09. If

Omongan cowok memang tidak ada yang bisa dipercaya. Gadis itu tengah berjalan sendirian menyusuri Jalan Pattimura. Tadi Jane melihat Rino dan teman-temannya di gerbang sekolah, tapi cowok itu mengabaikan kehadirannya, tidak mungkin cowok itu tidak melihat dirinya. Rino malah asyik mengobrol dengan Vitto, Gilang, Bianca dan Bonita. Mereka memang lebih penting. Lagian dia sadar bukan siapa-siapanya.

Rumah Mila lebih dekat jika mengambil arah kiri saat keluar gerbang sekolah, tapi rumah Jane kan berbeda arah. Jadi Jane dan Mila berpisah di gerbang. Sebenarnya tadi Mila menyuruh Jane agar naik ojek saja, tapi cewek itu sedang irit. Dia masih kuat berjalan sampai ke ujung jalan Pattimura dan naik angkot sampai ke depan komplek rumahnya.

Di depan komplek nanti dia bisa meminta bunda agar menjemputnya. Beres kan?

Jane menendang batu kerikil yang menghalangi jalannya. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh langkah kaki besar-besar disertai teriakan kalimat kata-kata kasar yang tidak patut didengar oleh cewek itu.

Di belakang Jane, gerombolan cowok bertubuh besar membawa balok kayu dan kresek hitam menyentakkan bahwa Jane berada di zona yang sangat tidak aman. Gerombolan cowok dengan bawahan celana berwarna hitam milik SMA Persada. Dan, tidak jauh dari Jane di depannya sudah muncul kelompok lawan sekolah tersebut. SMA Mercu Buana.

Sial.

Jane mengambil dua buah batu kerikil sebesar ibu jari dan bersembunyi di kebun kecapi milik warga. Berjongkok di balik deretan pohon bunga sepatu yang menjadi pagar kebun tersebut.

Gadis itu meringkuk jongkok ketakutan sambil menggenggam batu kerikil mengintip dari celah batang pohon. Tepat di depan hadapan Jane, pertempuran antar dua sekolah itu terjadi. Mereka saling melempar batu, menonjoki murid sekolah lawan dan suara gebukan balok kayu santar terdengar.

Aduh, kayaknya gue kualat deh karena kemaren sombong banget sama ucapan gue sendiri.

Jane menyembunyikan wajahnya ke balik rimbunan daun bunga sepatu takut kepergok dan jadi korban salah sasaran. Gadis itu membaca berbagai ayat suci dan surat pendek agar dilindungi oleh Allah dari tragedi berdarah ini.

Sial.

Karena jalanan tadi sepi banget pasti tidak ada orang lain lagi selain dirinya yang kejebak dalam tawuran tersebut. Jane menggigit bibirnya gemetaran.

"Ayo, sini maju kalo berani!" teriak seseorang.

Jane mengintip lagi ke jalanan, posisi gerombolan murid Mercu Buana masuk ke dalam menuju tengah jalanan, berhasil dipancing oleh murid Persada, yang berbalik arah menghindar kejaran anak MerBu. Semakin maju semakin bagus karena Jane bisa memanfaatkannya untuk kabur melalui jalanan yang akan kosong.

Terdengar suara mereka masih melakukan baku hantam dengan batu dan bekas minuman kaleng. Entah pihak mana yang pertama kali menyumbangkan benda tersebut.

"Psst... Diem! Jangan teriak! Kenapa bisa ada cewek di sini sih?"

Mulut Jane dibekap seseorang dari belakang, cewek itu memberontak dan menjerit panik, tapi jeritannya tertahan oleh bekapan tangan besar itu.

Jane bangkit dari posisi duduknya berusaha melepaskan diri dari cengkraman orang itu. Saat membalikkan tubuh dan memukul tangan cowok itu sehingga terlepas, ada kesempatan emas lalu melempari orang itu dengan kerikil.

Mampus lo.

Cowok bertubuh tinggi itu menutupi wajahnya kaget menerima serangan kerikil ala Jane. Cewek itu memandangi cowok berjaket denim, celana kotak-kotak hijau ini adalah seragam Mercu Buana. Dua buah kerikil tadi tepat mengenai kening dan kepalanya.

"Anjrit! Di luar kena, di sini juga kena!!!" Sosok itu menyingkirkan tangannya dari wajah, lalu memelototi Jane.

Jane melangkah mundur punggungnya menabrak pohon bunga sepatu. Jane dan cowok itu sama-sama tertegun. Kunang-kunang di mata Jane muncul lagi saat mereka berpandangan.

Tangan Jane mencengkram kuat dedaunan bunga sepatu sampai hancur menciptakan bercak kehijauan di tangannya. Saat mengerjapkan mata tapi pandangannya mendadak buram.

Cowok murid Mercu Buana itu mengulurkan tangannya ingin menyentuh bahu Jane, sepertinya sama, tidak bisa berkata apa pun. Bagai mulutnya kering dan seluruh tenaganya seketika lenyap usai melihat wajah sosok cewek secara jelas. Tatapan matanya tidak bisa terlepas dari Jane.

Tidak mungkin, saat ini dia pasti sedang bermimpi. Seperti malam-malam sebelumnya.

"Jane?!!!" Cowok itu mencari sesuatu yang sangat penting bagi dirinya, sebelum tangan kiri Jane menutupi nametag di dada kanannya, cowok itu sudah melihatnya lebih dahulu.

Tidak salah lagi. Jane. D. Wijaya.

"Jane!!!"

Cewek itu tidak bisa menggerakkan kakinya, dia pasrah saja saat cowok itu menubruknya dan memeluk Jane se-eratnya. Mata Jane memanas, tanpa disadari setitik air mata turun membasahi pipinya.

Kalo saat ini aku sedang bermimpi, tolong jangan bangunkan aku.

Jane mendorong tubuh cowok itu.

Kedua tangan mungil Jane ditangkap olehnya. "Kamu masih ingat aku kan, Jane?"

Cewek itu menggeleng, "Nggak. Gue nggak kenal sama lo, kayaknya lo salah orang!"

Bukkkk.....

Jane menutup mulutnya melihat Rino muncul dan memukul wajah cowok tadi tepat mengenai matanya. Wajah Rino menyeramkan sekali, rahangnya mengeras mengertakan giginya dan matanya menyiaratkan api kemarahan.

Rino mencengkram kerah seragam murid Mercu Buana itu dengan geram. "Lo apain anak sekolah gue?"

"Tunggu! Gue bisa jelasin," sahutnya sambil berusaha melepaskan diri dari Rino. "Dia..."

"Lo kalo mau tawuran sama Persada aja, jangan mancing emosi gue lagi pake cara receh begini! Rasain nih!!!! Lo emang sialan, nggak ada abisnya bikin gue kesal!" Sekali lagi Rino meninju wajah cowok itu sampai terhuyung ke belakang.

Jane menjerit, cewek itu memegang kepalanya yang sakit sekali, dia terjatuh di tanah tak sadarkan diri.

**

"Jane!!" Dilan menghampiri Jane dan menekuk lututnya ingin menggendong tubuh cewek itu, wajah Dilan panik luar biasa melihat Jane tergolek lemas di tanah. Kepanikan di kepala cowok itu sampai tidak bisa memikirkan suara yang muncul begitu lancar tapi juga asing.

Kalau tidak ada Rino dia sudah menangis karena jika terjadi sesuatu yang buruk pada Jane adalah kesalahannya. Dia memang sumber kesialan semua orang.

Rino mendorong Dilan ke samping. "Lo pergi aja sana, biar gue yang urus. Gara-gara lo dia pingsan, awas kalo dia kenapa-napa gue bakal cari lo! Lo emang brengsek ya, nggak ada abisnya cari gara-gara sama gue!"

"Berisik! Lo masih aja ngebacot di saat dia butuh pertolongan. Lo minggir biar gue aja yang bawa dia keluar dari sini. Awas!!"

"Nggak usah. Gue bilang lo pergi, ya pergi... Budek ya????"

Dilan mengepalkan tangannya, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia ingin sekali membalas tonjokan dari Rino, tapi dia tidak bisa melakukannya. Jadi cowok itu pergi begitu saja.

Belum jauh Dilan menoleh lagi ke arah Rino yang menggendong Jane di punggungnya. "Bisa lo pastiin dia bakal baik-baik saja?" tanyanya cemas.

"Menurut lo? Semua yang di tangan gue akan baik-baik saja, asal nggak ada lo!!!"

Dilan menundukkan kepala, matanya memicing ke arah Rino. Tatapan menusuk penuh kebencian, Dilan pergi meninggalkan mereka dengan perasaan campur aduk.

Diam-diam dia tersenyum miris menikmati rasa sakit di dadanya. Setelah sekian lama tidak bertemu dengannya, cewek itu mendapati dirinya menjadi sosok cowok pecundang dan mengerikan.

Dia harus cari tau di mana rumah Jane yang sekarang. Dia selalu percaya bahwa semua yang terjadi dalam hidupnya merupakan takdir, termasuk perpisahan itu. Tapi sekarang Tuhan menggariskan takdir yang baru.

Jika takdir itu sudah berkata lain maka Dilan harus mengikuti takdirnya yang sekarang. Ternyata dia masih diberi kesempatan untuk memperbaiki semua kesalahan di masa lalunya. Padahal itu kesalahan dilakukan oleh orang lain. Gara-gara satu orang itu semua orang jadi menderita. Dilan berjanji akan menebusnya.

**

Kelap-kelip bohlam kecil yang menghiasi dekor kamar Jane membuat Mila takjub. Dia selalu mengagumi isi kamar Jane betapa nyaman dan bagusnya kamar ini banyak pernak-pernik lucu.

Sebuah cangkang kerang mutiara tergantung sebagai hiasan di lemari pakaian Jane. Di sebelah Mila, Yogi juga tak hentinya membuka mulut takjub bisa melihat langsung isi kamar Jane. Atas izin bunda Jane cowok itu diperbolehkan masuk dalam kamar Jane.

Tadi sore Mila mendapat kabar dari bunda Jane bahwa lagi-lagi cewek itu pingsan, lebih mengerikannya lagi Jane pingsan di tengah medan pertempuran tawuran antar kedua sekolah tersohor. Yogi menjemput Mila di rumahnya dan langsung meluncur ke rumah Jane.

"Bagas nggak ikut. Cowok itu susah banget dihubungin." Yogi membuka suara. Nada suaranya kesal sekali, padahal cowok itu teman sebangkunya Jane tetapi dia tidak bisa ikut.

"Dia nggak usah diharapkan. Sesukanya saja lah," balas Jane dengan senyum tipis.

Mila mengangkat mangkuk nasi yang sudah tercampur dengan kuah sayur bayam. "Kata Bunda lo nggak mau makan. Ayo, gue suapin, lo harus banyak makan yang mengandung zat besi, Jane. Lo udah jarang makan buah bit juga kan?"

"Nggak mau ah, nggak suka sayur dan makanan sehat aneh-aneh ngga enak!" Jane menolak tak mau.

Yogi duduk diujung kaki Jane, cowok itu memukul kaki Jane pelan. "Mau zat besi atau besi beneran, Jane?" tanyanya melucu.

Mau tidak mau Jane dan Mila jadi tertawa.

"Gila lo, emang gue atlet debus!" sahut cewek itu tidak bisa menahan diri.

"Emang lo belum sempet transfusi darah lagi?" Mila menyuapkan sesendok nasi ke mulut Jane.

Yogi mengangkat salah satu alisnya. "Kok ada donor darah?" Dia agak terkejut mendengar kabar itu. Semoga tidak seburuk yang dia kira.

"Belum," jawab Jane sambil mengunyah nasi. "Susah nyari stok golongan darah Rhesus Negatif."

"AH, iya juga sih. Kalo pun ada paling di berikan ke yang lebih membutuhkan kaya korban kecelakaan atau pasien donor lainnya," kata Mila.

"Kenapa harus donor darah?" Yogi memajukan tubuhnya yang menegang. Dia menjilat bibirnya berkali-kali. deg-degan.

"Jane itu punya anemia, golongan darah dia itu termasuk langka. Kalo dia lagi datang bulan anemianya bisa parah banget, dia butuh darah AB rhesus negatif. Lo ada kenalan yang goldarnya begitu?"

Yogi tercengang. "Buset. Golongan darah AB aja udah langka, ditambah rhesusnya negatif. Tapi bukannya semua goldar yang rhesusnya negatif bisa di donor untuk penerima AB negatif?"

"Iyaaa, tapi tetep aja, rhesus negatif memang langka. Mungkin kalo semakin parah dropnya, bakal ke dokter. Siapa tahu yang sekarang gue cuma karena kecapekan abis panas-panasan."

"Ya udah. Eh, ceritain dong kenapa tadi lo bisa kejebak di tengah tawuran?" Mila meletakkan mangkuk di nakas.

"Pas tawuran itu terjadi gue ngumpet di kebun kecapi. Tahu nggak? Gue ketemu sama anak Mercu Buana. Dia ditonjokin abis-abisan sama Rino, gue pingsan karena capek, lemas, dan kaget. Rino nganterin gue sampe ke rumah pake taksi." Jane menutup mulutnya. Keceplosan.

"Anak Mercu Buana? Jangan bilang itu Dilan?!" Mila sampe mengabaikan sebuah fakta yang lebih menarik. Untung Mila nggak peka.

Jane menelan ludah. Sejak kapan namanya berubah jadi Dilan. "Dilan?"

"Iya. Pentolan anak Mercu Buana, dia 11:12 gitu sama Rino. Gila, untung lo nggak diapa-apain!" Mila mengelus dadanya seakan kejadian itu berada tepat di depan matanya.

Yogi seperti sudah banyak mendengar gosip mengenai Rino berandalan dari SMA Persada yang kembali ke sekolah lamanya, SMA Tebe. Biang gosipnya pasti Mila.

"Kok lo diem aja, Gi? Pasti syok karena lingkungan baru lo nggak aman ya, harusnya sebelum lo pindah sekolah di selidikin dulu," Mila menyenggol lengan Yogi. Cowok itu terkesiap.

"Ah, enggak. Sayang banget udah kelas duabelas masih tawuran, mending gunain waktu buat belajar dan bikin kenangan yang berkesan," kata Yogi. "Ya jujur aja gue kaget banget di sini tingkat kekerasannya, senioritas dan kasta keliatan banget. Tapi udah terlanjur."

"Tawuran juga bikin berkesan kok, nunggu kapok dulu baru pada jera," ucap Jane sinis. Diangguki oleh Mila.

"Kalo Rino dan Dilan udah lulus kayaknya baru damai deh Jalan Pattimura. Katanya semenjak ada mereka, disebut sebagai tawuran terparah dalam sejarah."

"Lah, Rino kan udah pindah sekolah? Kalo ada tawuran di sekolah itu bukan urusan Rino lagi dong."

"Berarti tadi Rino peka banget kalo ada lo di kebun itu, Jane? Lo harus hati-hati sekarang si Dilan bakalan gunain lo buat mancing si Rino. Gawat!"

Apa cowok itu berubah menjadi sosok yang brengsek semenjak perpisahan itu?

Jane tidak tau apa yang terjadi pada cowok itu, dia juga tidak mau tau. Sekarang saja dia masih tidak percaya bahwa sosok itu hadir lagi dalam hidupnya.

Jane bingung harus bagaimana. Tapi lebih baik tidak melakukan apa pun, toh semua sudah terlewat. Mereka sudah berada pada dua kehidupan yang berbeda. Cowok itu tidak mungkin mengungkit masalah sepele dan tidak penting itu. Sekali lagi, Jane tidak sepenting itu.

"Emangnya Dilan sec-emen begitu ya bakal nyari Jane lagi buat godain si Rino?"

"Iya. Dia terkenal sebagai pengecut. He's a jerk. Menurut gosip, kadang dia nggak berani melawan balik si Rino loh."

Lama-lama Yogi jadi bisa mengikuti sejarah perkembangan tawuran antar dua sekolah itu, dia jadi tertarik pada sosok Dilan dan Rino.

"Dia nggak mukul balik bukan berarti takut. Gue pernah nonton drama Jepang, tentang yankee gitu. Pesan moralnya orang yang nggak balas memukul balik adalah seorang pemenang. Karena dia bisa menang kapan saja asal dia mau, dan gue simpulkan ... Dilan itu bukan pengecut. He's a winner."

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top