6 - Which one is real?
Aku terbengong-bengong menatap pria yang baru saja menolongku ini. Wajahnya mirip sekali dengan Theo yang muncul di mimpiku beberapa hari lalu. Kukira karena mimpi selalu menceritakan kejadian aneh, jadi kulit putih pucatnya hanya ilusi mimpi. Namun, lihatlah Theo yang ini, kulitnya juga pucat, rahangnya tegas, model rambutnya jauh lebih kekinian daripada yang muncul di mimpi, dan matanya cokelat terang. Seluruh aspek wajahnya sangat mirip dengan Theo yang kumimpikan, tetapi dengan riasan yang berbeda.
Aku lekas-lekas mengalihkan pandangan ketika dia kembali ke meja dengan segelas smoothies di tangan. Setelah melakukan aksi penyelamatan pada wanita tidak berdaya ini, dia mengajakku pergi ke kafe terdekat dan mengobrol. Aku tidak menolak karena kupikir pertemuan ini akan memberiku kesempatan untuk bicara dengannya. Lebih bagus lagi kalau aku bisa memastikan kalau dia juga Theo yang sama dengan yang muncul di mimpiku.
"Kau tidak memesan sesuatu?" Pertanyaan itu lolos dari bibirku ketika dia meletakkan gelas tadi di hadapanku.
"Aku sedang diet gula," balasnya dan tersenyum sangat tampan. Benar-benar menawan.
Tadinya aku ingin merespons kalau dia bisa memesan minuman dan meminta agar gulanya dikurangi, atau tanpa gula sekalian. Namun, kuurungkan karena rasnaga kami belum seakrab itu untuk aku memberi saran-saran kepadanya.
"Jadi, kau ingat aku."
Kedua alisku spontan naik. Maksudnya mengingat sebagai siapa? Theo yang di mimpi, atau Theo yang di bar? Aku tahu mimpi hanyalah bunga tidur, tetapi wajahnya sangat mirip dengan yang kutemui di mimpi. Sedangkan yang di bar, aku tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana rupanya. Kendati demikian, harusnya dia Theo yang di bar, 'kan? Maksudku, Theo yang itu lebih nyata daripada yang kutemui di mimpi.
Aku tidak tahu harus merespons apa karena dilanda kebingungan ini. Bukan takut salah orang, tetapi lebih seperti menghindari masalah. Lagi pula, mempermalukan diri sendiri di depan orang asing akan menjatuhkan harga diriku.
"Tasha, kau baik?"
Aku terkejut dia tahu namaku. Masih segar di ingatan kalau Theo yang di mimpi menyebutku dengan nama Dorothy—which is ridiculous because whose parents named their daughter like that? Andai ini abad 18 atau 19, mungkin akan banyak ditemui. Namun, aku juga tidak ingat apakah pernah memberi tahu namanya saat di bar atau tidak. Di saat seperti ini aku sungguh membenci diriku sendiri yang pelupa. Satu hal yang pasti, dia adalah Theo yang kutemui di bar.
"Ya! Um, aku hanya berusaha mengingat kapan kita pernah bertemu." Hanya alibi, tentunya. Mana mungkin aku bertanya kau Theo yang di mimpiku atau yang kutemui di bar? Dia bisa mendadak percaya diri karena dimimpikan oleh seorang wanita.
Di luar dugaanku, Theo tertawa. Dia memamerkan sederet gigi putihnya yang rapi. Lalu di baris atas ada dua gigi taring runcing yang menarik perhatianku. Pernahkah terpesona pada gigi taring? Jangan menghinaku, sebab giginya sungguh sangat indah. Tidak pernah kutemukan pada siapa pun sebelumnya.
"Kita bertemu di bar, kau nyaris terjatuh, ingat? Kau ingat namaku, tetapi tidak dengan di mana kita bertemu? Itu aneh, Tasha," ujarnya di sela-sela tawa. Dia pria yang ramah dan cepat akrab dengan orang lain, kurasa.
"Ya, sekarang aku ingat, dan kau baru saja menganggapku spesial." Aku berusaha mengalihkan rasa malu dan mulai bergurau. Namun, melihat sebelah alisnya naik, membuatku sadar kalau dia salah menangkap maksudnya, atau kata-kataku memang ambigu. Seharusnya aku tidak berimprovisasi dulu.
"Menjadi aneh di antara orang normal, bukankah itu terdengar spesial?" Aku mengoreksi dan barulah dia paham.
"Kau memandang sesuatu dari sisi yang baik, walau dari awal aku tidak bermaksud menjelekkanmu, tapi kurasa itu hebat. Hidupmu penuh dengan hal-hal positif."
"Kuanggap itu sebagai pujian."
Theo masih menatapku, jadi aku hanya menunduk dan memainkan sedotan, membuat benda plastik panjang itu bergerak melingkar mengaduk minumanku. Itu hanya alasan agar aku terlihat sibuk. Suara es yang berbenturan dengan dinding gelas menjadi bukti betapa situasi ini agak canggung.
Mari bicara di sisi kenyataan. Pria ini adalah orang asing yang kebetulan menolongku saat hampir terjatuh di bar. Kemudian di pertemuan kedua dia menolongku lagi dan berlanjut berada di kafe. Tadinya aku bermaksud ingin berterima kasih dengan membelikannya sesuatu, tetapi justru berbalik dia yang membeli minuman untukku. Yah, dengan dua kali pertemuan yang tidak menyenangkan itu, bagaimana mungkin kami bisa mengatasi situasi ini tanpa ada rasa canggung.
"Jadi, kau tinggal di sekitar sini?" Theo melipat kedua tangan di atas meja. Dari sikapnya, aku menebak dia tidak buru-buru ingin pergi. Beruntungnya, aku juga tidak sedang ada agenda lain yang mengharuskanku cepat-cepat pergi.
"Tidak. Aku hanya baru bertemu dengan seorang teman di daerah sini." Aku menjawabnya setelah menyesap minuman beberapa tegukan.
"Untuk riset tulisanmu?"
"Hei, kau tahu tentangku?" Heboh sekali aku bertanya. Untung saja sudah selesai minum, kalau tidak, aku bisa tersedak. Kebanyakan penggemarku adalah perempuan. Jadi saat tahu ada laki-laki yang mengenaliku apalagi setampan Theo, aku menjadi sangat excited.
"Kulihat-lihat kau ini cukup menarik, jadi aku melakukan pencarian sedikit di internet dan malah menemukan katalog buku-bukumu." Theo menjawab dengan tenang, berbanding terbalik dengan sikapku. Walau sejujurnya agak sulit dipercaya kalau dia akan melakukan itu. Lihatlah dirinya, terlalu tampan untuk melakukan sesuatu yang sepele seperti itu.
"Kau tahu cara membuat orang lain tersanjung." Aku tersenyum. Sial, sudah berapa kali aku melakukannya karena Theo? "Oh, bagaimana denganmu? Kau tinggal di daerah sini?"
"Sebut saja nomaden. Aku seorang traveller, hari ini kau melihatku di sini, besok mungkin aku sudah di luar kota."
Jadi, dia akan pergi segera dari kota ini. Kenapa itu membuatku kecewa?
"Itu keren. Lalu kau tinggal di mana sekarang?"
"Aku tinggal di flat kecil dekat sini. Tadinya aku berencana pergi lagi hari ini, tapi sepertinya akan kutunda." Dia menyunggingkan senyum dan mengedipkan sebelah mata. Gestur menggoda, tetapi sama sekali tidak terasa seperti itu. Maksudku, siapa yang akan menggoda wanita tidak menarik sepertiku?
"Oho ... kenapa? Kau menemukan sesuatu yang menarik di sini?"
Aku tidak bermaksud menggodanya, tetapi hanya sedikit memancing, siapa tahu dia memang ada hubungannya dengan Theo di mimpiku—I know that's kinda impossible, tetapi mari bicara tentang semesta yang mampu merealisasikan segala ketidakmungkinan di dunia ini. Aku berani berkata begitu karena cerita fantasi yang kutulis terjadi dengan alasan. Seperti kenapa vampir begitu menghindari sinar matahari dikarenakan dia mungkin mengidap penyakit porfiria. Dia bukan mudah terbakar, tetapi kulit si penderita memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap cahaya. Itu hanya satu contoh, lalu bagaimana dengan mimpi? Aku berusaha untuk menarik benang merahnya. Mungkin Theo yang ini juga akan memberiku jawaban, meski aku tidak tahu bagaimana mencari tahunya.
"Sebenarnya lebih ke mendapat jawaban atas pencarianku." Tidak kusangka Theo ini mau bicara jujur pada orang asing. Dia memandang ke luar jendela kafe, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Itulah alasanku menjadi traveller. Aku hampir menemukannya di sini, hanya perlu memastikan."
"Apa yang kaucari?" Aku tidak andal memancing dengan kode, jadi aku langsung bertanya to the point.
"Seorang wanita."
Aku mendengkuskan tawa. Aku berani bereaksi seperti itu karena ekspresinya saat mengatakan itu juga tampak menggelikan. Pria sepertinya bahkan tidak tampak seperti seseorang yang akan kesulitan mendapat pasangan. Para wanita akan rela mengantre demi mendapatkannya. Belajar dari pengalaman, Karen dan Nina tidak berhenti bercerita tentang pria-pria tampan. Mereka berdua sudah cukup untuk kujadikan sampel dan pria seperti Theo ini jelas masuk kategori mereka.
"Untuk jadi istri?" gurauku dan kembali menyesap minuman.
"Apa aku terlihat siap menikah?" Sebelah alisnya naik dan itu tampak lucu.
"Entahlah. Kesiapan untuk itu tidak bisa dinilai dari penampilanmu." Aku melirik seorang wanita dengan gaya berbusana yang stylish memasuki kafe. "Bahkan wanita yang berdandan cantik pun bukan berarti ingin merayu pria agar dijadikan kekasih."
Theo mengangguk-angguk, mungkin setuju dengan ucapanku.
"Wanita ini akan sangat berarti bagi hidupku. Bukan untuk dijadikan istri, tentunya. Dia lebih istimewa dari itu. Aku merasa sudah menemukannya, jadi aku melakukan penyelidikan kecil tentang dia akhir-akhir ini."
Kali ini aku yang mengangguk, berharap tidak merasa kecewa karena pria sepertinya sudah tidak available lagi. "Kedengarannya sangat spesial." Aku merespons. Tadinya kupikir obrolan ini akan jadi lebih panjang, tetapi ponselku berbunyi.
Itu alarm pengingat kalau hari ini aku harus belanja bulanan. Robert akan mengamuk kalau aku menundanya, apalagi isi kulkas kami hampir kosong. Aku menatap Theo, ingin memberi tahu bahwa akan pergi, tetapi telunjuknya yang naik mengurungkan niatku.
"Aku tahu. Kau mau pergi, tidak perlu dikatakan lagi."
"Ya. Maafkan aku, Theo. Sekali lagi terima kasih karena sudah menolongku, senang bertemu denganmu. Selamat—"
Ucapanku terhenti karena dia tiba-tiba berdiri dan mencondongkan badan ke arahku.
"Sampai jumpa, kuharap kita bertemu lagi."
Oh, serius dia mengharapkan itu?
•••
Tomat, selada, seledri, wortel, kentang, labu. Aku memeriksa troli sekali lagi, sambil memeriksa apa lagi kira-kira yang kulupakan. Sebagai seorang pelupa, aku juga tidak ingat membawa catatannya. Itu parah. Seharusnya aku mengabadikannya dengan kamera ponsel, tetapi aku juga melupakan itu. Adakah yang lebih parah dariku?
Aku berhenti di depan rak pendingin daging yang terbuka pintunya. Menyegarkan sekaligus bau amis, tetapi aku tetap bertahan di sana. Entah kenapa aku tergoda untuk membelinya, padahal yang di rumah masih belum habis. Teringat bahwa Robert sangat suka santapan daging, aku akhirnya mengambil dua daging kemasan 500 gram dan meletakkannya ke troli. Lagi pula, Karen dan Nina akan membantuku menghabiskannya jika akhir pekan nanti jadi menginap di tempatku.
Aku menutup lemari pendingin dan saat itu juga kulihat sosok pria bermantel lagi melalui pantulan pintu kaca. Dia berdiri beberapa meter tidak jauh di belakangku. Aku berbalik untuk memastikannya, tetapi orang itu sudah tidak ada di sana. Mataku bergulir liar menyapu seisi ruangan, tetapi penampilannya yang mencolok itu sudah tidak kutemukan lagi.
"Bagaimana dia bisa menghilang secepat itu?"
Aku berbicara sendiri sembari menyugar rambut frustrasi sebelum akhirnya membanting kedua tanganku ke pegangan troli dan menggenggamnya erat. Bisakah aku bertemu dan bicara dengannya sekali saja? Aku hanya ingin bertanya kenapa dia mengintaiku.
Karena terlalu sibuk memikirkannya, aku sampai tersentak kaget hanya karena seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh dan menemukan Theo. Lagi.
"Theo?"
"Hai. Seandainya aku tahu kalau kau juga belanja, aku pasti ikut denganmu."
Aku menunduk dan menemukan keranjang plastik merah besar yang hampir penuh di tangannya. Apa sebuah 'kebetulan' bisa terjadi dua kali dalam kurun waktu yang berdekatan?
"Ya. Seandainya tahu. Kau belanja cukup banyak. Apa tidak berat?"
Dia melirik belanjaannya sendiri dan mengangkat bahu. Lalu keranjang bawaannya sengaja diayunkan seolah tidak terlalu berat. "Apa gunanya otot jika tidak dipergunakan?"
Aku tersenyum mengiakan. "Kata-kata itu hanya berlaku untuk pria bugar sepertimu."
Dia menyunggingkan senyum miring, yang entah kenapa tampak sangat mengerikan. Aura yang dia keluarkan tidak seramah saat ketika kami mengobrol di kafe tadi. Benar-benar sangat tidak bersahabat. Aku tidak tahu kesalahan apa yang kuperbuat, tetapi saat ini aku merasa seperti sedang bersama orang lain.
"Kau mau ke bagian buah?"
Karena terus memikirkan pembawaannya yang agak berbeda, aku sampai hanya mengangguk untuk meresponsnya.
Kami berjalan beriringan menuju bagian buah. Selama melihat-lihat rak buah yang kami lewati, kami hanya saling diam. Theo tampaknya tidak memiliki topik yang akan dikatakan, dan aku juga enggan memulainya lebih dulu.
"Aaaaaakkkk!"
Kami serempak menoleh ke sumber suara. Seorang wanita baru saja berteriak sangat keras. Kemudian orang-orang di sekitar mulai melangkah menuju sumber suara. Aku dan Theo saling pandang sebelum akhirnya mengikuti orang-orang tersebut sampai di depan toilet. Troli belanjaanku bahkan kutinggalkan.
Orang-orang memadati sekitar toilet hingga aku tidak bisa melihat si wanita serta alasan yang membuatnya mengeluarkan suara yang sangat melengking. Yang bisa kudengar hanya bisikan orang-orang dan yang paling banyak kudengar adalah darah. Aku makin dibuat penasaran. Apa maksudnya seseorang ditemukan sudah berlumuran darah? Kasus pembunuhan kah?
Demi mengatasi rasa penasaran, aku berusaha menyelipkan diri di antara kerumunan, mengibaskan satu persatu bahu mereka agar bisa lewat. Aku tidak lagi memikirkan apakah Theo mengikutiku atau tidak. Hingga akhirnya bau anyir menyambut penciumanku. Di hadapanku tergeletak wanita yang sudah tidak sadarkan diri dengan genangan darah di lantai sekitar bagian atas tubuhnya.
"Aku ... aku mau ke toilet. Ta-tapi, wanita ini tiba-tiba terjatuh di depanku ketika aku membuka pintu. Dan sudah berdarah. Aku takut." Wanita yang kuduga adalah yang berteriak tadi menangis tersedu-sedu sambil berusaha menyapu air matanya yang tidak berhenti mengalir. Aku bisa mengerti kalau kejadian itu mungkin menyisakan trauma baginya.
Ada beberapa orang berseragam yang sudah berada di sekitarnya. Aku salut mereka bisa datang secepat itu. Pandanganku kemudian mendarat pada korban yang masih berbaring di tempat saat ditemukan. Ada papan nomor di sekitarnya. Mungkin untuk keperluan reka ulang adegan. Sekali lagi, mereka bergerak cepat sekali untuk persiapan menangani kasus ini.
Di leher korban terdapat dua luka berlubang yang masih mengalir darah segar. Aku langsung menutup mulut dengan dua tangan. Luka itu tidak asing bagiku, bagi imajinasiku lebih tepatnya, karena aku sering menuliskannya. Itu seperti luka tusukan gigi taring. Tidak mungkin makhluk itu masih berkeliaran di zaman semodern ini, 'kan?
"Lihat! Orang itu pasti pelakunya!" Wanita tadi berteriak lagi sambil menunjuk ke belakangku.
Aku memutar badan dan menemukan Theo dengan taringnya yang panjang serta ada jejak darah di sudut bibirnya. Bagaimana bisa dia melakukan itu sementara sejak tadi dia bersamaku?
Aku mematung. Seharusnya aku segera pergi menjauhinya seperti para pengunjung yang lain, tetapi aku justru menatapnya dengan tatapan terluka. Aku terlalu sedih, merasa terkhianati jika benar Theo adalah tersangka, padahal kami belum kenal sedekat itu. Konyol sekali.
Sebuah tepukan di bahu lagi-lagi mengagetkanku. Kemudian disusul dengan suara seseorang berkata, "Permisi."
Aku berbalik dan menemukan seorang wanita tersenyum ramah padaku.
"Anda menghalangi pintunya, saya mau mengambil daging."
Aku mendorong troliku menjauh sedikit dari pintu seperti orang linglung. Ke mana perginya Theo? Di mana wanita yang berteriak tadi beserta mayat wanita lainnya? Bagaimana bisa aku masih berada di depan pendingin daging sementara tadi aku sudah berjalan mengeliling bagian buah sampai ke dekat toilet?
Terlalu banyak pertanyaan yang muncul di kepala sampai aku pusing sendiri. Sepertinya aku perlu segera pulang dan beristirahat. Ini pasti efek dari kurang tidur. Ya, benar begitu.
❄
❄
What's wrong with Tasha?
Temukan jawabannya dengan mengikuti cerita ini terus, ya!
***
See you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
14 Agustus 2021
Republish 9 April 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top