Bab 15: Festival
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Setelah hari ini, aku bisa terbebas. Aku tidak perlu meluangkan waktu sepulang sekolah dan pulang telat lagi. Intinya, aku tidak perlu kelelahan. Ya, acara festival telah dimulai. Semua kru yang terlibat akan menaiki sebuah bus yang telah disewa oleh sekolah. Acara festival kali ini digelar di Seoul Arts Center, Seocho-gu.
Seoul Arts Center memiliki arsitektur yang indah. Terdiri dari 9 gedung, dan gedung yang akan kami pakai adalah Gedung Teater Opera dengan kapasitas 2.278 penonton. Karena jarak lokasi yang tidak terlalu jauh, dalam waktu setengah jam saja rombongan kami sudah sampai.
Nomor urut penampil untuk Horizon berada di hari pertama, tidak terlalu awal, juga tidak terlalu akhir. Sehingga, kami masih bisa mengecek ulang barang-barang dan properti yang telah disiapkan. Masing-masing dari kami sibuk. Aku, Arin, dan Ryujin—sebagai kru tambahan cewek—diminta untuk membantu kelompok pemeran dari gender yang sama untuk berdandan. Sebab aku payah dalam hal ber-makeup, aku hanya melakukan apapun yang diperintahkan dari Arin. Setidaknya, ia paham basic-basic dalam merias diri. Seperti mengunakan fondation, bedak, lipstik, dan lain-lain.
"Ada yang tahu, di mana Im Nayeon?" teriak salah satu anggota Horizon.
Ketika yang lain telah siap dengan pakaiannya masing-masing, perempuan berambut sebahu itu tengah sibuk mencari rekannya yang menghilang.
"Im Nayeon? Tadi dia bilang pergi ke toilet sebentar," sahut yang lain. Aku tidak kenal siapa mereka. Sepertinya, mereka para senior di Horizon—yang memantau dan mengatur keseluruhan kepanitiaan khusus festival ini.
"Sudah berapa lama? Kita akan tampil setengah jam lagi," keluh cewek berambut sebahu itu selagi melirik jam tangannya. Di tangannya, terdapat sekumpulan kertas yang telah dijilid. Mungkin naskah berisi skenario dan dialog untuk pementasan mereka.
"Hei, kau!"
Merasa terpanggil, aku pun berbalik menatap cewek itu.
"Bisa tolong kau periksa ke toilet? Cari yang namanya Im Nayeon. Panggil saja dia dan beritahu, kita harus cepat bersiap. Tolong bantuannya, ya." Cewek itu terburu-buru pergi—mengurusi hal yang lain—sebelum aku sempat mengatakan 'iya'.
Akhirnya, aku meninggalkan Arin dan Ryujin di ruang ganti dan bergerak menyusul cewek bernama Nayeon itu ke toilet wanita.
Melangkah menyusuri lorong, mataku tak berhenti terpukau oleh gedung ini. Gedung yang begitu mewah. Rasanya, Kak Jisoo akan menjadi orang terkenal malam ini. Mengingat bahwa kakakku itu akan tampil di atas panggung Seoul Arts Center sebagai main character.
Bibirku tak berhenti tersenyum membayangkannya.
Melanjutkan langkahku dengan tempo yang sedikit lebih rapat—teringat tugasku untuk menemukan Nayeon secepatnya—aku terkejut ketika pergelangan tanganku ditarik oleh seseorang dan kami berdua pun berada dari balik tembok—dari lorong yang yang berbeda.
Mulutku dibekap. Aku meronta ingin melepaskan diri, tetapi apalah daya, aku tak sekuat cowok yang menahan tubuhku di depannya ini.
"Jangan bergerak, atau kita akan ketahuan," bisiknya.
Suara lembut dan merdu yang sangat kukenali. Mendengarnya saja, isi kepalaku langsung terbayang sosoknya yang rupawan, senyumnya yang menawan, dan matanya yang berkilauan. Jeon Jungkook.
Perlahan, ia melepaskan bekapannya. Aku menolehkan setengah wajahku ke belakang, penasaran untuk apa Jungkook menarikku bersembunyi di sini.
"Ada apa? Aku harus melakukan tugas yang sangat penting," kataku jujur.
Sekarang, bukan masalah Jungkook yang lebih penting melainkan membawa gadis bernama Nayeon kembali ke ruang ganti.
"Tugas apa?"
"Menemukan seseorang bernama Im Nayeon, dan membawanya segera ke ruang ganti untuk bersiap-siap. Penampilan dimulai setengah jam lagi."
"Im Nayeon? Dia itu Im Nayeon." Jungkook berucap sementara telunjuknya mengarah ke satu titik. Ya, di depan sana. Di jalan menuju ke lorong yang lain. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Seorang gadis dengan pakaian kaos berwarna merah dan bawahan celana jeans.
Apa yang dia lakukan?
"Aku harus ke sana."
"Jangan! Tunggu, sebaiknya jangan!" cegah Jungkook, membuatku curiga.
"Ada apa? Kenapa? Kita tidak ada waktu lagi."
"Jangan, atau kau akan menyesal."
Melihat keseriusan di air muka Jungkook, akhirnya aku memilih untuk menuruti perkataannya. Kami berdua menunggu di sini. Hingga, tak lama kemudian, dua orang lawan jenis muncul dari lokasi yang sama—di mana Im Nayeon berada tadi.
Jungkook semakin menarikku lebih dalam, memasuki lorong tempat kami sembunyi. Dua orang itu melintas tepat di sebelah kiri kami, dan sekarang, aku melihat keduanya dengan sangat pasti.
"Kak Jinyoung?"
Fokusku berpindah. Dari wajah Kak Jinyoung, kini turun ke arah lengannya yang tengah digandeng oleh gadis bernama Nayeon itu. Mereka berdua tertawa bersama, tampak lengket. Apa yang aku lihat ini? Ah, tidak. Aku tidak boleh sembarangan berasumsi. Sebaiknya, aku cari tahu lebih lanjut.
"Jungkook, aku ... pergi dulu." Aku segera berpamitan pada Jungkook. Menyesal karena tak dapat melihat wajahnya lebih lama. Tapi, bukan itu yang terpenting!
***
Pertunjukkan selesai dengan meriah. Kami semua menyorakkan kemenangan. Bukan karena ini merupakan ajang perlombaan melainkan untuk bisa tampil di atas panggung ini, di hadapan banyak orang, adalah sebuah pencapaian yang luarbiasa. Untuk merayakan kesuksesan kami, ketua dari klub Horizon—Kak Jinyoung— mengadakan sebuah acara makan malam bersama. Sebelum pulang, rombongan kami mampir ke salah satu restoran di Seoul. Yang tak lain adalah milik dari orang tua salah seorang anggota Horizon. Tentu saja kami akan mendapat diskon.
Karena kami masih di bawah umur, tentu kami tak dapat mencicipi alkohol. Kecuali para anggota senior, yang sudah lulus dari Nanyang dan telah berkuliah tetapi tetap mendedikasikan diri untuk menuntun para juniornya di Horizon. Kami duduk di sebuah meja yang panjang. Karena terdiri dari banyak orang, akhirnya duduk kami terbagi ke dalam tiga bagian. Aku dan kru tambahan lainnya berada pada posisi menyebar. Hal ini membuat kami lebih mudah melebur dan berinteraksi dengan anggota Horizon yang lain. Beruntungnya, aku, Arin, Jungwoo, Jaehyun dan Ryujin duduk di satu meja. Tak ada kursi di sini, kami duduk di atas bantal dengan permukaan meja yang rendah.
"Sst, lihat Jaehyun. Dia dari tadi tak banyak bicara, tumben sekali." Arin berbisik di telingaku, membuatku mau tidak mau mencuri pandang ke arah Jaehyun yang duduk tepat di hadapanku.
Iya juga. Ada apa dengannya? Hari ini dia tidak berisik.
"Jae, kau sakit?" Kali ini Jungwoo yang bertanya langsung. Sama seperti Arin, cowok itu peka terhadap kondisi Jaehyun.
Sakit? Kenapa aku sampai nggak tahu kalau dia sakit?
"Nggak papa, cuma agak pusing aja. Kalian makanlah, jangan pedulikan aku."
Aku mengembuskan napas kasar. Jangan memedulikanmu? Kau bahkan tidak tahu, kalau belakangan ini kau selalu membuatku kepikiran.
"Jungwoo," panggilku. Aku memberi isyarat agar Jungwoo bertukar tempat denganku. Lantas, hal ini membuat Arin dan Ryujin terkaget-kaget. Tak terkecuali Jungwoo.
Namun, cowok itu tidak banyak bertanya. Ia langsung bangkit dari posisinya dan mempersilakanku duduk di tempatnya—di sebelah kanan Jaehyun.
Tanpa banyak berpikir, aku mengambil beberapa potongan daging dari panggangan, lalu meletakkannya di piring Jaehyun. Jaehyun menengok ke arahku dan tatapan kami pun bertemu.
"Kenapa ini? Kau ... mau menyuapiku?"
Anak ini! Masih bisa bercanda, ya? Padahal lagi sakit.
Aku menyentuh dahinya sedikit kasar—karena jengkel dengan sikapnya yang kepedean. Panas. Dia benaran sakit.
"Makanlah, kau pasti kelelahan."
Aku tidak tahu, seberapa besar efek kalimatku itu pada Jaehyun. Tetapi yang kusaksikan, cowok itu tersenyum. Senyum yang tulus. Bukan senyum jahil yang seringkali ia munculkan. Jaehyun mengarahkan tanganku yang telah memegang sumpit dengan daging di ujungnya, membuatku seolah-olah menyuapinya.
Jaehyun memakan dagingnya dengan damai. Bibirnya pucat. Kenapa ini? Bukannya dia kuat, ya? Dia bisa sakit juga?
Sibuk melayani Jaehyun—seakan-akan aku babysitter-nya—Arin yang peka langsung berdeham dan ditanggapi oleh Ryujin.
"Ohoo, jadi diam-diam, ada yang melakukan pendekatan ya di antara kita berlima?"
"Ah, apakah kita sebaiknya mengosongkan tempat ini saja untuk mereka berdua?" timpal Ryujin. Aku menghiraukannya. Aku tetap melanjutkan aktivitasku menyuapi Jaehyun.
Astaga, aku benar-benar menyuapinya seperti bayi.
"Hei, kalian berdua pacaran?" Pertanyaan frontal dari Jungwoo sontak membuatku tersedak ludah sendiri. Aku terbatuk dan tak sengaja menjatuhkan daging yang seharusnya masuk ke mulut Jaehyun.
"Doakan saja," sahut Jaehyun sambil menatap kedua mataku dalam-dalam.
"Waaahh!!! Sialan, Sohyun! Jadi selama ini, kalian–" Ryujin menutup mulut Arin yang berteriak kesetanan. Segera. Ucapan gadis bar-bar itupun terpotong seketika.
Mulutku sempat terbuka, hendak mengelak. Tapi ... mau mengelak seperti apa? Ujung-ujungnya, aku tetap membiarkan mereka berpegang pada pemikiran mereka masing-masing. Ah, sudah pasti. Sekarang, mereka bertiga tahu jika aku dan Jaehyun memiliki sesuatu yang belum terselesaikan. Dan itu karena tindakan impulsifku sendiri.
***
Aku berakhir di sini. Di dalam bus, dengan Jaehyun yang tertidur di pundakku. Arin dan Ryujin duduk berdua, sedangkan Jungwoo merelakan duduk dengan orang lain. Posisi tempat duduk yang tadinya aku bersama Arin, akhirnya berubah.
Aku masih ingat. Beberapa menit yang lalu, Arin memaksaku duduk bersama Jaehyun. Sebenarnya apa yang dipikirkan anak itu sih? Ryujin dan Jungwoo juga tidak menyanggah. Mereka menyetujui pendapat Arin.
Tunggu, tapi apa kewajibanku terhadap cowok ini? Dia bukan anakku. Bukan saudaraku. Kenapa aku harus menyediakan bahuku untuk tempatnya tidur?
Sekali ini saja. Aku tidak akan menolaknya. Berhubung kondisi Jaehyun juga kurang sehat. Aku tidak akan mengabaikannya. Baiklah, aku yang mengalah.
Jaehyun tertidur dengan sangat damai dan tenang. Aku tak mendengar dengkuran halus darinya. Mulutnya benar-benar tertutup rapat saat tidur. Dari dekat, aku dapat memperhatikan ukiran tegas wajahnya. Hidungnya yang lancip dan rahangnya yang tajam. Muka Jaehyun sungguh sangat maskulin. Entah berapa kali aku mengucapkan hal yang sama soal ini.
Beberapa kru tampak tertidur, waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Wajar, mereka pasti kelelahan. Mereka mengerahkan seluruh tenaga mereka untuk kesuksesan festival ini. Dan kini, hanya aku yang tersisa. Yang masih membuka mata. Jalanan macet di luar sana. Seperti kata pepatah, Seoul adalah kota yang tidak pernah tidur. Beberapa pekerja kantoran akan mengambil lembur dan pulang dini hari. Dan sekarang ini, mungkin bisa dikatakan beruntung karena mereka pulang setidaknya lebih awal dari biasanya sehingga jalanan menjadi ramai.
Aku menatap ke luar jendela bus. Menyaksikan detail lampu-lampu berwarna merah dari bagian belakang setiap mobil yang melintas. Hingga tak terasa, mataku pun mulai terpejam dan aku tertidur untuk sesaat.
Dalam tidurku itu, aku bermimpi. Seseorang mengecup ringan pipiku. Rasa basah dan dingin dari AC meninggalkan jejak di bekas kecupan itu. Lalu ....
"Sohyun! Bangun!"
Aku membuka mataku. Wajah Arin yang setengah mengantuk langsung menyambutku.
Oh, astaga. Jam berapa ini?
"Sudah sampai. Ayo, turun."
Ah, aku merasakan nyeri di bahu sebelah kiriku. Ternyata, Jaehyun masih tertidur pulas di sana. Aku membangunkannya dengan hati-hati, menginfokan bahwa waktunya untuk berpisah di sekolah. Kak Jin pasti akan menjemputku dan Kak Jisoo.
"Jae, bangunlah. Kita sudah sampai sekolah."
Tak sulit membangunkan Jaehyun. Cowok itu langsung bergerak menegakkan kepalanya ketika aku mengguncangkan sedikit lengannya tadi.
"Oh, sudah sampai?"
"Hm, siapa yang akan menjemputmu?" Aku tahu, Jaehyun membawa motornya ke sekolah. Tetapi, tidak mungkin kan ia pulang mengendarai motor dalam keadaan sakit? Bisa-bisa celaka.
"Aku bisa pulang sendiri, tidak butuh jemputan."
"Jangan keras kepala! Kau sakit, kepalamu pusing kan? Kalau terjadi apa-apa saat naik motor nanti bagaimana? Aku tidak akan tanggung jawab!"
"Oh ya? Kau yang harus tanggung jawab. Kan kau yang terakhir kali bersamaku. Orang-orang akan lebih percaya pada kebohongan bahwa kau meninggalkanku sendirian dan membiarkanku menyetir dalam kondisi sakit."
Cowok ini?! Apa benar dia lagi sakit? Tingkahnya sama saja saat dia dalam keadaan normal!
"Terus, apa maumu?" ujarku frustrasi.
"Pinjamkan sweater-mu. Kalau kau pinjamkan itu untukku, aku akan langsung menelepon sepupuku, Minjeong, agar ia menjemputku ke sekolah."
"Minjeong?"
"Ya. Dia gadis yang kau kira pacarku itu. Ingat?"
Oh, si gadis berambut rose gold. Sebenarnya, Jaehyun memiliki berapa saudara? Apakah ia tinggal bersama keluarganya? Sedekat apa ia dengan sepupunya? Aku jadi ingin tahu semua hal sederhana tentangnya.
"Deal. Ini, ambil saja. Dan pulanglah dengan selamat." Aku melepas sweater hoodie berwarna biru pastel milikku.
"Pakaikan," titahnya dengan nada manja.
"Kau punya dua tangan kan? Jangan biarkan mereka menganggur."
"Pakaikan, Sohyun. Tanganku lemas."
Aku mengitari sekelilingku. Bagus, semuanya hampir turun dari bus.
"Baiklah, Tuan Jae yang manja."
"Oh, aku suka panggilan manis itu."
"Cih."
Akhirnya, sweater milikku pun berpindah tangan. Aku tidak percaya, Jaehyun terlihat pas mengenakannya. Memang benar, sweater itu oversize untukku. Jadi, tubuh Jaehyun saja yang pada dasarnya besar. Makanya, kelihatan cocok di badannya.
"Kembalikan besok, ya."
"Tidak mau. Aku akan memajangnya di kamarku."
"Apa?! Jangan bercanda, Jaehyun. Itu pemberian Kakakku. Kalau dia tahu, sweater darinya tidak ada di tanganku, aku bisa diamuk habis-habisan."
Jaehyun terkekeh. Oh, dia hanya bercanda. Sialnya, aku percaya begitu saja.
"Tenang saja, pasti kukembalikan. Terima kasih, sekarang aku merasa kau akan memelukku sepanjang perjalanan pulang."
"Senang, ya? Dasar curang. Ini alasanmu saja, kan? Kau memanfaatkan tubuhmu yang sakit untuk menyita sweater milikku."
"Iya, kau tidak salah. Pokoknya terima kasih. Aku akan segera pulang dan langsung tidur dengan sweater punyamu ini. Rasanya pasti akan lebih hangat."
Deg. Jantung, tenanglah .... Kenapa kau melompat-lompat di dalam sana? Jangan berisik, nanti Jaehyun bisa dengar. Ia bisa makin besar kepala.
Malam itu pun, menjadi malam yang agaknya sedikit bermakna bagiku. Aku merasakan sensasi yang berbeda bersama Jaehyun. Dan pertama kalinya, aku mengakui bahwa sikap Jaehyun yang suka menggodaku ... itu manis juga. Di sisi lain cukup mengganggu, tetapi di sisi lain juga menyenangkan.
Dan ketika pulang, aku mulai membuka wish list-ku. Aku mengambil pen kesayanganku dan menulis beberapa kalimat di lembarnya yang masih kosong.
Wish list kedua. Aku ingin merasakan sesuatu yang dinamakan cinta.
Apakah aku bisa mengambil langkah awalnya?
***
Tbc
Tunggu next update-nya~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top