Chapter 5

Ia menatap sekelilingnya yang gelap dan hanya ditemani cahaya remang-remang. Belum genap ia memahami di mana ia terbangun dan mengapa ia berada di tempat seperti ini, sebuah siluet hitam yang tiba-tiba muncul membuatnya tanpa sadar beringsut mundur. Dengan bantuan keremangan cahaya ruangan itu, ia berhasil melihat sosok wanita yang berdiri di hadapannya, walaupun hanya sekilas, karena berikutnya sosok itu kembali melebur dengan kegelapan.

“Siapa?” tanyanya dengan suara yang nyaris tak terdengar.

“Kau bisa melihatku?”

Arinka yang masih terpaku menatap bayangan yang berusaha membentuk sebuah sosok yang sempurna itu menjawab patah-patah. “Tidak sepenuhnya. Kau… terlihat berubah-ubah.”

Terdengar helaan napas sebelum suara wanita itu kembali memenuhi gendang telinganya. “Tak masalah jika kau tak bisa melihat jelas diriku saat ini. Semoga saja kau bisa mengingatku setelah ini. Sudah berulang kali aku menemuimu dalam mimpi, tapi sepertinya aku menjadikan media mimpi ini sebagai mimpi buruk bagimu.”

Sedikit demi sedikit Arinka mulai memahami maksudnya. “Jadi, kau wanita yang selalu muncul di mimpiku?”

Wanita itu menjawab, “benar.”

“Dan suara-suara itu…”

“Itu juga aku.”

Arinka menatap bayangan yang sesekali membentuk sesosok wanita itu dengan tatapan heran. “Apa tujuanmu sebenarnya?”

Bayangan wanita itu berubah ke wujud awalnya—bayangan hitam tak berbentuk-- lantas berkata dengan nada sendu, “kami membutuhkan bantuanmu.”

Kini, sebuah kerutan muncul di dahinya. “Bantuan seperti apa? Kau yakin tidak salah orang?”

“Aku tak mungkin salah orang, Arinka Diamanta.”

Arinka terperanjat saat wanita itu mengetahui namanya.

Wanita itu mengabaikan tatapan bengong Arinka dan melanjutkan, “tolong kami untuk menemukan pecahan kristal, sebelum kehidupan di dimensi kami hancur. Aku akan membangkitkan kekuatanmu saat pertemuan kita yang selanjutnya, tak lama setelah ini. Aku harap kau bisa memahaminya. Jika kau berhasil menyelamatkan kami, aku berjanji akan memberikan apa saja yang kau inginkan.”

Sayangnya Arinka tak sempat membalas, karena tiba-tiba saja ia kembali ke realitas, mengakhiri pertemuannya dengan sang dewi di alam mimpi.

Tok tok tok!

Suara ketukan pintu membuatnya tersadar.

“Masuk.”

Pintu kayu itu perlahan terbuka dan menampilkan sosok bundanya yang tampak khawatir. Sedangkan Arinka menyempatkan diri untuk melihat jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul lima sore.

Jadi... sejak siang tadi, aku ketiduran?

“Apa kondisimu sudah membaik?” tanya bundanya yang kini menghampirinya dan meletakkan nampan berisi makan malamnya di atas nakas.

Dengan senyum lebar Arinka membalas, “Sudah kok. Bunda tak perlu khawatir lagi.”

“Syukurlah kalau begitu. Besok tidak usah kerja dulu ya. Mulai lusa saja atau minggu depan, kalau kondisimu sudah benar-benar pulih, ya?”

“Iya.”

Bunda tersenyum seraya menepuk pelan puncak kepala anak semata wayangnya itu. “Bunda tinggal dulu ya. Jangan lupa banyak minum dan istirahat.”

Arinka mengacungkan kedua jempolnya yang membuat wanita itu tertawa kecil. Beliau beranjak dari tempatnya duduk dan keluar dari kamar Arinka.

Tiba-tiba saja, Arinka teringat akan sosok wanita yang muncul di mimpinya. Dengan sedikit terburu, ia mengambil selembar kertas dan pensil, lalu mulai menggambar sosok wanita itu meski hanya berbentuk siluet hitam. Di bawahnya, ia tulis penjelasan apa saja yang diucapkan wanita itu dalam mimpi.

Arinka tidak ingin melupakan sosok itu, karena satu hal yang ia pahami. Wanita itu telah berjuang keras untuk menyampaikan sesuatu padanya, tapi selalu gagal karena ia tak pernah mengingat isi mimpinya, juga tak bisa membalas bisikan-bisikan wanita itu yang muncul di pikirannya.

Kini, suara bisikan yang selalu hadir di mana dan kapan pun ia berada juga sudah tak terdengar lagi. Membuatnya semakin yakin bahwa wanita yang hadir dalam mimpinya barusan bukan hanya sebuah bualan atau kembang tidur saja. Meski penjelasannya sangat tidak masuk akal baginya, tapi tidak ada salahnya untuk memercayai dan membantu wanita itu dengan mengingat setiap hal yang diperjuangkannya, kan?

***

Alan mengakhiri atraksi sihirnya dengan membuat ledakan salju kecil yang membuat penonton takjub. Selanjutnya, ia berpamitan dengan mereka, karena Lucid telah menunggunya di balik pohon besar yang menjadi pembatas antara hutan dengan desa ini.

“Kak Alan! Sering-sering main ke sini ya!” seru Mei, gadis cilik yang kini sudah bisa mengendalikan sihirnya.

“Iya! Aku tidak sabar belajar sihir dari kak Alan!” tambah Rico.

Dengan tawa dan senyum khasnya Alan menjawab, “tentu aja! Jangan lupa latih sihir kalian Selama aku tidak ada ya! Aku akan kembali lagi besok. Sampai jumpa!”

Setelah melambaikan tangan tanda perpisahan, ia bergegas menemui Lucid. Di balik pohon Lucid menunggu sambil sesekali melempar kode pada pangeran bahwa jadwal bermain sihirnya dengan anak-anak telah usai.

Pangeran menerima jubahnya saat menemui Lucid. “Terima kasih.”

“Kita harus segera kembali, Pangeran. Malam ini, raja akan mengadakan rapat besar dan beliau ingin pangeran hadir dalam rapat."

Sambil menatap matahari yang mulai condong ke arah barat, pangeran hanya mengangguk lantas mengenakan jubahnya.

Lucid tersenyum dan bertanya pada pangeran. “Omong-omong, apa pangeran mengajarkan mereka menahan reruntuhan atau semacam sihir perlindungan?”

Pangeran yang hendak menaiki kudanya menoleh. “Belum. Mereka baru bisa mengendalikan sedikit sihir saja. Hanya sebatas menciptakan ledakan salju kecil, atau menciptakan hujan salju.”

Semenjak pangeran peduli dan mengajar anak-anak di desa, Lucid jadi sedikit penasaran, bahkan turut bersimpati. “Mereka sangat hebat. Tapi aku khawatir karena keadaan dunia ini tidak seperti dulu lagi.”

Pangeran menepuk-nepuk pundak Lucid. “Aku sudah memasang sihir pelindung pada desa itu. Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa desa itu bisa hancur dan menelan korban jiwa kalau terjadi bencana yang tidak diduga-duga.”

Setelah mengatakan hal itu, pangeran menatap Lucid dengan penuh harap. “Apa kau mau ikut mengajar di sana? Mereka pasti senang mendapat teman baru.”

Lucid menatap pangeran tak percaya. “Tapi—“

“Tenang saja, mereka tidak akan tahu kalau kita berasal dari istana. Hitung-hitung, kau bisa membantuku mengajar mereka untuk mengontrol sihir lebih cepat, kan?” Setelah mengatakannya, pangeran menaiki kudanya, disusul Lucid.

“Bagaimana?” desak pangeran.

“Baiklah, aku setuju.”

Pangeran tersenyum. Selanjutnya, ia memacu kudanya menuju istana disusul Lucid di belakangnya.

Dalam hati, Lucid merasa terhormat dan senang di waktu yang sama. Mungkin akan lebih mudah untuknya mengawasi pangeran dengan mengajar bersama daripada harus mengawasi di balik pohon dan mengkhawatirkan keadaan desa itu. Terlebih lagi, ia bisa melakukan kegiatan mulia bersama sang pangeran, merupakan suatu hal yang terhormat baginya.

***

Ruangan rapat yang ramai itu mendadak hening saat raja dan pangeran beserta pengawal pribadi mereka masuk ke ruang rapat. Selanjutnya, acara itu berlangsung cukup membosankan bagi pangeran yang harus duduk diam mendengarkan ocehan ayahnya yang berulang kali membahas ketidakstabilan sihir dan kehancuran dimensi secara bertele-tele. Meski begitu, tak banyak yang bisa ia lakukan selain menunggu rapat itu selesai.


Sesi tanya jawab dan usulan strategi adalah sesi yang paling ditunggu-tunggunya. Beberapa prajurit kerajaan melontarkan pertanyaan dan mengusulkan strategi untuk mengumpulkan makhluk sihir demi memperkuat sihir mereka dan memasang sihir pelindung di sekitar istana.

Pangeran berdiri, yang membuat semua tatapan terarah padanya. Ia memberi hormat lantas berkata, “saya akan melakukan ekspedisi untuk memasang sihir pelindung di setiap daerah sampai ke perbatasan.”

Ia menunduk hormat dan duduk kembali di kursinya setelah selesai mengucapkannya.

“Usulan yang bagus, tapi saya tak mengizinkanmu untuk melakukannya. Untuk itu, saya perintahkan kalian yang terpilih untuk melakukan ekspedisi ini demi menyelamatkan wilayah kekuasaan kerajaan Winterdale. Akan saya buat surat perintahnya setelah ini. Apa ada usulan lainnya?”

Hening. Pangeran berusaha menahan dirinya untuk tak menolak keputusan ayahnya di depan banyak orang.

“Baiklah, rapat kali ini saya akhiri. Silakan meninggalkan ruang pertemuan.”

Mereka berdiri dan memberi hormat serentak lantas meninggalkan ruangan pertemuan.

“Ayah tahu kau menahan diri sedaritadi. Kau boleh berbicara sekarang,” ucapnya sambil menatap wajah anaknya.

“Tak perlu. Akan kulakukan sendiri apa yang aku bisa lakukan tanpa perlu persetujuanmu, ayah.”

Ia berdiri, memberi hormat dan dengan langkah tegas melangkah ke luar ruangan.

“Ayah mengkhawatirkan kondisimu! Bukan berarti kau terus melawan dan mengabaikan perintah ayah.”

Pangeran yang kini sudah membuka seperempat pintu itu tersenyum remeh. “Ayah takut aku mati, atau meremehkanku? Mana ada pangeran yang selama hidupnya hanya hidup di dalam istana layaknya seorang putri, ayah?”

Ia menoleh, menatap ayahnya. “Kalau dulu aku tidak memberontak, apakah kau akan memberi izin anak ingusan sepertiku ini bermain pedang?”

“Jaga ucapanmu!”

“Pikirkan lagi, ayah. Aku tidak semengecewakan itu untuk dilindungi dalam istana.”

Detik berikutnya, ia meninggalkan ayahnya yang masih terpaku menatap kepergiannya. Sebenarnya ia ingin mengatakan lebih banyak hal memuakkan ada ayahnya.

Betapa mengesalkan saat ayahnya yang hanya turun tangan saat perang sudah di depan mata, atau saat ayahnya yang begitu pengecut tinggal di dalam istana sepanjang waktu dan baru mengeluarkan kekuatannya saat nyawanya terancam.

Ia menggeleng.

Dikiranya aku mau mengulang hal yang sama saat nanti dinobatkan menjadi raja?

Raja sepertimu memang besar kekuatannya, tapi tak akan berguna jika kau hanya mengurung diri di dalam istana dan menumbalkan banyak orang demi keselamatanmu.

************************************
Published : 18 April 2019
Republished : 16 Juni 2020

A/n baru

Winterdale ganti jadwal jadi hsri Selasa ya. maaf baru mengabarkan sekarang.

Btw, apa selama pandemi ini ada yang kebiasaannya kek Arinka? Kalau ga rebahan ya kerjaannya tidur mulu--bangun siang, sorenya tidur lagi, bangun buat makan malam terus tidur lagi sampe paginya. Ada? //hush

^
Sebenernya itu yang dilakukan Rina sih selama pandemi ini //plak//

Anyway, stay safe ya semuanya~

A/n lama

Halo semua \(^^)/

Akhirnya, Rina bisa update setelah sakit hehe :3

Oh ya, di chapter sebelumnya, ada yang berhasil nebak nama pangeran lho.

Eh, tapi masi ada yang salah nih. Kata keduanya belum berhasil ditebak!

Kurang satu kata yang belum tertebak yaitu, Win_ _ _ _ _

Dan nama si cantik Arinka, kata keduanya juga sudah tertebak!

Wah niat sekali kamu ya. Hehe. Kurang kata ketiganya nih.

Ag_ _ _ _ _

Yang artinya baik hati :")

Selamat menebak ♥

Oh ya, bagi pembaca sekalian, jaga kesehatan ya.

Karena sakit itu ga enak :")

Okei, sampai jumpa minggu depan \(^^)/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top