1 - Is that a Threat?

Aku sering melihat orang itu meski tidak bisa kukenali bagaimana rupanya. Dia selalu datang dengan dua buku baru dan mengenakan hoodie berwarna gelap yang menutupi kepala sampai pangkal hidungnya. Kendati demikian, aku masih bisa melihat rahang dan jari-jarinya yang putih pucat sampai berakhir mempertanyakan adakah darah yang mengalir di tubuhnya. Aku iri karena kulitnya lebih mulus dariku.

Biasanya dia akan memintaku menulis 'Lots of love, Winter', atau 'Get well soon, Tallula'--dan aku tidak yakin Tallula adalah namanya karena jelas-jelas dia seorang laki-laki. Lalu jika sedang musim panas, dia akan memintaku menuliskan kata-kata yang penuh semangat. Tentu saja aku tidak kelewatan menuliskan kata-kata yang menyemangati.

Pria ini cukup tinggi. Dia sampai membungkuk sedikit di depan mejaku agar aku tidak mendongak terlalu tinggi—dia cukup memahamiku soal ini. Sekali lagi aku membubuhkan tanda tangan dengan tinta biru di buku yang aku adalah penulisnya. Ketika kukembalikan bukunya, dia selalu berkata "I'm your biggest fan" seperti meminta agar aku selalu mengingat dirinya. Penampilannya cukup mencolok di antara penggemar yang lain. Terlebih lagi, dia nyaris selalu ada di mana pun acara yang mengundang aku sebagai tamu. Salah satunya ini, peresmian toko buku baru di pinggiran Kota Riverside. Aku bisa bilang dia adalah orang kaya yang bisa bepergian ke mana pun sesuka hatinya.

"Terima kasih. Aku akan selalu mengingatmu." Itu yang kukatakan padanya sebelum menyuguhkan senyum terbaik yang kumiliki. Selalu. Seulas senyum yang kemudian muncul di bibirnya membuktikan bahwa dia tidak pernah bosan mendengar itu.

Acara hari ini telah berakhir satu jam yang lalu, tetapi aku masih harus memberi senyum untuk pengunjung terakhir yang ingin aku menandatangani bukunya. Pena sudah tergeletak di meja, dan aku meregangkan tangan ke atas untuk melepas penat. Saat itulah Robert, sepupu sekaligus asistenku, datang dengan segelas kopi yang aku yakin sudah dingin sekarang.

"Penggemarmu makin banyak. Hari ini terlambat setengah jam. Aku tidak bisa menjaga kopimu tetap hangat." Dia meletakkan gelas kopi di mejaku sambil memandang arlojinya. "Dan aku terlambat berkencan. Terima kasih sudah membuat telingaku panas karena dia tidak berhenti mengomel di telepon."

Aku tertawa geli karena keluhannya. Tak ada yang lebih menyenangkan selain melihat Robert kesal di saat-saat seperti ini, seperti pelepas penat. Bukan kali pertama aku membuat Robert harus diomeli kekasihnya. Aku masih beruntung karena wanita itu tidak melabrakku dan mengira aku ingin merebut Robert darinya. Ya ... gila saja aku menyukai pria berambut gondrong sepertinya. Dia harus mengikat rambut atau tidak akan kubiarkan dekat-dekat denganku.

"Kau bekerja untukku, terima saja risikonya." Kusesap kopi yang sudah dingin itu. Aku penikmat kafein, tak peduli suhunya panas atau dingin. "Pulang nanti mampir ke kantor Grace. Dia punya sesuatu yang mau dibicarakan denganku."

Grace adalah editor untuk naskah terbaruku, walau sebenarnya ini bukan kali pertama dia mendampingi tulisanku. Dia sudah menangani dua bukuku yang lain dan semuanya best seller. Grace sangat keren, ilmunya berlimpah, tetapi aku harus kuat mental dengan omelannya, karena hanya dengan cara itu aku mendapat ilmu darinya. Yang berarti, aku akan menghabiskan waktu berjam-jam bersamanya dan Robert menggeram karena dia tahu betul soal itu.

"Ya, Tuhan! Itu akan memakan lebih banyak waktu. Apa tidak bisa besok?" Robert sudah bermuka masam. Tampaknya dia sedang menghitung waktu perjalanan kami nanti karena dahinya itu berkerut-kerut tidak jelas.

"Besok aku harus menghadiri seminar. Itu sudah terjadwal kalau kau lupa. Tenang saja, kau tidak perlu menungguku. Malam ini aku mau sekalian ke bar, perlu sedikit riset di sana."

"Shit! Aku harus segera mencari pekerjaan baru."

Aku tersenyum ketika pinggiran gelas berada di antara kedua belah bibirku yang sudah kehilangan warna lipstik. Beberapa tegukan kopi membasahi kerongkongan sebelum kuletakkan kembali gelas ke atas meja. "Semangat untukmu."

Robert membantu membereskan barang-barang di mejaku. Namun, dia yang lebih banyak bergerak sementara aku menikmati kopi pembeliannya. Bagiku, kopi selalu berhasil mengembalikan tenaga yang tadinya sudah terkuras habis. Hari ini aku memang melakukan semuanya sambil duduk, tetapi bukan berarti aku bisa sambil beristirahat. Faktanya, berinteraksi dengan banyak orang itu melelahkan.

"Selesai." Robert berkata sembari meraih gelas kopi yang sudah habis dari tanganku dan melemparnya ke bak sampah di sudut ruangan.

"Lemparanmu bagus," pujiku sekadar untuk menghibur suasana hatinya yang buruk, kurasa.

Berhasil. Dia menyunggingkan senyum tipis. "Terima kasih. Aku pemain basket yang andal."

Hanya bola mata yang berotasi yang kutunjukkan kepadanya sebagai respons. Selain jago melempar, dia juga jago menyombong. 

•••

"Kau yakin kutinggal pulang?" Robert bertanya ketika aku melepas sabuk pengaman.

Mobil Jeep-nya sudah berhenti di depan gedung dua belas lantai di pertengahan kota. Perjalanan yang nyaris menghabiskan waktu satu jam memberiku waktu untuk membenahi riasan wajah dan merapikan rambut. Walau hanya Grace yang kutemui, tetapi dia sangat risi melihat penampilan yang acak-acakan. Kupikir dia pengidap OCD, sebab ketika melihat kekacauan, dia akan stres dan kesulitan mengendalikan diri.

Aku melihat wajahku sekali lagi melalui cermin kecil yang selalu ada di dalam tasku sebelum aku yakin untuk menemuinya.

"Apa? Kau mau membatalkan janji kencanmu? Aku senang-senang saja kalau ditunggu." Aku membalas dengan nada jenaka, sembari menyimpan kembali cermin kecil dan dompet make up kecil ke dalam tas.

"Tidak, tapi kau akan pergi ke bar dengan apa?"

Robert sangat perhatian meski aku sering kali membuatnya kerepotan. But, itu memang pekerjaannya dan mendapat gaji-meski aku sering merasa bersalah jika menyuruhnya ini itu.

"Taksi."

"Ini sudah jam tujuh, dua jam dengan omelan Grace, dan pergi ke bar pukul sembilan. Kau bawa kunci?"

Aku langsung merogoh kantong mantelku, disusul tas selempang sampai tas jinjing. Parah, aku tidak menemukannya di mana pun. Ini masalahku, sering kali melupakan hal-hal kecil. Kunci adalah benda yang paling sering kuhilangkan. Entah itu kunci biasa sampai yang bermodel kartu. Bulan lalu, pengelola gedung apartemen yang aku dan Robert sewa bahkan tidak bisa berkata-kata lagi ketika kuminta kunci baru. Pernah satu kali dia membuat keycard cadang sampai selusin dan aku menghabiskan semuanya dalam setahun.

Kutatap Robert cukup lama dan perlahan seulas senyum mengembang di wajahku. Aku tidak perlu mengatakan apa-apa agar Robert menyerahkan keycard miliknya yang sudah sangat jelek kepadaku, dia melakukannya disertai dengan helaan napas frustrasi. Kupandangi benda tipis itu sambil merapalkan mantra dalam hati agar tidak melarikan diri dariku. Robert memilikinya sejak kami pindah ke Los Angeles empat tahun yang lalu. Kalau kuhilangkan, dia pasti akan mengamuk.

"Tertinggal atau hilang?"

"Tertinggal," sahutku sembari berusaha terlihat tenang. Walau sebenarnya aku tidak ingat apakah tadi pagi benda itu sempat kubawa atau tidak.

"Pokoknya, yang itu jangan sampai hilang dan cari punyamu, Nat."

"Alright, alright. Bye, have a nice date."

Aku keluar dari mobil dan menutup pintunya agak keras. Bukan karena marah, tetapi mobil Robert memang sudah cukup tua dan perlu tekanan lebih besar agar bisa tertutup rapat. Meski begitu, mesinnya masih bekerja dengan sangat baik.

Robert melajukan mobilnya sembari melambai padaku. Dia selalu melakukan itu tidak peduli sekesal apa dia padaku, dan aku masih berpijak di tempat yang sama sampai mobilnya menghilang di persimpangan. Helaan napas terembus setelahnya, hingga panas tubuhku menguar bersama karbon. Udara di musim gugur lumayan dingin hari ini, mengingat tinggal sebulan lagi sebelum memasuki musim dingin—menurut perkiraan cuaca yang biasa kutonton setiap pagi.

Ponsel yang disimpan di kantong mantelku bergetar. Aku mengambilnya dan nama Grace mencuat di layar sebagai si penelepon. Hanya sebentar, wanita yang sudah berprofesi sebagai editor selama hampir satu dekade itu mematikan sambungan telepon, tepat sebelum aku berniat untuk menerimanya.

Kusimpan kembali ponselku sembari mendongak, menatap tepat pada satu-satunya jendela yang masih menyala terang. Ruangan itu berada di lantai lima dan ditempati oleh Grace. Hanya dia yang betah berada di kantor sampai malam. Dia mungkin tahu aku sudah tiba, jadi aku segera menghampirinya sebelum suasana hatinya memburuk karena terlalu lama menungguku.

"Tasha! I just wanna tell you that I really like your new story."

Itu adalah sambutan yang sangat hangat darinya, yang kuterima tepat ketika pintu di depanku ini terbuka, dan aku bahkan belum memasuki ruangannya. Grace membanting setumpuk kertas yang dijadikan satu dengan penjepit kertas besar dan memandangku dengan matanya yang melotot.

Seharusnya aku merasa tersanjung atas reaksinya, tetapi dengan caranya menatapku, aku merasa tidak boleh senang dulu. Aku hanya tersenyum tipis sembari melangkah pelan-pelan memasuki ruangannya.

"Aku mulai membacanya sejak tadi siang dan tidak bisa berhenti. Apa yang akan Jovanka lakukan jika kondisi Freya terungkap? Apa Freya akan terbunuh dengan peluru perak itu? Argh!" Grace membanting tubuhnya pada sandaran kursi, hingga singgasananya yang beroda itu mundur sedikit membentur lemari di belakangnya. "Aku sangat ingin kau menyelesaikan naskah ini, karena rasanya seperti aku sedang memakan semangkuk besar lobster. Kau tahu betapa aku sangat merindukan lobster."

Grace tampak sangat frustrasi. Aku tidak tahu apakah itu karena dia sangat penasaran dengan kelanjutan naskahku atau karena kerinduannya terhadap lobster. Pelan-pelan aku mengangguk, aku mengerti situasinya sekarang.

"Tapi kau tidak boleh memakannya karena kolesterolmu ... ." Aku sengaja menggantungkan kalimatku karena tahu itu akan membuatnya sedih.

"Ya ... ." Dia membalas lemah. "Itu yang terjadi pada naskahmu sekarang. "

"Ada masalah?" Kali ini aku dibuat menerka-nerka apa yang salah dengan naskahku. Ide dan plot yang sudah terkonsep kini melayang-layang di kepalaku, sementara si otak berpikir keras mencari-cari bagian mana yang dirasa memicu plot hole.

"Kolesterol itu berbahaya." Dia mulai memperingati, kemudian beranjak menuju laci yang berada di bawah jendela. Ruangan Grace sangat rapi hari ini. Naskah-naskah tertumpuk rapi di atas meja yang diletakkan menempel ke dinding. Dan di laci tadi, dia mengeluarkan sebuah buku bersampul merah muda cerah dan aku merasa familiar dengan ilustrasi yang tercetak di sana.

"Isabelle Huffman baru merilis buku baru dan pemesanan pertama sudah menembus 10.000 kopi. Itulah kenapa aku selalu memintamu untuk menulis di platform," tuturnya sembari menyodorkan buku berjudul 'Crimson Fate' kepadaku.

"Kalau kau terus-terusan menulis cerita yang sama, dia akan mengalahkan popularitasmu. Itu sama seperti menumpuk penyakit di tubuhmu jika terus-terusan dicekoki makanan berkolesterol tinggi."

Aku yang tadi sedang membaca halaman-halaman tertentu dari buku baru itu lantas berhenti. Dengkusan tawa kukeluarkan setelahnya.

"10.000 ke 275.000 itu jauh, Grace. Tidak perlu khawatir tentang sesuatu yang tidak akan terjadi." Aku berusaha menenangkan Grace. Walau di lubuk hatiku yang terdalam, aku juga mulai merasa terancam. Bukan tentang si penulis baru itu, tetapi tentang perpanjangan kontrakku di penerbitan ini.

"Digit itu total seluruh penjualan bukumu selama masa promosi, Tasha. Bayangkan jika Isabelle gencar mempromosikan bukunya. Itu bahkan baru dijual online. Namanya terkenal di platform Wattpad dengan hampir dua juta pengikut. Dia bisa saja menyaingi digit penjualan bukumu dengan penggemar sebanyak itu."

Aku mengulum bibir dan menggeleng pelan. "Aku sedang berusaha untuk tidak menyimpan ucapanmu dalam kepalaku."

"Kalian menulis genre yang sama, tapi Isabelle ini tahu cara menarik pembaca, dia punya sesuatu yang tidak kaumiliki."

Aku mengembalikan buku tadi ketika Grace mengulurkan tangan padaku.

"Apa itu?"

Alih-alih menjawabku, dia justru tenggelam di antara halaman buku tersebut. Seolah-olah dia sedang mencari sesuatu untuk ditunjukkan kepadaku.

"Sense of romance," balasnya sembari menyodorkan buku yang sudah dibatasi halamannya dengan selembar sticky note.

Kurasakan darahku berdesir ketika dia mulai memperpendek jarak wajah kami. Jantungku berdebar keras seolah-olah sedang memberontak untuk dikeluarkan. Dia menyeringai ketika hidung kami sudah bertemu, aku yakin dia sudah mendengarnya; debar jantungku.

"Setelah menghabiskan banyak waktu bersamamu untuk mengungkap identitasnya, perasaan ini muncul. Aku tidak bisa menahannya. Inilah batasku untuk menyembunyikan. I love you, Sarah."

Itu adalah kalimat terindah yang pernah diucapkan kepadaku.

Aku menutup buku itu karena tidak sanggup terus membaca. Jika Grace berharap aku akan menulis kisah cinta, aku pasti akan stres.

"Apa kau berharap aku juga memuat adegan ciuman di ceritaku?"

Grace mengangkat bahu. "Aku tidak bermaksud begitu. Naskahmu luar biasa, kuakui itu. Sayangnya kisah cinta adalah bumbu yang sangat diinginkan banyak orang. Pembaca suka berperan sebagai tokoh dalam cerita dan membayangkan bertemu dengan pujaan hatinya. Jangan bilang kalau kau tidak punya kriteria pria idaman."

Aku menggosok pelipis dengan telunjuk setelah Grace menyinggungku seperti itu. "Mungkin aku lupa memikirkan tentang pasangan."

"Itu mengerikan." Grace menggeleng seperti aku baru saja melakukan sesuatu yang tidak wajar.

"I'm fine by myself, okay?"

"Terserah. Aku akan senang kalau kau mempertimbangkan untuk membubuhkan itu di naskahmu saat ini. Sementara naskahmu kukembalikan. Mustahil menerbitkannya di saat orang-orang mulai tertarik pada romansa fantasi di tulisan Isabelle. Bahkan pimpinan sedang berencana untuk memintanya menulis bersama kita. Pikirkan sesuatu yang akan meledak seperti balon yang dipaksa menampung udara terlalu banyak. Dor. Udaranya berbaur dengan atmosfer."

Itu perumpamaan yang tidak menyenangkan. Maksudku, sejak awal aku sudah mendedikasikan diri sebagai penulis fantasi. Kisah cinta akan merusak citra yang kubuat meski kusadari itu memang bumbu terbaik setiap cerita. Namun, apa yang bisa ditulis oleh seseorang yang tidak memiliki pengalaman asmara ini?

Pada akhirnya aku mengangguk pasrah, menerima kesempatan yang ditawarkan Grace. Aku tidak sedang mempertimbangkan kisah cinta dalam ceritaku, tetapi berusaha memikirkan konsep mind blowing yang tentunya akan membuat pembaca terkesima.

"Aku berharap kau mempertimbangkan saranku."

"Aku belum pernah berkencan."

"Kalau begitu kau harus mencari pacar, kencani seseorang."

Aku tertawa hambar pada usulan tak bermutunya itu. "Impossible."

•••

So ... this is the first chapter for you.
Bagaimana? Kritik dan saran sangat diterima.

Robert A Scrubb
.
Robert
25 years old (in the story)
D.o.B doesn't matter
Winter's assistant and cousin
Basketball player in the past
Really proud of his cousin
Americano is his fave
A really caring person

Lots of love,
Tuteyoo
10 Juli 2021
Re-publish 7 Maret 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top