Bab 22 : Puzzle

Sebentar lagi memasuki liburan musim panas. Tadinya Kak Jin berencana untuk mengajak kami mengunjungi mama dan papa di Gangneung sekalian menghabiskan waktu di sana. Sayang sekali karena Kak Jin tidak bisa meninggalkan tugas-tugasnya yang menumpuk, belum lagi adanya jadwal pemotretan di pertengahan bulan ini, ia tidak bisa ikut.

Tidak ingin berangkat dan bersenang-senang tanpa Kak Jin, rencana kami untuk ke Gangneung pun batal. Aku tidak masalah dengan pembatalan liburan keluarga ini, toh teman-teman di sekolah sudah mengadakan acara liburan sendiri.

"Oh, kau juga ikut Hyun?"

Aku mengedarkan pandangan. Tepat ke bangku di belakangku. Jaehyun seperti sedang banyak pikiran belakangan ini, rasanya bagus jika kami bisa ikut berlibur bersama teman-teman. Yah, walau sebenarnya aku tidak terlalu dekat dengan mereka. Tetap saja, kami satu kelas, satu sekolah. Apa boleh buat, akan kucoba.

"Ya, aku akan ikut." Arin terlihat syok mendengar jawabanku. Selama ini, aku terkenal sebagai sosok gadis yang jarang bersosialisasi. Sampai-sampai, aku dijuluki antisosial. Aku tidak menolak nama panggilan kesayangan itu karena memang kebenarannya begitu. Aku tidak terlalu ingin terlibat dengan banyak orang.

"Hm, baiklah. Jika kau ikut, maka aku juga. Aku akan ajak Jungwoo dan Ryujin sekalian."

Acara liburan kali ini tidak hanya diadakan khusus untuk kelasku saja. Siapapun boleh bergabung. Baik itu dari kalangan senior maupun junior. Kami akan saling berbaur.

"Ide yang bagus. Aku rasa tidak akan bosan kalau bersama kalian." Ya, mereka orang-orang terdekatku. Yang bisa membuatku merasa nyaman. Akan sangat menyenangkan jika mereka ikut. Jaehyun juga pasti akan terbantu.

***

Seperti yang kuduga, Jaehyun tidak menolak ajakanku untuk liburan bersama. Namun, ekspresinya membingungkan. Ia tidak senang, juga tidak sedih. Begitu datar hingga aku tak dapat menebak isi kepalanya sekarang ini. Meskipun kami duduk bersebelahan di dalam bus, ia tak mengucap sepatah kata pun selain menatap kosong ke arah jendela. Ini membuatku frustrasi!

Dia kenapa sih?

Sekarang, diajak ngobrol pun jawabannya pasti tidak nyambung. Misalnya, aku menanyakan apakah semalam ia tidur nyenyak? Ia bilang, ia makan dengan baik dan tidak melewatkan waktu makannya sedikit pun. Sungguh, fokus Jaehyun hilang seolah ditelan bumi. Kantung matanya makin menghitam, laki-laki ini berhasil membuatku sangat khawatir.

Perjalanan kami terbilang sangat lama. Dikarenakan biaya yang terbatas, kami hanya dapat mengendarai bus untuk sampai di Distrik Seongsan, Pulau Jeju. Terhitung dengan perjalanan di atas kapal ferry, kami baru tiba di Seongsan setelah menempuh waktu selama sebelas setengah jam sejak berangkat pukul 07.00 pagi tadi. Itu tidak menjadi masalah sebab untuk urusan penginapan, kebetulan sekali ada salah seorang murid di sekolah kami yang memiliki villa dekat pantai di sana. Liburan pun berakhir gratis.

Aku sempat terlelap di bus selama kurang lebih empat jam. Ketika aku setengah sadar, aku lihat Jaehyun tengah sibuk dengan ponselnya. Beberapa kali ponselnya berbunyi, ada telepon masuk. Namun, ia me-reject-nya. Tak ingin mengusiknya—karena kupikir itu hal yang bersifat privat—aku menahan diri untuk tidak bertanya apa-apa.

"Kita sampai," kata seorang anak lelaki yang berada setingkat di atasku. Senior yang dengar-dengar merupakan putra tunggal dan penerus dari Dongjun Group. Perusahaan multi-industri, konglomerat yang digadang-gadang paling berpengaruh sepanjang sejarah sekaligus anak pemilik villa mewah yang kami singgahi.

Wah, terlalu banyak informasi yang telah aku lewatkan selama aku bersekolah di Nanyang. Semua berkat Arin, penyedia informasi dan gosip terbaik yang pernah kumiliki, hingga aku mengetahui seluk-beluk rumor di sekolah ini.

"Jae," panggilku. Jaehyun menoleh dan merangkum wajahku dengan tatapan matanya yang begitu hampa. Tanganku tergerak untuk mengusap pipinya.

"Beristirahatlah dengan benar, kalau terjadi sesuatu, segera hubungi aku."

Kami pun berpisah. Anak laki-laki menempati kamar di lantai dasar, sementara anak perempuan menempati lantai dua. Total dari kami yang berlibur di Seongsan sebanyak 15 anak, 8 anak perempuan dan 7 anak laki-laki. Termasuk kakakku, Kak Jisoo, yang dipaksa ikut oleh Kak Jin agar aku selalu bisa dipantau. Hah, kasihan juga Kak Jisoo. Aku merasa bersalah padanya. Tetapi, mendapatkan izin dari Kak Jin tidaklah mudah. Oleh sebab itu, aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan liburan seperti ini.

Ada enam kamar di villa yang besar dan luas ini. Masing-masing kamar akan diisi oleh 2-4 orang. Sudah ditetapkan, aku dan Kak Jisoo akan tinggal di satu kamar yang sama. Sementara, Arin dan Ryujin menempati kamar lain yang tak jauh dari kamar kami.

"Kukira bakal banyak yang ikut liburan, paling nggak dua puluhan anak lah. Ternyata nggak seperti bayanganku," tukas Ryujin begitu kami tiba di kamar. Tidak langsung menuju ke ruangannya, Ryujin dan Arin membuntutiku ke kamarku. Ia langsung meletakkan asal kopernya di sudut ruang dan merebahkan dirinya di atas kasur.

"Tentu saja, mereka punya rencana liburan masing-masing. Bagus dong, makin dikit, makin seru karena nggak berisik."

Ryujin dan Arin memiliki sifat yang bertolak belakang. Ryujin yang lebih aktif dan suka bergaul, sedangkan Arin yang kurang lebih sama sepertiku—menyukai ketenangan. Herannya, mereka berdua berteman dengan baik. Walaupun, terkadang memperdebatkan hal-hal kecil yang tidak penting.

"Sohyun, ini berikan pada pacarmu." Kak Jisoo mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Meski tak lagi hangat, aroma kacang yang kuat masih dapat tercium oleh hidungku. "Kak Jin membuatkan hotteok ini agar bisa kau makan dengan Jaehyun. Anak itu kelihatannya sedang kacau, hiburlah dia."

Kak Jin? Tumben ia perhatian begini, apalagi pada seorang Jaehyun? Padahal, waktu awal-awal kami berkencan sikapnya masih sangat galak.

"Wah, hotteok!! Aduh, bagi-bagi dong, Kak! Masa cuma Sohyun aja yang dikasih?" rengek Arin.

Kak Jisoo langsung menekan dahi gadis itu sampai terpaksa kakinya harus mundur ke belakang. Aku menahan senyumku melihat ekspresi ngambek-nya yang lucu. Lagi-lagi aku berpikir bahwa Ryujin lebih dewasa daripada kami. Lihat saja sikapnya yang tenang itu. Harusnya, Ryujin yang pantas merengek, bukannya Arin—yang umurnya jauh lebih tua.

"Astaga, Kak Arin benar-benar seperti anak kecil, ya? Itu pancake bukan buat Kakak. Udah deh, mendingan kita segera mandi dan ikut membantu yang lain mempersiapkan acara barbeque-an nanti malam."

Benar. Agenda pertama yang kami lakukan adalah memanggang daging. Villa yang dimiliki oleh teman kami ini letaknya dekat dengan laut—menghadap ke laut malah. Di luar sana udaranya dingin. Angin berhembus kencang namun itu tak menyurutkan semangat anak-anak untuk menghabiskan liburan. Walaupun terasa lelah karena perjalanan yang teramat panjang, penat itu pun lenyap dengan perkumpulan hangat mengelilingi api unggun di tengah pemandangan langit yang cerah dan berbintang.

Sementara yang lain menuju ke halaman depan, aku menghampiri Jaehyun di kamarnya. Mengajaknya untuk keluar dan mencari spot lain untuk menyantap hotteok yang lezat ini.

"Jungwoo? Kau sudah mau keluar?" Belum sampai di kamar Jaehyun, aku berpapasan dengan Jungwoo yang kini telah terlihat segar dengan pakaian santainya.

"Oh, Jaehyun? Bukannya tadi dia udah keluar duluan? Kau nggak ketemu dengannya?"

Aku menggelengkan kepala.

"Kukira dia menemuimu duluan."

"Oh, ya sudah. Sebaiknya kau ke depan saja, aku akan mencari Jaehyun."

"Baiklah, aku duluan ya."

Jaehyun udah keluar dari tadi? Ke mana dia?

Aku mencari Jaehyun hampir di seluruh sudut villa ini. Tetapi, tak kujumpai batang hidungnya barang sekelebat pun. Perasaanku mulai cemas. Aku melihat sebuah pintu di bagian belakang villa ini. Sedikit terbuka, aku menebak Jaehyun pergi ke luar sana. Siapa tahu itu dia, kan?

Aku meninggalkan kotak berisi hotteok di dalam ruangan. Aku merapatkan outer hitam yang kukenakan karena udara yang dingin itu terasa mengoyak kulitku. Bukan main, angin laut di musim panas itu tak kalah dingin dari musim salju. Sensasinya luar biasa berbeda.

"Jaehyun? Kau di mana?" panggilku menyusuri tangga menuju ke bawah. Villa ini letaknya cukup tinggi, jadi harus melalui beberapa anak tangga dulu sebelum mencapai ke pintu masuknya. Entah itu pintu belakang atau pintu utamanya.

Tak memperhatikan langkahku karena sibuk memikirkan Jaehyun, kakiku tergelincir di tangga dan aku nyaris jatuh menggelinding di sana. Kalau saja Jaehyun tidak menangkap pinggangku dari belakang.

"Apa yang kau lakukan, bodoh?!" Jaehyun yang panik segera memelukku. Aku rasa ia terlalu berlebihan. Lagi pula, aku hampir mencapai tangga paling bawah, jadi tidak akan sakit atau cedera parah kalaupun aku terjatuh di sini karena kondisi tanah yang berpasir.

"Jaehyun? Kau dari mana saja? Aku mencarimu."

"Jangan. Lain kali jangan mencariku, aku tidak ingin melihatmu terluka."

Ia mulai berbicara non-sense lagi.

"Hei, aku baik-baik saja. Lihat? Kau selalu ada untukku kan? Jadi, aku akan selalu aman." Jaehyun melepaskan pelukannya, lalu kami bertemu pandang. "Benar? Kau akan selalu melindungiku. Bisakah aku mempercayaimu?"

Jaehyun tidak menjawab apapun. Ia lalu meraup wajahnya dan memunggungiku. Sesaat kemudian, sebuah kalimat muncul dari bibirnya. Kalimat yang aku tidak mengerti maksudnya apa.

"Jangan terlalu mempercayai seseorang, itu hanya akan membuatmu kecewa."

"Jaehyun, kau baik-baik saja? Kelihatannya kau berhutang penjelasan padaku. Kau ingat?"

Aku masih ingat. Waktu itu di ruang kesehatan, ada sesuatu yang hendak Jaehyun bicarakan. Tetapi, ia enggan karena ia rasa waktunya masih belum tepat.

"Jaehyun? Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk itu."

Jaehyun masih belum berbalik. Hanya punggung kokohnya di balik kaos berwarna hitam yang bisa kuperhatikan. Kira-kira, bagaimana ekspresi wajahnya sekarang?

"Jika itu yang kau inginkan, maka ... akan kuceritakan. Tapi, aku mohon satu hal." Jaehyun menangkap kedua bahuku, mata kami kembali bertemu. Tersirat kekhawatiran dan kekalutan di netranya yang gelap. Aura Jaehyun yang kukenal seolah menghilang. Sosoknya yang saat ini berbeda jauh dari yang biasa ia tunjukkan.

"Jangan mempercayai apapun yang terjadi di masa depan."

Seperti puzzle, potongan demi potongan kalimat Jaehyun mulai terkumpul. Namun karena tak begitu banyak yang ia sampaikan, aku masih kesulitan menangkap dan merangkai kejadian apa yang sebenarnya membuat Jaehyun akhir-akhir ini berubah.

"Berjanjilah padaku, Sohyun. Jangan mempercayai apapun yang kau lihat atau kau dengar di masa depan," ulangnya dengan nada tegas.

Aku semakin penasaran.

***

Tbc

Ada apa hayo?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top