05. Evil
Jane menutup mulutnya dengan tangan tidak bisa menahan kantuk yang melanda di tengah pelajaran Sejarah. Di depan, Bu Marni sibuk menjelaskan pelajaran Sejarah, meski dia sudah masuk jurusan IPA, dia tidak bisa menghindari pelajaran ini. Bu Marni lumayan galak dan tegas, Jane bebas nguap lebar asal tidak mengobrol saja. Dia masih aman nguap sana-sini, dan air mata menggenang banyak sekali.
Di hari ke-empat sekolah Jane sudah bosan sekali, malas, ingin cepat ujian akhir semester lalu liburan lagi. Akhir-akhir ini Mila juga sibuk sekali bergosip dengan Gina dan Litha membicarakan tentang cowok. Jane tidak terlalu tertarik ikut andil dalam perbincangan itu. Dia jadi bete berat.
"Heh, kamu!" Tiba-tiba bu Marni menghentikan dongeng panjangnya dan menunjuk wajah Jane dengan penggaris besi. "Siapa nama kamu?"
Mata cewek itu sontak melebar, semua pandangan kini tertuju kepada Jane.
"N--Nama saya Jane, Bu."
"Saya perhatikan daritadi kamu tidak fokus mendengarkan penjelasan saya. Kamu mengantuk? Bosan? Pindah ke depan! Yogi kamu duduk sama Mila!" Kini Bu Marni semakin menyeramkan, mungkin dia jelmaan Hitler di masa lalu.
Tanpa bisa membantah Jane, Mila dan Yogi saling melempar pandang tidak rela. Terutama Jane, dia akan duduk bersama beruang kutub yang dinginnya luar biasa.
"Kalo nggak mau pindah, ya silahkan kamu belajarnya di luar. Jadi saya nggak perlu kesal karena ada murid yang tidak memperhatikan ucapan saya!" seru Bu Marni lagi, nyali Jane semakin menciut.
Dia segera merapikan barang-barangnya bergegas bertukar tempat dengan Yogi.
Ibu Marni mungkin mengalami ilusi optik, kenapa hanya Jane saja yang terlihat bete, bosan dan tidak fokus. Jelas-jelas hampir semua murid di kelas bosan setengah mati saat ini. Mereka berubah sok segar bugar saat melihat ada satu korban kegalakan Bu Marni.
"Hati-hati ya, Jane!" Bisik Yogi sok perhatian.
Jane mendecih. Jane meletakkan bokongnya takut-takut di sebelah Bagas. Saat semua tatapan memandangi Jane dengan amat kasihan, cowok itu terlihat tidak tertarik sama sekali, pandangannya lurus sekali ke buku tulis kosong.
Bu Marni menghela napas dan melanjutkan menerangkan materi yang tadi sempat terpotong.
"Hhhh!!" Jane mendengus kesal setengah mati, saat itu untuk kedua kalinya Jane dan Bagas berpandangan.
Tapi dalam kondisi yang buruk baru saja Jane hampir mengumpat guru itu. Semoga Bagas bukan cowok tukang ngadu. Tamat riwayat Jane jika itu terjadi.
"Apa?" Mata Jane melotot.
Cowok itu mengalihkan pandangan ke arah lain. Mereka tidak saling bicara sampai pelajaran berakhir.
**
Butuh waktu satu tahun lagi agar Jane bisa menikmati suasana baru makan di kantin kelas duabelas. Dia merasa tidak adil, karena anak kelas duabelas bebas makan di kantin mana saja, tetapi anak murid kelas sepuluh dan sebelas cuma diizinkan masuk ke kantin ini.
Di sini panas dan kecil, murid dua angkatan disatukan, ditambah anak kelas duabelas yang masih suka jajan di sini untuk malakin adik kelas menambah sempit kantin ini.
"Haloo... Haloo... Sori gue telat ya, hmmhh." Jane menyeruak di antara Mila, Litha, dan Gina.
Jane menyambar gelas yang berisi cola, menyedotnya tanpa izin. Mereka semua memiliki ekspresi wajah yang sama, tegang dan serius.
Jane duduk di sebelah Litha. "Kalian kenapa sih?" Suaranya merendah.
Diamatinya wajah Mila, Gina dan Litha bergantian. Tidak ada yang mau menjawab duluan.
"Lo nggak tau apa kalo pentolan anak Persada pindah ke sekolah ini lagi? Gawat, Jane!" seru Gina ngomporin lagi.
Sejak Rino kembali ke SMA Taruna Bakti cowok itu menjadi bahan perbincangan cewek maupun cowok satu sekolah. Kecuali Jane, cewek itu malahan tidak kenal siapa Rino yang dimaksud. Tiga hari belakangan ini juga, Mila, Gina dan Litha nempel terus menggosipi cowok itu. Biasa cewek kalo udah ada bahan gosip nggak bakalan berhenti membahasnya.
"Pindah ke sekolah ini lagi? Emang gimana sih ceritanya? Emang pentolan SMA Persada siapa?" Baru kali ini Jane mulai bertanya membuat Mila menepuk dahinya syok berat.
Gina dan Litha melongo.
"Lo nggak tau Rino? Dia pentolan SMA Persada yang suka tawuran itu," jelas Litha gemas.
Wah, Litha yang cuek seperti Jane saja lumayan tahu informasi itu.
"Iya. Dia kelas sepuluhnya di sini, pas naik kelas sebelas pindah ke Persada. Nyeremin banget," tambah Gina bergidik takut. "Gue nggak nyangka aja dia pindah ke sini lagi."
Tatapan Jane sekarang tertuju pada Mila. "Emang lo tau Rino, Mil?"
"Taulaaah!!" Mila memutar kedua bola matanya, sok. "Gila. Lo selama ini emang nggak tau kalo kehebohan yang sering terjadi di sepanjang jalan di ketuai oleh siapa. Hebat banget lo setahun sekolah di sini nggak tau gosip sekolah sebelah. Capeek deh!"
"Siapa peduli yang tawuran kan sekolah lain. Peduli apa gue sama biang kerok sekolahan mereka?" sahut Jane santai. "Lagian gue nggak tau bentukannya cowok itu, yang pernah satu angkatan sama mereka kan lo pada. Terus Mil, kayaknya lo nggak pernah bahas mereka deh. Jadi clear, kalo gue nggak tau apa-apa."
"Masa gue nggak pernah bahas? Lo lupa? Dragon East. Nggak mungkin gue nggak pernah ngomongin itu, Jane."
Deg. Jane tertegun. Dragon East.
"Kalo lo mau tau bentukannya tu cowok. Balik badan lo liat yang baru masuk kantin, cowok yang paling tinggi, putih, kancing seragamnya terbuka 3." Gina menyebutkan ciri-ciri Rino detail sekali.
Jane mendecak kesal, perasaan dia jadi semakin tidak enak. Dia memberanikan diri menoleh ke belakang untuk sekedar ingin tahu wajah cowok yang bernama Rino itu. Semoga orang yang berbeda dengan orang yang selama ini membuatnya takut.
"Ya Tuhan!" seruan Jane tertahan dengan bekapan di mulutnya.
Matanya melebar melihat cowok itu. Jane menoleh kembali ke arah Gina dan Mila sebelum kepergok sama cowok itu.
"Sssst! Lo nggak usah lebay gitu Jane. Mereka itu sensitif banget kalo lagi diomongin. Sssst," celetuk Gina menempelkan jari telunjuknya depan bibir.
Tidak salah lagi.
Si abang tukang ojek.
Kepanikan di wajah Jane disalahartikan sebagai bentuk ketakutan setelah tahu sosok pentolan tawuran tersebut. Jane menengguk sisa cola sampai tandas tak tersisa.
Gawat.
Cowok itu pasti menyeramkan sekali mengingat imejnya yang buruk. Cowok itu pasti tidak akan melepaskan Jane begitu saja, apalagi Jane teringat ucapan terakhir cowok itu.
Bakal gue ingat nama lo Jane D. Wijaya
Urusan bisa jadi panjang jika menyangkut cowok itu, dan Jane siap-siap menerima ganjarannya.
Tiba-tiba Mila bangkit dari duduknya. "Gue haus daritadi belum minum. Ada yang mau pesan nggak?"
"Biasa, Mil," jawab Litha dan Gina barengan.
Jane membeo, dia mendongakkan kepala.
"Loh, ini gelas cola punya siapa kalo lo pada belum pesan minuman?" Kaki Jane seketika lemas.
"Nggak tau. Dari pas kita datang udah ada gelas ini. Lo abisin? Buset," seru Litha dengan tatapan prihatin.
Gina memandangi gelas cola dan Jane bergantian ngeri. "Lo doyan?"
"Gila lo Jane! Kalo bekas si Malik jijik banget iiiiiihhhhhh," ucap Gina jijik, membuat Jane jadi ikutan mual membayangkan gelas tadi bekasnya Malik.
Cowok itu terkenal memiliki gigi yang tonggos dan banyak jigongnya.
"Sialan. Dari tadi gue kena sial mulu sih." Maki Jane kesal cukup keras sambil menggebrak meja kantin.
Mata Gina melebar melihat Rino dan gengnya duduk di dekat pohon mangga sedikit terusik mengamati kelakuan Jane menggebrak meja kantin. Gina menahan tangan Jane.
"Stop! Lo diliatin sama Rino tau, jangan berisik kalo ada dia." Bisik Gina pelan.
"Hah, dia masih ada di sini?" Balas Jane berbisik juga. Tamat sudah riwayatnya, dia tidak bisa keluar dari kantin sebelum Rino pergi dari situ.
"Iya. Dia ngeliatin ke arah sini terus, loh, loh?? Kok Mila ditarik Claudia keluar kantin?" Gina berdiri melihat Mila ditarik oleh Claudia cs keluar, Mila melempar ekspresi pasrah dan sendunya.
Jane membalikkan tubuh memandangi kepergian Mila. Dari ekor matanya dia bisa melihat Rino, Vitto dan Gilang pergi dari area kantin, sepertinya mereka balik ke kelas. Jane bangkit dari duduknya untuk mengejar Mila, semoga cewek itu tidak dipermalukan oleh Claudia.
Claudia bebas ngerjain siapa saja asal bukan kakak kelas, begitu aturan yang di buat antara geng SuperB dan geng Hebring. Lagian kehadiran Claudia tidak pernah membuat geng SuperB geram, sebaliknya geng mereka menganggap permainan yang sering Claudia lakukan di lantai dua menjadi hiburan tersendiri.
Tapi kali ini akan berbeda, Jane tidak tahu bahwa di lantai atas semakin menyeramkan karena hadirnya sosok Rino.
**
Claudia tertawa senang sambil mendorong tubuh mungil Mila agar masuk ke dalam kelas duabelas IPS 1. Di dalam kelas tersebut banyak murid duduk maklum jam istirahat kedua memang ramai sekali.
Mereka sudah hapal dengan wajah Mila, kalo cewek ini masuk kelas bersama Claudia, Putri, dan Nayla pasti akan ada kehebohan yang akan terjadi.
Saking gugupnya Mila baru menyadari di salah satu sudut kelas pojok belakang dihuni oleh Rino, Vitto dan Gilang. Loh, sejak kapan mereka masuk kelas? Perasaan tadi masih di kantin.
Gerombolan cowok itu segera naik ke lantai dua saat melihat Claudia membawa Mila keluar kantin dan melesat memasuki kelas duluan. Katanya bakal ada yang ramai-ramai di lantai senior.
Mereka tersenyum penuh makna memandangi Mila di depan, cewek itu hampir saja menangis merasa dirinya ditelanjangi depan umum. Semua mata menatapnya dengan sorot mengejek gitu. Tangan Mila sudah basah karena keringat, kakinya lemas dan bibirnya kering.
Sudah berkali-kali dia naik ke lantai atas untuk dikerjain tapi baru saat ini dia beneran mati kutu mau nangis di depan umum. Sosok yang membuat nyalinya ciut itu tidak lain adalah Rino.
"Ada yang liat Kak Evan nggak?" tanya Claudia sambil sandaran di tembok dekat pintu, tangannya melipat di depan dada.
Suaranya cukup keras tidak peduli bahwa ada Rino di kelas tersebut. Manusia yang suka menindas memang mengerikan.
"Nggak," jawab mereka serempak.
Mila agak lega karena dia akan disuruh nembak Kak Evan lagi seperti biasa, sungguh dia takut kalo tadi akan disuruh nembak Rino. Tapi perasaan Mila jadi semakin kacau karena Kak Evan tidak berada dalam kelas.
"Yaudah, kita tunggu aja ya kak Evan. Cewek ini memang nggak ada kapoknya udah ditolak puluhan kali masih aja ngejar Kak Evan yang super-duper-cute." Claudia tersenyum lebar menikmati aktingnya sendiri, dia puas melihat wajah Mila yang semakin pucat.
Nayla dan Putri duduk di dua kursi kosong tepat di depan Mila.
"Sabar ya say. Cinta memang butuh perjuangan." Goda Putri keji.
Nayla mengeluarkan ponsel dan memotret Mila sambil cekikikan.
Tidak lama cowok yang ditunggu datang juga. Evan masuk ke dalam kelas dengan dahi berkerut karena kelasnya dipenuhi anak kelas lain, dia sempat mengira ada yang pingsan atau mati. Saat melihat Mila yang berdiri di muka kelas dia mengangguk paham dan menyeringai.
Mila jadi semakin drop.
"Hai, lo lagi lo lagi!" seru Evan sudah bosan melihat kehebohan ini tapi dia tetap menikmatinya. Evan menoleh kepada Rino. "Bro, ganggu lo nggak nih? Kalo ganggu kita di luar aja deh, gue takut diamuk Rino. Waakakak..."
Jangan!
Mila berteriak dalam hati. Kalo adegan penembakan itu di laksanakan di luar bisa dipastikan satu sekolah akan bisa melihatnya.
Kalo di dalam kelas minimal tidak sampai separuh murid sekolah itu. Dulu Mila memang pernah kagum banget sama kegantengan Evan, makanya Claudia yang peka sama gelagat Mila jika berada di dekat Evan jadi salah tingkah menjadikan Evan target permainan Dare geng Hebring.
"Lanjutin aja gue juga penasaran," jawab Rino sama sekali tidak menaruh simpati. Mila menganga mendengarnya.
Evan mengulum senyum tipis kemudian mendekati Mila. Nayla semakin gencar mengambil foto mereka berdua. Cowok keren dan ganteng vs cewek cupu berkepang dua.
Di jendela kelas dipenuhi wajah-wajah penasaran mengintip ke dalam kelas. Mila menundukkan kepalanya menekuri ujung sepatunya yang terkena noda.
"Lo capek nungguin gue pas gue datang dicuekin begini?" tanya Evan. Dia menundukkan kepalanya agar bibirnya bisa mencapai telinga Mila, tangan kanannya bertopang di bahu kiri Mila.
Cewek itu menggigil ketakutan dan mau menangis.
Adegan pertama berhasil membuat para penonton menahan napas, cewek-cewek memekik heboh karena gaya Evan keren banget, sementara para cowok bersiul menggoda.
Di sudut kelas Claudia tertawa bengis menikmati permainannya. Nayla tidak lagi mengambil foto Mila-Evan, sekarang dia merekamnya dalam mode Video.
Putri tertawa senang dengan sorot mata berseri-seri, pipinya merona merah ikut deg-degan padahal pemandangan di depannya bukan adegan dalam drama Korea. Mila tidak berani mengangkat kepalanya. Evan meniup telinga Mila, cewek itu kegelian sedikit menghindar. Suara tawa Evan terdengar seksi sekaligus menyeramkan di telinga Mila.
Jika ada kesempatan untuk menutup telinga Mila akan melakukannya saat ini juga suara tawa mereka menggema di telinga Mila. Kedua kepangan rambut Mila di sentuh oleh Evan.
"Claudia! Kak Evan! Cukup!!!!!!"
Seorang cewek rambut kuncir kuda menyeruak masuk ke dalam kelas, siapa lagi kalo bukan Jane. Cewek itu menarik tangan Mila lalu merengkuhnya, Jane memeluk bahu Mila. Sahabatnya itu gemetaran, menggigil.
Tatapan tajam Jane tertuju pada Evan, cowok itu minggir sambil menggerutu. "Ah, elaaaaah!"
Claudia mendesis, dia hampir lupa bahwa Mila memiliki tameng yang cukup tangguh, cewek itu sama sekali tidak takut akan dijadikan bahan bulian. Dia berani membela Mila dan setia menjadi orang terdekat Mila. Biasanya dalam film, saat sosok heroik menolong korban bulian, dia akan menjadi bahan bulian selanjutnya menggantikan si korban pertama.
Lebih menyeramkan lagi jika sang korban pertama ikut membuli si tokoh heroik tadi. Di antara banyaknya murid hanya ada satu cewek yang tidak pernah takut sama Claudia. Kalo Bianca dan Bonita sih lain lagi, mereka tidak takut sama Claudia karena mereka senior. So, she's only one. Jane Dela Wijaya.
Jane belum berhasil menarik Mila keluar dari kelas, suara seseorang terdengar dari pojok belakang.
"Mbaknya pahlawan kesiangan. Enak aja lo ganggu acara kita punya!" seru Rino keluar dari meja dan mendekati Mila dan Jane.
Dirasakan rok Jane dicengkram kuat oleh Mila, cewek itu mengangkat wajahnya penuh rasa bersalah. Dia menggigit bibirnya, bibirnya maju lima senti tanda dia lagi menahan tangis.
Jane menelan ludah melihat siapa orang yang protes barusan. Astaga astaga!
Tidak biasanya Jane jadi ikut ketakutan saat menolong Mila. Jane takut kalo Rino melakukan sesuatu terhadap mereka berdua, apalagi Rino memiliki sebuah kartu yang bisa dia keluarkan kapan saja untuk menindas Jane.
"Nggak seharusnya kalian menyiksa teman kami." Jane menatap tajam Rino dan Claudia bergantian, saat menoleh kepada Evan, cowok itu melengos pura-pura tidak lihat.
"Aha, mau jadi pahlawan, Neng, ngebelain teman lo? Apa mau jadi jagoan?" Rino tertawa sumbang. "Nah, karena lo udah ganggu di saat gue menikmatinya, lo udah merusak mood gue. Jadi, lo gantiin teman lo aja deh."
Hah???? Tuhkan buntutnya jadi panjang. Biasanya Jane dapat dengan mudah menyeret Mila keluar dari kelas tanpa perlawanan dari Claudia. Ya, diam-diam di belakang Claudia pasti mengumpat dan mengutuk Jane, tapi kali ini gara-gara ada Rino, cewek itu harus mengganti rugi hiburan yang lagi dinikmati sama bangsawan muda ini.
"Gantiin?" Mata Jane membulat memandangi Rino.
Keadaan sekitar jadi semakin riuh berkat Rino yang turut serta ikut dalam permaianan dare Claudia. Sang pelaku utama, Claudia tersenyum puas ada kesempatan untuk menghukum Jane.
"Iya. Tapi yang lo tembak itu gue, pake gombalan yang mantep yak, biar gue terima," pinta Rino.
Keadaan jadi semakin panas dan tegang. Tidak ada yang menyangka Rino yang biasanya cuek sama cewek minta digombalin sama cewek anak kelas sebelas yang aneh ini.
Mila mendongakkan kepala kaget. Sepasang mata mirip kucing menyipit muncul dari balik pintu. Claudia langsung turun dari meja saat menyadari di pintu ada Bianca dan Bonita.
Bianca memandangi Jane dari ujung sepatu sampai ujung kepala, tatapan penuh intimidasi. Cewek ini tidak ada apa-apanya tapi Rino meminta dirinya digombalin sama cewek model begini.
"Oke." Jane menyuruh Mila agar duduk di meja depan Claudia.
Cewek itu menggelengkan kepala, isyarat itu bukannya dia tidak mau duduk melainkan biar dia saja yang dikerjain asal Jane tidak menuruti permintaan Rino.
Tidak ada pilihan lain. Membantah permintaan Rino bukan pilihan bijak, dia juga ingin mengetahui Rino ini tipe cowok yang seperti apa.
Rino melihat kilatan api di kedua bola mata Jane, tapi setelah itu sorot mata Jane berubah menjadi tatapan menggoda. Cewek itu mengangkat salah satu sudut bibirnya menyunggingkan senyum.
Senyum ala cewek penggoda yang sedang mabuk alkohol. Evan bisa melihat ekspresi Jane berbeda dari biasanya, dia menganga tidak percaya. Perubahan ekspresi itu juga menyentakkan Claudia.
Cewek ini memiliki seribu topeng, dia memakai topeng yang berbeda tergantung pada siapa dia sedang berhadapan. Jane berdeham kecil, kenapa semua mata kini melihat ke arahnya syok. Padahal dia cuma tersenyum kecil loh.
Jane mendekati Rino, harum yang memasuki rongga hidung Jane masih sama. Jane mangangkat kepalanya tepat berada di bawah dagu Rino. Rino menatap wajah Jane tanpa berkedip. Jakun Rino bergerak-gerak menanti ucapan Jane.
Dalam hati Jane segera menumpahkan kalimat seribu sumpah serapah, andai dia bisa menyumpahi cowok itu langsung dengan senang hati dia akan melakukannya saat ini juga.
Mereka hanya terdiam sambil bertatapan memandangi manik mata satu sama lain.
Para penonton menciptakan dengungan yang panjang, Bianca terkesiap terbakar api cemburu, Claudia menutup mulutnya dengan mata melebar, sementara Mila berdoa agar semuanya cepat berakhir.
Rino tertawa kecil lalu cowok itu membalikkan tubuhnya kembali ke kursinya yang di pojok kelas. Jane bingung cowok itu tidak berkata apa-apa lagi. Suara dengungan itu berubah jadi penuh siulan menggoda.
Jane menarik napas lega, Rino menoleh lagi ke arahnya dengan bibir tersenyum kecil. Bibirnya seperti menggumam sebuah kata atau kalimat, Jane membacanya seperti 'Halo Jane'.
**
Jane membasuh wajahnya berkali-kali di westafel toilet, beberapa kali dia juga berkumur berharap kesialan hari ini cukup sampai di sini.
Di sebelahnya, Mila menyeka air mata yang tersisa di sudut matanya. Dia kesal setengah mati dipermalukan seperti itu di lantai 2. Mila belum berkata apa-apa lagi cuma menangis sesenggukan tapi telinga Mila tidak tuli sejak tadi Jane mengumpat menumpahkan kekesalannya.
"Dasar cowok gila! Banci! Penindas! Orang seperti itu mending musnah saja dari bumi!" Begitu kalimat tersadis Jane untuk Rino.
"Aturan lo nggak usah setuju, Jane. Lo aja sampe nggak bisa berkata-kata kan tadi," isak Mila.
Dia ikutan membasahi wajahnya dengan air keran. Jane mendesis, dipandangi wajah sayu Mila di cermin toilet yang besar.
"Ini yang terakhir. Kalo lo dibuli kayak tadi lagi, gue udah nggak mau belain lo. Mau sampe kapan sih lo nurutin si Claudia?!" pekik Jane keras, tatapan matanya berubah nyalang.
Mila syok melihat raut wajah marah Jane, dia marah beneran saat ini. Dia sampe mengancam tidak mau lagi belain Mila jika suatu waktu nanti Claudia membulinya lagi. Air mata Mila kembali menggenang di pelupuk matanya.
"Gue juga takut, Jane. Gue mesti gimana? Nggak mau lagi?!"
"Semua akan selesai kalo lo cukup bilang 'enggak'. Lo harus berani nolak permintaan Claudia, dia tu udah gila, gejala psikopat tau nggak? Sama kayak Evan dan Rino!" Tangan Jane mencengkeram kuat bahu Mila, cewek itu tersentak menerima perlakuan berbeda dari Jane. "Dengerin gue!"
"Nggak semudah itu. Gue takut kalo bilang tidak dia malah jadi marah dan makin parah," jawab Mila matanya mulai bercucuran air mata lagi.
Jane mendesis. "Jarak antara lo dibuli dan lo nggak bisa dibuli itu cuma sebatas iya dan enggak. Terserah lo mau pilih yang mana, tapi gue nggak mau bantuin lo lagi. Lo liat kan tadi yang berhadapan sama gue siapa? Rino. Gue nyaris kena serangan jantung tadi di atas."
"Maaf. Gue minta maaf, Jane. Jangan tinggalin gue ya, Jane, hikss."
"Asal lo nurutin ucapan gue. Satu lagi, lo harus merubah mindset lo. Lo harus berani, pede, dan cuek. Jujur aja, lo terlalu kuno untuk anak zaman sekarang makanya mereka hobi mainin lo, gaya rambut lo udah ketinggalan zaman di mata mereka." Terpaksa deh Jane berkata hal yang selama ini menjadi alasan anak-anak menindas Mila.
Gaya rambut berkepang dua itu.
"Gue bakalan coba deh, tapi masa gaya rambut gue bikin orang-orang jadi usil? Di Jepang cewek-cewek masih suka model rambut begini kok." Mila membela diri.
"Ini Indonesia gitu loh! Lo kebanyakan baca komik, Mil. Ubah gaya rambut lo deh."
Mila merengut bete. Dia mendesah berkali-kali kesal.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top