4 - The Dream and His Coat
Aku terbangun ketika hawa dingin terasa menusuk kulit. Pemanas ruangan tua yang baru diperbaiki minggu lalu sepertinya rusak lagi. Duduk secara tiba-tiba lantas membuat kepalaku pusing, bahkan lebih buruk ketika kusadari tempat ini bukanlah kamar tidurku. Hal pertama yang kulakukan adalah mencubit lenganku sendiri, seandainya ini mimpi, tentunya tidak akan terasa sakit. Namun, aku justru berjengit karena tidak memperkirakan seberapa kuat cubitanku sebelumnya.
Rasa panik lantas menjalari tubuh. Kalau ini bukanlah mimpi, kapan seseorang datang dan membawaku ke sini? Apa yang kukonsumsi sebelumnya hingga tertidur sangat nyenyak sampai-sampai tidak terbangun ketika seseorang membawaku pergi? Situasi ini sungguh absurd! Aku harus segera pergi sebelum seseorang datang.
Aku menyibak selimut tipis yang menutupi pinggang sampai kaki. Gaun putih polos yang membalut tubuhku saat ini tidak pernah kumiliki sebelumnya. Bahkan modelnya seperti gaun pasien rumah sakit. Ketika tanganku mendarat di kasur sebagai tumpuan, aku baru menyadari bahwa tempatku berbaring tadi bukanlah kasur, melainkan sebuah meja metal yang suhunya mengikuti suhu udara ruangan. Sangat dingin.
Tempat ini makin terasa aneh begitu aku berusaha mengenali benda-benda yang mengisi ruangan. Di samping meja metal yang kududuki ada sebuah rak besi kecil dengan dua tuas—mungkin untuk pegangan saat mejanya didorong, yang berisi berbagai peralatan bedah yang tidak kutahu apa saja namanya. Mulai dari lantai sampai langit-langit semuanya berwarna putih. Di setiap sisi ruangan terdapat lemari-lemari kaca berisikan berbagai replika potongan tubuh manusia. Aku menelan ludah disertai sebuah harap yang muncul agar replika itu bukan dari manusia sungguhan. Bahkan ada satu lemari khusus berisi manekin-manekin yang memamerkan organ-organ dalam tubuh.
Makin lama melihat isi lemari kaca, makin mual aku dibuatnya. Aku spontan menutup mulut dengan telapak tangan, menahan gejolak yang bercokol di pangkal mulut. Di saat itu pula terdengar suara denting besi yang saling bersinggungan ketika aku mengangkat tangan. Seberapa banyak situasi aneh yang terjadi padaku saat ini? Tanganku diborgol, dengan rantai yang tersambung ke kaki meja besi ini. Ini aneh, kenapa aku tidak menyadarinya segera begitu terbangun?
Kepanikan mulai menguasaiku, mengambil alih kontrol diriku hingga tidak mampu berpikir dengan baik. Debar jantungku begitu keras sampai memenuhi telinga. Aku mulai menarik-narik tangan dengan kuat, berharap ada keajaiban tanganku lolos dari gelang borgol ini. Namun, yang ada hanya menyisakan lecet di punggung tangan. Perihnya tidak terasa lagi karena tidak lebih besar dari rasa takut dan keinginan untuk pergi dari sini.
Aku berteriak minta tolong, tetapi tidak ada suara yang keluar. Menyadari bahwa aku kehilangan suara membuatku menangis. Kendati demikian, aku berusaha untuk tetap meyakini bahwa ini hanyalah mimpi dan seharusnya aku mampu mengendalikan ini seperti biasa—itu sering terjadi ketika terbangun dalam mimpiku sendiri dan tahu bahwa semuanya tidak nyata.
Di situasi seperti ini, aku ingin dapat memutuskan rantai dengan sekali tarikan--sebut saja berusaha untuk mengendalikan situasi aneh ini. Sudah kucoba lagi dengan tenaga yang tersisa, tetapi tidak berhasil, bahkan sakitnya terasa nyata. Aku meringis tanpa suara, sambil merapalkan doa agar situasi ini benar-benar hanyalah mimpi. Tidak ada yang bisa kulakukan selain memeluk lutut dan menenggelamkan tangisan di antaranya. Aku bahkan tidak bisa mengendalikan diri agar tidak menangis di sini. Semuanya terjadi begitu saja dan aku hanya bisa mengikuti.
"Kau aman bersamaku."
Kuangkat kepala ketika seseorang menarik tangan kananku. Dia pria yang pernah kulihat di suatu tempat dan tidak kuketahui namanya. Dia memegang kunci dan dipakai untuk membuka borgol di tanganku. Ketika dia melakukan itu, mata birunya tertuju padaku, seolah-olah sedang meyakinkan bahwa aku berada di tangan orang yang tepat. Aku aman bersamanya dan ketakutan itu musnah seketika.
Satu hal yang pasti, aku tidak akan semudah itu percaya orang lain kecuali sudah sangat mengenal baik dirinya. Namun, kali ini berbeda, tidak ada pemberontakan dariku. Dia mungkin saja orang yang menculikku dan mengurungku di tempat ini. Akan tetapi, apakah seorang penculik akan menatapku seteduh dirinya?
Dia meraih kedua tanganku, agak menariknya agar aku turun dari meja. Aku menurunkan kaki, membiarkan keduanya menjuntai di sisi meja. Tangannya merambat turun dan mendarat di pinggangku. Mata kami beradu sebentar, sorotnya memamerkan betapa dia sangat terluka dan aku tidak tahu apa alasannya.
Aku terkesiap ketika dia mengeratkan pegangan pada pinggangku, kemudian mengangkatnya dengan mudah seperti aku tidak memiliki berat. Selama dia melakukan itu hingga kakiku mendarat di atas dinginnya lantai, dia tidak berhenti menatapku. Aku tersedot dalam matanya yang sebiru lautan, membuatku lupa bahwa aku masih berada di tempat asing yang mencekam ini. Aku juga tidak menyadari kalau kedua tangannya sudah berada di lenganku. Perlahan naik, hingga kurasakan tangannya yang lebih dingin dari suhu ruangan ini di kedua pipiku.
"Kau aman bersamaku." Dia mengatakannya sekali lagi sebelum mendekatkan wajahnya pelan-pelan. Mataku berpejam ketika ujung hidung kami bersentuhan. Namun, aku kehilangan kesadaran segera setelah bibir kami bertemu.
•••
"Tasha! Sekali lagi kau mengabaikanku, aku akan berteriak kalau Winter ada di sini!"
Aku tersentak kaget ketika pukulan keras mendarat di tanganku yang membeku di atas kibor. Aku tidak tahu berapa lama tenggelam dalam lamunan sembari memandang layar laptop sampai Karen memukulku begitu. Di antara kami bertiga, dia memang dikenal barbar.
Siang ini, aku menemani Karen menunggu kekasihnya di L.A. Cafe; kafe yang berada di lantai dasar Spring Tower Lofts Apartments--dulu Karen tinggal di sini sebelum pindah bersama kekasihnya. Aku tidak menolak ajakannya meski tahu setelah ini akan ditinggal sendirian. Tempat ini cukup nyaman dan tenang untuk menulis, kalau dia pergi, aku akan berada di sini sedikit lebih lama.
Aku berdeham, mengangkat tangan dan sedikit meregangkannya. Lalu melipat jari hingga menimbulkan suara yang renyah seperti sedang mengunyah tulang rawan.
"Apa yang terjadi kalau orang-orang tahu Winter ada di sini?" sahutku sembari menurunkan bucket hat cokelat milikku hingga menutupi alis. "Tidak akan ada yang peduli."
Karen mengembuskan napas di antara bibir yang dipoles lipstik berwarna nude. Warna itu terlalu pucat untuk kulitnya yang agak kecokelatan. Namun, siapa yang peduli kalau rasa percaya dirinya memang cukup tinggi? "Siapa tahu penggemarmu ada di sini dan membombardirmu dengan selembar kertas dan pena mereka. Oh, kau tidak perlu melindungi wajah kalau yakin mereka tidak akan peduli dengan keberadaanmu di sini."
Aku mengaku memakai topi ini memang bertujuan untuk menyembunyikan identitasku. "Bukan itu yang kukhawatirkan. Aku sedang berusaha melindungi mataku. Lihat, bukankah ini persis panda? Aku terbangun dini hari dan tidak bisa tidur setelahnya. Padahal aku baru tidur dua jam," keluhku sembari berdongak sebentar untuk memperlihatkan mataku padanya.
"Tapi topi itu hanya menutupi alismu, seharusnya kau pakai kacamata hitam juga," balasnya dengan telunjuknya menari ke arah topiku. "Dan siapa suruh tidur pagi?"
Karen dan mulutnya yang tidak berhenti bicara membuatku memutar mata. "Bisakah kita tidak berdebat dulu? Aku sedang berusaha mengetik mimpiku semalam, selagi masih ingat."
"Ya, ya, ya ... lucu kalau kau dikenal sebagai penulis yang menuliskan bunga tidurnya." Dia mencibir, tetapi mengernyit sendiri setelahnya, seperti baru menyadari sesuatu dari ucapannya. "Kupikir itu unik. Winter's Story berubah menjadi Winter's Dream." Dengan kedua tangannya, dia membuat setengah lingkaran di udara. Matanya berbinar seakan-akan ada pelangi yang tercipta di antara kedua tangannya.
"Sshh!" tegurku dengan meletakkan telunjuk di depan bibir. "Itu rahasia dapur penulis, jangan disebarluaskan," ujarku setengah berbisik agar tidak ada yang menyadari bahwa aku ada di sini. Aku perlu sedikit ketenangan di sini, bukan orang-orang yang berkerumun sambil membawa buku untuk kutandatangani.
"Jadi, apa mimpimu itu berisi adegan romansa?" Karen bertanya ketika jari-jariku sudah kembali bergerak aktif di atas kibor.
Karena ditanya seperti itu, aku jadi kembali membayangkan adegan yang ada di mimpiku semalam. Tentunya melewatkan bagian replika tubuh manusia dan manekin organ dalam. Perutku sudah bergejolak hanya dengan memikirkannya sepintas. Kupikir mimpiku semalam nyaris mendekati romansa. Maksudku, ciuman itu ... kenapa harus berakhir begitu saja? Aku bahkan tidak menangkap apa yang kurasakan ketika kami menghirup oksigen yang sama. Lalu, kenapa harus pria itu lagi yang muncul?
Sentuhannya semalam terasa nyata. Tangannya tidak hangat, tetapi mampu membakar sesuatu di dalam diriku. Mimpi yang melibatkan dia di dalamnya selalu tidak bisa kukendalikan--meski baru dua kali kualami, tetapi itu cukup mengganggu.
Apakah aku mengenalnya? Atau pernah bertemu dengannya? Atau kami pernah tidak sengaja berpapasan saat di jalan? Atau aku pernah menabrak bahunya saat berlari di suatu tempat dan dia masih belum bisa memaafkanku? Makin kupikirkan, makin konyol pula dugaan yang bermunculan di kepalaku.
"Hei, Karen," panggilku dan diresponsnya dengan muka masam. Sepertinya dia kesal lagi karena aku tidak segera menjawab pertanyaannya. Dia terlalu sensitif hari ini, mungkin sedang ada tamu bulanan.
"Menurutmu adegan romansa itu akan terasa seperti apa?"
Aku tahu pertanyaan itu sangat konyol, terlebih setelah melihat kernyitan di dahi Karen. "Kau penulis, harusnya tahu. Apa perlu kuatur kencan buta untukmu? Kurasa kau perlu terjun langsung ke lapangan dan rasakan sendiri sensasinya."
"Berbagi itu indah, Karen."
Karen menggeram sembari memainkan sedotan minumannya. "Percuma kuceritakan kalau kau tidak bisa merasakannya."
"Setidaknya bisa kutulis."
Karen mungkin ingin merespons ucapanku, tetapi urung karena ponsel yang berada di sebelah gelasnya berdering. Aku tidak bisa membaca nama kontaknya, tetapi emoji hati berwarna merah terlihat jelas olehku. Sudah pasti itu panggilan masuk dari kekasihnya.
Selagi Karen menerima panggilan tersebut, aku kembali menulis. Mimpi yang masih segar di ingatan harus segera kutulis agar tidak terbuang sia-sia meski mimpi itu sama sekali tidak bisa kuselipkan ke cerita yang sedang kutulis saat ini. Setidaknya bisa kutampung dulu dan kubaca lagi ketika aku sedang krisis ide.
"Tasha, aku tidak ingin meninggalkanmu, tapi Dylan sudah menunggu di luar, jadi aku harus pergi." Karen mengatakannya dengan penuh sesal sembari memasang mantel yang tadi tersampir di sandaran kursi.
"Oh, ya. Tidak masalah." Aku sudah memikirkan risiko ini sejak dia meneleponku dan meminta ditemani.
"Jumat malam, aku akan ke apartemenmu bersama Nina. And that's a promise." Kali ini dia bicara sambil memasang tas lalu menyedot sisa minumannya hingga tandas. Sungguh seorang Karen yang tidak suka membuang-buang sisa makanan.
"Yep. Aku akan memasak sesuatu untuk kita nanti."
"Good. See ya."
Dia pergi dengan terburu-buru. Sekali lagi dengan kebarbarannya, dia menutup pintu kafe dengan agak membantingnya. Nyaris seluruh perhatian orang-orang teralihkan karena suaranya. Karen benar-benar bersemangat menemui kekasihnya.
Tulisanku sudah selesai. Kututup laptop dan kujadikan sebagai tumpuan untuk kedua tanganku yang membungkus segelas kopi. Berusaha untuk menenangkan pikiran, aku menyesap kopi pelan-pelan sembari menikmati aromanya yang menguar dari dalam gelas. Sungguh aroma yang tidak pernah membuat hidungku bosan menghirupnya. Apalagi aroma dari biji kopi panas yang sedang masuk dalam mesin penggiling.
Aku pernah meminta Ayah menyediakan meja dan kursi di dapur kafe miliknya dulu. Setiap pulang sekolah, aku akan mampir dan mengerjakan tugas di sana demi menikmati aroma kopi. Sungguh kenangan yang menempel erat di ingatan. Sayangnya, kafe itu harus tutup ketika dia mendapat kepercayaan untuk mengurus pemancingan milik Kakek.
Ketika pikiranku sibuk berkelana pada kenangan masa lalu, bernostalgia pada hal-hal menyenangkan, seorang perempuan datang padaku dan tersenyum sangat manis. Aku tidak mengenal siapa dirinya, tetapi aku tetap membalas senyumnya. Anggap saja sebagai sopan santun, dan aku tidak ingin melukai perasaannya.
"Ada yang bisa kubantu?" tanyaku karena dia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan bicara atau pergi.
"Apa kau Natasha Winter?"
Ah, tidak kusangka dia mengenaliku, padahal aku yakin tidak banyak mendongak sejak meletakkan pantatku di kursi ini. Tidak hanya senyumnya yang manis, suaranya juga. Siapa pun yang mendengarnya tidak akan ragu mengatakan bahwa dia sangat menggemaskan. Aku menduga usianya sekitar delapan belas sampai dua puluh tahun.
"Ya, itu aku."
Gadis dengan kulit yang putih pucat ini menduduki kursi bekas Karen, di seberangku. Wajahnya seketika semringah, seperti baru saja mendapat hadiah Natal terbaik yang selalu dia inginkan.
"Tidak kusangka akan menemuimu di sini. Aku penggemarmu, semua bukumu kubeli." Lihatlah betapa dia sangat ceria saat mengatakannya.
Pengakuannya membuat hatiku menghangat. "Terima kasih, itu hal terbaik yang pernah kudengar," balasku seramah yang kubisa.
"Ya ampun, kau bahkan sangat ramah dan cantik saat dilihat langsung." Dia menjerit kegirangan. Aku sampai terkekeh pelan karena sikapnya itu. "Boleh aku minta tanda tanganmu?"
Sayang sekali aku tidak mempunyai alasan yang bagus untuk menolak. Selagi dia tidak memancing perhatian orang-orang, aku mengangguk setuju. "Boleh," balasku sembari mengeluarkan pena dari saku mantel. Benda bertinta itu tidak boleh tertinggal. Bukan karena untuk berjaga-jaga jika seorang meminta tanda tanganku, tetapi aku memang perlu membawanya untuk menulis apa pun yang terlintas di kepala.
Dia mengeluarkan buku dari tasnya, tetapi tidak langsung diserahkan kepadaku. Dipeluknya buku itu sembari tersenyum malu-malu. "Sebenarnya kau sudah menandatangani bukuku, tapi aku ingin tahu rasanya meminta langsung padamu."
Dia benar-benar membuatku tersanjung dengan setiap ucapannya. Walau mungkin sebenarnya ada banyak penggemar yang bersikap sepertinya, tetapi aku sangat bisa merasakan ketulusan gadis ini.
"Kau melakukan itu sekarang."
Gadis itu memeluk erat bukunya sebelum disodorkan padaku dengan halaman yang sudah terbuka. "Tolong tanda tangan di bawahnya, ya."
Aku menerima buku tersebut dan tatapanku langsung tertuju pada tulisan yang tertera di sana. Itu benar-benar tulisanku dengan tinta yang agak kusam karena sudah lama. Tanggal yang tertera bahkan tiga tahun yang lalu. Namun, bukan tinta pudarnya yang membuatku bingung. Namanya. Nama yang tertera di sana adalah nama yang sering kutulis di hampir setiap acara booksign.
Happy new year, Tallula.
"Apa kau datang sendiri?" tanyaku sambil menuliskan sepotong kalimat di bukunya. Aku hanya penasaran, mungkin dugaanku benar kalau dia adalah pemilik nama yang selalu diminta seseorang untuk kutulis.
"Aku kebetulan jalan-jalan di sini bersama Kakak. Tadi aku melihatmu dari jendela kafe dan memintanya mampir. Dia ada di ... ." Matanya berpencar memperhatikan ke sekeliling kafe, sementara telunjuknya mengikuti. "Di sana, dia menunggu di dekat pintu. Biasanya dia yang datang ke booksign-mu."
Aku berbalik ketika dia menunjuk ke belakangku. Dia lagi. Benar bahwa dia si jangkung yang sering datang ke booksign. Kali ini tidak ber-hoodie, tetapi separuh wajahnya tertutupi oleh topi bisbol. Namun, aku menemukan satu hal lagi. Bagaimana mungkin aku tidak menyadari kalau mantel yang dipakai si jangkung itu mirip seperti yang dikenakan pria misterius yang memantauku dari kejauhan.
Aku tidak akan berprasangka buruk seandainya dia juga duduk di sini. Apa mereka benar-benar dua orang yang sama?
❄
❄
Tallula
Winter's fan
Has a very sweet smile
You'll get to know her better if you continue reading this story *wink*
❄
See you on the next chapter~
Lots of Love, Tuteyoo
31 Juli 2021
Republish 26 Maret 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top