Chapter 7
Demi apapun, Arinka tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi dengannya. Entah ia jatuh ke kegelapan atau tempat antah berantah, ia tidak tahu. Yang jelas, rasa mual dan pusing yang menyelimutinya, membuatnya setengah sadar dan tak mampu berpikir untuk sementara waktu.
Tahu-tahu saja, tubuhnya menjadi seringan kapas dan ia seperti dilempar ke tempat lain, terombang-ambing di udara. Angin berembus di sekitarnya, membuat jantungnya berpacu lebih cepat dari normalnya. Setelah mengalami itu semua, perlahan-lahan, situasi membaik.
Arinka berusaha menenangkan dirinya, sampai sebuah suara seseorang mengagetkannya.
"Siapa anda?!" Sontak, Arinka membuka mata dan melihat siluet pemuda yang baru saja bertanya padanya.
Matanya masih perlu menyesuaikan keadaan sampai pada akhirnya kedua matanya bertemu dengan mata pemuda itu yang berwarna ruby. Ujung pedang mengkilat yang terarah ke lehernya membuat Arinka membeku di tempat.
Ada apa ini?
Berikutnya Arinka menyadari, kalau saat ini ia sedang berdiri di atas tumpukan salju, sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Masih dengan tampang terkejutnya, Arinka menatap dirinya yang tahu-tahu saja mengenakan gaun berwarna biru cerah di selutut, sepatu bot putih, dan tongkat sihir di tangannya.
Apa-apaan ini?
“Tidak menjawab huh?” Ujung pedang itu kini hanya berjarak beberapa centi dari lehernya. Membuatnya refleks mundur menjauh dan menatap pemuda itu marah.
“Saya tidak tahu!”
Seringai di wajah pemuda itu muncul. Dengan gerakan cepat ia mengambil tongkat sihir yang Arinka genggam dan membuat Arinka terjatuh. “Sekali lagi, saya tanya. Dari mana anda berasal?”
“Sa—saya tidak tahu,” cicitnya. Arinka menatap tetesan darah yang kontras dengan putihnya salju, saat ujung pedang pemuda itu berhasil menggores lehernya.
Pemuda itu menggeram, lalu menyarungkan kembali pedangnya. Belum sempat Arinka berpikir bahwa pemuda itu akan melepaskannya, rambut cokelat tuanya yang acak-acakan itu ditarik paksa hingga menengadah. Arinka mengaduh, leher dan kulit kepalanya terasa perih. Tak peduli dengan tampang kesakitannya, pemuda itu kini berlutut di hadapannya.
Mendekatkan wajahnya pada wajah Arinka tanpa menghilangkan seringai nya.
“Anda akan dihukum, Nona. Masuk ke wilayah kerajaan tanpa identitas yang jelas, apalagi di kastel utama seperti ini bukan hal yang seharusnya dilakukan.”
Arinka bersusah payah menatap balik pemuda itu dengan mata berair. Juga berusaha untuk mengumpulkan suaranya. "A--apa? Saya tidak mengerti apa maksud Anda," jawab Arinka dengan terbata.
Tanpa belas kasihan, pemuda itu menarik rambut Arinka untuk berjalan. Arinka melawan, tapi hal itu justru memperburuk keadaannya. Pemuda itu mengunci pergerakannya dan membuatnya jatuh berdebum ke tanah bersalju.
“Jangan banyak melawan atau kau akan mati,” ancamnya.
Arinka bukan tipe orang yang mudah panik. Sehingga ia sedikit bersyukur bisa mengendalikan diri saat diseret paksa entah ke mana, oleh pemuda kasar itu. Menurut adalah jalan terbaik, meski ia tidak menyukainya. Namun, bukan berarti rasa takut tak menghinggapinya.
Arinka takut, hingga tubuhnya bergetar. Belum lagi, Arinka tak biasa diperlakukan kasar seperti ini--bahkan tidak pernah. Arinka merutuk saat pandangannya memburam. Membuatnya berkali-kali terjatuh dan dipukuli agar bangkit berdiri.
Satu kalimat yang diingatnya sebelum kehilangan kesadarannya adalah…
“Jangan mati dulu, Nona. Raja tak suka, melihat seorang penyusup masuk ke kastel tanpa izin, apalagi sambil membawa senjata.”
***
Arinka mendapat kembali kesadarannya ketika tubuhnya sudah remuk. Kepalanya terasa berat, bibirnya kering, lehernya perih dengan bekas luka mengering di sana. Matanya bengkak hingga sulit untuk melihat, apalagi keadaan sekitarnya yang minim pencahayaan. Ia duduk di sudut ruangan berbau amis itu dengan kedua tangan di rantai. Selang beberapa detik, ia baru memahami kalau ia sedang berada di balik jeruji besi, menjadi tahanan yang mungkin sebentar lagi akan dieksekusi.
Sial.
Wanita sialan!
Arinka mengumpat dalam hati. Siapa lagi yang membuatnya seperti ini? Datang di dunia antah berantah, lalu disiksa dan menjadi tahanan yang akan dieksekusi.
Sial.
Suara langkah kaki yang terburu-buru bergema, juga pantulan cahaya obor membuat jantungnya berpacu kian cepat.
Secepat itukah waktu eksekusi datang?
“Atas dasar apa? Apa ini perintah Raja untuk membunuhnya? Apa yang membuat kalian yakin, hah?!” Nada tinggi seorang pria mengejutkan Arinka.
Tak ada jawaban. Sebagai gantinya, terdengar suara decitan besi yang membuat telinganya sakit. Seseorang melangkah mendekatinya, membuat Arinka menunduk dan menyembunyikan wajahnya di sela-sela lututnya.
Pangeran berlutut di hadapannya. Hendak menyentuh gadis itu, tapi ia urungkan. Kondisi gadis itu cukup buruk, membuat emosinya meluap. Setidaknya, ia seorang gadis. Rayden sungguh keterlaluan, memperlakukan seorang gadis dengan kekerasan. Sungguh rendahan.
“Hei… aku datang bukan untuk menghukummu,” ujarnya pelan.
Ia membuka borgol di tangan Arinka dan berkata, "mungkin akan terasa sedikit sakit, jadi maafkan aku."
Pangeran menyentuh tangan Arinka dan mengalirkan energi sihirnya.
Arinka meringis saat tubuhnya terasa seperti disengat listrik. Tapi tak lama kemudian, luka yang ada di leher dan rasa sakit yang mendera tubuhnya berangsur hilang. Beberapa menit setelahnya, tubuh Arinka terasa kembali sehat.
Perlahan, ia memberanikan diri untuk menengadah, menatap penyelamatnya. Mata mereka bertemu. Arinka menahan napasnya, saat melihat wajah pemuda itu cukup dekat dengannya.
“Apa Nona merasa lebih baik?” tanyanya.
Di bawah cahaya termaram, Arinka masih bisa melihat dengan jelas wajah penyelamatnya. Bagai tersihir oleh sesuatu, Arinka seakan lupa bagaimana caranya berbicara. Wajah pemuda itu tanpa cela. Saat pemuda itu mengernyit, Arinka mengerjapkan matanya dan mengalihkan pandangan secepat yang ia bisa.
“Te—terima kasih.” ucapnya pelan, nyaris berbisik. Beruntung Pangeran masih bisa mendengar perkataan gadis itu.
“Anggap saja itu tanda maafku, Nona. Meski tak sebanding, tapi saya janji, tak aka nada yang boleh menyakiti Nona.”
Pangeran membantu Arinka berdiri. Dengan pikiran yang masih kalut, Arinka mengangguk kecil. Ia melangkah keluar, mengikuti langkah pemuda itu. Sesaat, ia merasa bulu kuduknya meremang. Ia memikirkan apa saja yang telah dilaluinya, hingga berakhir di balik jeruji besi.
Arinka melangkah menaiki tangga yang terbuat dari bebatuan. Saat sampai di ujung, ia disambut oleh udara musim dingin. Tanpa sadar, ia menggigil dan menggosokkan kedua tangannya bergantian sambil terus melangkah ke depan. Langkah kecilnya terhenti saat tiba-tiba tubuhnya tenggelam dalam kain putih.
Lama memproses apa yang sedang terjadi, Arinka menatap tak percaya pemuda di hadapannya yang kini sedang berbicara dengan seorang wanita yang berpakaian seperti maid.
Kain ini, miliknya, kan?
“Baik, Tuan.”
Wanita itu menoleh dan menatap Arinka. Ia terperanjat sedangkan wanita itu tersenyum semanis mungkin dan membungkuk di hadapannya. “Ayo, Nona. Saya akan membantu Anda.”
***
Arinka merenung, memikirkan kata demi kata yang dikatakan oleh Ryena--pelayan yang tadi dipercayakan untuk membantunya--sambil menatap ujung gaun putih barunya. Wanita itu sempat memberinya penjelasan singkat mengenai kerajaan ini. Namanya Winterdale. Kerajaan musim dingin yang berkaitan dengan es dan kalau ia tidak salah dengar, Ryena sempat menyinggung tentang pecahan kristal. Arinka menghela napasnya. Ia tak bisa mencerna penjelasan yang diberi meskipun singkat. Banyak hal yang mengguncang mentalnya.
Beruntung, ia diberi waktu istirahat oleh Pangeran di kamar sebesar ini.
Arinka menatap tongkat sihir yang diletakkan di samping tempat tidurnya. Dari mana ia mendapatkan tongkat sihir seindah itu? Arinka sendiri terkagum-kagum saat melihatnya. Ia melewatkan detilnya dan baru menyadari bahwa tongkat yang ia bawa dan sempat disita oleh pemuda kasar itu merupakan miliknya.
Diperhatikannya lamat-lamat. Tongkat setinggi hampir dua meter berwarna perak mengkilat dengan ujung berbentuk setengah bulan sabit yang tengahnya terdapat kristal bunga es melayang itu tampak berpendar di bawah sinar lampu. Di pucuknya, terdapat permata biru kecil, dan tepat di leher tongkat tersebut terdapat permata bening berukuran sedang. Kristal bunga es serupa yang ukurannya lebih kecil terikat di ujung tali perak menjuntai sampai setengah tongkat. Ketika Arinka menggoyangkannya, kristal kecil itu bergemerincing dan berpendar kebiruan.
Setelah puas mengagumi tongkat sihir yang entah ia dapatkan dari mana, Arinka ganti menatap jubah putih yang tadi ia gunakan untuk menghangatkan diri. Di bagian jubah itu terdapat lambing kerajaan Winterdale yang berupa ornamen es berukuran sedang. Menyentuh kain yang halus itu, Arinka bisa tahu kalau benda itu merupakan barang mahal. Ia meringis. Tak biasa dengan suasana baru ini. Apalagi saat menatap seisi kamarnya. Luas dan mewah sekali. Kamar tidur itu bernuansa putih-biru, dengan ornamen es menyebar hampir di setiap perabotan mahalnya. Bahkan, di dalam kamar tidurnya terdapat perapian dan sofa besar, sesuatu yang tak pernah ada di kamar tidurnya.
Tak sampai di situ, pintu kamarnya saat ini pun tak melewatkan detil kemewahannya. Perpaduan warna perak dan ornamen-ornamen es yang berpendar kebiruan menyebar di antara ukiran-ukiran rumit. Arinka menggelengkan kepalanya takjub. Menyentuh dan merasakan ukiran-ukiran tersebut dengan jari tangannya.
Namun, tiba-tiba saja Arinka terperanjat, saat mendengar suara dua orang—atau mungkin lebih—sedang bercakap-cakap di luar kamarnya.
“Apa benar ini kamar gadis ramalan itu?” tanya seseorang.
Arinka yang menempelkan telinganya ke pintu untuk mendengarkan lebih jelas.
“Benar Nona," jawab yang lainnya.
“Kalau begitu, aku ingin menyampaikan, kalau besok pagi ada pertemuan kecil yang harus dihadirinya. Tolong urus segala keperluannya ya.”
“Baik Nona.”
Setelahnya, hening melanda. Bahkan kedua pelayan yang berjaga di luar kamarnya tak mengucap sepatah kata apa pun lagi.
Arinka melangkah menjauhi pintu sambil berpikir keras.
Tunggu dulu. Pertemuan apa?
Keringat dinginnya menetes. Tanpa sadar ia berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar sambil menggigiti kuku ibu jarinya.
Jangan-jangan, pertemuan itu diselenggarakan untuk mendakwanya?!
************************************
Winter box :
Cr : pinterest
Nama : ???
Pemilik : Arinka
kekuatan sihir : ?/10
***********************************
Bonus adegan :
Ps : ini secuil adegan lain yang tidak masuk di alurnya ya. Ada bonus adegan ini karena tadinya Rina kurang fokus jadi mesti nulis ulang. Tapi sayang kalau dihapus, maka kuabadikan di bonus adegan. Semoga suka hehe~
.
.
.
Tahu-tahu saja, tubuhnya menjadi seringan kapas dan ia seperti dilempar ke tempat lain, terombang-ambing di udara. Angin berembus di sekitarnya, membuat jantungnya berpacu lebih cepat dari normalnya. Setelah mengalami itu semua, perlahan-lahan, situasi membaik.
Arinka berusaha menenangkan dirinya, sampai sebuah suara berat milik seseorang mengagetkannya.
"Kau tidak apa-apa?" Sontak, Arinka membuka mata dan melihat siluet pemuda yang baru saja bertanya padanya.
Matanya masih perlu menyesuaikan keadaan sampai pada akhirnya kedua matanya bertemu dengan mata berwarna biru cerah yang indah itu. Arinka terperanjat. Rambutnya yang berwana pirang keemasan, juga warna iris matanya yang sejernih es membuatnya membeku di tempat.
Siapa?
Berikutnya Arinka menyadari, kalau saat ini ia sedang berdiri di atas tumpukan salju, sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Sejenak pemuda itu tampak mengernyit saat melihat pakaian yang dikenakan Arinka. Arinka pun sama terkejutnya karena tahu-tahu ia sudah mengenakan gaun berwarna biru cerah di atas lutut, sepatu bot putih, tongkat sihir di tangannya.
Apa-apaan ini? Mengapa aku terlihat seperti akan berparade? Salah kostum, huh?
Mengesampingkan kostum Arinka yang tampak aneh, pemuda itu mendekat dan menyentuh dahi
Arinka dengan tiba-tiba. "Kau sakit? Apa yang kau lakukan di kastel utama?”
"A--apa? Aku tidak mengerti apa maksudmu," jawab Arinka dengan terbata.
Pemuda itu mengernyit. "Kau tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?"
Arinka memundurkan tubuhnya dan menepis tangan pemuda yang masih berada di dahinya itu. "Aku tidak tahu siapa kau dan mengapa aku berada di sini. Jadi bisakah kau menjelaskannya kepadaku padaku?"
Pemuda itu menatap gadis aneh—yang tak kalah anehnya dengan pakaian yang digunakannya—dengan bingung. Dahinya berkerut samar. Mengamati Arinka sekali lagi sebelum berkata, “kau tidak sedang menipuku, kan? Atau jangan-jangan, kau sedang menyamar?”
Pandangannya membuat Arinka takut, tapi ia berusaha untuk tak menunjukkannya. Dibalasnya tatapan pemuda itu, tak kalah dinginnya.
“Apa maksudmu dengan menipu? Kau pikir aku tak sama bingungnya, tiba-tiba terbangun di sini dan bertemu dengan orang yang berburuk sangka sepertimu? Wanita itu pasti yang membuatku seperti ini.”
“Wanita? Apa dia yang mengutusmu dan membuatmu berada di sini?”
Arinka mengendikkan bahunya tak acuh. “Mana kutahu? Mungkin iya, tapi aku juga tidak yakin. Yang jelas ia berusaha menghubungiku selama beberapa minggu dan baru berhasil beberapa hari belakangan ini. Dia juga menjelaskan tentang dunia yang sedang diambang kehancuran, mencari pecahan kristal…”
“Dan mengembalikan dimensi itu ke sedia kala,” ucap mereka bebarengan yang membuat Arinka terkejut sekaligus jengkel.
“Nah kau sendiri tahu.”
Seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya—termasuk kegiatan saling mencurigai—wajah pemuda itu mendadak berubah.
Pemuda itu tersenyum lebar yang semakin membuat Arinka kebingungan. "Maaf sudah mencurigaimu. Selamat datang di kerajaan Winterdale, Nona.”
Apa yang dilakukan pemuda itu selanjutnya membuat Arinka mengerjapkan matanya berulang kali. Ia bahkan memasang tampang terbodoh saat melihat pemuda yang beberapa menit lalu mencurigainya kini telah membungkuk hormat padanya.
Apa yang dia lakukan?
Namun, Arinka tak punya nyali untuk menyampaikannya dalam bentuk lisan, selain dalam benaknya sendiri.
"Ayo masuk. Kau pasti tidak terbiasa dengan iklim kerajaan ini."
Arinka ingin menolak, tapi ia tak memiliki pilihan lain selain mengangguk dan mengikuti langkah kaki pemuda itu. Benar apa katanya. Udara dingin membuatnya tanpa sadar menggosokkan kedua tangannya agar tidak kedinginan berkali-kali.
Tiba-tiba saja sebuah kain mendarat mulus di kepalanya, sehingga menutup seluruh penglihatannya. Buru-buru ia melepas kain tersebut untuk melihat benda apa yang menutup wajahnya. Rupanya, kain tersebut adalah sebuah jubah dengan lambang ornamen es di bagian belakangnya.
"Gunakan itu, kalau kau tidak ingin kedinginan,” ucapnya tanpa menoleh ke belakang.
Kebiasaan pangeran yang melempar segala sesuatu tak tepat sasaran membuatnya mendarat di tempat yang tak sesuai harapannya meski ia sendiri tak menyadarinya.
Arinka hanya bisa mencibir sambil mengikuti kata-katanya. Tanpa sadar, ia telah tertinggal beberapa langkah di belakang. Sehingga ia buru-buru melangkahkan kakinya, sebelum pemuda itu hilang dari penglihatannya.
************************************
Published : 25 April 2019
Republished : 30 Juni 2020
A/n baru :
HAI~
Terima kasih buat yang sudah menunggu dan membaca Winterdale sampai saat ini ya!
Dan Rina mau kasih tahu kalau mulai chapter ini informasi penting akan masuk ke winter box. Seperti yang ada di atas hehe.
btw, tongkat sihir Arinka cantik banget, kan? Kayak tongkat sihir berbi //Rina menangis sambil melelehkan diri//
Dan ini info tambahan :
Itu visualisasi gaun yang dipakai Arinka saat sampai di dimensi kerajaan empat musim.
Lalu itu yang dipakai Arinka sekarang~
Cr : pinterest
Btw abaikan muka modelnya ya~
Hehe
Sudah ya, sampai jumpa minggu depan!~~
A/n lama :
Hai ^.^
fauzia3772 selamat untuk anda yang berhasil menjawab nama pangeran dengan benar \(^^)/
Yeay, jadi nama pangeran sudah ketebak ya.
Dan untuk Arinka, juga sudah tertebak dengan benar \(^^)/
fauzia3772 untuk nama tengah Arinka dan Iwannovianto04 untuk nama marga Arinka.
Selamat ^.^ dan terima kasih atas partisipasi kalian ♥
Btw, di chapter ini nama Pangeran akhirnya kesebut juga wkwkwk
Segitu dulu, sampai jumpa minggu Depan ^.^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top