3 - Romance and Rottweiler
"Lack of romance."
Grace mengatakan itu bersamaan dengan terlemparnya cetakan naskahku ke atas meja. Dia tidak melakukan itu atas niat yang kasar dan aku berusaha tetap percaya pada pemikiran itu. Grace mempunyai kebiasaan membanting benda di tangannya saat merasa kecewa, kali ini naskahkulah yang menjadi alasannya. Aku bisa menjadi korban lemparannya juga andai dia bisa membungkusku dalam genggamannya.
Bahuku yang tadi tegang sudah jatuh lemas dan punggungku segera membentur sandaran kursi. Selama satu jam duduk di hadapannya, aku benar-benar tidak merasa tenang. Grace selalu mengernyit ketika membaca beberapa bab baruku dan alis yang sebentar-sebentar turun itu sungguh sangat mengganggu. Andai ada pisau cukur, pasti sudah kubotakkan.
"Tasha, kau menulis adegan dengan sangat baik, bahkan jauh lebih baik daripada si Huffman itu." Grace melirik naskahku dan menghela napas. Aku merasa ada tapi dalam kalimatnya. "Aku merasa seperti sedang menonton sitkom bahasa latin tanpa subtitle. Kau tahu mereka melakukan hal konyol, tapi kau tidak bisa tertawa karena tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan."
Aku mengangguk ringan ketika dia melotot ke arahku. Bukan melotot karena emosi, tetapi untuk menegaskan bahwa dia sedang serius saat ini. Grace memang seaneh itu.
"Itulah yang kurasakan pada naskahmu."
Wow. Itu sungguh terasa seperti batu besar baru saja menghantam kepalaku.
"Seburuk itukah?" Aku ingin tidak percaya pada penilaiannya karena aku sudah berusaha keras menulisnya dan mengandalkan beberapa film romantis, tetapi dia adalah editor yang terbaik di penerbit ini. Pendapatnya mewakili ribuan pembaca di luar sana.
Grace melenguh, sebelah tangannya naik ke atas meja dan suara berisik itu pun muncul. Kuku yang berkuteks merah menyala naik turun seiring jarinya menari di sana, membentur permukaan meja berkali-kali. Dia memberi tatapan seolah-olah tidak ada harapan untukku.
"Adeganmu ditulis dengan baik, aku suka saat mereka makan malam di hutan dan berakhir dengan ciuman manis, tapi percayalah, aku tidak merasakan apa-apa. Tulisanmu hambar, Natasha. Tidak ada debar-debar yang membuatku ingin mereka segera bersama."
"Hm. Sudah kubilang mereka tidak bisa bersama, Grace. Tidak ada harapan untuk itu." Aku sudah memikirkannya, menghubungkan relasi antara mayat hidup dengan peri. Kenyataannya, jantung mayat tidak lagi berdebar seperti orang hidup. Mana mungkin kubuat berdebar tanpa alasan.
Grace mengangguk-angguk. "Oke, aku paham. Kau memang tidak bisa menulis kisah cinta." Jeda yang diberikan Grace membuatku dapat mengembuskan napas lega, kupikir dia akan menerima naskah fantasi tanpa romansa milikku. Namun, kalimatnya setelah ini memupuskan harapanku. "Tapi bukan berarti kau boleh menyerah."
Aku mengerang frustrasi. Apa untungnya memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu yang tidak mereka bisa? Aku tahu Grace sudah bosan membaca bab berulang-ulang dalam seminggu ini. Sementara aku sendiri tidak ingin lebih boros lagi karena harus mencetak tulisanku sebelum kuberikan padanya.
"Tidak bisakah aku tetap menjadi penulis fantasi murni?" Aku nyaris memelas di antara suara jarum jam yang tidak pernah berhenti berputar. "Aku punya penggemar, mereka pasti menantikan karya-karyaku. Tidak peduli ada romansa atau tidak."
"Aku pernah berkencan 37 kali dan sebagian besar dari jumlah itu, aku dicampakkan." Grace mulai bercerita lagi, padahal aku sudah pernah mendengar bagian itu. Pandangan matanya kosong, atau dia sedang mengingat lagi masa-masa yang kurang mengenakkan itu.
"Oke. Kau membuatku memikirkan apa relasinya dengan naskahku yang mengecewakan itu."
Karena ucapanku, tatapan Grace kembali ke wajahku. Disusul jari-jarinya saling bertaut dan dijadikan tumpuan untuk dagunya. "Kau bisa bertanya padaku, Tasha, seperti apa rasanya jatuh cinta, rasanya ingin memiliki, atau tentang perut yang bergejolak karena kupu-kupu berterbangan di dalamnya."
"Bagaimana bisa kupu-kupu bergerak di perutmu padahal harus dikunyah dulu?" Aku tahu itu hanya perumpamaan, tetapi aku sedang mencoba menurunkan tensi di antara kami. Hampir semua cerita romansa menulis bahwa kupu-kupu akan menari di perutmu ketika hal-hal tertentu sedang terjadi. Namun, yang terpikirkan olehku hanya mual, dan itu bukan sesuatu yang menyenangkan.
"Oh, God. Aku pusing, Tasha. Kurasa aku harus mengatur kencan ke-38 untuk malam ini." Grace berlagak seperti sedang sakit kepala. Ponsel ber-casing silikon hitam dengan motif bikini merah muda kecil-kecil diraihnya dari sudut meja. "Kau bisa ikut denganku untuk belajar."
Aku spontan bergidik ngeri pada ide buruknya itu. "Tidak. Terima kasih."
Bayangkan saja betapa canggungnya jika aku berada di sana menyaksikan Grace sedang bermesraan dengan kekasihnya. Cringe, isn't it?
"Kau boleh pulang. Kutunggu seminggu lagi untuk finishing. Jangan lupakan sense of romance." Grace mengayunkan tangan untuk mempersilakanku keluar. Hanya perlu satu detik sebelum dia menjadi sangat sibuk dengan ponselnya.
Aku keluar dari ruangan Grace bersamaan dengan ponselku yang berdering. Nama Robert tertera di layarnya dan aku langsung teringat akan agenda hari ini; satu lagi booksign di acara pembukaan cabang salah satu penerbit di kota kami. Kupercepat langkah ketika beberapa meter di hadapanku pintu elevator terbuka. Begitu tiba di dalam, aku segera menerima panggilan masuk dari Robert dan mengabaikan seorang pria berpakaian serba hitam yang sudah lebih dulu berada di elevator ini.
"Hei, ya, aku lupa. Maaf. Kau menunggu di mana? Di depan? Oke. Aku sedang di dalam elevator dan kuharap kita bisa mampir membeli kopi untuk memperbaiki mood-ku."
•••
Dia menatapku lapar, seolah-olah aku adalah daging segar yang lezat dan dia serigala yang tengah kelaparan. Namun, aku tahu dia tidak akan melakukannya. Lebih tepatnya, tidak akan sanggup. Matanya mengerjap, dalam sekejap berubah dari cokelatnya musim gugur menjadi sebiru laut di musim panas dan siap menenggelamkanku. Aku selalu menyukainya, perpindahan warna itu, tidak pernah bosan kulihat. Walau aku tahu itu berarti buruk.
"Kau harus pergi," erangnya sembari menutup mata. Aku sedikit kecewa karena kehilangan tatapannya yang indah dan menusuk.
"Tidak. Aku tidak bisa meninggalkanmu seperti ini."
Aku ingin meraih lengannya, tetapi berakhir menggantung di udara ketika erangan yang mengerikan dia keluarkan. Dia menunduk ketika otot-otot tubuhnya mulai mengencang. Bagian depan rambut ikal yang panjang itu tergerai sampai menghalangiku untuk melihat apakah matanya masih tertutup atau sudah terbuka. Tangannya terkepal di kedua sisi tubuh sampai timbul urat-urat. Aku tidak ingat pernah menemukan dirinya semenyeramkan ini. Auranya menakutkan, seperti ada kabut hitam sedang mengelilingi dan berusaha untuk menyedotnya.
"Pergi atau sesuatu yang buruk terjadi padamu." Itu sebuah peringatan.
Suaranya berubah, hingga membuatku spontan melangkah mundur. Dia terdengar seperti seorang pria tua yang ingin mengamuk--serak dan penuh emosi. Namun, itu sama sekali tidak mengurungkan niatku untuk tetap berada di sini, bersamanya.
"Aku tidak sanggup meninggalkanmu dengan kondisi seperti ini." Kali ini aku melangkah dengan mantap hingga tanganku mampu meraih wajahnya. Dingin dan pucat, seperti itu penampakan wajahnya, tetapi sama sekali tidak mengurangi kadar ketampanannya.
"Manusia sepertimu tidak seharusnya berada di dekatku." Dia menggenggam tanganku sangat erat, hanya untuk diturunkan dari wajahnya. "Pergi," ujarnya lemah, tetapi dia masih enggan menatapku.
"Aku tidak akan pergi sebelum tahu kondisimu."
"Mengetahui tentangku hanya akan membuatmu berada dalam bahaya."
"Tapi--"
Ucapanku terhenti ketika dia mendongak dan menatapku dengan mata birunya yang terang--seperti bersinar. Aku tidak menemukan keindahan di sana, yang ada hanya kengerian. Sekarang aku ketakutan, terlebih lagi ketika taringnya memanjang. Aku baru tahu kalau dia makhluk yang seperti itu, kukira hanya makhluk immortal jenis lainnya. Karena seharusnya mata itu semerah darah dan bukan biru. Dia sangat jauh berbeda dengan sosok vampir yang selama ini kutulis dan kubaca di buku-buku.
Aku memutar badan dan mulai berlari. Akal dan hatiku sedang tidak sinkron sekarang. Hatiku sangat yakin kalau dia tidak berbahaya dan aku hanya perlu membersamainya sampai dia berubah--dalam artian tidak lagi seliar yang selama ini terlihat. Namun, otakku selalu memerintah agar aku terus berlari, pergi darinya. Sayangnya, hutan bukan tempat yang kuharapkan akan jadi tempat persinggahan. Entah bagaimana aku bisa terjebak di sini selama beberapa minggu terakhir.
Aku masih berlari, melintasi sela-sela pohon dan beberapa kali melompati akar besar yang mencuat dari dalam tanah. Rumput-rumput liar tumbuh terlalu tinggi hingga menghalangi pandanganku. Aktivitas melelahkan ini membuat napasku tersengal, dadaku terasa sesak, hidungku bahkan tidak mampu menyedot oksigen sebanyak yang kuperlukan. Sayangnya, aku belum bisa berhenti sebelum keluar dari hutan ini, hingga akhirnya aku tidak sanggup lagi dan jatuh tengkurap. Kakiku terlalu berat untuk diangkat dan akhirnya tersandung akar besar.
Semak-semak di sekitarku mulai berdesis. Gesekan antar daun memberi sensasi misterius di hari yang nyaris gelap ini. Rasanya seperti ada sesuatu yang bergerak dengan cepat di baliknya. Mungkin itu dia, seorang vampir yang di banyak kisah mampu bergerak jauh lebih cepat dari manusia. Air mataku mulai mengalir. Aku berusaha bangun, tetapi sekujur tubuhku terasa sakit untuk digerakkan. Mungkin inilah akhir dari hidupku yang tidak benar-benar berguna.
Semak di sebelah kiriku bergesekan semakin kuat, hingga kurasakan sesuatu melompat dari sana. Aku melotot kaget begitu menemukan seekor anjing jenis rottweiler yang sangat besar. Itu anjing yang biasanya dibawa-bawa polisi untuk melakukan pencarian. Aku sempat berpikir rottweiler ini memang bersama mereka, para polisi. Namun, pemikiran itu lantas lenyap ketika ia mulai mengendus dan menampakkan gigi-giginya yang runcing. Anjing itu tidak tampak sedang berusaha mengenali bauku, tetapi ingin menerkamku.
Sebagai seseorang yang takut dengan anjing, aku berusaha bangkit dengan tenaga yang tersisa, ketika di saat yang bersamaan rottweiler lainnya keluar lagi dari balik semak. Aku hendak berlari meski tahu lari mereka akan jauh lebih cepat. Kupikir aku akan mati dengan perasaan yang lebih baik setelah berusaha untuk melarikan diri.
•••
Mimpi yang berakhir gantung. Pagi ini, setelah sarapan bersama Robert, aku duduk di balkon apartemen dengan bermandikan sinar matahari musim gugur. Ada buku di pangkuanku dan pena di tangan. Aku baru saja selesai menuliskan adegan di mimpiku semalam yang masih kuingat dengan jelas--bisa dibilang itu kemampuan istimewaku mengingat aku adalah orang yang pelupa. Namun, aku tidak tahu apa yang terjadi setelah para anjing itu mengejarku. Apakah memang hanya berakhir di situ, atau aku melupakan sisanya. Opsi kedua tidak mungkin, karena aku selalu mengingat mimpiku dengan sangat jelas.
Pria di mimpiku, aku merasa pernah menemuinya di suatu tempat. Tepat ketika aku menyentuh wajahnya dan kutangkup rahang yang begitu tajam itu, aku merasa familier setelahnya. Ah, aku memang sering melupakan wajah orang-orang yang hanya sekali kulihat. Beda cerita kalau sudah kulihat berkali-kali, akan kuingat dengan jelas seperti Tom si petugas kebersihan yang sering mengetuk pintu apartemen dan menawarkan jasanya kepadaku. Andai pria di mimpi itu benar-benar ada, apakah aku akan berkesempatan untuk menemuinya? Mungkin jika dia memang vampir, aku bisa bertanya padanya tentang beberapa hal sebagai bentuk riset untuk ceritaku.
Lamunanku buyar ketika pintu di belakangku terbuka. Itu adalah satu-satunya pintu yang menghubungkan apartemenku dengan balkon. Robert muncul di hadapanku sambil mengikat rambutnya.
"Aku mengundang Jessica ke sini."
Wanita itu adalah kekasihnya. "Oke, lalu?"
"Aku tidak bisa menemaninya di sini karena harus ... ekhem ... menghadiri wawancara kerja," balas Robert sembari membenahi dasinya. Melihat gesturnya, aku baru sadar kalau pakaiannya sangat rapi.
Aku mengangguk-angguk saat menilai penampilannya. Mataku bergulir dari atas sampai bawah. "Kau tampak siap menampar para pewawancara dengan jawaban yang cerdas."
Robert merengut kala menerima ucapanku yang sarkastis. "Aku serius ingin berhenti jadi asistenmu, Nat."
Kedua sudut bibirku turun, bukan merengut, tetapi untuk mengejek rencananya. "Ya, ya, aku mendoakan yang terbaik untukmu," ucapku agak ogah-ogahan.
"Kuharap kau bersikap baik pada Jessica."
"Aku tidak pernah bersikap buruk padanya."
Robert merotasikan kedua matanya dan menggeram kesal. "Kauingat pacarku sebelum Jessica? Dia mengaku tidak ingin menemuimu lagi. Oh, aku bahkan belum bertanya apa yang kaulakukan waktu itu. Jadi, sekarang jawablah."
Aku menggaruk leher yang tidak gatal sembari mengingat insiden yang dimaksud Robert. Hal aneh apa yang pernah kubuat terhadap orang lain? Aku bahkan tidak menemukan kenangan aneh apa pun.
Oh. Sekarang aku ingat.
"Waktu itu aku sedang sibuk menulis, tapi dia sangat berisik membicarakan tentang produk kecantikan yang asing di telingaku. Buang-buang waktuku saja."
Robert melotot dan itu adalah reaksi yang benar-benar sangat berlebihan. "Jadi kau mengusirnya?"
"Hei, aku tidak sekasar itu." Aku berucap cepat untuk membantah tuduhannya.
"Terserah, pokoknya kau harus menemani Jessica. Dia terlalu lembut untuk kauabaikan."
Lembut tapi mengomel sampai setengah jam lamanya. Aku mendengkus sebal. "Hm. Jadi kapan dia datang?"
"Dia sudah di sini." Robert mengatakannya sembari berusaha mengalihkan pandangan dariku. Yang mana berhasil membuatku mencurigainya.
"Dia memang datang sepagi ini atau kau membawanya ke sini sejak tadi malam?" Aku memicing, menuntut jawaban paling jujur darinya. Hanya dengan Robert mengusap rambutnya sudah menjawab pertanyaanku. "Waw."
"Jangan salah kira dulu, kami tidak melakukan apa-apa selain menonton film."
Aku mengerutkan dahi, kebingungan dengan reaksinya yang seperti baru saja kutuduh berbuat buruk. Meski Robert sudah berkali-kali mengganti pasangan, aku tidak pernah memikirkan yang aneh-aneh tentangnya. Bahkan sekalipun dia meniduri pacar-pacarnya, aku tidak akan peduli.
"Memangnya aku mengira apa?" Ada nada tidak terima di pertanyaanku.
"Bukan apa-apa. Aku akan meminta Jessica menemuimu. Aku harus pergi sekarang."
Dia bahkan tidak menunggu persetujuanku dan langsung pergi begitu saja. Kulayangkan tatapan pada gedung apartemen yang ada di seberang jalan. Di bawahnya ada banyak pohon yang dedaunannya berwarna jingga tua kecokelatan. Meski ditakdirkan untuk hidup dengan warna hijau, tetapi menurutku dedaunan pada pohon akan jauh lebih cantik saat musim gugur.
Sekali lagi aku melihatnya, pria berjubah hitam dengan tudung rendah berdiri di antara dua pohon. Aku tidak ingin berpikiran yang aneh-aneh, tetapi dia jelas-jelas mendongak dan kepalanya mengarah ke sini. Aku beranjak dari kursi dan mendekat ke tralis pembatas balkon, bermaksud ingin melihatnya lebih jelas. Meski kubalas tatapannya, tetapi dia tidak bergeming. Andai ada kerikil di tanganku, mungkin sudah kulemparkan ke arahnya.
"Hai."
Aku terperanjat dan berbalik ketika seorang wanita menyapa. Aku nyaris lupa kalau wanita itu adalah Jessica-nya Robert. Dia berkacamata dan rambutnya pirang sebahu.
"Halo. Aku Natasha," balasku dan mengulurkan tangan, mengingat aku belum benar-benar berkenalan secara resmi padanya. Sembari menunggunya merespons, aku menyempatkan untuk melirik ke bawah sana, tetapi sosok pria berjubah tadi sudah menghilang.
"Jessica. Robert banyak bercerita tentangmu. Kau penulis fantasi yang terkenal itu 'kan?" balasnya sembari menjabat tanganku. Pujiannya membuatku menyelipkan rambut ke belakang telinga.
"Belum seterkenal J.K. Rowling, jadi ... biasa saja."
"Apa kau juga suka membaca?" tanyanya penuh antusias.
"Begitulah. Penulis yang baik perlu membaca, 'kan?"
Entah kenapa dia jadi begitu bersemangat. "Apa kau sudah membaca buku Isabelle Huffman?"
Oh, tidak. Tidak lagi. Sudah cukup aku mendengarnya dari Grace. Tidakkah wanita ini sadar sedang mengajak seorang penulis membicarakan karya penulis lainnya? Aku sudah merasa direndahkan meski dia tidak sedang membandingkanku dengan penulis itu.
Kurasa, Jessica akan jadi wanita lainnya yang jera menemuiku setelah ini.
•••
Graciella Brown
An editor
35 y.o and unmarried
Lobster lover
❄
See you on the next chapter~
Lots of Love,
Tuteyoo
24 Juli 2021
Republish 14 Maret 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top