Bab 19: Lampu Hijau
Berbagai sajian makanan tertata rapi di atas meja makan. Kak Jin nyaris menghabiskan setengah isi kulkas untuk makan malam hari ini. Kursi yang biasanya cuma berisi tiga orang, kini bertambah satu tamu yang memang sengaja telah diundang.
Terdengar suara ketukan meja dari kelima jari Kak Jin. Kedua matanya awas, menatap sosok laki-laki yang tengah duduk tepat di hadapannya. Seorang laki-laki yang selalu percaya diri dan narsis. Namun, kali ini tak kudapati kedua sifat itu melekat padanya. Yang ada hanya keringat dingin dan bibir yang pucat.
Seharusnya, ini menjadi acara makan malam yang hangat. Alih-alih demikian, berkat Kak Jin, kami mendapat nuansa horor yang luar biasa mencekam.
Di sebelah Kak Jin, Kak Jisoo menatap dengan raut penasaran. Tapi, tingkahnya yang tidak berhenti menelisik Jaehyun itu semakin membuat Jaehyun kewalahan. Dua versus satu. Hah, itulah kenapa, sebaiknya tak usah kupertemukan Jaehyun dengan kedua kakakku.
"Kau yang bernama Jung Jaehyun?"
"I–iya, Kak."
"Kak? Kau pikir aku kakakmu?"
Jaehyun melirikku, meminta bantuan. Ah, harus dipanggil apa, ya? Mungkin itu yang Jaehyun khawatirkan.
"Pertama-tama, terima kasih sudah membantu adikku, Sohyun. Tapi ...."
Jaehyun meneguk ludahnya, aku dapat mendengarnya dengan jelas. Menunjukkan betapa gugupnya cowok itu menghadapi Kak Jin.
Kak Jin mengambil lobster yang sudah ia masak. Tangannya sigap mengangkat pisau, lalu ia tancapkan benda tajam itu pada cangkang lobster yang keras hingga terdengar suara "Jleb!".
"Ah, dasar cangkang. Menurutmu, kenapa lobster harus memiliki cangkang?" Kak Jin melemparkan kuis dadakannya pada Jaehyun. Pertanyaan macam apa itu?
"U–untuk melindungi dir–"
Jleb. Kak Jin menusukkan lagi pisaunya pada lobster. Kali ini, dengan gerakan sedikit mengoyak. Membuat cangkang lobster itu rusak dan daging bagian dalamnya kelihatan.
"Pasti untuk menyembunyikan keburukannya, iya tidak?"
"Ma–maaf?"
"Kita kan tidak bisa menilai seseorang hanya dari luarnya saja. Katakan, apa maksud di balik niat baikmu menolong adikku?"
Skakmat. Kak Jin memang tidak pernah berbasa-basi. Ia selalu merujuk pada poin yang ingin ia bahas walaupun di awal ia sedikit menganalogikan maksudnya. Analogi yang sungguh konyol menurutku.
Jaehyun terlihat menarik napas dalam-dalam. Sorot matanya terlihat meyakinkan dan tegas.
"Saya ingin melindungi Sohyun. Bukan sebagai teman, melainkan sebagai seorang perempuan yang saya sukai."
Sunyi. Kak Jin tak sedikitpun melirik Jaehyun ketika ia berbicara. Sebaliknya, Kak Jisoo melongo mendengar jawaban Jaehyun. Ekspresinya seolah menunjukkan bahwa ini di luar dugaan.
"Kau menyukai adikku? Atas dasar apa?" Masih, Kak Jin memberikan pertanyaan tanpa memberikan atensinya pada Jaehyun.
"Dia, Sohyun ... gadis yang baik dan sederhana. Ia tak banyak meminta dan mengeluh, selalu menyelesaikan semuanya seorang diri. Sifatnya yang polos dan lemah, membuatku selalu ingin melindunginya. Dan yang paling membuatku tertarik adalah ia selalu tidak mudah dijangkau."
"Adikku sulit dijangkau, ya? Jadi, setelah kau bisa mendapatkan adikku, dia tidak akan menarik lagi di matamu?"
Ah, aku tidak sampai berpikir ke arah sana. Tidak diragukan lagi, Kak Jin memang kritis.
***
Angin di luar cukup dingin. Meskipun bertiup tidak terlalu kencang, rasa dingin itu mampu membuatku merinding. Kami berdua—aku dan Jaehyun—berjalan berdampingan di tengah jalanan perumahan. Langit malam yang jernih, bintang-bintang mulai bermunculan mempertunjukkan eksistensinya. Cahaya bulan yang temaram, tersamarkan di balik kilau lelampuan yang menerangi sepanjang perjalanan kami.
Kak Jin mengizinkanku bicara berdua dengan Jaehyun. Menemani Jaehyun sambil jalan-jalan malam menyelami lingkungan perumahan yang sudah kutinggali sejak tiga tahun lalu. Ya, aku memutuskan tinggal bersama kedua kakakku, di rumah kontrakan itu, saat aku masih duduk di bangku kelas tiga SMP. Alasannya pasti bisa ditebak. Ya, karena pada saat itulah mutasi papa ke Gangneung dilakukan.
Sebenarnya kami memiliki rumah di Seoul. Namun, jarak antara rumah ke sekolah cukup jauh dan harus di tempuh dengan kereta. Karena lebih suka cara yang praktis, kedua kakakku memutuskan untuk menyewa kontrakan saja.
"Kau ingat, dulu aku mengejar-ngejarmu di jalanan ini. Dan kau, bersembunyi di dalam minimarket itu."
"Kau tahu aku sembunyi di sana?" Jaehyun mengangguk. "Kenapa waktu itu kau nggak langsung masuk dan menangkapku saja? Dasar aneh."
"Nggak seru, dong." Jaehyun terkekeh. "Aku suka melihatmu panik dan ketakutan."
Aku merotasikan mataku. Mengheningkan cipta sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk memukul lengan cowok itu.
"Keterlaluan."
"Kim Sohyun juga bisa marah? Aku terkejut."
"Diam, kau. Emangnya lucu?"
"Lucu banget," serunya selagi mencubit sebelah pipiku. Sakit.
"Kalau diingat-ingat lagi, pertemuan awal kita itu tidak menyenangkan. Seorang cowok yang belum kukenal tiba-tiba datang dan sok akrab padaku. Sangat mencurigakan," ujarku.
Aku memang sangat penasaran. Apa alasan Jaehyun waktu itu menghampiriku duluan. Padahal dibandingkan anak-anak yang lain, daya tarikku lebih lemah. Malah bisa jadi tidak ada sama sekali.
Jung Jaehyun dengan senyumnya yang tak bisa kuartikan. Dengan sikapnya yang misterius dan membuatku selalu penasaran. Jika ia bisa menjelaskan alasannya mendekatiku sejak awal, mungkin aku tidak akan ragu dan salah paham. Mendengar jawaban pertanyaan yang ia lontarkan di meja makan tadi, entah mengapa hatiku tersentuh.
Pertanyaan terakhir adalah yang paling sulit. Jadi, setelah ia bisa mendapatkanku, apakah aku tidak akan menarik lagi di matanya? Ia menjawab dengan tulus. Aku bisa merasakannya saat itu.
Meskipun ia sudah kudapatkan, bukan berarti seorang Kim Sohyun kehilangan pesona dan daya tariknya begitu saja. Ia selalu menyimpan banyak hal yang mengejutkan. Yang artinya, aku hanya menemukan satu di antara daya tariknya yang tidak pernah habis. Karena itu, aku harap, Kak Jin mengizinkanku mendekati Sohyun untuk menggali lebih banyak pesona yang ia pendam.
Seumur hidup, belum pernah ada yang mengakuiku seperti yang Jaehyun lakukan. Oleh sebab itu, jawaban-jawaban Jaehyun tadi membuatku merasa menjadi orang paling berharga—sesuatu yang belum pernah aku sadari sebelumnya. Jaehyun berhasil membangun sedikit rasa percaya diriku. Aku adalah aku, itu benar. Tidak perlu ada dari diriku yang harus kuubah. Aku cukup menjadi aku yang apa adanya.
"Sohyun," panggil Jaehyun. Kami berdua menghentikan langkah tepat di depan rumahku. Motor Jaehyun terparkir di pelatarannya yang sempit. Setelah berjalan-jalan kurang lebih tiga puluh menit, kini saatnya Jaehyun pamit.
"Pikirkan kembali ajakanku untuk berpacaran. Aku tidak akan memaksamu, aku akan menerima apapun keputusanmu."
Ajakan berpacaran? Aku baru ingat. Jaehyun pernah menyatakan perasaannya dan beberapa kali memintaku untuk menjadi kekasihnya. Jadi, ia masih menungguku dan berharap padaku?
"Aku sudah cukup membuktikan diri. Aku harap kau puas dan sadar bahwa rasa sukaku padamu itu sungguh-sungguh."
Jaehyun menggenggam kedua tanganku. Kami berdiri saling berhadapan.
"Sekali lagi, Sohyun. Aku ingin mengatakan, aku menyukaimu. Aku ingin kau jadi pacarku. Aku ingin tahu banyak hal tentangmu. Apa yang kau suka, apa yang kau tidak suka. Aku ingin menghabiskan waktuku bersamamu, mengunjungi banyak tempat yang indah, berbicara berdua dan bersantai."
Kepalaku ikut membayangkan apa yang Jaehyun katakan barusan. Kegiatan yang sangat menyenangkan. Apa ... aku bisa menjadi pacar yang baik untuknya?
"Aku senang hari ini. Kak Jin memberikan lampu hijaunya padaku. Karena itu, Sohyun, jika kau tidak keberatan. Izinkan aku mengikatmu dalam sebuah hubungan. Jadilah pacarku."
***
Tbc
Nextt >>>>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top