Chapter 6
Arinka membolak balik lembaran buku sejarah yang sedang dipelajarinya. Entah kenapa, ia seperti kehilangan selera untuk belajar. Padahal, sejarah adalah pelajaran yang digemarinya, jika dibandingkan dengan pelajaran berhitung seperti matematika. Pikirannya melayang, memikirkan hal lain. Ia bertanya-tanya mengenai mimpi dan siapa sebenarnya wanita yang meminta tolong padanya.
Tangannya bergerak membuka buku catatannya dan berhenti pada lembar di mana ia menggambar siluet wanita tersebut.
“Apa yang harus kulakukan?” gumamnya tak mengerti.
Arinka merasa bahwa wanita itu hidup di alam yang berbeda, kalau dilihat dari cara dia mendeskripsikan dunianya. Lagi pula, tak ada kristal di dunia ini yang menjadi jantung dunia ‘kan?
Kehancuran yang selalu dibicarakannya dengan amat serius itu juga tak mungkin terjadi di dunia yang ia pijak saat ini. Maksudnya, tak ada tanda-tanda kehancuran, juga bencana kecil sedangkan wanita itu selalu membicarakannya seakan itu adalah masalah yang sangat gawat dan harus segera diatasi. Sehingga Arinka menyimpulkan kalau wanita itu tidak berasal dari dunianya, melainkan dari dunia lain. Tapi, ada satu hal yang mengganggunya dan membuatnya ragu kembali.
Memangnya ada dunia lain?
***
Bunyi pedang yang saling beradu memenuhi ruangan tersebut. Keringatnya menetes dan matanya menatap tajam lawan duelnya. Semangatnya membara, karena dengan memenangkan duel ini, ia diberi kesempatan untuk ikut melaksanakan ekspedisi. Sebenarnya, pangeran mudah menghabisi dan memojokkan musuh, asalkan bakat turun-temurunnya—yang hanya dimiliki keturunan sah raja—diaktifkan. Tapi, pelatih tak mengizinkan pangeran untuk menggunakannya. Tentu saja alasannya karena itu bukan murni kemampuan berpedangnya.
Kabar buruknya, lawan duelnya kali ini adalah Lucid. Membuatnya kewalahan karena Lucid memiliki daya tahan yang kuat, juga kemampuan berpedang yang lebih baik darinya. Ia berkelit dan menghindar, sementara Lucid terus menyerangnya dengan kekuatan penuh.
Keningnya berkerut samar, tampak serius. Memang ini kelemahannya, kemampuan berpedangnya tak terlalu baik. Satu-satunya yang bisa menyelamatkan dirinya adalah bakatnya atau mungkin kalau boleh, ia menggunakan kekuatan sihirnya yang jauh lebih unggul ketimbang Lucid. Andai saja ia diizinkan untuk menggunakan sihir atau mengaktifkan bakatnya, mungkin pada detik pertama ia sudah memenangkan duel.
Sudah sekitar lima menit, pangeran hanya menghindari serangan Lucid. Masih ragu menyerang balik karena tak melihat celah. Sedikit bersyukur karena ia mampu bertahan, walau ia menyadari bahwa tindakannya ini tak akan membawa nilai baik maupun pujian dari sang pelatih. Atau yang terburuk, ia tak bisa ikut ekspedisi.
“Cukup!” teriak sang pelatih, mengakhiri duel yang sudah berjalan sepuluh menit.
Dengan napas terengah, pangeran menyarungkan kembali pedangnya, begitu pula dengan Lucid. Pangeran menatap wajah pelatih dengan kecewa, karena duel tak berjalan sesuai harapannya.
“Lumayan ada kemajuan, meski tak sesuai harapanku. Kau bahkan tak mampu menyerang balik. Tapi dalam waktu sepuluh menit, kau masih bisa bertahan dari serangannya itu sudah cukup.”
Pangeran terperangah, tak menduga kalau pelatihnya mengatakan hal seperti itu. Tentu saja ia kecewa, tapi ia jarang dipuji oleh pelatihnya.
Bisa dibilang, selama ini Lucid mampu mengalahkannya dalam waktu kurang dari lima menit. Pernah juga ia kelolosan mengaktifkan bakatnya hingga mencederai Lucid. Beberapa kali memenangkan duel dengan kemampuan yang seimbang dengannya, tapi tak begitu mengesankan. Dan yang paling mengecewakan bagi pangeran, ia hanya menang bertarung saat melawan prajurit yang kemampuan berpedangnya di bawah rata-rata. Jadi sebenarnya, tidak ada harapan baginya untuk lolos.
“Terima kasih, tuan Balord. Saya akan berusaha lebih keras.” Pangeran memberi hormat pada pelatih kepercayaan ayahnya itu.
Tuan Balord menepuk pundaknya. “Bukan berarti ayahmu tak ingin kau melindungi wilayah kerajaan ini. Tapi beliau mengkhawatirkanmu. Belajarlah lebih baik, pangeran. Saya melihat potensi besar yang bisa berkembang bila diasah. Di masa depan, saya yakin kau tak akan merasa diremehkan lagi. Saya janji.”
Usai mengatakannya, Tuan Balord pergi meninggalkan pangeran yang masih diam bergeming.
“Pangeran?” Suara Meredith menyadarkan pangeran. Gadis itu menyerahkan sebotol air minum padanya dan Lucid.
“Terima kasih, Meredith.”
Pangeran menenggak air dalam botol itu sampai habis. Setelahnya tanpa berkata apa-apa lagi, ia melangkah keluar ruangan menuju ruang pribadinya.
Suasana hatinya sedang tidak baik. Kecewa, marah, tapi juga senang. Ia percaya dengan tuan Balord, tapi tidak dengan ayahnya.
Tangannya terkepal dan wajahnya memerah. Bukan berarti perkataan Tuan Balord tentang ayahnya sepenuhnya salah. Hanya saja tidak ada orang yang tahu kalau ayahnya itu hanya menyembunyikan kekuatan dan hidup dengan menumbalkan orang-orang kuat di sekitarnya untuk melindunginya. Bukan masalah khawatir dengannya atau tidak. Sudah jelas, kekhawatirannya itu karena takut tak ada penerus darah kerajaan untuk menggantikannya nanti, begitu pula dengan keturunan setelahnya. Bukan karena seorang ayah yang khawatir kehilangan anaknya.
Pangeran tersenyum getir. Ya, statusnya bukan seorang anak. Melainkan sang pewaris takhta.
***
Sambil menata buku-buku yang baru dikembalikan di rak asalnya, Arinka bersenandung kecil. Tak banyak yang mengunjungi perpustakaan di akhir pekan ini. Teman-temannya juga tak terlihat batang hidungnya. Mendadak perasaan bersalah menyelimuti dirinya. Selama ia tak bekerja, ia pasti mebebankan pekerjaannya pada teman-temannya. Mungkin saja mereka kelelahan karena beban pekerjaan mereka bertambah.
“Arinka, kau sudah selesai?” Arinka tersentak dan buru-buru menata kembali buku-bukunya.
“Sebentar lagi, nyonya.”
Setelah usai, ia turun dari tangga kayu dan menghampiri Nyonya Betty, penanggung jawab perpustakaan Roseville.
“Ini ada beberapa buku baru yang dikirim dari kota. Bisa bantu saya untuk mendatanya?”
Arinka menatap satu kardus berisi buku-buku baru. Matanya berbinar. “Tentu saja.”
Maka, siang itu Arinka menghabiskan waktunya untuk mendata buku baru, memberi label, dan menatanya di rak buku.
Nyonya Betty memberinya sekotak susu dan sebungkus roti tanda terima kasih kala ia menyelesaikan pekerjaannya. Sambil berterima kasih dan menerima pemberian nyonya Betty, Arinka pamit pulang.
“Sampaikan salamku pada ayah dan bundamu ya!” pesannya.
Arinka mengangguk lantas melangkah pergi keluar perpustakaan sambil menyampirkan tasnya di pundak.
Arinka menatap pohon cemara yang tumbuh di kedua sisi jalan dan menghirup oksigen sebanyak yang ia bisa. Kemudian melangkah mengikuti jalan untuk sampai di kediamannya. Tak lupa, ia menyapa tetangganya saat melewati rumah mereka. Saat hendak sampai rumahnya, Arinka bertemu dengan teman-temannya.
“Lho, Arinka habis dari mana?”
Bukan hanya Scarlet yang terkejut melihat Arinka datang dari arah berlawanan dengan tas tersampir di pundaknya, tapi Bella, Wendy, dan Airin pun sama terkejutnya.
“Kau sudah sembuh?”
“Kau sudah mulai bekerja?!”
“Syukurlah kau sudah sembuh!”
Teman-temannya memberi rentetan pertanyaan sambil memeluknya. Arinka sampai kewalahan menjaga keseimbangannya. Tapi tentu saja, ia merasa senang dan membalas pelukan mereka.
“Aku sudah sembuh kok. Aku habis dari perpustakaan.”
“Benarkah? Syukurlah kalau begitu. Tapi… kau habis dari perpustakaan? Jangan bilang kau sudah belajar hari ini?!” pekik Airin.
Mereka melepas pelukannya. Arinka hanya meringis, bingung hendak menanggapi seperti apa. Niatnya memang belajar, tapi ia tak melakukannya dengan sungguh-sungguh.
“Aku belajar sedikit,” jawab Arinka pada akhirnya.
“Dan membantu Nyonya Betty mendata buku baru yang datang dari kota hari ini,” tambahnya.
“He?! Sayang sekali, padahal kami baru saja ingin berangkat belajar bersama sore ini.” jawab Wendy.
“Eh?”
Scarlet menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil menatap Wendy, Bella, Airin, dan Arinka bergantian.
“Maaf Rin. Kami tidak tahu kalau kau sudah sembuh. Tadinya kami ingin mengajakmu ke perpustakaan kalau memang sudah sembuh, tapi tak ada yang menyahut dan malah bertemu denganmu di sini.”
“Yah mau bagaimana lagi…”
Bella menepuk-nepuk pundaknya sambil memberi isyarat bahwa itu murni kesalahan mereka.
“Kau pasti capek ‘kan? Tidak apa-apa. Aku akan memberi rangkuman materiku padamu nanti. Tidak usah terlalu dipikirkan ya?”
Scarlet mengangguk menyetujui. “Kau juga baru sembuh. Ada baiknya kalau sekarang kau istirahat di rumah.”
Arinka tersenyum dengan matanya yang berair. “Terima kasih.”
“Nah, kalau begitu kita berangkat dulu ya. Dah!”
Arinka melambaikan tangannya, menatap kepergian teman-temannya dengan senyuman. Setelah punggung mereka sudah tak terlihat lagi, ia melanjutkan langkahnya sampai ke rumah.
Ia meletakkan tasnya dan duduk di kursi makan. Setelahnya, ia meminum susu kotak rasa stroberi yang diberikan nyonya Betty padanya. Matanya menyipit kala mendapati dinding rumahnya terlihat aneh. Lingkaran ungu tua—mungkin hitam-- besar yang tampak berputar, kontras dengan dinding rumahnya yang berwarna putih.
Arinka mengernyit heran. Meletakkan kotak susunya yang baru diminum setengah, ia bangkit dari duduknya dan memeriksa dinding rumahnya yang mendadak aneh itu. Belum genap ia menyadari apa sebenarnya yang ada di dinding dapur rumahnya itu, matanya terbelalak kaget. Ia bahkan tidak sempat berteriak meminta tolong, saat tubuhnya tertarik masuk ke dalam lubang tersebut.
Lingkaran hitam itu mengecil dan menghilang usai membawa tubuh Arinka entah ke mana. Hanya meninggalkan sekotak susu stroberi yang belum habis setengah di atas meja makan.
************************************
Published : 20 April 2019
Republished : 23 Juni 2020
A/n baru :
Hai~
Btw mohon ingatkan kalau ada typo atau kesalahan lainnya ya.
Tadinya aku mau up besok soalnya hari ini capek hehe... tapi karena ada yang nunggu dan kasih semangat buat up hari ini, aku akhirnya memutuskan buat up hari ini.
Terima kasih ya, sudah mau nunggu dan kasih semangat!
Happy reading and have a nice day!
A/n lama :
Semoga suka ya ^.^
Btw kaget gak kalau winterdale update hari sabtu?
Hehe habis Rina gabut si. Jadi kepengen pencet tombol publish. Lagian watty Rina lagi sepi, jadi pengen diramein.
Ramein ya gaes. Hehe
Malam minggu kok yah.
Jadi ramein ya. Karena Rina ga ke mana mana. Siap nungguin notif kalian /plak/
Oh ya untuk nama marga pangeran, masih belum tertebak.
Dan kembali, saya akan beri clue terakhir berupa penambahan huruf keempat. Ini dia ...
Wint_ _ _ _
Dan untuk clue terakhir nama marga Arinka.
Agat_ _
Nah tinggal dua huruf doang.
Selamat menebak \(^^)/
Okei segitu dulu ya. Sampai jumpa minggu depan (~^.^)~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top