Bagian 10: Horizon
Mengikuti kegiatan keorganisasian ataupun klub itu tidak menarik buatku. Lagi-lagi dikarenakan fisikku yang lemah. Aku akan mudah lelah jika terlalu banyak beraktivitas. Tetapi, karena tidak ingin mengecewakan Arin—yang sepertinya sangat antusias menjadi bagian dari relawan Horizon—aku pun berusaha sebaik mungkin untuk melakukan tugasku.
Rencananya, Horizon akan mengangkat drama musikal dari cerita rakyat legendaris, yaitu "Chunhyang". Chunhyang sendiri mengisahkan romantisme antara sepasang kekasih pada masa Dinasti Joseon. Chunhyang merupakan putri dari seorang gisaeng (wanita penghibur) yang telah membuat jatuh hati seorang pria bernama Mongryong, putra dari gubernur Namwon. Kisah cinta keduanya akan menemui banyak halangan karena adanya perbedaan status sosial. Selain itu, cerita ini juga mengungkapkan definisi dari cinta sejati. Kesetiaan Chunhyang akan dipertaruhkan sebab ia harus bersabar menunggu kedatangan Mongryong yang lulus ujian kenegaraannya, sementara ia harus ditahan oleh Hak–Do (gubernur Namwon yang baru) yang akan mengeksekusi mati dirinya dikarenakan Chunhyang menolak untuk diajak menikah.
Tentu saja, Kak Jisoo yang mengambil peran sebagai Chunhyang dan Kak Jinyoung mengambil peran sebagai Mongryong. Seisi sekolah tahu bagaimana chemistry dua sejoli di kehidupan nyata itu. Tidak heran jika mayoritas anggota Horizon menunjuk mereka.
Saat ini, kami berada di ruang latihan teater. Jam pulang sekolah sudah lewat sekitar lima belas menit yang lalu. Kami—para relawan—menyempatkan untuk membuat dan menyiapkan beberapa properti yang dibutuhkan. Seperti pedang palsu yang terbuat dari kayu dan dicat perak, sepasang gapura dari sterofoam, hanbok pria dan wanita lengkap dengan aksesoris seperti jokduri (mahkota kecil untuk pernikahan), daenggi (ikat rambut), buchae (kipas tangan) dan lain-lain.
Sementara Arin, Jungwoo, dan Jaehyun sibuk mengecat gapura, aku mendapat tugas untuk memeriksa kelengkapan pakaian dan aksesorisnya di ruang penyimpanan. Ya, sendirian. Sampai setidaknya aku melihat ada siluet laki-laki di dalam ruangan tersebut. Meskipun ragu dan sedikit takut, aku memberanikan diri untuk masuk.
"Oh, Sohyun?"
Menyembunyikan keterpanaanku, aku susah payah menjawab sapaan Jungkook. Cowok itu yang ada di dalam sana. Entah kenapa perasaanku jadi lebih tenang dan ... deg-degan.
"Kau juga mendaftar jadi sukarelawan?"
"Sebenarnya tidak juga. Aku ikut karena ...." Aku terdiam saat tiba-tiba Jungkook memasang penuh atensinya padaku. Pikiranku pun langsung menjadi kacau saking gugupnya.
"Karena apa?"
"Karena temanku, Arin, juga ikut."
"Kau memang pemalu sekali, ya, orangnya."
"A–apa?"
"Iya, kau pemalu. Tapi, kau harus tahu. Ada sesuatu di dalam dirimu yang membuat orang lain tertarik."
"Oh, ya? Apa itu?"
Jungkook mengendikkan kedua bahunya. "Cari tahu sendiri jawabannya," katanya sambil tertawa.
"Kok begitu? Nggak adil, dong. Kasih tahu aku dulu." Dan setelah beberapa menit berada di ruang yang sama, aku dan Jungkook lebih lancar berbicara. Tidak ada keheningan lagi di antara kami. Suasana perlahan menjadi hangat karena Jungkook yang sejatinya mudah bergaul dengan siapa pun. Ia membuatku merasa nyaman berada di dekatnya.
"Kim Sohyun?!" Suara pintu terbuka. Tak kami sangka, Jung Jaehyun datang dan mengganggu momenku bersama Jungkook.
"Kenapa kau di sini? Tugasmu sudah selesai?" tanyaku. Namun, Jaehyun mendekatiku. Kedua tangannya terulur menangkup kedua pipiku seraya berkata.
"Kau tidak apa-apa? Aku mencarimu dari tadi. Kupikir kau hilang."
Sandiwara macam apa ini? Apa yang sedang Jaehyun lakukan sih? Aku takut Jungkook salah sangka terhadap kami.
"Ap–"
"Ayo, kita pulang. Sudah selesai kan? Atau serahkan saja sisanya pada cowok ini. Sekarang sudah sore, Kak Jin pasti mengkhawatirkanmu."
Kak Jin dia bilang? Sejak kapan Jaehyun akrab dengan kakakku? Bertemu saja tidak, seolah-olah dia tahu segalanya tentang keluargaku.
"Jaehyun, pulang saja duluan. Lagi pula, aku sudah izin Kak Jin kok. Kak Jisoo juga masih latihan. Aku bisa pulang dengannya nanti."
Hah! Sekarang kau mau bilang apa lagi?
"Oke. Kalau begitu, aku akan membantumu di sini."
Jaehyun menggeser posisiku, memisahkan antara diriku dan Jungkook—menengahi kami. Situasi menjadi canggung dalam sekejap setelah ada Jaehyun. Ah, dia merusak segalanya!
Mengabaikan Jaehyun—karena aku kesal dengannya—akhirnya aku menggerakkan kakiku untuk memeriksa sebuah kantong plastik besar yang ada di atas almari. Ya, terdapat almari dua pintu selain rak kostum, gantungan baju, dan beberapa kardus dalam ruangan ini. Kantong plastik besar itu katanya berisi beberapa pasang hanbok yang akan digunakan untuk festival nanti. Begitu hanbok dipastikan dalam kondisi baik—yang artinya tidak cacat, robek dan sebagainya—maka selanjutnya tugasku adalah mengantarkannya ke tempat laundry untuk dicuci dan disetrika.
Karena posisi almari cukup tinggi, aku menggeret sebuah kursi lalu naik ke atasnya tanpa ragu. Awalnya, semua baik-baik saja. Hingga tiba-tiba sebuah cicak yang terjatuh tepat di lenganku membuatku berteriak kaget dan tumpuan kakiku oleng. Aku terjatuh ke belakang.
Bersiap untuk memperoleh rasa sakit di sekujur punggung dan kepala belakang, eh, aku merasakan tubuhku malah melayang di udara. Ya, Jaehyun dan Jungkook ternyata menangkapku secara bersamaan di waktu yang tepat. Kini, tubuhku ditopang oleh kedua lengan mereka.
"Kamu nggak papa?" tanya mereka berbarengan, membuatku sedikit terperangah.
"I–iya. Aku ... baik-baik saja."
Aku merasakan ada atmosfer tidak mengenakkan antara Jaehyun dan Jungkook. Keduanya saling beradu-tatap, seolah-olah mata mereka saling bicara. Bahasa yang tidak aku mengerti.
Aku berdeham agar mereka segera menurunkanku. Tubuhku berat, lengan mereka bisa saja keram karena terlalu lama menahan bebanku.
"Ekhem, bisa turunkan aku?"
Sebuah garis imajiner yang menghubungkan pandangan keduanya seakan terputus. Mereka yang mendengarkanku, buru-buru menurunkan tubuhku karena melihatku yang mulai merasa tidak nyaman.
"Apa yang kau lakukan? Kau bodoh, ya? Mau melukai dirimu sendiri?" Kali ini Jaehyun meninggikan suaranya dengan nada cemas.
"Maaf, aku tidak tahu kalau akan ada cicak yang membuatku kaget dan hampir terjatuh dari kursi. Aku cuma mau mengambil kantong plastik yang ada di atas almari," belaku.
"Lain kali jangan lakukan hal berbahaya semacam itu! Harusnya kau memanggilku! Biar aku saja yang ambil. Ini pekerjaan anak cowok, cewek sepertimu jangan lagi naik-naik ke atas kursi. Mengerti?!" lanjut Jaehyun yang masih mengomeliku.
"Iya, iya. Maaf. Maaf, Jungkook," ucapku sekarang beralih pada Jungkook. Sejak tadi cowok itu hanya diam saja dan tampak masih syok menyaksikanku yang hampir jatuh dan terluka.
"Benar, Sohyun. Lain kali jangan sungkan untuk meminta bantuan. Kau bisa terluka," balas Jungkook dengan nada suara yang jauh lebih lembut daripada Jaehyun.
Mereka memang berbeda.
***
Hari kedua persiapan menuju festival. Kami berempat berjalan menyusuri lorong— sepulang sekolah—hendak ke ruang latihan seperti biasanya. Entah sejak kapan aku jadi akrab dengan Jungwoo. Kupikir anak itu juga ramah dan lumayan terbuka, kepribadian yang sangat mudah untuk diajak berteman. Mungkin memang tadinya kukira Jungwoo tipe orang yang pilih-pilih teman—sama sepertiku—nyatanya tidak. Berkat Jaehyun—meskipun aku malas mengakuinya—aku dan Arin bisa bergaul baik dengan Jungwoo. Kami jadi mengetahui karakter Jungwoo yang sesungguhnya. Menurut cowok cantik itu, ia tidak punya kebebasan untuk membangun lingkungan sosialnya. Tidak begitu pasti apa maksudnya, intinya ia seperti merasa tengah diawasi dengan sangat ketat. Oleh sebab itu, ia tampak menyendiri dan tidak memiliki banyak teman, padahal orangnya asyik.
Aku selalu bilang Jungwoo cantik karena sungguh, kulitnya begitu mulus dan putih bersih. Hidungnya mancung, buku matanya panjang, dan senyumnya manis. Kalau saja rambutnya panjang, pasti sulit untuk membedakan apa gender cowok itu.
"Aku juga heran. Setiap ada orang yang mendekatiku, tiba-tiba besoknya mereka berubah. Mereka seperti takut padaku dan pergi menjauh. Apa itu karena aku membosankan?" curhat Jungwoo selama di perjalanan.
"Wah, katakan siapa orang itu?! Biar kuberi pelajaran dia! Seenaknya saja memainkan perasaanmu!" tukas Arin menggebu-gebu.
"Ehmm, kalo dibilang memainkan perasaan kok sepertinya terlalu berlebihan. Mereka baik, kadang-kadang juga masih menyapaku. Hanya saja, mereka tidak berani berlama-lama berada di dekatku. Tapi ... kalian beda. Beberapa hari telah berlalu dan kalian masih mau bicara padaku."
"Biar kutebak," kali ini Jaehyun yang berbicara, "kau pasti sengaja mengikuti kegiatan ini biar bisa dapat teman, kan? Kau mau lebih dekat dengan kami, kan?"
Dalam hati, aku memuji ketajaman pikiran Jaehyun. Benar juga. Mengapa hal seperti itu tidak bisa kutebak, ya?
"Kau benar. Hebat. Kau bisa tahu alasanku? Kau cenayang?"
"Bukan Jaehyun namanya kalau aku tidak pintar," sombongnya.
Ternyata bukan cuma narsis, tapi Jung Jaehyun adalah orang yang sangat-sangat narsis hingga rasanya aku ingin menjitak kepalanya. Untung aku sabar.
Setibanya di lokasi, kami melanjutkan pekerjaan yang kemarin. Karena urusan kostum selesai—sudah dibawa ke tempat laundry—sekarang aku membantu Arin, Jungwoo dan Jaehyun mengecat properti lain, seperti properti yang dibentuk menyerupai pagar ini.
Sedang fokus menorehkan warna, Arin menyenggol pundakku hingga membuat kuas cat itu tak sengaja mengenai pipiku.
"Arin!" bentakku. "Hati-hati, dong."
Arin menarik lenganku hendak berbisik. "Itu!! Lihat, ada Jungkook di sana!"
Aku melihat ke arah telunjuknya. Benar, ada Jungkook yang posisinya tidak jauh dariku. Tetapi, mataku langsung memicing setelah tahu bahwa bukan Jungkook melainkan Eunwoo lah yang menarik perhatian Arin. Dasar.
Tidak ada ruginya juga bagiku. Semangatku selalu muncul setiap kali kulihat cowok bermata rusa itu. Apalagi ketika ia tersenyum dan mengenakan kaos putih ketatnya serta menanggalkan kemeja sekolahnya. Otot tubuhnya lebih tergambar jelas. Membuatku tidak berhenti memperhatikannya.
Diam-diam, aku mencuri kesempatan. Kuambil ponselku dari dalam tas, kuarahkan lensa kamera ke arah Jungkook. Dan ... jepret! Aku mendapatkan satu fotonya!
Aku langsung tersenyum ceria. Kutoleh kanan–kiri, karena situasi yang masih aman, aku mencoba mengarahkan lagi kameraku ke Jungkook dan ... jepret!
"Wah, Sohyun? Kau sedang selfie ya? Aku ikut dong!" sorak Jungwoo.
Oh, tidak! Dia salah paham!
"Ah, apa? Anu ... itu ... aku, aku ti–"
"Kalau begitu, aku juga mau selfie denganmu! Jungwoo, kau fotokan kami dulu!" serobot Jaehyun.
"Aishh, aku kan yang minta duluan. Kok malah aku yang fotoin!"
Jaehyun hendak meminta ponselku, tapi aku sesegera mungkin menyembunyikannya. Bisa gawat kalau aku ketahuan habis mengambil gambar Jungkook!
"Baterai ponselku habis," alibiku.
"Ya udah, Jungwoo! Cepat fotoin! Ini, pakai ponselku."
Jaehyun merapatkan badannya dan merangkul kedua bahuku. Tubuhku seketika menegang, tidak bisa bergerak. Nggak bisa! Aku nggak suka difoto-foto begini! Aku menghindar dulu saja, kali ya?
Aku pun teringat pada pipiku yang terkena noda cat. Aku mendorong tubuh Jaehyun dan izin untuk pergi ke toilet dulu, membersihkan wajahku.
"Hei, kenapa? Walaupun kena cat kek, kena lumpur kek, bahkan kena ...," Jaehyun mendekat dan berbisik, "... ikan cupangku," ia menjauh lagi, "... pun kau masih tetap cantik."
Aku memutar otak, namun masih saja tidak paham apa maksud cowok itu. Kenapa membahas ikan cupang? Dia suka memelihara ikan cupang?
Jaehyun mengedipkan sebelah matanya.
Nggak tau lah! Aku kabur dulu.
"Aku ke toilet. Terserah mau nungguin apa nggak," pamitku yang sudah buru-buru lari dari sana.
Sampai di toilet, di depan wastafel, aku mengeluarkan napasku dengan lega setelah mencuci muka.
"Nyaris saja ketahuan," gumamku sambil menatap layar ponselku yang memperlihatkan potret Jungkook.
"Terlambat. Kau benar-benar sudah ketahuan," sahut seseorang yang datang dari arah belakangku.
Belum sempat kutanya siapa mereka, kedua lenganku sudah dicekal. Aku diseret dan dibawa ke suatu tempat. Siapa mereka?
***
Yuk lanjut bab selanjutnya >>>>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top