8 - Unsolved Problem

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan-pelan. Begitu terus sampai lima menit berlalu. Hanya ini satu-satunya cara paling tepat untuk meredam emosi ketika nyawaku belum terkumpul sepenuhnya. Kepalaku berdenyut, ketukannya sama dengan suara penanda bom akan meledak. Dan, rasanya kepalaku memang seperti akan meledak.

Ini bahkan masih terlalu pagi untuk menikmati asupan emosi. Sungguh cara yang buruk memulai pagi.

"Ada wawancara jam delapan, lalu jam sepuluh pergi menemani Jessica belanja. Mungkin akan mampir ke rumahnya juga. Jadi, kalau kau mau pergi ke suatu tempat, jangan menungguku, bawa saja mobilku. Kuncinya ada di tempat biasa."

Aku memandang mangkuk sereal di hadapanku dengan tidak berselera, padahal perutku sudah kelewat lapar karena tadi malam begadang tanpa ditemani camilan sedikit pun. Mendengar Robert bicara membuatku makin kesal.

"Hei, Nat, kau oke?"

Aku memandangnya dengan mata memicing, mungkin tampak mengerikan dengan rambut terurai yang menutupi sisi kanan dan kiri wajahku. Robert harus tahu kalau aku sedang kesal padanya.

"Kau mengganggu tidurku, aku masih mengantuk." Aku berucap pelan, nyaris mendesis.

"Lalu? Tidur saja lagi. Biasanya, kan, seperti itu." Dia menjawab dengan polosnya.

Aku enggan meresponsnya dan mulai menyendok sereal. Mungkin aku sedang marah, tetapi tidak seharusnya aku menyiksa diri dengan menunda makan. Lapar ini harus segera dituntaskan atau aku akan meledak lagi. Kondisi perut kosong ini biasanya membuat kita kesulitan mengontrol emosi.

Lagi pula, marah-marah pun percuma. Aku tidak memberi tahu Robert alasan kemarahanku yang sebenarnya. Setelah membuatku terbangun padahal mimpiku belum selesai, Robert hanya akan berucap maaf dan tidak memberikan solusi apa pun. Dia akan menganggap mimpiku adalah sebuah keanehan. Logikanya bekerja seperti ini, jika tidur saja bisa disambung lagi, kenapa mimpi tidak bisa?

Memangnya aku bisa kembali ke sana? Andai tidur langsung mengantarku pada pintu masuk menuju hutan tersebut, aku pasti sudah tidur lagi sekarang. Setelah ini aku pasti akan banyak merenungi rasa penasaranku yang tidak kunjung terobati.

"Kau tidak sedang marah karena kutinggal pergi, bukan?" Robert bertanya hati-hati. "Aku menyayangimu, Nat, kalau kau perlu teman, aku bisa batalkan janjiku dengan Jessica. Seperti biasa."

Aku berdecih karena belas kasihannya. Selalu saja seperti itu, bersikap seakan-akan aku tidak punya teman satu pun. Karen dan Nina bahkan lebih setia darinya yang jelas-jelas adalah sepupuku. Tidak peduli sekesal apa aku padanya, kalau dia sudah memandangku dengan tatapan memelasnya, mana mungkin aku tega menggagalkan kencannya.

"Bukan itu. Aku hanya mengantuk, oke? Setelah ini pergilah dan jangan ganggu aku lagi." Kuayunkan tanganku untuk mengusirnya pergi. Aku sudah berhasil menahan emosiku saat ini, jangan sampai melihatnya lebih lama justru berujung membuatku makin kesal.

"Nat, wish me luck. Kalau aku lolos wawancara kerja kali ini, kau mau kubelikan apa?" Dia sudah di ambang pintu, tetapi masih saja mengajakku mengobrol.

"Aku tidak mau kau membelanjakanku dengan uang yang masih kau dapatkan dariku. Akan kutunggu sampai kau lolos kerja dan mendapat gaji pertama. Baru kuberi tahu apa yang kuinginkan." Aku masih meresponsnya meski sedang marah. Baik sekali, bukan?

"Memalukan sekali mendengar itu darimu. Baiklah, aku berangkat. Kunci mobil ada di atas perapian." Suara pintu yang ditutup menjadi akhir dari suaranya.

Sekarang apartemen ini sunyi. Suasana yang biasa menyelimutiku ketika menulis sendirian. Setelah ini, aku akan mengetik lagi mimpiku yang masih terekam jelas di kepala. Meski tidak mendapat jawaban tentang siapa sebenarnya Dorothy, setidaknya aku tahu kalau dia bukan perempuan biasa. Dua wanita yang muncul di mimpiku semalam menjadi alasan kenapa aku yakin dia orang penting.

Orang-orang di mimpi itu tampaknya hidup di era beratus-ratus tahun yang lalu, atau jauh sebelum itu? Aku tidak tahu pasti. Yang jelas, aku pasti belum lahir saat itu. Satu hal yang pasti, aku tidak mungkin memiliki hubungan dengan wanita seberpengaruh Dorothy. Ayahku adalah seseorang yang sangat bangga pada garis nenek moyangnya, apalagi kakek dari kakeknya adalah seorang prajurit yang pernah memenangkan perang antar dua kerajaan besar dulu. Mengingat itu terkadang membuatku mual saking seringnya dia menceritakan kisah itu padaku. Dan, dari semua cerita itu, tidak pernah sekali pun ayahku menyebutkan nama Dorothy.

Foto lama yang kulihat waktu itu, memang memiliki fitur wajah yang sangat mirip denganku. Yang membedakan kami hanyalah warna rambut. Milikku berwarna hitam kelam sedangkan miliknya berwarna cokelat kemerahan. Kalau kalian tahu salah satu tokoh animasi Disney, Princess Merida, seperti itulah warna rambutnya. Gaunnya berwarna merah bata, sangat cocok di kulitnya yang sangat putih. Lalu, tiara di kepalanya, aku tidak tahu apa itu hanya aksesoris saat dia dilukis, atau dia memang memakai satu sebagai identitasnya.

Aku sudah berada di depan laptop di atas kasur, membaca lagi ingatan dari mimpi-mimpi yang kutulis dan mulai menarik benang merahnya. Dorothy ini juga nama yang disebutkan Theo di dalam mimpi. Seandainya berkaitan, apakah mereka Dorothy yang sama? Lalu kenapa Theo berusaha menyelamatkannya dari sesuatu yang aku tidak tahu persis seperti apa bentuknya?

Jadi kemungkinannya, di mimpi itu aku dikira Dorothy yang menghilang, padahal seharusnya sedang bersembunyi dengan bantuan dua orang wanita yang entah apa statusnya. Lalu, di tempat lain, Theo sedang berusaha membawa Dorothy keluar dari tempat yang mirip dengan laboratorium. Kalau memang berkaitan, berarti Dorothy yang menghilang itu sebenarnya dibawa seseorang ke sebuah laboratorium untuk dijadikan percobaan.

Aku bisa memaklumi kemiripanku dengan Dorothy. Namun, jika menghadapi dua situasi yang seperti itu, aku mulai kacau. Maksudku, Theo yang ada di duniaku sekarang, apa memiliki keterkaitan juga? Terlebih lagi, Theo yang kutemui di masa kini sedang mencari seorang wanita. Keduanya memiliki tujuan yang sama. Kalau seandainya wanita yang dicari Theo masa kini adalah Dorothy, seharusnya dengan melihatku dia berpikir sudah menemukannya, bukan?

Ya Tuhan, situasi rumit macam apa ini? Bisakah mimpi itu enyah saja dari pikiranku?

•••

"Kenapa kalian memandangku seperti itu?"

Aku yang merasa risi lantas menghadap ke arah lain hanya agar terhindar dari tatapan Karen dan Nina. Jalanan yang padat kuanggap sebagai pemandangan yang menarik untuk diperhatikan sementara waktu. Lihatlah wanita tua bugar yang sedang mengayuh sepedanya, atau pria yang baru saja menurunkan kaca jendela mobil hanya untuk meludah. Seorang pengendara motor yang lewat di sebelahnya berhasil membelok untuk menghindari terkena ludah.

Lihat, ada banyak hal yang jauh lebih menarik daripada mereka memperhatikanku sebegitu intensnya.

"Di mana Natasha?"

Dahiku spontan berkerut pada pertanyaan Nina. "Apa kita sedang bermain siapa pelakunya? Ini bahkan bukan waktu yang tepat."

Karen merotasikan mata dan menggeram kesal. "Kita sudah di sini hampir setengah jam. Aku dan Nina menceritakan banyak hal, tapi kau tidak merespons apa-apa. Seperti ragamu ada di sini, dan jiwamu berkelana."

"Separah itukah?" sahutku, tidak percaya. Kupikir aku sudah mendengarkan mereka dengan baik, walau sesekali terselip tentang Theo dan Dorothy di kepala, tetapi aku yakin masih memperhatikan Karen dan Nina. Hanya tidak tahu ingin bereaksi seperti apa.

"Tasha, coba ulangi apa yang kami ceritakan tadi?" tantang Karen. Rambutnya yang diikat ala-ala Ariana Grande itu dikibaskan tanpa perasaan. Nina sampai mengerucutkan wajah karena terkena kibasan rambutnya, kemudian satu pukulan mendarat di tangan Karen.

"Sorry, Nin."

Sekarang tidak hanya Karen, tetapi Nina juga menantikan responsku. Aku benar-benar sekakmat, seperti bidak catur yang terkepung dan ke mana pun melangkah, akan tetap kalah. Karen dan Nina mengepungku dengan sorot mata yang tajam. Untuk sesaat aku menyesali keputusan untuk ikut pergi bersama mereka ketika rasa kantuk membuatku kesulitan fokus. Lagi pula, makan siang bersama adalah agenda rutin kami—jika kami sama-sama sedang tidak sibuk—dan aku tidak memiliki alasan bagus untuk menolak mereka hari ini.

"Oke, oke, you got me. Aku tidak bisa fokus hari ini." Pada akhirnya aku mengakui bahwa tidak menangkap sepenuhnya apa yang mereka bicarakan tadi. Ingatanku samar-samar, sempat kudengar tentang konser Ariana Grande, pekerjaan Nina yang mulai membosankan, sampai rumor tentang salah satu guru kami dulu berencana ingin menikah lagi dengan teman satu angkatan kami.

Pembicaraan mereka benar-benar random.

"Sudah kuduga, ada masalah apa? Kau jarang bercerita akhir-akhir ini." Nina memainkan sedotan minumannya sembari bersimpati untukku.

"Aku tidak sedang ada masalah apa pun." Kecuali mimpiku bisa kuceritakan kepada mereka.

"Ayolah, apa ini tentang naskahmu yang ditolak Grace lagi?" Karen menerka-nerka.

Ah, betul juga. Kenapa yang itu tidak kujadikan alasan agar mereka berhenti menatapku penuh selidik. Perhatian mereka kadang jadi sesuatu yang membuatku tidak nyaman. Bisa-bisanya aku melupakan tentang naskahku hanya karena memikirkan bunga tidur.

"Ya. Naskahku masih harus diperbaiki lagi." Kurasa aku berhasil memasang wajah memelas, sampai-sampai mereka mulai memandangku dengan tatapan mengasihani.

"Sekarang apa lagi? Jangan katakan kalau kau masih kesulitan menulis romansa?" tuding Karen, dengan mata ber-eyeliner tebal yang memicing.

"Grace memintaku memuat romansa agar bisa diterbitkan. Dan setiap aku menulisnya, selalu berakhir menggelikan." Aku merespons frustrasi, seperti ketika aku berusaha menarik perhatian seorang pelayan yang sedang sibuk saat ini. Chocolate milkshake milikku sudah habis sejak tadi dan aku bermaksud ingin memesan lagi.

"Kenapa tidak meminta kami membacanya dulu? Kami bisa putuskan apakah itu mengerikan atau tidak."

Karen langsung menjentikkan jari dan bereaksi seolah-olah Nina baru saja melontarkan ide yang cemerlang. Kemudian dia menimpali, "Betul. Kenapa tidak berikan pada kami dulu?"

"Kau tahu, karya yang dibaca oleh teman sendiri itu membuatku terbebani, seperti seseorang sedang berusaha mengorek tentang diriku. Terkadang, mereka akan terkejut dan tidak menyangka kalau si penulis menulis tentang sesuatu yang tidak biasa." Karena perasaan terbebani itu, aku tidak pernah menghadiahkan buku terbitku pada mereka. Aku juga melarang mereka memberi, tetapi tidak tahu apakah mereka menurut atau tidak. Selagi mereka tidak membicarakannya, aku akan percaya mereka memang tidak pernah membelinya.

"Kami tahu kau menulis kisah fantasi, which is I can't relate. Tapi aku masih menganggapmu seperti Natasha yang biasanya."

"Um ... ." Sekarang aku tidak tahu bagaimana merespons ujaran Nina. "Malu, tahu. Rasanya akan berbeda dengan ketika tulisanku dibaca oleh orang asing."

"Sudah kubilang, kau perlu riset lapangan. Biar tahu rasanya seperti apa. Kau satu-satunya yang sendiri di sini. Padahal kami sudah membayangkan tentang triple date." Karen mengusulkan itu lagi, tidak peduli berapa kali aku selalu mengelak.

Pernah satu kali dia mengatur kencan buta untukku, tetapi berakhir dengan aku yang tidak datang karena harus menyelesaikan naskah yang saat itu sedang mendekati tenggat waktu. Efeknya? Aku dan Karen tidak saling bertegur sapa tiga hari dan Nina yang kerepotan membujuk kami agar berbaikan. Karen bilang, dia merasa sangat bersalah pada si pria.

"Aku belum siap." Menolak lagi rasanya tidak enak, jadi aku jawab saja seperti itu.

"Terserah kau sajalah."

Tepat setelah Karen mengatakan itu, ponsel Nina berdering. Bukan telepon, tetapi itu alarm pengingat kalau jam istirahat kerja mereka berakhir.

"Kami ingin lebih lama, tapi kau tahulah," ujar Nina sambil mengumpulkan barang-barang bawaannya beserta milik Karen ke dalam totebag kecil.

"Hm. Selamat kembali bekerja," balasku ketika mereka beranjak dari kursi.

"Ingat, berkencanlah." Karen mengingatkan sebelum benar-benar meninggalkanku.

Aku tersisa sendirian dan memutuskan akan menghabiskan minuman yang kupesan lagi tadi. Tidak ada yang sedang kukerjakan hari ini selain memikirkan romansa seperti apa yang bisa kuselipkan ke naskahku. Grace benar-benar membuatku kesulitan.

Setelah menghabiskan minumanku tanpa melakukan apa-apa, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke tempat lain. Berada di kafe sendirian dalam keadaan perut kenyang rasanya percuma. Lantas, aku berpikir akan mampir ke sebuah toko buku terlebih dahulu, menyapa Paman Sam dan pulang. Ya, hanya menyapa. Dia pemilik toko buku yang pertama kali menjual bukuku. Berkesan, bukan?

Jarak toko buku hanya satu blok dari sini, jadi aku pergi ke sana dengan berjalan kaki. Namun, ketika baru melewati pintu, angin berembus lumayan kencang hingga aku mengeratkan jaket. Rintik-rintik halus mulai membasahi. Aku harus cepat sampai di sana sebelum hujan. Kunaikkan tudung jaketku hingga menutup kepala dan berjalan cepat di trotoar.

Tidak sampai lima menit, aku tiba di depan gedung di mana toko itu berada. Sayangnya, aku telanjur melihat si penguntit itu lagi di balik pohon di seberang jalan. Aku yakin itu dia karena wajahnya tertuju padaku, dan ketika aku menatapnya, dia lekas-lekas berbalik pergi.

Baik, lupakan tentang menemui Paman Sam, aku bergegas menyeberang jalan ketika kendaraan yang melaju mulai lapang. Aku perlu tahu apa tujuannya mengintaiku seperti itu, setidaknya agar aku tidak salah kaprah dan telanjur melaporkan tindakannya kepada pihak berwajib.

Aku masih mengejarnya. Meski tidak berlari, dia bergerak cepat sekali. Berkat tubuh yang tidak terlalu berisi, aku bisa dengan mudah menyelip di antara pejalan kaki yang lain. Kebetulan yang sangat beruntung, aku memakai sneakers hari ini, padahal biasanya aku lebih suka memakai ankle boot yang memiliki hak setinggi tiga sampai lima senti.

Aku nyaris terpeleset ketika berbelok ke sebuah gang di antara dua gedung. Jalanan makin licin karena awan tidak kunjung berhenti menjatuhkan airnya. Namun, dia sudah lenyap di gang yang sepi dan sempit ini. Aku berlari, agar bisa segera tiba di ujung gang yang terhubung pada jalan besar lainnya.

Sayangnya, aku benar-benar kehilangan jejaknya. Di jalan ini sepi dan penuh oleh bangunan-bangunan apartemen. Kuhampiri sebuah pembatas bangunan berupa pot panjang di sisi kanan, lalu duduk di sana sambil menetralkan napas. Kuseka keringat dengan lengan jaket, terkesan menjijikkan, tetapi aku tidak sedang memiliki tisu atau media lain untuk mengelapnya.

Entah apa aku akan menemukan kesempatan ini lagi nanti. Aku merasa sudah sangat dekat untuk menemuinya. Sekarang yang tersisa adalah penyesalan. Kenapa tadi aku tidak langsung berlari dan justru mengendap-endap? Seharusnya dia tidak akan sadar kalau aku mengejarnya, apalagi di antara banyaknya pejalan kaki yang lain.

Aku menyugar rambut, merapikannya sedikit. Tudung jaketku sudah meluncur dari kepala sejak aku berbelok tadi, hingga membuat rambutku kusut karena tidak diikat. Rambut ini mewakili isi kepalaku yang juga mulai kusut oleh banyaknya pikiran.

Aku kacau. Sungguh.

Setelah mulai nyaman bernapas, aku berpikir untuk kembali menemui Paman Sam, siapa tahu dengan melihat-lihat buku bisa memperbaiki suasana hatiku.

Namun, aku baru saja berdiri ketika seseorang menepuk pundakku dari belakang. Ketika aku berbalik, si pelaku berkata, "Aku menemukanmu."

See you in the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
28 Agustus 2021
Republish 27 November 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top