. Ruangan yang akan ia tempati berlangit-langit tinggi, khas bangunan kolonial bergaya Indische. Lantainya dihiasi tegel bermotif bunga-bunga biru tua. Beberapa foto bangunan tergantung di dinding. Ada dua meja kosong di sana. Satu di samping jendela, satu lagi di sudut dekat toilet.

Pagi itu, ada lima orang lain di ruangan yang sebentar lagi akan jadi rumah keduanya itu. Semuanya laki-laki. Tiga orang Belanda totok, satu mungkin campuran Eropa-Tionghoa, dan satu lagi pribumi. Tuan Muriel memperkenalkan mereka satu-persatu. Resepsionis bekerja di ruang depan, Tuan Muriel punya ruangan sendiri, sedang divisi-divisi lain berkantor di kamar-kamar terpisah. Selesai perkenalan, Stefan diberi meja dan kursi di samping jendela. Baru saja Stefan menaruh pantat, sang empunya firma kembali dengan membawa berkas-berkas proyek yang sedang berjalan. Agaknya memang kantor ini sedang ketiban hoki. Puluhan klien datang dari seluruh penjuru Surabaya, bahkan dari kabupaten dan kota di sekitarnya. Oleh karena itu, anak baru ini pun harus lekas bekerja.

"Kau memang betul-betul terkenal, eh? Begitu mendengar kau akan datang ke sini, orang ini langsung bersikeras agar kau menangani pembangunan rumahnya. Bahkan ia bersedia bayar dua kali lipat dari tarif biasa! Mereka meninggalkan beberapa catatan, tetapi mereka akan datang untuk berdiskusi pukul dua siang nanti. Pelajari dulu permintaan mereka," ujar Tuan Muriel. Pria itu menepuk-nepuk punggung Stefan, lalu meninggalkan ruangan.

Stefan mengangguk. Langsung dibacanya kertas-kertas tersebut. Proyek itu untuk rumah tinggal di daerah Sumatrastraat, sebuah daerah perumahan orang Eropa. Luas tanah empat ratus meter persegi. Permintaan khusus berupa empat kamar tidur, ruang makan semi terbuka menghadap taman belakang, serta ruang musik kedap suara. Istri klien menginginkan rumah bergaya art deco dengan warna dominan putih, seperti yang pernah dilihatnya di sebuah majalah Amerika. Tidak lupa sebuah kolam ikan dengan gazebo bernuansa futuristis.

Masih banyak lagi yang tertera di daftar tersebut. Pendeknya, Stefan tahu klien macam apa yang ia hadapi ini. Sepasang orang kaya baru yang sedang senang-senangnya pada segala hal berlabel "modern", dan rela mengeluarkan banyak uang untuk mencapai tujuan mereka. Diam-diam Stefan berdoa agar selera pasangan tersebut bagus. Ia tidak ingin satu bangunan berselera buruk menodai portfolionya.

"Pasangan Alderliesten, eh? Kau mendapat klien yang bagus, Anak Baru."

Tanpa Stefan sadari, seorang pria jangkung berambut pirang berdiri di belakang kursinya. Mata pria itu sebiru lautan, berkilat-kilat penuh penilaian. Stefan ingat namanya, Pieter Vanderbilt. Seorang arsitek juga, yang belakangan ini mulai terdengar namanya di kalangan menengah ke atas. Sambil berkacak pinggang, pria itu memperhatikan berkas bacaan Stefan. Kontan saja Stefan langsung bermuka masam.

"Kurasa kau mengerti bahwa tidak sopan mengintip pekerjaan orang lain," sahut Stefan tajam. "Ada apa?"

"Ayolah, jangan jadi begitu sombong." Pieter menimpali. "Karena kita jadi rekan sekerja sekarang, aku hanya ingin memberimu sedikit tips. Pasangan itu klien reguler kita. Terakhir kali, aku yang merancang toko mereka di daerah Simpang. Mereka memberiku bonus tiga puluh persen karena berhasil mendapatkan tegel bermotif persis yang mereka cari. Bayangkan, tiga puluh persen! Lebih dari cukup untuk berpesta semalaman di De Simpangsche Societeit."

"Dasar mata keranjang, pesta melulu yang kaupikirkan!" Pria berkacamata yang duduk di sudut ruangan menimpali. Namanya Jan Steiner, seorang insinyur sipil. "Abaikan saja Pieter, Anak Baru! Cuma pesta yang ada di otaknya. Namun, sekali-sekali ada baiknya juga kau ke tempat itu di akhir pekan. Kau tahulah, banyak wanita cantik di sana. Minimal kau bisa dapat teman tidur, barangkali malah kekasih kalau beruntung. Toh, tampangmu tidak buruk-buruk amat."

"Hei, salah besar kau bicara begitu pada Stefan!" Pieter tergelak. "Oi, Stefan, benarkah rumor-rumor itu? Setelah pertunanganmu batal, kudengar kau sudah menyerah soal urusan wanita?"

"Maaf, kurasa hal itu adalah ranah pribadi," tukas Stefan tajam. "Bukankah kalian punya hal yang lebih penting untuk dikerjakan? Permisi, aku sibuk."

Stefan tak menunggu jawab kedua rekan kerja barunya. Segera setelah ia berucap, pria itu berdiri, lalu melangkah ke ruang perpustakaan. Dasar orang-orang menyebalkan, batinnya. Untuk ukuran biro arsitektur seterkenal ini, tentu Stefan berharap karyawan-karyawannya bersikap lebih profesional.

Tak apalah, baru hari pertama, pikirnya lagi. Stefan tak pernah mengerti mengapa kebanyakan orang senang betul mengerjai anggota baru di organisasi mereka. Sungguh kebiasaan yang patutnya dihilangkan saja di abad ke-20 ini. Atau, mungkinkah ini cara bercanda yang lazim bagi orang-orang di Surabaya? Semoga saja tidak! Memang Stefan pernah mendengar bahwa orang-orang Surabaya cenderung lantang dan blak-blakan, tetapi agaknya bahkan para kuli angkut yang tak pernah sekali pun menduduki bangku sekolah punya tata krama lebih baik daripada orang-orang yang seharusnya terpelajar itu.

"Ah, sudahlah, aku punya hal yang lebih penting untuk kupikirkan." Stefan menggeleng. Daripada menyibukkan diri dengan omongan orang lain, alangkah lebih baik bila ia mencari inspirasi untuk proyek pertamanya di tempat ini. Ia yakin, untuk merebut rasa hormat dari rekan-rekan kerja barunya, ia harus membuktikan bahwa ia jauh lebih baik daripada mereka.

Pria itu melihat-lihat buku di rak. Tak menemukan yang dicari, pandangannya beralih pada tumpukan majalah di meja. Macam-macam jenisnya. Diambilnya sebuah yang berbahasa Inggris. Edisi terkini, baru dikirim Jumat lalu, menunjukkan desain-desain rumah yang sedang tren di Amerika. Berikutnya Stefan ambil selembar kertas, sebatang pensil, lalu tarik sebuah kursi. Sebentar saja, ia sudah kembali tenggelam dalam pekerjaannya.

---🌻🌻🌻---

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top