Wish You All The Worst


[ PART INI MENGANDUNG ADEGAN YANG MUNGKIN MENGGANGGU BAGI SEBAGIAN PEMBACA]

Terhitung sudah tiga bulan aku terjebak di Dunia Bawah. Berteman dengan para manusia yang sudah tinggal nama.

Sepertinya sudah tidak tinggal nama lagi. Mereka saja tidak mengingat siapa nama mereka dan bagaimana mereka bisa meninggal. Hanya tersisa tubuh abadi mereka yang hilang beberapa sebagai penebusan dosa. Namun yang pasti, para mantan manusia itu tidak memiliki bola mata. Saking dalamnya lubang kosong di kedua mata mereka, aku yakin suaraku akan menggema di dalam sana.

"Sen, di mana kamu?"

Mampus. Si nomor 966 sudah bisa melewati gundukan tanah busuk yang kubentuk tempo hari.

"Kalau ketemu, kamu harus memberiku uang yang banyak, Sen."

Mampus. Si nomor 989 juga sudah bisa melewati anjing penjaga yang sengaja tidak kuberi makan selama seminggu. Berani bertaruh kalau si nomor 989 mengumpankan salah satu tangannya yang bisa dibongkar pasang dan si nomor 966 memberikan kuping krispi sebagai camilan anjing itu.

"Ketemu kamu!"

Aku berteriak, bukan karena kaget. Aku lebih tidak suka jika mereka menyeretku kembali ke sana, bergabung dengan si nomor lainnya untuk merayakan hari kelahiran para Sang Terpilih. Apa pentingnya bagiku?

"Mengapa sih kita harus selalu datang ke perayaan itu padahal kita tidak dibutuhkan di sana?" tanyaku seraya berkacak pinggang.

"Karena Sang Terpilih adalah saudara kita juga. Kita patut ikut bahagia merayakan hari ulang tahun mereka di sini sekaligus hari kelahiran kembali mereka di dunia atas," tutur si nomor 966.

Si nomor 989 ikut menyetujuinya. "Lagipula tidak ada ruginya, Sen. Kita bisa makan banyak di sana. Ada kue dewa kematian, sup pendek umur, mie tali sepatu yang tidak disimpul-Oh, dan bahkan ada pinata. Aku paling suka pinata!" Lalu dia tertawa seperti orang hilang akal karena terlalu antusias menjadi pemukul pinata paling terkenal di Dunia Bawah.

"Sudah kubilang. Aku tidak bisa makan makanan aneh dan menjijikkan itu. Aku tidak seperti kalian."

Aku menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada siapa pun selain kami bertiga. Kurangkul tubuh mereka agar lirihanku masih terdengar di telinga mereka.

"Aku masih hidup. Manusia hidup. Dan namaku bukan Sen, tapi Laurent," imbuhku. Tanggapan mereka tidak berubah sejak awal aku mengatakan faktanya. Mereka menyemburkan tawa, sembari memegangi perut.

"Di pipimu saja ada tulisan angka 1000," ucap nomor 989 sembari menyentuh pipiku.

"Baiklah, sudah cukup leluconnya hari ini, Sen. Ayo kita pergi ke perayaan." Nomor 966 merangkul pundakku, kemudian menepuknya dengan keras. Dia sedang mengirimkan isyarat kalau aku melucu lagi, dia tidak segan menendang bokongku ke Abyss. Cukup ampuh untuk membungkam mulutku yang selalu saja mengeluh.

Kami tiba di Padang Kelabu, tempat perayaan diadakan. Umbul-umbul berbentuk hewan dan simbol-simbol rumit telah menggantung di langit gulita. Sekumpulan cawan terombang-ambing memenuhi permukaan sungai anggur yang mengelilingi padang rumput dan meja panjang telah dipenuhi dengan hidangan makanan aneh.

Acara baru saja dimulai. Aku bisa mengetahuinya karena perwakilan dari Sang Terpilih akan selalu mengucapkan harapan mereka pada pembukaan acara di atas mimbar tulang belulang yang disambungkan dengan lekukan mata gunting.

Tidak terlalu penting untuk mendengar bagaimana pidatonya diselesaikan. Harapan para Sang Terpilih selalu sama. Mereka ingin dilahirkan kembali menjadi individu yang baik.

Memangnya mereka sendiri tau batasan baik dan buruk di dunia? Mencuri karena alasan perekonomian, mengambil pajak tinggi dari rakyat untuk kepentingan kelompok, merampok perairan dan daratan demi perbaikan kualitas hidup, apakah bisa disebut sebagai perbuatan terpuji? atau justru tercela? Atau bahkan bukan keduanya?

"Wah, pinatanya kali ini juga besar. Aku penasaran isinya apa," celetuk nomor 989.

Aku ikut menoleh ke tempat pinata berbentuk bulan penuh yang dipasang di tiang setinggi kurang lebih dua setengah meter. Permukaannya dilapisi kertas perak mengkilap dan lilitan salah satu benda kesayangan dari para Sang Terpilih. Biasanya mereka menyerahkan boneka, pena, cincin, liontin, buku, kuku, bulu hidung, rambut, tulang tempurung lutut, tulang belikat, dan lebih banyak lagi.

Nomor 966 mendesis, menyuruh kami untuk diam dan memperhatikan pidato Sang Terpilih.

Bodoh amat, deh.

Perayaan ulang tahun di Dunia Atas dan Dunia Bawah terbilang sama, tapi berkebalikan. Sama-sama menyajikan kue dan harapan. Namun tidak ada yang akan mendapatkan hadiah ulang tahun di Dunia Bawah. Sang Terpilih dilarang menyentuh makanan dan tidak boleh ikut menari di pesta perayaan. Mereka juga diharuskan memakai pakaian paling sederhana yang mereka punya yakni berupa sehelai kain putih dengan selarik garis kelabu di tepinya.

Setelah pidato selesai, para Sang Terpilih tiba-tiba menangis sekencang mungkin hingga meredam tawa bahagia para undangan. Memang seharusnya begitu bila mereka tidak ingin dibuang ke Abyss karena dianggap tidak bersyukur. Tangisan mereka adalah tangisan kebahagiaan, kata nomor 888, sebelum dia terpilih menjadi Sang Terpilih. Saking bahagianya, bukan air lagi yang keluar dari lubang mata mereka, melainkan cairan merah segar.

"Enak banget. Kamu harus mencicipinya juga, Sen," ujar nomor 989 sambil menyodorkan sepotong kue dewa kematian yang penuh bercak tinta hitam dan sup pendek umur dengan topping potongan tulang rusuk. Kalian pasti tidak akan suka jika tahu tulang rusuk itu didapatkan dari apa.

Aku menggeser kedua makanan itu dan memilih mengikuti nomor 966 untuk menyapa para Sang Terpilih. Setidaknya dia tidak merecokiku dengan makanan aneh kesukaannya.

Nomor 966 menjewer kuping Sang Terpilih dengan cukup keras hingga bekertak. Aku meringis, meski Sang Terpilih memilih tersenyum lebar.

Aku membeo, mengikuti apa yang dilakukan nomor 966. "Selamat hari ulang tahun dan selamat terlahir kembali, Xeros. Wish you all the worst."

Kemudian mengulangi hal yang sama pada sang Terpilih lainnya. Hingga nomor 913 menghentikan kalimatku dengan rintihannya. "Siapa namamu?"

"Apa?"

"Siapa namamu?"

"Sen."

"Bukan. Bukan yang itu. Nama aslimu. Siapa?"

Aku meneguk ludah kelu, tapi tetap berbisik, "Laurent."

Nomor 913 mengembuskan napasnya. Ia lalu mengusap pipinya yang sudah basah dengan cairan merah. "Aku sama sepertimu. Kita takkan pernah terlahir kembali karena dosa kita. Jadi, ayo kita segera pergi dari sini," bisiknya di telingaku. Sedikit kutangkap keputusasaan di dalam suaranya.

"Dosa apa?"

"Kita sudah dikutuk," tandas nomor 913.

"Kamu sudah gila."

"Kita akan jadi gila seperti mereka."

Aku mengerutkan dahi. "Aku dan kamu berbeda. Aku tidak seharusnya ada di Dunia Bawah."

Dia tersenyum miring. Entah apa maksud senyumannya itu. "Sungguh kasihan sekali dirimu, Laurent kecil."

Kukepalkan tangan di pinggir celanaku. "Mulutmu cukup kurang ajar, ya, untuk seukuran perempuan kecil berusia sebelas tahun."

Kulihat dia menahan tawanya karena dia harus terlihat sedih hari ini. Aku ingin melontarkan kembali kekesalanku, tapi gebrakan meja berirama ritmis bergemuruh di Padang Kelabu. Nomor 913 semakin mengeratkan cengkeraman tangannya.

"Kali ini, coba perhatikan baik-baik apa yang ada di dalam pinatanya," pinta nomor 913.

"Paling isinya cuman potongan kertas dan serbuk warna warni yang bisa dimakan."

Nomor 913 menggelengkan kepalanya. "Lebih dari itu."

Pernyataan nomor 913 melambungkan rasa penasaranku akan perayaan hari ini, kendatipun aku sudah dua kali menyaksikan bagaimana isi pinata itu terburai keluar.

Sesuai yang dielu-elukan oleh nomor 966, ia berambisi menjadi pemukul pinata pertama sekaligus terakhir pada hari ini. Bola besi itu meluncur dari tangan nomor 966 dengan kecepatan kilat, menghantam permukaan pinata hingga menciptakan retakan yang mampu menumpahkan seluruh isi di dalamnya.

"Fokus saja ke salah satu sobekan kertas warna-warni itu."

Kuikuti arahan nomor 913 dengan lebih mengacuhkan satu kertas di antara ribuan kertas yang mewarnai langit kelam. Semula tidak terjadi apa-apa. Namun lama kelamaan tubuhku seperti melayang dalam kegelapan pekat, tanpa dinding, sekat, dan waktu. Kemudian pendaran cahaya tercipta di sekelilingku, bertransformasi menjadi bayangan masa lalu. Mimpi-mimpi dari dunia nyata yang ditinggalkan.

Bukan.

Ini kilasan kenangan. Lambat laun keberadaan orang itu menghilang di setiap momen saat dia masih hidup. Lembaran kenangan itu seketika lenyap dan kakiku sudah bisa menapak kembali di atas tanah.

Aku kembali di Padang Kelabu.

"Seperti itulah kenangan mereka terhapuskan. Mereka melupakan namanya sendiri dan bagaimana kehidupan mereka sebelum kematian datang."

"Kamu masih mengingat namamu?" tanyaku penasaran.

Dia tersenyum samar. "Tentu." Ia lalu menarik tanganku. "Sekarang, sementara mereka berebut isi pinata, ayo kita menyelinap pergi dari sini."

Aku mengangguk antusias. Barangkali merasa senang karena masih ada orang yang waras di sini. Padahal dia sama dengan mereka. Nomor 913 tidak memiliki bola mata, sama seperti mereka.

Tunggu.

Dia juga tidak punya bola mata.

Aku kembali mengajukan pertanyaan yang sama seusai kami berhasil melewati Jembatan Pudar di pembatas Padang Kelabu. "Siapa namamu? Bagaimana kamu masih bisa mengingatnya? Padahal kamu kan sama seperti mereka. Sudah jadi penghuni Dunia Bawah."

Nomor 913 memberengut kesal. "Sudah berapa lama kamu di sini?"

"Tiga bulan. Mungkin."

"Itu saja sudah membuktikan bahwa kamu sama dengan kami."

Dahiku berkerut. Bibirku menjadi segaris tipis. "Aku berbeda!"

"Kamu pikirkan saja dari mana kita bisa mendapatkan tulang rusuk, bola mata, dan tali sepatu untuk bahan makanan kita. Jika kamu berbeda, kamu pasti tidak bisa berdiri di sini bersamaku."

Kutarik kain yang melilit lehernya. Suatu keberuntungan bahwa tinggi tubuh kami setara sehingga aku tidak perlu mendongakkan kepala untuk menatapnya tajam. Dia menggenggam tanganku sembari memamerkan senyum.

"Kita adalah Anak Terkutuk. Dilahirkan hanya untuk menjadi hidangan pembuka. Itulah yang membedakan kita dengan para Xeros yang tidak memiliki nomor."

"Kita? Anak Terkutuk?" Kali ini giliranku yang menertawakan kelakarnya. "Kamu ternyata sudah gila juga."

"Kamu ... tidak ingat bagaimana kamu bisa ada di sini?"

"Aku jatuh ke dalam lubang galian sumur," jawabku geram. Rasa kesal terhadap penggali sumur tetap membayangiku setiap kali mengingat penyebab aku terjebak di sini.

Nomor 913 membulatkan bibirnya. "Kamu sedang melucu, ya?"

Kugelengkan kepala dan nomor 913 makin salah tingkah. Sedetik yang lalu dia mencemoohku, tapi kini dia malah terpana. "Itu sangat keren. Ternyata orang yang membawamu ke sini lebih ahli dalam merapal mantra dibandingkan dengan orang yang mengirimku ke sini."

"Mengirimku ke sini?"

"Apa yang membawamu ke Dunia Bawah, bukanlah lubang galian sumur, Laurent."

Seketika aku menjadi dungu selama bertukar pikiran dengan nomor 913. Rangkaian kalimatnya selalu memacu otakku agar berpikir lebih keras.

"Sen, kamu seharusnya tetap diam saja di sampingku."

Aku tersentak hingga melepaskan kain nomor 913. Suara dalam dan menenangkan itu justru mengirimkan senyar ngeri di sekujur tubuhku.

Nomor 966 menepuk bahuku pelan. "Sebenarnya kita harus menunggu giliran sesuai dengan urutan nomor. Namun bila kamu sungguh ingin, maka terimalah ini saja."

Tubuhku seketika mematung dalam keheningan kala nomor 966 menyodorkan sehelai kain putih bergaris kelabu dan ....

"Selamat ulang tahun, Sen. Wish you all the worst."

- TAMAT -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top