7 - Dorothy
"Sepertinya aku sakit."
Kukatakan itu pada Robert sambil meletakkan seplastik tomat segar ke atas meja. Disusul dengan beberapa bungkus sayuran, daging, dan buah yang lain. Robert bertugas memasukkannya ke kulkas. Berhubung troliku terisi sangat penuh saat di supermarket tadi, aku memintanya menjemputku. Selain itu, aku juga dibuat pusing dengan insiden yang terjadi di depan lemari pendingin daging. Hingga berujung pada kesimpulan bahwa mungkin aku sedang sakit.
Sakit apa yang sampai memiliki gejala halusinasi? Sakit jiwa mungkin.
"Kau demam? Gejala flu? Kau sering berada di luar rumah akhir-akhir ini, padahal kita di penghujung musim gugur."
"Bukan fisik, tapi kejiwaan." Aku benar-benar mengatakan itu pada akhirnya.
Setelah kantong belanja yang besar sudah habis kukeluarkan isinya ke atas meja, aku menjatuhkan diri di salah satu barstool terdekat, membiarkan Robert menyelesaikan sisanya. Wanita berdarah, Theo dengan gigi taringnya, sampai kerumunan pengunjung supermarket, masih terbayang jelas di kepalaku. Perpindahan antara kenyataan dan ilusi tadi benar-benar sangat halus, seperti semuanya benar-benar terjadi. Kalau sesuatu seperti itu akan terjadi lebih sering, kupikir aku perlu benar-benar perlu pergi ke psikiater.
Apa aku stres? Depresi karena naskah terbaruku masih dianggap tidak layak untuk terbit dan tidak mampu menyaingi milik Isabelle? Aku bahkan tidak pernah memikirkannya sedikit pun. Aku hanya ingin bukuku diterbitkan dan tidak masalah jika kontrakku tidak diperbarui. Sayangnya, Grace membuat semuanya jadi rumit. Padahal aku percaya penikmat fantasi masih sangat banyak di luar sana. Kukira aku hanya sedang tidak punya waktu yang tepat untuk menerbitkannya di bawah Grace sebagai editor.
"Kau mau kuantar ke psikiater atau psikolog?" Robert menawarkan diri. Dia baru saja menutup kulkas dengan kaki karena di tangannya terdapat dua kaleng bir. Dia melempar satu ke arahku dan aku berhasil menangkapnya.
Nice catch.
"Apa aku benar-benar terlihat sakit jiwa?"
Robert menenggak birnya sembari menganalisis wajahku. Dahinya berkerut, kemudian kedua alisnya naik. Dia menanggapi ini terlalu serius, aku sampai tidak tahan untuk tidak memutar kedua bola mata.
"Aku bukan dokter, tapi kau mengakuinya tadi. Apa terjadi sesuatu?"
Dia menyamankan posisi, bersandar pada pintu kulkas dan melipat kedua tangan di depan dada. Dia tampak siap mendengarkan keluhanku, tetapi aku sudah malas membayangkan harus bercerita padanya sejak mimpi pertama. Maksudku, kejadian-kejadian itu sangat rumit untuk disampaikan pada seseorang yang bukan penikmat fantasi.
"Lupakan saja. Mungkin aku hanya pusing karena kurang tidur semalam."
Aku memutar badan menghadap lemari pantri sambil membuka kaleng bir. Setelah dipikir-pikir lagi, aku tidak ingin membahasnya walau Robert tampaknya ingin sekali mendengar sesuatu dariku. Namun, satu hal yang perlu kusyukuri, dia bukan pemaksa dan punya sistem pengontrol rasa penasaran yang baik di kepalanya. Baiklah, itu ada dua.
"Nat, mungkin kau perlu sedikit refreshing."
"Ada ide?" Sebelah alisku naik, menantikan idenya yang cemerlang. Meski sebenarnya itu sangat jarang terjadi.
"Ke penatu, misalnya? Atau kau bisa mendatangi phone box terdekat?"
Alisku nyaris bertaut. Dari banyaknya tempat hiburan di kota, bisa-bisanya dia menyebutkan dua tempat yang salah satunya bahkan tidak pernah kukunjungi semenjak ponsel menjadi benda yang wajib dimiliki oleh semua orang.
"Apa yang bisa kulakukan di sana?"
"Memasukkan koin, coba kaubayangkan suaranya ketika membentur koin lain yang sudah ada di dalam mesin." Kukira dia selesai bicara, tetapi belum. Robert berdeham dan berjalan mendekatiku. "Dengar, kau bisa ke penatu, memasukkan koin, kemudian masukkan baju kotormu dan sabun ke mesin, dan saksikan gumpalan bajumu berputar seperti cabai diblender."
"Menurutmu itu seru?"
Dia mengangguk penuh keraguan. "Ya. Aku sering ikut Mom ke penatu dulu."
"Bagaimana dengan phone box?"
"Aku juga suka melakukan ini dulu, memasukkan koin dan menekan nomor asal-asalan lalu menunggu seseorang berkata 'halo'." Robert mesem-mesem saat menceritakannya padaku, persis seperti ketika dia terpesona pada Jessica dan menggebu-gebu menceritakannya padaku.
"Menurutmu itu menyenangkan?"
Aku memandangnya penuh iba. Apalagi kalau dia sampai berkata kalau itu bagian dari masa kecilnya juga. Dan sekarang dia sudah berusia dua puluh lima tahun.
"Ya. Aku masih melakukannya sampai senior."
"Itu gila."
"Tidak. Kau harus mencobanya kapan-kapan. Itu menyenangkan dan stresmu akan hilang. Aku sudah membuktikannya berkali-kali." Kedua jempolnya bahkan diacungkan ke arahku.
"Terima kasih atas sarannya, tapi kurasa istirahat adalah yang terbaik untuk saat ini."
Aku beranjak dari dapur dengan membawa kaleng birku tadi ke kamar. Oh, aku kembali lagi untuk mengambil tas yang tertinggal di atas meja. Aku memang agak sakit ternyata.
•••
Satu lagi pertemuan dengan Grace yang berlangsung sangat tidak menyenangkan. Aku menyerahkan draf terakhirku dan menyaksikan ekspresinya yang berubah-ubah. Itu bahkan tidak tampak baik. Seharusnya aku pergi saja dari sini, berhenti memikirkan reaksinya, dan mempersiapkan diri untuk terkejut pada hasilnya nanti.
Sebenarnya aku tidak berharap dia akan menyukainya. Karena penilaiannya sudah pasti subjektif untuk saat ini. Dia sedang jatuh cinta dengan cerita romansa Isabelle, naskah yang lain tentu tidak akan diliriknya lagi, termasuk milikku. Itu bukan sikap editor yang baik sebetulnya, apalagi untuk seukuran penerbit besar. Andai jadinya akan seperti ini, seharusnya aku menerima tawaran editor lain yang jelas-jelas penikmat cerita fantasi.
"Aku tahu. Tak perlu kaukatakan." Aku lebih dulu memperingatkannya ketika dia meletakkan manuskripku ke atas meja. Wajahnya sudah memberi tahu kalau dia masih menginginkan sesuatu yang lebih dari itu.
"Sayang sekali, aku harus bilang kalau aku jatuh cinta dengan naskahmu, Tasha."
Wow. Itu sangat tidak terduga, tetapi aku membaca tapi di wajahnya, dan itu menghalau semua euforia yang baru saja membuat perasaanku melambung tinggi.
"Andai Isabelle ini belum menerbitkan naskahnya, aku tanpa ragu akan segera memproses naskahmu." Grace menepuk-nepuk manuskripku dengan jari-jari gemuknya. Cat kukunya yang berwarna ungu tua tampak jelek saat menutupi judul bukuku. Sampai-sampai aku tidak berhenti memelototinya.
"Kenapa tidak beri kesempatan pada anakku?" Aku terlalu mencintai imajinasiku sampai menganggapnya sebagai anakku. Sekadar mengingatkan bahwa dia adalah bagian dari diriku. Seperti anak, bagian dari orangtua. Ya, kuharap itu perumpamaan yang tepat.
"Bagaimana kalau kalah saing dengan buku Isabelle?"
Aku menggeram lemah. "Apa hanya uang yang memenuhi isi kepalamu?"
"Tidak, Tasha. Tapi mari kita bicara bisnis. Kau pikir kami orang-orang yang berbaik hati untuk mencetak tulisan kalian? Penerbitan ini juga ikut andil dalam permainan bisnis, Tasha, menurutmu apa alasan kami memberi kontrak kepadamu?"
Aku berusaha mengingatnya, sampai kemudian berujung kecewa. "Karena buku pertamaku best seller, lalu kalian menculikku dari penerbit kecil itu. Sekarang aku masih merasa bersalah karena meninggalkan mereka."
"Tepat."
Aku berdecak ketika telunjuknya mengarah kepadaku. Grace memang pernah semenyebalkan ini, tetapi belum pernah sampai membuatku dongkol. Penulis sepertiku mana paham tentang bisnis. Apalagi cerita yang kutulis tidak memerlukan teori bisnis. Maksudku, apakah peri harus berinvestasi ketika saham sedang naik? Apa yang diperdagangkan? Darah untuk memenuhi hasrat vampir? Untuk kasusku, aku merasa tidak perlu belajar tentang bisnis terlalu mendalam.
"Dan waktu itu novel bergenre fantasi memang sedang banyak diminati. Kami punya batasan, itulah alasan adanya kontrak. Perpanjang, atau tidak. Kami tidak bisa menahan orang-orang yang akan merugikan perusahaan, apalagi masa kejayaannya sudah habis."
Aku cukup tersinggung pada bagian akhir kalimatnya. Meski tahu kontrakku tidak akan diperpanjang, aku tetap harus bersikap baik agar dia mau menerbitkan naskah terakhirku. Self control sangatlah diperlukan saat ini.
"Aku hanya ingin kau menambahkan bumbu romansa di cerita ini, Tasha. Kau bisa buat mereka saling jatuh cinta walau akhirnya tak bisa bersama." Grace mengulum senyum sembari menatapku iba.
Padahal aku tidak perlu dikasihani saat ini.
"Aku punya outline, Grace. Sebelum cerita ini ditulis, aku sudah punya plot, bagaimana awalnya, konflik, resolusi, semuanya. Dan sudah kukonsultasikan padamu berkali-kali sampai kau setuju aku mengerjakannya. Adegan yang kau inginkan tidak akan memengaruhi jalan cerita, jadi aku memutuskan untuk tidak memuatnya. Bisakah dimengerti?" Kuharap caraku bicara kepadanya masih bisa dikategorikan sopan.
"Aku sangat mengerti, Tasha. Tapi adegan mendebarkan akan menggetarkan para pembaca. Buatlah sosok yang berkesan bagi mereka. Sosok yang mereka harapkan benar-benar ada di dunia ini. Ya ... seperti lelaki Wattpad."
"Itu hanya akan menaikkan standar kriteria pria idaman bagi para pembaca wanita. Aku tidak bisa biarkan para pria jelek tidak dicintai, Grace."
Pembahasan ini semakin tidak masuk akal. Maksudku, kenapa kami sampai membicarakan tentang lelaki Wattpad? Sementara naskahku sedang tertolak.
"Tidak bisakah diterbitkan saja? Aku tidak peduli soal kontrak, tetapi usahakan saja agar bisa terbit."
"Kenapa?"
Aku menggumam, ragu memberi tahu alasan yang sebenarnya. "Because I need the money, like you."
"Alasan yang cukup masuk akal." Grace mengangguk-angguk dengan dua jari di dagunya, seolah-olah sedang mempertimbangkan permintaanku. "Akan kuusahakan."
Aku nyaris menjeritkan kata terima kasih pada ucapannya, sebelum aku mendengar kelanjutannya.
"Asal kau tetap berusaha menambahkan romantisme di naskahmu. Waktumu dua minggu. Apa itu cukup?"
Di saat seperti ini, mustahil menemukan kemurahan hati seorang Grace.
•••
Lagi-lagi aku berada di sini. Bedanya, aku sangat sadar kali ini. Selagi aku bisa melakukan apa saja yang kuinginkan, aku akan memanfaatkannya dengan baik.
Aku ingat betul pernah bermimpi di tempat ini sebelumnya. Waktu itu aku bersama pria yang mirip Theo, lalu aku berlari karena dikejar oleh rottweiler besar. Jangan tanya kenapa aku mampu mengingatnya dengan baik, sementara di dunia nyata aku selalu melupakan hal-hal kecil di sekitarku. Sejauh ini aku selalu mencatat mimpi-mimpi yang kuanggap aneh. Termasuk adegan di hutan ini.
Aku merogoh tas selempangku dan mengeluarkan senter dari sana. Aku mulai melangkah dengan ditemani cahaya dari senter ini. Sebetulnya aku tidak tahu mau ke mana, aku juga tidak tahu apa yang menantiku di depan sana. Yang pasti, aku hanya perlu terus berjalan sampai menemukan seseorang yang bisa kugali informasinya.
Suara ledakan samar-samar terdengar, disusul suara pistol yang saling bersahutan. Tidak hanya itu, lengkingan suara manusia juga mengiringi. Langkahku membeku meski sumber suara itu mungkin sangat jauh dari tempatku berpijak sekarang. Namun, aku tidak bisa menahan bulu kudukku untuk tidak berdiri. Maksudku, ini hutan, kegelapan menyelimuti bersama embusan angin yang membuat dedaunan saling berdesis. Tidak ada yang tahu apa yang sedang bersembunyi di balik kegelapan ini, atau di balik-balik pohon besar yang berdiri dengan kokoh.
Ketika suara ledakan terdengar lagi dan lebih nyaring dari sebelumnya, aku mempercepat langkah, bahkan berlari. Tidak peduli kalau aku sudah beberapa kali tersandung akar pohon yang mencuat. Aku sudah ada di sini, tidak ada jalan untuk kembali sebelum aku menemukan alasan kenapa aku berada di tempat ini. Menantang memang, mungkin hidupku seperti dipertaruhkan, tetapi aku yakin aku tidak akan terbunuh dalam mimpiku sendiri.
Aku tidak bisa berhenti, langkahku makin cepat, padahal suara-suara itu tidak terdengar lagi. Sekarang aku tidak tahu apakah aku mendekati jalan keluar hutan, atau justru menerobos makin jauh ke dalam hutan. Aku tidak memedulikan itu ketika samar-samar aku melihat sesuatu yang bercahaya.
Sebuah rumah yang lumayan tua, berbahan kayu yang kokoh dan dilindungi oleh beberapa pohon besar. Kendati demikian, aku merasakan kehangatan merambat sampai ke hatiku. Aku merasa aman meski tidak mengenal siapa pun yang tinggal di sana.
Penerangan yang berasal dari lampu minyak di rumah itu menyala, jadi aku yakin ada orang yang tinggal di sana.
Aku masih tersengal, tanganku yang bergetar kupaksa untuk mengetuk pintu rumah itu, sambil merapalkan doa agar siapa pun yang membuka pintu adalah orang baik.
"Ya ampun! Ayo masuk, kau ini dari mana saja?"
Aku belum sempat mencerna apa-apa, tetapi wanita yang baru saja membuka pintu langsung menyeretku masuk ke rumah tersebut.
"Seharian kami mencarimu, tetapi tidak ditemukan di mana pun. Di luar sana berbahaya, seharusnya kau berlindung di sini bukannya berkeliaran." Wanita ini bahkan tidak berhenti mengomel ketika dia menyeretku agar duduk di ranjang kayu yang kasurnya lumayan tipis. "Nancy, tolong siapkan air hangat di bathtub dan baju yang hangat."
Aku hanya diam sembari berusaha mengenali tempat yang bernuansa abad delapan belas ini. Bahkan wanita yang sekarang mondar-mandir di depanku mengenakan gaun yang hanya kutemukan jika menonton film-film lawas. Aku bukan sedang kembali ke masa lalu, 'kan?
"Ya Tuhan, pakaian apa yang kaukenakan ini? Mengerikan sekali. Celana hanya untuk pria. Lepaskan itu! Oh, dan rambutmu hitam semua, apa ada oli yang tumpah di kepalamu?"
Di bawah pelototannya, aku memandang diriku sendiri. Ini baju yang kukenakan tadi siang, celana jeans dan kemeja kotak-kotak berwarna hitam dan putih. Apa yang salah dengan pakaian ini?
"Aku tidak akan melepas ini," ujarku ketika wanita itu berusaha menyentuh kerah kemejaku.
"Kenapa?"
Mata wanita ini sudah lumayan besar, tetapi dia justru melotot ke arahku. Rambutnya ikal berwarna cokelat terang dan digulung rapi. Sangat tepat membingkai wajahnya yang oval.
"Ini pakaianku." Itu jawaban yang konyol, tetapi aku betul-betul tidak ingin melepaskannya.
"Ada apa denganmu, Dorothy? Dari mana kaudapatkan pakaian seperti ini? Mana gaunmu?"
Mataku membulat dan mulutku menganga. Dia baru saja menyebutkan nama itu, nama yang disebutkan di mimpiku yang lain. Mimpi-mimpiku selama ini pasti berkaitan. Karena sudah berada di sini, sekalian saja kugali informasi sedalam-dalamnya, sebelum sinar matahari memaksaku untuk bangun di dunia nyata.
"Tolong, jangan paksa aku untuk membuka pakaian ini." Aku mengulurkan tangan, sebagai isyarat agar dia tidak mendekat. "Bolehkah aku jujur?" tanyaku.
"Dorothy, kenapa kau jadi aneh seperti ini?"
"Aku bukan Dorothy!" Aku memekik tanpa sadar, membungkam si wanita yang tak berhenti mengoceh sejak tadi. Nama itu terdengar menggelikan di telingaku.
Mataku bergulir ke sekeliling ruangan, sampai kutemukan sebuah lukisan seorang wanita mengenakan gaun dan tiara di kepalanya. Tidak ada yang aneh dari lukisan itu selain wajahnya sangat mirip denganku. Kalau wanita di lukisan itu adalah Dorothy, maka aku tidak heran kalau mereka mengira aku adalah dia.
"Apa dia Dorothy?" Aku menunjuk lukisan yang diletakkan di atas perapian.
"Ya. Dan kau juga Dorothy, jangan bersikap aneh." Wanita yang tidak kuketahui namanya itu tampak kesal denganku. Dia bahkan sudah berkacak pinggang.
"Kumohon percayalah, aku bukan Dorothy. Aku Natasha Winter. Seorang penulis. Kalau kau tidak percaya, aku bisa menunjukkan kartu tanda pengenalku padamu."
Dia belum meminta, tetapi aku sudah merogoh dompet dan menyerahkan kartu tanda pengenalku kepadanya, membiarkan dia membaca sendiri kalau namaku Natasha dan bukan Dorothy.
"Bagaimana bisa tanda pengenal ini memiliki wajahmu?"
Aku meringis ketika menerima kartu itu kembali. Dia tampak seperti orang kebingungan sekarang. Sementara aku tidak tahu bagaimana menjelaskan kepadanya.
"Teknologi berkembang, kau akan tahu jika hidup di masa depan." Aku menjawab asal-asalan dan menunjukkan senyum terbaikku padanya.
"Siapa dirimu sebenarnya? Bagaimana kau bisa ada di sini? Ke mana Dorothy kami?"
❄
❄
Mari berkonspirasi. Kira-kira situasi seperti apa yang sedang terjadi pada Tasha sekarang?
*
See you on the next chapter~
Lots of Love,
Tuteyoo
21 Agustus 2021
Republish 14 April 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top