Sebelum Senja

Aku mengayunkan pedangku sekali lagi dengan berat. Terdengar jeritan tertahan dari prajurit yang kehilangan nyawanya ditanganku.

Seratus....

Kuayunkan pedangku lagi dan nyawa kembali melayang.

Seratus satu .... Aku menghitung sekedar untuk mempertahankan kesadaranku ....

Seratus dua ....

Napasku terengah. Pedang di tanganku terasa makin berat.  Aku melihat sekelilingku .... Mataku nanar. Sial. Lawanku tidak berkurang. Yang mati terganti oleh yang baru. Celaka, staminaku menipis. Aku tak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan .... Aku mengangkat pedangku sekali lagi. Seandainya ini saat terakhirku di dunia, akan kupastikan aku membawa sebanyak mungkin musuh bersamaku.

Ah ... seandainya aku ikut mundur seperti yang lain, pasti nasibku akan berbeda. Aku tertawa dalam hati, melihat beberapa musuh mendatangiku. Itu hanya andai-andai tak berdasar. Aku mengayunkan pedangku, menembus baju zirah lawan. Kupastikan pedangku menancap hingga ke hulu sebelum kucabut. Sebuah senyum muncul di wajahku yang lelah. Aku tidak pernah menyesal berdiri disini walaupun sendiri. Tekadku bulat, aku tidak akan membiarkan bangsa tak bersunat itu merebut tanah nenek moyangku. Demi Raja dan demi Allah Israel, gumamku dalam hati. Aku menggenggam pedang di tanganku lebih erat, aku tahu apa yang harus kulakukan.

Aku mengayunkan pedangku sekali lagi, menembus tubuh lawan.

Seratus empat ....

Sebuah serangan datang dari arah belakang, aku berbalik tapi tak sempat untuk menangkisnya. Seluruh tubuhku terasa kaku. Aku hanya bisa memandang ke arah pedang yang terhunus kepadaku dengan terbelalak. Kurasa ini akhir dari hidupku ....

Saat aku bersiap menyerahkan nyawaku, terdengar besi saling beradu. Sebuah pedang menahan laju serangan itu mengenaiku. Aku mengenal siapa yang menahannya. 

"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya mengarahkan punggungnya ke punggungku, kami saling membelakangi mencegah musuh menyerang titik lemah kami. "Maaf, aku terlambat." 

"Tidak masalah," balasku, kembali mengukir senyum kelelahan. Aku memejamkan mata sejenak, rasa lega memenuhi seluruh dadaku. 

"Bagus!" Serunya. "Kita pertahankan tempat ini!"

Aku kembali mengayunkan pedangku bersama orang itu. Seorang pemuda sebaya denganku, berambut coklat ikal dan berzirah perak dengan ornamen yang lebih rumit, menunjukkan statusnya. Lambang bintang bersudut enam tersulam di jubahnya. Entah bagaimana nasibku bila tidak ada dia. 

Kutebas musuh yang mengarahkan tombaknya ke arahku sambil terus menjaga agar tidak ada musuh yang menyerang punggungnya.

"Heh, ini seperti masa lalu." Aku mendengarnya berbicara, napasnya mulai terputus-putus.

"Hemat tenagamu," ucapku namun senyum tak bisa membohongi kalau aku menikmati percakapan dengannya.

"Kamu ingat saat kita masih menjadi buronan?"

Aku mendengus. Bagaimana aku bisa lupa?

Seratus tiga puluh delapan ....

Aku masih ingat ketika aku pertama kali bertemu dengannya di sebuah gua. Calon raja Israel yang diburu oleh dinasti yang berkuasa. Tatapan matanya yang tulus dan berani saat itu membuatku tertarik untuk mengikutinya. Tidak ada kebohongan dalam dirinya, membuatku yang sering dikecewakan orang merasa aman berada di dekatnya dan itu adalah awal.

Dua ratus lima puluh enam ....

Aku juga ingat ketika kami menghadapi seorang tuan tanah yang kejam, itu pertama kalinya aku melihatnya begitu marah. Dia marah karena kami dihina dan tak dibayar padahal kamilah yang menjaga seluruh kawanan ternak si tuan tanah. Dia marah karena kami, karena dia memikirkan wanita dan anak-anak kami yang tak jadi mendapat makanan. Aku masih terharu saat mengingat saat itu. Dialah orang yang mendapat respekku. 

Empat ratus tujuh puluh tiga ....

Ingatanku berpindah ke saat di mana dia menolak untuk membunuh Raja gila yang menjadikannya buronan seluruh kerajaan tanpa alasan. Dia memilih untuk melepaskan orang itu karena rasa takutnya kepada Allah. Dia adalah orang yang mengajariku siapa Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub.

Lima ratus enam puluh empat .... Tanganku mati rasa. Napasku menderu tapi aku tidak sekalipun menurunkan kewaspadaanku. Aku tahu bila aku tumbang, maka dia akan menyusul. Tidak ada yang menjaga punggungnya. Aku kembali menutup mata, mendapatkan istirahat selama beberapa detik sebelum kembali mengangkat senjata.

Ada satu hal yang ingin kulupakan, tapi kejadian itu membekas seperti noda tinta pada kain. Aku nyaris membunuh orang itu dalam keputusasaan dan kemarahanku saat melihat kota tempat tinggal kami di negeri orang rata dengan tanah, anak dan istriku ditawan. Bodoh. Aku masih mengutuki diriku. Setelah apa yang dia lakukan pada kami, aku masih saja tidak percaya padanya, menganggap bahwa kemalangan ini karena dia. Tapi sekali lagi dia membuktikan bahwa dia adalah orang yang layak untuk mendapatkan semua kesetiaanku. Saat tidak ada orang yang percaya padanya, dia mempercayai Tuhan Allah Israel. Dia mengajariku arti iman.

Enam ratus tiga puluh delapan .... Musuh masih terus datang dan aku masih terus mengayunkan pedangku. Aku merasa bergerak dalam lumpur. Tubuhku terasa berat. Pikiranku kosong dan mataku mulai buram. Rasa sakit menjalar dari luka-luka di tubuhku. Beberapa mulai kering namun masih banyak yang berdarah. Aku tidak tahu apa yang memberiku kekuatan hingga masih bergerak tapi aku tahu satu hal, pedangku tak boleh kulepaskan. 

Dalam kebuntuan pikiranku, aku teringat pada sebuah kisah yang membuatku memutuskan bahwa seluruh hidupku aku serahkan kepadanya. Saat aku dan kedua temanku membawakannya air dari sumur kota kelahirannya. Itu hanya sebuah persembahan sederhana bagi orang yang telah mengajariku banyak hal, namun aku masih terbayang jelas wajahnya saat menerima air itu. Matanya berkaca-kaca dan menatap kami dengan haru. Dia berkata bahwa dia tidak layak menerima pemberian yang didapatkan dengan mempertaruhkan nyawa kami. Hei, aku rela memberikan nyawaku baginya tapi dia memperlakukan kami dengan penuh hormat. Dipersembahkannya air itu kepada Allah Israel, setara dengan darah korban bakaran. Aku ingat, saat air itu tercurah ke atas mezbah, aku berlutut karena gentar. Gentar kepada pria di hadapanku dan gentar kepada Allah yang dia sembah. Aku tahu aku akan mengikutinya seumur hidupku, melewati lembah atau bukit. Saat dia tinggal di goa atau di istana.

Tujuh ratus dua puluh satu .... Aku sungguh-sungguh tidak kuat lagi. Seluruh ototku menjerit seakan hendak tercerabut dari tulang. Aku tidak lagi merasakan apa-apa. Seluruh fungsi inderaku nyaris mati, hanya tekad dan insting yang membuatku bergerak.

Aku tidak tahu bagaimana hidupku bila dia tidak pernah hadir dalam hidupku. Aku mungkin masih menjadi penjahat kelas teri, menipu untuk hidup, berjudi untuk mempertaruhkan nyawa atau mungkin sudah mati di jalanan seperti hewan. Aku mendengus menggunakan tenaga terakhirku. Sepertinya tidak buruk bila aku harus mati saat ini di medan perang. Setidaknya aku mati sebagai seorang prajurit dan mati setelah aku berperang bagi dia. Ya, aku tidak peduli bila nyawaku melayang, hanya saja, akan kupastikan tidak ada musuh yang bisa menyerangnya lagi.

Kulesakkan pedangku menembus leher prajurit terakhir di depan mataku. Darah segar berbau amis mengaliri lenganku. Aku bahkan tidak punya tenaga untuk menarik pedangku kembali. Delapan ratus....

Musuh terakhir tumbang. Matahari sudah bergantung rendah di langit jingga. Akhirnya, sunyi. Tidak ada siapapun di sana selain aku dan dia. Aku tumbang bersama dengan beban mayat yang tak dapat kutanggung. Aku tidak bisa menggerakkan ototku sedikit pun, hanya napasku yang menunjukkan bahwa nyawa masih tersambung dengan raga. Napas dan mata yang kosong memandang langit. Dia menendang mayat itu agar terguling dari tubuhku lalu meraih tanganku. Perlahan dia melepaskan jari-jariku dari gagang pedang. Aku dapat melihat senyumnya.

"Kamu melakukan tugas dengan sangat baik, Eleazar anak Dodo ...."

Aku membalas senyumnya walau aku merasa wajahku kaku.

"Dengan senang hati, Rajaku," gumamku yang hanya terdengar seperti erangan sebelum kesadaranku pergi.

Semuanya menjadi gelap.

END

Pertama kali ditulis tahun 2012 - Telah direvisi dan ditulis ulang 

Cerita aslinya dapat di lihat di http://infiniteimaji.blogspot.co.id/2012/09/short-story-before-dawn.html

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top