Bagian 20: Pacaran
Setelah membentengi diri dari lingkungan sosial, menghindari banyak laki-laki yang terkadang membuatku parno sendiri. Pertama kali dalam sejarah hidupku, dengan mulutku sendiri, dengan keinginanku tanpa paksaan sedikitpun, aku menerima rasa suka Jaehyun dan memutuskan berpacaran dengannya.
Pacaran bagiku—dulu—adalah kegiatan yang hanya mengganggu waktu belajarku, waktu santai dan bebasku. Pacaran itu mengundang banyak masalah. Mungkin tidak serumit pernikahan, tetapi pacaran juga sama-sama dapat menimbulkan rasa sakit hati yang mendalam. Itu yang ingin aku cegah. Aku menjadi dingin pada lelaki manapun, meski sebenarnya dari mereka memang tak ada yang berniat mendekatiku. Aku hanya ingin menciptakan dinding pembatas saja. Menegaskan bahwa aku tak butuh mereka dalam hal apa pun.
Tidak kusangka, kini aku berjalan tak lagi sendirian. Tanganku digenggam erat oleh seorang Jung Jaehyun—cowok yang mengejarku dan membuktikan banyak hal tentangku. Wajahnya tampak berseri. Lesung pipinya terlihat jelas, mengatakan betapa bahagianya ia hari ini.
Tak jauh dari perasaannya, aku pun merasakan hal yang sama. Perasaan berbunga-bunga yang tidak pernah aku jumpai sebelumnya. Seolah tak lagi ada kesedihan. Aku merasa kehangatan tangan Jung Jaehyun yang membungkus hatiku.
Jaehyun tak ragu memamerkan hubungan kami. Anak-anak di sepanjang lorong sekolah sampai heboh. Yang tadinya di dalam kelas, buru-buru keluar untuk mengintip kami. Jaehyun semakin menggenggam erat tanganku ketika tanpa sengaja aku mendengar bisikan yang berbicara buruk terhadapku.
Ah, sekarang aku tak merasa takut lagi. Jaehyun ada di sampingku untuk menghalau hal-hal negatif yang ingin menerpaku. Aku bersyukur akan hal itu.
"Kalian pacaran?! Apa bener?" Arin menghadang kami sebelum kami berhasil memasuki kelas dengan papan bertuliskan 2-3.
Aku hampir membungkam mulut gadis itu kalau saja Jaehyun tidak menahan lenganku.
"Iya, kami pacaran. Sohyun sekarang adalah milikku." Jaehyun berkata dengan angkuh dan posesif. Seakan bangga telah memilikiku.
"Wah, kenapa kau nggak bilang padaku, Sohyun?! Menyebalkan! Harusnya aku dengar lebih dulu daripada dengar dari omongan orang lain!" sungut Arin.
Maaf, Arin. Aku terlalu larut dalam perasaanku hingga lupa mengabarimu.
Alih-alih menjawab Arin, aku hanya membalasnya dengan senyuman.
"Selamat, ya. Aku sudah yakin sih, pasti ada sesuatu di antara kalian." Kali ini Jungwoo yang berucap. Seperti biasa, cowok itu mempertontonkan senyumnya yang lebar dengan deretan gigi-gigi putih dan rapi. "Ngomong-ngomong, kalian cocok," tambahnya.
"Thanks, Jungwoo. Memang kau sahabat yang lebih baik dibandingkan seseorang." Jaehyun mengatakan kalimat itu sambil melirik ke arah Arin.
"Kau menyindirku, ya? Dasar! Aku juga senang kok kalau kalian pacaran. Aku mendukung kalian, tenang saja." Arin bergerak merangkul pundakku dan Jaehyun dari belakang. Tapi, pegangan tangan kami tidak sampai terlepas.
"Tapi awas saja, kalau kau bikin Sohyun-ku nangis, kau nggak akan kuampuni!" ancam Arin. "Dan satu lagi, jangan pernah mesra-mesraan di depan mataku. Dasar pasangan lebay!" umpatnya selagi memisahkan kedua tangan kami dengan geram.
"Makanya, kau cari pacar sana. Jangan tiap hari pacaran sama buku! Aku kasihan sama mentalmu." Jaehyun mencibir dan reaksi Arin sangat lucu. Ia mengerucutkan bibirnya dan meniru gerak bibir Jaehyun saat berbicara.
"Kalian jadi pusat perhatian satu sekolah, apa kalian nyaman?"
Jungwoo, yang berjiwa ibu peri, terima kasih telah mengkhawatirkan kami.
"Tentu saja pacarku tidak nyaman," jawab Jaehyun. "Tapi ia tidak perlu cemas, karena sekarang sudah ada aku yang akan selalu membuatnya selalu merasa nyaman."
***
"Ini, pakai punyaku! Cepatlah ganti baju, setelah itu Kakak akan sedikit memoles wajahmu."
Aku menghela napas panjang. Lagi-lagi. Padahal, aku sudah sebisa mungkin menghindari berpapasan dengan Kak Jisoo. Sialnya karena kami serumah, kemungkinan bertemu itu ya lebih dari sembilan puluh persen.
Kak Jisoo berdiri di depan pintu kamarku dengan menenteng sebuah black mini skirt lengkap dengan atasan floral blouse lengan panjang berwarna krem. Benar-benar gaya chic, khas seorang Kim Jisoo.
"Kak, bukankah roknya terlalu pendek?"
"Sshh, jangan banyak protes! Pakai saja, percayakan pada Kakak! "
Hari ini adalah kencan pertamaku dengan Jaehyun. Entah Kak Jisoo dengar kabar ini dari mana, tapi setelah aku sampai rumah, ia sudah muncul di depan pintu kamarku dengan rempong membawa pakaian pilihannya. Harusnya aku yang bergairah akibat kencan ini, tetapi malah Kak Jisoo yang heboh sekali.
Menuruti perintahnya, aku pun segera bersiap-siap. Mandi dan berganti baju sesuai pilihan Kak Jisoo. Tubuh kami tidak terlalu jauh berbeda. Baju milik Kak Jisoo masih cocok dan pas kupakai. Hanya saja, aku agak terganggu dengan rok yang panjangnya di atas lutut ini. Keluar rumah dengan pakaian seminim ini? Aku belum pernah. Aku sedikit gelisah.
"Wah, kau cantik sekali, Sohyun! Mirip dengan Mama!" seru Kak Jisoo sambil bertepuk tangan.
"Duduklah, Kakak akan meriasmu." Kak Jisoo menuntunku duduk di kursi meja belajarku. Karena aku tak punya meja rias, Kak Jisoo yang penuh persiapan telah membawakan cermin tangan dan peralatan makeup lainnya. Kepalaku pusing kalau disuruh menyebutkan apa saja perlengkapan makeup itu.
"Kencan pertama itu harus berkesan. Kau sudah cantik, tapi dengan sedikit polesan lagi, kecantikanmu akan bertambah. Jaehyun pasti akan menganga dan liurnya menetes setelah melihat penampilanmu hari ini."
Ucapan Kak Jisoo membuat pipiku panas. Justru dengan penampilan yang berbeda, aku akan merasa sangat malu.
Kalau diingat lagi, dulu Kak Jisoo sangat mendukungku bahkan menjodohkanku dengan Jungkook. Namun sekarang, ia berubah haluan ke Jaehyun. Apa Kak Jisoo tidak penasaran kenapa aku lebih memilih Jaehyun?
"Nah, selesai!"
Aku mengagumi refleksiku dari cermin yang Kak Jisoo sodorkan. Lipstik sewarna bunga sakura membuat bibirku terlihat lebih segar. Maskara yang Kak Jisoo bubuhkan, membuat bulu mataku semakin lentik dan panjang. Serta blush on berwarna merah itu secara tak langsung berhasil menyamarkan pipiku yang kemerahan menahan malu.
Melihat penampilan ini, aku jadi flashback ke masa lalu. Dulu aku masih berani mencoba menggunakan makeup, tapi tidak lagi setelah insiden pembulian.
Tak lama kemudian, ponselku bergetar. Pesan dari Jaehyun mengatakan bahwa ia sudah menunggu di luar.
"Jaehyun sudah datang? Cepat. Pergilah. Buat dia terpesona."
"Ah, Kakak! Jangan begitu, aku jadi malu."
"Aduh, aduh. Adikku yang pemalu, manis sekali kau."
Mengabaikan ejekan Kak Jisoo, aku bergegas menuruni tangga dengan tas yang sudah terselempang di pundakku. Di ujung tangga itu, Kak Jin mencegatku. Jantungku berdegup kencang, apalagi melihat Kak Jin dengan tatapan tajam dan garang.
"Sudah mau berangkat?"
"I–iya, Kak."
"Hati-hati, kalau dia berbuat sesuatu yang kurang ajar, segera hubungi Kakak." Setelah itu, Kak Jin melesat pergi ke arah dapur. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia mengucapkan sesuatu yang berhasil membuat senyumku terbit. "Kau cantik."
Tak bertahan lama rasa senangku akibat pujiannya, aku termenung memikirkan maksud dari kata "kurang ajar" itu. Kurang ajar yang seperti apa ya?
"Jaehyun." Panggilku ketika aku sampai di depan rumah.
Jaehyun terlihat tampan. Dengan kemeja motif garis hitam-putih yang dipadukan dengan celana hitam sebatas mata kaki, ia tampak simple, tetapi juga stylish dalam satu waktu. Sneaker putih yang membungkus kedua kakinya, menambah sempurna penampilan Jaehyun di kencan pertama kami.
Kurasa bukan Jaehyun, melainkan aku yang terpesona oleh penampilannya sampai-sampai aku tidak sadar kalau Jaehyun ke sini tanpa membawa motor kesayangannya.
"Hai," sapa cowok itu tanpa menghapus senyumnya. "Kau cantik," pujinya. Ya, ya. Aku sudah mendengar pujian itu tiga kali hari ini. Tapi kenapa rasanya masih malu saja?
Karena terlalu segan untuk berucap terima kasih, aku mengabaikannya. Aku mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan keberadaan motornya.
"Kau naik apa ke mari? Mana motormu?"
Jaehyun memasukkan kedua tangannya ke kantung celana. Ia menjawab santai, "Sengaja nggak kubawa. Kita kencan jalan kaki saja atau naik bus."
Tidak buruk juga. Lagian karena rok pendek ini, sepertinya akan sulit untuk naik motor.
"Ayo, Princess." Jaehyun menengadahkan tangannya tepat di depanku. Aku pun meraih tangannya dengan senang hati dan ia menggandengku.
"Kau mau ke mana hari ini?" tanyanya.
Tak pernah terpikirkan olehku, tujuan dari kencan kami hari ini. Terlalu mendadak, tak ada satu pun tempat yang muncul di kepalaku. Namun, sejak dulu ada satu hal yang selalu ingin kulakukan.
"Ke bioskop?"
"Kau suka nonton film?"
"Ya, tentu saja. Dan ada satu film yang ingin aku tonton, kebetulan sedang tayang di bioskop."
"Oh ya? Apa?"
***
Jaehyun tak nafsu makan apa pun semenjak pulang dari bioskop tadi. Aku pun telah membujuknya dan meyakinkannya bahwa itu hanyalah film. Fiksi belaka. Jaehyun terlalu membawa perasaannya akibat beberapa adegan yang diperlihatkan di film tadi.
"Hei, Jae! Sampai kapan kau akan diam begitu? Makanlah sesuatu."
Kami sudah berada di food court yang letaknya di lantai paling atas mall yang kami kunjungi, dua lantai setelah bioskop tempat kami menonton tadi. Beberapa pengunjung terlihat asyik menyantap menu makanan yang mereka pilih. Sementara di sini, Jaehyun mengabaikan burger dan ice cream yang sudah aku pesankan.
"Jaehyun? Kau marah padaku? Bicaralah sesuatu."
"Tidak, aku tidak marah. Hanya saja, aku masih terngiang film-nya. Bagaimana bisa cewek polos sepertimu tontonannya thriller begitu?! Wah, benar-benar deh!"
Aku tertawa renyah. Jung Jaehyun, badanmu berotot, tapi nonton film yang cuma fiksi begitu saja sudah ketakutan.
Ngomong-ngomong soal film yang kami tonton tadi, ya, itu adalah film bergenre thriller. Di balik kebiasaanku yang suka membaca novel atau komik romance, sebaliknya aku justru benci film dengan genre yang sama. Menurutku, film dengan adegan pembunuhan, penyiksaan, yang penuh dengan darah akan lebih menantang dan seru. Ketegangannya berasa sepanjang film itu diputar. Selain Kak Jisoo, tak ada yang mau menemaniku ketika aku mengajak pergi ke bioskop. Karena, mereka selalu tahu, film yang aku pilih akan seperti apa. Kak Jin juga tidak menyukai genre thriller. Ia pasti kabur duluan sebelum aku menawarinya untuk ikut.
"Kan tadi aku sudah menawarimu, mau lanjut nonton nggak? Kau juga sudah kutunjukkan poster film-nya. Tapi, kau tetap memaksa ingin menemaniku."
"Karena kau kelihatannya sangat ingin nonton film terkutuk itu. Mau tidak mau, ya aku harus ikut. Demi dirimu."
Aku menjulurkan tanganku mengusap puncak kepala Jaehyun. "Aduh-duh, kukira kau sudah terlatih dengan hanya melihat ekspresi muka Kak Jin waktu makan malam tempo hari."
Saat aku ingin menarik kembali tanganku, Jaehyun menahannya. "Tentu saja, Kak Jin-mu itu tidak bisa dibandingkan dengan film tadi. Ia lebih sadis." Lalu, Jaehyun mencium punggung tanganku tanpa melepas sedetikpun tatapannya pada mataku. Membuatku salah tingkah.
"Sohyun ... pipimu merah tuh, kau malu ya kucium?"
"Hah, a–apaan sih!"
"Ini masih tangan lho, Sohyun. Belum yang itu ...." Jaehyun melirik ke arah bibirku.
Aku tahu, hal ini cepat atau lambat pasti akan terjadi. Tapi sebelum itu, ada tugas yang harus aku cari.
***
Tbc
Nextt >>>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top