5 - He is Theo

Satu lagi acara booksign yang padat. Itu membuktikan kalau sebagai penulis, aku masih populer. Grace mungkin hanya terlalu paranoid aku akan tersaingi oleh Isabelle Huffman. Apalagi akhir-akhir ini ada banyak media yang membahas tentang dia dan karyanya yang mampu membius para pembaca. Mereka mungkin bosan menulis tentang aku, dan aku juga merasa jauh lebih tenang tanpa diminta untuk menjawab rentetan pertanyaan para wartawan.

Aku menandatangani buku milik pengunjung terakhir, kemudian celingukan ke sekeliling venue untuk mencari si pria jangkung yang biasanya tidak pernah absen bertemu denganku. Dia menghilang sejak aku bertemu Tallula. Mungkin pria itu sadar aku akan memastikan apa tujuannya memantauku beberapa hari terakhir--itu kalau memang benar dia. Aku sungguh ingin tahu alasannya. Setidaknya aku mendapat satu kesempatan saja untuk bicara dengannya. Lalu aku tidak akan memikirkannya lagi.

Venue mulai kosong karena satu per satu pengunjung langsung pulang begitu selesai mendapatkan tanda tanganku. Acara booksign kali ini diadakan di sebuah hotel. Pemiliknya memintaku menjadi tamu sekaligus narasumber untuk peresmian dibukanya perpustakaan di hotel ini. Sungguh sebuah inovasi yang cemerlang. Jarang-jarang ada hotel yang menyediakan perpustakaan untuk para penginap.

"Hei, Robert." Aku memanggil ketika pria itu sedang memasukkan satu per satu hadiah yang kudapat ke sebuah kotak besar beroda. Para penggemar baik sekali datang tanpa tangan kosong.

"Aku harap ini bukan sesuatu yang akan mengganggu jam kencanku lagi." Dia sudah lebih dulu memperingatkan. Parah, dia berprasangka buruk tentangku. Muka malasnya ingin sekali kubungkus dalam telapak tangan saat ini juga.

"Apa kau melihat seorang pria jangkung yang biasa datang pakai hoodie?" Robert mengernyit, aku gemas melihat dua sudut alisnya yang berkedut. "Dia selalu datang di tiap booksign-ku."

"Kau serius bertanya padaku?" Di sebelah mejaku, Robert berkacak pinggang sebelah tangan. Tangan satunya lagi menjinjing dua tas karton yang cukup besar. "Aku tidak pernah pergi dari persembunyianku. Ingat? Satu-satunya yang tidak kuinginkan adalah terlihat seperti pembantumu di mata banyak orang."

Telingaku mendadak gatal mendengarnya emosi seperti itu. Sampai-sampai aku menggaruk yang sebelah kanan. Dia persis wanita yang kelebihan hormon estrogen, sensitif.

"Harusnya dari awal kau tidak perlu jadi asistenku."

Robert mengusap wajahnya yang tiba-tiba tampak memelas. "But I need the money." Itu adalah ucapan paling pasrah yang kudengar darinya.

Awalnya dia juga yang menawarkan bantuan semenjak aku selalu pulang kelelahan sembari mengangkut hadiah-hadiah dari penggemar. Kebetulan saat itu dia baru lulus kuliah dan belum memiliki pekerjaan, langsung saja kutawarkan padanya agar menjadi asistenku. Lagi pula, aku tahu dia pria yang bisa diandalkan.

"Kau bisa membantu Dad di pemancingan." Aku sengaja memberi irama pada ucapanku untuk mengejeknya. Robert takut ikan hidup, sampai-sampai membayangkan saja sudah membuatnya bergidik.

"Paman akan langsung memecatku di hari pertama bekerja." Robert meletakkan tas karton di tangannya tadi ke kotak dengan agak membantingnya. Kuharap isinya bukan barang pecah belah. "Ikan hidup itu sangat licin dan masih bergerak."

Robert mendorong kotak besar tadi meninggalkanku sambil menggeleng. Ikan-ikan itu pasti membayang di kepalanya sekarang.

"Hai, Tasha."

Aku baru akan pergi ketika suara yang familier menyapa pendengaranku. Tallula berdiri di depan mejaku dengan senyum lebarnya yang menawan. Sekali lagi dia datang dengan memeluk buku.

"Hai," balasku, mengeluarkan lagi spidol yang sebelumnya sudah kumasukkan ke tas.

"Apa aku masih bisa minta tanda tanganmu?"

"Oh, iya. Silakan."

Tallula menyodorkan bukunya kepadaku dan segera saja kutandatangani. Aku ingin pulang cepat, jadi aku tidak ingin membuang-buang waktu. Lagi pula, sebesar apa pun rasa penasaranku pada si pria jangkung, tidak mungkin kutanyakan pada adiknya.

"Kau suka kue?" Dia bertanya ketika aku menuliskan sesuatu di bukunya.

"Um, aku suka."

Dia tersenyum lagi. "Mungkin lain kali aku akan membuat sesuatu untukmu."

"Kau baik sekali, tapi tidak perlu repot-repot. Ini selesai." Aku mengembalikan bukunya. Dia menerimanya dengan wajah semringah sekaligus penuh haru.

"Terima kasih, Tasha. Tidak pernah kuduga akhirnya ini terealisasi juga! Dan sama sekali tidak repot, aku suka membuat kue, kupikir kau perlu mencobanya." Sekali lagi dia memeluk buku yang dibawanya. "Aku datang ke acaramu sendiri dan tanpa kakakku."

Ah, jadi pria itu benar-benar tidak datang. Aku tidak kecewa, tetapi rasa penasaran ini makin menggila karena tidak terobati. Padahal aku hanya ingin memastikan apakah benar dia penguntit atau bukan.

"Aku turut senang untukmu." Aku memaksakan senyum untuk membuatnya senang, karena seperti itulah yang seharusnya kulakukan pada siapa pun yang datang membawa karyaku.

"Bye. Sampai jumpa di booksign selanjutnya, Tasha."

Kukira seharusnya aku yang berkata begitu, tetapi dia sudah melakukannya lebih dulu. Langkahnya agak berjinjit saat berjalan keluar dari ruangan. Apa dia sungguh-sungguh sebahagia itu?

"Nat, semuanya sudah siap!"

"Aku ke sana."

•••

Aku terengah-engah. Kakiku terasa sangat berat dipakai melangkah, tetapi dia tidak mau berhenti. Tangannya menggenggam erat milikku, tak sedetik pun ada tanda-tanda ingin berhenti berlari. Sementara aku tidak bisa melakukan apa-apa selain mengikutinya. Dadaku sudah mulai sesak, lubang hidungku seperti menyempit, sebab oksigen yang terhirup rasanya tidak pernah cukup untuk paru-paruku.

Hirup. Embus. Hirup. Embus.

Aku bernapas dengan tempo cepat, seperti orang yang asmanya kambuh. Sampai-sampai aku tidak yakin akan bertahan seperti ini lima menit lagi. Dia berkata aku aman bersamanya, tetapi sekarang dia benar-benar menyiksaku, membiarkanku meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Aku sudah tidak bertenaga lagi. Sebenarnya dia mau membawaku ke mana?

Kupandang punggung tegapnya. Tidak ada bahu yang naik turun seperti aku. Tidak ada embusan napas yang terdengar nyaring, ataupun suara terengah. Dia kuat sekali, padahal sudah tiga puluh menit seperti ini.

Sesekali aku menoleh ke belakang, memastikan sudah berapa jauh kami pergi. Apa yang kulihat tidak ada bedanya dengan lintasan lorong penuh pintu yang membentang di hadapan kami. Seluas apa sebenarnya tempat ini? Dan kami harus berlari dari apa? Aku tidak melihat siapa pun yang mengejar sejak tadi. Namun, kami terus berlari, seolah-olah hidup kami akan berakhir jika berhenti.

Aku masih tidak bisa bersuara. Mulutku sudah berkomat-kamit sejak tadi, tetapi aku tidak mendengar apa pun. Yang kudengar hanya suara di dalam kepala, suara-suara yang memaksa agar berhenti, melepaskan diri darinya. Daripada menyiksa diri, lebih baik berhenti sebentar dan mencari tempat besembunyi. Ada banyak pintu yang kami lewati, mungkin salah satunya ada yang kosong. Namun, aku justru memegang tangannya makin erat.

Suara-suara di kepalaku bertambah nyaring. Aku memejamkan mata dan menggeleng ringan, berharap suara-suara itu lenyap. Namun, itu tidak berhasil. Fokusku mulai hilang, beberapa kali kakiku seperti kelepasan berpijak. Hingga akhirnya aku terjatuh karena satu kakiku tersandung kaki yang lain dan tautan tangan kami pun terlepas.

Membanting tubuh sendiri ke lantai rasanya tidak pernah semelegakan ini. Aku mendapat kesempatan untuk memompa paru-paruku dengan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Rasanya seperti hidup kembali. Aku tidak mengubah posisi sedikit pun yang nyaris tengkurap. Lagi pula, aku juga tidak punya cukup tenaga untuk sekadar bangun.

"Apa kau baik-baik saja?"

Aku benci mendengar itu darinya. Apa dia tidak tahu aku tidak bisa bersuara?

"Kita harus segera pergi dari sini, sebelum mereka menemukan kita."

Ingin sekali aku bertanya, siapa yang sedang mengejar kami dan kenapa harus berlari? Ini aneh, semua ini sangat aneh. Aku bahkan tidak yakin lorong ini akan memiliki ujung. Jika kami sampai di ujung sana, apa yang akan kami temukan? Apa bukti dari kata 'aman' yang berkali-kali pria ini kumandangkan kepadaku? Aku penasaran, tetapi juga enggan mengikutinya.

Pertanyaan-pertanyaan itu membuatku berpikir keras, sambil berusaha mengingat apa yang terjadi sebelum aku menemukan diriku sendiri dirantai di atas meja metal. Nyatanya, aku tidak bisa mengingat apa-apa. Yang terbayang di kepalaku hanya ruangan yang menyerupai ruang bedah, dan itu adalah tempat aku terbangun tadi.

Lalu aku sadar, ini hanya mimpi. Lagi.

Aku membuka mata dan mendapati sekelilingku berbeda. Bukan lagi lorong, melainkan sebuah ruangan yang sekelilingnya dipenuhi oleh tabung kaca yang buram. Aku tidak bisa melihat ke dalamnya dengan jelas, tetapi aku yakin isinya cairan. Bahkan sekarang aku sudah bisa bernapas normal.

"Tempat ini harus dimusnahkan."

Aku menoleh ke sumber suara. Rupanya aku masih bersama pria tadi. Dia berdiri memandang salah satu tabung, membelakangiku. Kuperhatikan lamat-lamat punggungnya yang tegang. Kedua tangannya terkepal erat, sebelum salah satunya menghantam badan tabung tersebut dengan sangat kuat. Sayangnya, tabung tersebut terlalu tebal hingga tidak sedikit pun retak.

"Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padamu jika aku terlambat datang."

Dia memutar badan, lalu berjalan menghampiriku. Aku spontan melangkah mundur, keningku berkerut ketika sorotnya memancarkan kesedihan yang mendalam, seperti kehilangan seseorang yang begitu berarti dalam hidupnya.

Aku bukan sedang menganggap diriku spesial baginya. Karena demi apa pun, aku tidak mengenal siapa pria yang sudah membuatku nyaris mati ini. Apakah dia punya maksud yang baik baik atau sebaliknya. Apa kami memiliki hubungan sebelumnya atau tidak. Semuanya benar-benar buram, seperti matahari sudah tidak lagi tampak karena tertutupi awan gelap. Tahu-tahu aku sudah di sini, merasakan hangat perasaannya, tetapi tidak jelas apa status kami sebenarnya.

"Kau siapa?" Aku bertanya setelah punggungku menabrak salah satu tabung. Pria itu spontan berhenti melangkah dan memandangku dengan kedua alis bertaut.

"Ada apa denganmu? Ini aku Theo."

Theo ... Theo ... . Nama itu rasanya tidak asing. Aku seperti pernah mendengarnya di suatu tempat. Sayangnya, aku tidak bisa mengingat apa pun. Aku benar-benar benci dengan kemampuan mengingat yang sangat rendah ini.

Mataku melotot setelah ingat di mana aku pernah mendengarnya. "Apa kau pria yang di bar waktu itu?" Namun, aku tidak ingat persis seperti apa wajahnya waktu itu. Selain karena ingatan yang buruk, pencahayaan di bar juga sama buruknya.

"Pria di bar? Aku tidak pernah pergi ke sana."

Aku tidak tahu apakah dia berkata jujur, tetapi aku sangat yakin kalau mereka orang yang sama dengan model rambut berbeda. Walau aku tahu ada banyak orang dengan nama yang sama di dunia ini. Bahkan waktu kulakukan pencarian dengan namaku di internet, aku menemukan ribuan nama yang sama dengan orang yang berbeda. Namun, sekali lagi aku mengatakannya, aku tidak pernah seyakin ini dengan firasatku sendiri.

"Aku menemuimu di bar. Kau menolongku saat aku hampir terjatuh karena didorong seseorang yang sedang menari." Aku masih kukuh dengan ingatanku.

"Menari di bar? Apa orang-orang melakukan itu di sana?"

Sekarang dia terdengar sangat kuno, seperti masih terjebak di zaman dulu, di mana bar hanyalah tempat menjual minuman beralkohol.

"Kalau kau bercanda, ini sangat tidak lucu. Apa kau berusaha membohongiku?" Aku menantangnya dengan tatapan mata, sambil mencari-cari kejujuran di matanya.

"Ada apa denganmu? Apa terjatuh tadi membuat kepalamu terbentur?" Dia melesat maju dengan cepat dan mendaratkan tangan di puncak kepalaku. Tatapannya melembut dan berhasil membuatku terpesona oleh bulu matanya yang lentik.

Aku lagi-lagi menjauh darinya. Ini semua tidak benar. Situasi ini sangat membingungkan. Dia seolah-olah mengenalku cukup lama, sedangkan aku tidak tahu dirinya sama sekali. Bahkan ketika kukira aku pernah menemuinya, dia mengelak. Ada apa sebenarnya dengan mimpi-mimpi ini?

Tubuhku merosot jadi duduk berjongkok. Pria yang mengaku Theo ini juga ikut berjongkok dan meraih sebelah tanganku. Tubuhnya lebar dan jauh lebih tegap di hadapanku. Aku mungkin bisa bersandar dengan nyaman di dadanya, sebelum akhirnya mendengkus kala pemikiran itu terlintas di kepala.

"Hei, apa kau baik-baik saja?"

Dia mengusap punggung tanganku dan aku seketika merasakan bahaya sedang menghadangku. Jantungku bisa saja berdebar untuknya kalau dia terus bersikap seperti ini. Bukankah akan sangat lucu kalau aku tertarik pada seorang pria di dalam mimpi. Andai boleh memilih, aku akan lebih senang bersama Theo yang di bar.

"Aku tidak mengenalmu," ujarku. Dia perlu tahu agar berhenti bersikap seolah-olah dia sangat mengenalku. Aku mulai risi dengan perhatian-perhatian kecil yang ditujukannya kepadaku.

"Kumohon jangan seperti ini. Kau melukaiku, Dorothy."

Dorothy? Nama siapa lagi itu?

•••

Aku mempertahankan senyum tipisku ketika Grace sedang membicarakan tentang tawaran untuk menerbitkan buku. Sudut bibirku sudah berdenyut karena terlalu lama tersenyum. Sedangkan aku terpaksa bersikap seramah ini walau pembicaraan itu tidak cukup menyenangkan untuk kudengar. Situasi ini sudah cukup membuktikan kalau harapan kontrakku diteruskan makin kecil.

Kuselipkan beberapa helai rambut ke belakang telinga ketika namaku disebutkan. Pujian-pujian yang Grace lontarkan membuatku tersanjung beberapa kali. Namun, seseorang yang diketahui kapan hidupnya berakhir juga akan diperlakukan istimewa oleh orang-orang di sekitarnya. Mengerti maksudku, 'kan?

Kupandangi sosok Isabelle Huffman ini sembari menahan diri agar tidak terang-terangan memamerkan rasa tidak suka kepadanya. Tidak ada yang salah dengan dirinya selain fakta bahwa dia akan menggantikan posisiku. Grace sempat memberi tahuku kemarin kalau penjualan buku Isabelle ini terus meningkat. Jadi, dia menawarkan diri untuk menjadi editor penulis berusia 21 tahun itu.

"Bagaimana, Tasha, kausiap memberi tahunya?"

"Memberi tahu apa?" Rupanya aku tidak terlalu mendengarkan obrolan mereka sampai tidak tahu apa yang dimaksud Grace.

"Alur pengajuan naskah. Aku tahu kau orang baik." Grace tersenyum lebar dan itu mengerikan.

"Bukankah itu menjadi tugasmu? Aku tidak ingin lancang mendahuluimu, Grace. Kau lebih tau bagaimana para editor di sini. Oh! Bagaimana kalau aku justru taksengaja membocorkan yang jelek-jelek kepadanya?"

Aku buru-buru menutup mulutku, seolah-olah baru saja keceplosan, padahal aku memang sengaja mengatakan itu.

Grace memandangku seperti sedang menahan emosi. Lagi pula, siapa suruh memintaku melakukan itu pada seseorang yang menjadi rivalku. Grace benar-benar tak berperasaan.

"Abaikan dia, Belle, dia memang suka bergurau. Biar aku saja nanti yang memberi tahu semuanya." Beruntungnya, Grace masih sangat baik untuk melindungiku. Sedangkan Isabelle hanya tersenyum malu sejak tadi. Dia tak banyak bicara.

Rasanya aku tidak bisa berada di sini lebih lama lagi. Satu ruangan dengan Isabelle membuatku gerah, dan Grace juga tidak menyalakan AC-nya hari ini. Dia sengaja membuat ruangannya terasa seperti sauna-hanya untukku.

"Hei, Grace, aku mungkin ingin mendengar pendapatmu tentang bab terbaru naskahku, tapi aku tidak bisa menunggu lama. Aku ada urusan, mungkin besok aku akan datang lagi. Tidak masalah, 'kan?"

"Oh, ya, silakan. Lagi pula diskusi ini akan sangat panjang. Akan kukabari jamnya besok. Jadi, Belle, kita teruskan yang tadi."

Aku bahkan belum mengucapkan sampai jumpa padanya, tapi Grace sudah kembali memusatkan perhatiannya pada Isabelle. Terima kasih sudah membuat suasana hatiku buruk, Grace.

Ketika berjalan di trotoar, ponselku bergetar panjang. Aku memeriksanya dan menemukan banyak pesan dari Nina. Wanita itu memang memiliki kebiasaan spamming jika berkirim pesan dengan orang-orang terdekatnya. Bagian terburuknya, dia selalu mengetik pesan sepotong-sepotong. Biasanya kalau sudah begitu, Karen malas membacanya dan langsung menelepon Nina. Sementara aku sebaliknya, aku tetap membaca pesannya dan membalas satu per satu.

Aku tiba di baris penyeberangan. Karena kendaraan yang melaju tidak terlalu padat, aku memberanikan diri untuk menyeberang, sambil sesekali membalas pesan Nina. Sayangnya, suara klakson yang nyaring mengagetkanku dan ketika kusadari, sudah ada truk pengangkut sampah yang melaju cepat dari sebelah kiriku.

Seseorang menabrakku dari belakang dan entah bagaimana selanjutnya, aku sudah tiba di seberang jalan. Semuanya berlalu cepat. Aku bahkan merasa seperti sedang melayang di udara tadi. Siapa pun yang melakukannya, kuakui memiliki kecepatan yang tidak biasa.

Aku memutar badan, ingin berterima kasih. Namun, setelah kutahu siapa yang melakukannya, aku tidak bisa lebih terkejut lagi dari ini.

"Theo?"

Theo
Not much information about him, yet
He is handsome, and if you want to know him better, keep reading this story, 'kay?

See you on the next chapter~
Lots of Love,
Tuteyoo
7 Agustus 2021
Republish 31 Maret 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top