Mendaki Gunung Sunyi
Setapak demi setapak dia melangkah di atas tanah berbatu yang menanjak. Dengan bertopang pada tongkat kayunya yang setia, dia berjuang menantang alam dan rasa lelahnya. Napasnya terengah, seorang tua seperti dirinya tak seharusnya mendaki gunung tapi itulah tugasnya.
Dia berhenti sejenak, menghela napas. Butiran keringat menetes dari janggut putih ke tanah kelabu di bawahnya. Angin bertiup makin keras dan udara makin tipis. Pria tua itu menoleh mendapati hanya ada dirinya di tanah tandus tersebut, seperempat jalan lagi dia akan tiba di puncak. Dia berbalik dan menatap ke kejauhan. Di ketinggian, dia hanya dapat melihat bangsanya seperti titik-titik kecil berwarna-warni bagai sebuah tapestri yang dibentangkan di pasir berwarna kekuningan.
Dia terdiam sementara napasnya makin teratur, terpekur mengingat kejadian yang baru saja terjadi tadi pagi. Awalnya bukan hanya dia yang mendaki gunung itu. Di kaki gunung, dia ditemani kakaknya dan sejumlah tetua yang terpandang. Mereka menyertainya hingga terdengar titah bahwa mereka harus berhenti, hanya dirinya dan seorang abdi yang masih muda yang diizinkan untuk naik lebih jauh. Berdua mereka mendaki, dia merasa terbantu sekali dengan anak muda tersebut yang memapahnya namun ketika setengah perjalanan terlalui, suara yang sama meminta anak muda itu berhenti. Pria itu tidak mengerti mengapa namun hanya dirinya yang harus mendaki sendiri hingga ke puncak. Maka disitulah dia berada, berusaha menaklukkan gunung batu seorang diri.
Satu helaan napas panjang untuk mengisi paru-parunya dengan oksigen yang makin langka. Dia merasakan kesunyian di tempat itu. Angin dingin membuat jubah berwarna tanahnya menari semakin mempertegas kesendirian yang harus dia jalani. Dia terdiam, menikmati kesunyian gunung. Dia sendirian, sesuatu yang langka dalam kesehariannya sebagai seseorang yang membawa sebuah bangsa besar melintasi padang gurun. Harinya selalu bising, dari keluhan satu ke keluhan lain, dia sepanjang hari menjadi pendamai bagi sengketa yang terjadi di bangsanya.
Sebuah senyum muncul di antara kerutan wajahnya. Di sini dia sendiri namun dia tidak kesepian. Dia membutuhkan waktu-waktu ini. Dia tidak memiliki orang yang dapat menjadi teman bicaranya namun dia memiliki Pribadi yang selalu mendengarkannya.
"Berjalanlah."
Sebuah suara bergema dalam hatinya, memberi dorongan untuk terus maju. Dia membalikkan badannya dan kembali menghadap gunung yang puncaknya dikelilingi awan tebal, bergelung kelam dan berat. Dia menggenggam erat tongkat yang telah menemaninya membelah lautan dan kembali melangkah, untuk bertemu dengan sang Pencipta yang hanya bisa dia temui dalam kesunyian di ketinggian, jauh dari bisingnya dunia.
______________________________________________________________________________
Diambil dari Keluaran 24 saat Musa harus mendaki Gunung Horeb, awalnya dia ditemani oleh Harun, Hur dan 70 tua-tua namun dalam perjalanan ke atas, hanya dirinya sendiri yang diizinkan mendekat kepada Tuhan :D
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top