Percakapan Sebelum Akhir

"Apa Kau akan pergi, Tuan?" tanyaku ketika Dia mengambil tempat duduk di sampingku, melayangkan pandang ke arah kota tempatNya akan mati, tempat di mana keramaian makin semarak menjelang hari sakral.

Pria itu tidak menjawab. MataNya masih terus memandangi bangunan-bangunan sewarna pasir berdiri di kejauhan. MataNya teduh dan lembut. Aku memutuskan untuk melihat hal yang sama, ingin tahu apa yang Dia pandang, mengalihkan tatapan dari wajahNya.

"Apakah Kau sudah tahu ini akan terjadi ketika Kau lahir?" tanyaku. Aku tahu itu pertanyaan bodoh, tapi tidak ada tawa mengejek atau tatapan menghina yang menyusul.

Pria di sampingku itu tersenyum. Ketenangan mengalir pelan sementara matahari makin lemah. Diam kembali turun.

"Mengapa Kau tidak lari? Tidakkah Kau tahu apa yang akan mereka lakukan padaMu?" tanyaku lagi. Suaraku bergetar menahan emosi. Aku menatap Pria itu tajam, meminta jawaban. Mulutku ingin mengeluarkan detil hal yang akan terjadi beberapa jam ke depan. Penyiksaan. Pengadilan tidak adil. Dicambuk. Dihajar. Disalibkan.

"Aku tahu, anakKu." Akhirnya Pria itu berbicara. Dia menoleh dan membalas tatapanku. Kelembutan yang tak pernah lepas dari mata cokelat itu. Menenangkan tapi juga membuat dadaku sakit. Ada keteguhan di sana.

"Aku tahu waktuKu telah tiba." Dia kembali menatap kejauhan. "Aku tahu sejak napas pertamaKu di bumi. Segala penderitaan, segala hukuman dan segala caci maki yang akan Kutanggung. Bahkan ketika Aku selesai di sini pun, masih ada yang harus Aku lakukan di kerajaan maut." Dia menurunkan tatapanNya, mengarah ke bebatuan di bawah kami. "Namun Aku tetap akan melakukannya. Untuk kalian. Untukmu."

Dia menepuk pundakku. Satu sentuhan itu membuat air mataku mengalir. Perasaan yang kutahan akhirnya menemukan jalan keluar.

"Mengapa?" Hanya satu kata itu yang keluar dari mulutku sebelum meluncur kata-kata lainnya. "Kau adalah Tuhan semesta alam. Pencipta langit dan bumi. Yang Awal dan Yang Akhir. Mengapa Kau harus menjadi manusia fana dan mati demi kami. Mati demi aku? Apa yang telah kami lakukan selain menyakitiMu sejak manusia pertama melanggar firmanMu?"

Dia kembali menatapku dengan senyum yang makin lebar. "Karena Aku mengasihimu. Hal ini harus dilakukan agar kau dapat kembali bersamaKu di Sorga. Sebuah pertukaran."

"Yang tidak adil," ucapku tersedak.

"Adil," ucapNya. "Karena seberharga itu dirimu bagiKu."

Dia mengambil napas dalam lalu berdiri. "Sudah waktunya."

Aku memandangiNya berjalan menjauh dengan mata penuh air mata. Sampai kapan pun aku tidak paham mengapa Dia mau melakukannya. Aku hanya perlu memandang diriku sebagaimana Dia memandang aku. Senilai itulah jiwaku di hadapan Sang Pencipta, setara dengan nyawa yang Dia korbankan untuk menebusku dari alam maut.

Ketika aku mendapati diriku kembali berada di dalam kamarku dalam posisi berdoa, aku tahu satu hal. Bahkan jika seluruh dunia berkata aku tidak berharga, aku tahu siapa yang mengasihiku lebih dari segalanya.

======================

Sudah lama aku tidak update ini. Aku senang bisa menambahkan satu cerita lagi dalam buku ini.

Ini cerita yang personal sekali buatku. Sebelum aku mengenal kasih Tuhan dalam hidupku, aku merasa diriku ga guna, ngapain aja ngabisin oksigen di dunia. Beberapa kali kepikiran bunuh diri untuk ga kesampaian karena masih takut sakit. Sekarang aku tahu untuk siapa aku hidup, walau kebergunaanku masih dipertanyakan wkakakak. Demi satu Pribadi yang memberikan segalanya untukku :D

Spoiler: Tuhan bangkit di hari ketiga kok :p

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top