Two • Perkenalan Pertama
"Ah! Dammit!" rutuknya kesal. Sudah sedari tadi Ashilla mencoba mengetik kata demi kata untuk menjadi sebuah tulisan. Resah, makalah tentang pekerjaan magangnya di perpustakaan kota belum juga jadi satupun. Dan seminggu lagi adalah tenggat waktu. Karena dalam seminggu lagi dia akan memulai aktivitas sekolahnya di tahun kedua awal semester di SMU Windsor High School.
Makalah ini harus jadi. Harga mati. Karena jika tidak, dia tidak diizinkan kembali ke sekolah menjadi senior di tahun kedua, dengan kata lain dia kembali ke junior di tahun pertama. Yang benar saja! siapa yang mau kembali mengalami masa-masa mengerikan sebagai junior di tahun pertama?
Ashilla tidak bisa membayangkan Hannah dan sekutunya merundungnya karena harus mengulang kelas junior. Sudah cukup bersyukur dia bisa menghindar dari mereka selama tahun-tahun junior.
Merasa dehidrasi karena pembuatan makalah, refleks dia turun dari tempat tidur menuju ke dapur di bawah. Diambilny air dingin dari kulkas dan menuangkannya di gelas lalu meneguknya hingga habis. Sungguh dirinya kehausan jika pikiran tak sejalan dengan apa yang harus dikerjakannya.
BRAKKK!!!
Matanya langsung memandang keluar jendela setelah mendengar dentuman keras itu. Tak jauh dari pandangannya ada seorang remaja lak-laki tinggi, putih, bermata biru, tampan terlihat kesulitan membawa barang-barangnya di kardus dan semua terjatuh.
"Apa dia tetangga baru?" Ashilla tidak mengharapkan apa-apa. Dia sadar dengan keterbatasan wajah yang di bawah rata-rata, mana mungkin remaja tampan itu akan meliriknya. Ashilla merasa mereka seumuran dan berpikir untuk membantunya.
"HEY! PERLU BANTUAN?"
"Eh?" Kaget karena teriakan dari Ashilla, laki-laki itu berhenti sejenak dari kegiatannya membereskan kardus yang berserakan. "Hmm ... sebenarnya tidak perlu, tapi kalau kau ingin membantu, itu lebih baik!"
"Baiklah! Tetap di sana! Aku akan menghampirimu!"
Secepat kilat Ashilla keluar rumah menghampiri remaja laki-laki itu. Entahlah, perasaannya cukup senang karena bantuannya disambut.
"Kurasa dia pria yang baik." Ashilla menjulurkan tangannya dan memperkenalkan diri. "ASHILLA THOMPSON," ucapnya, "panggil saja, Ash."
"WLLIAM ALEXANDER HALL" Disambutnya uluran tangan Ash. "Panggil saja, Will."
Mereka berjabat tangan sambil saling tersenyum dan bisa saja melupakan waktu kalau saja ibunya Will tidak memanggil dan menyuruhnya masuk ke dalam.
"Oh, ibumu memanggil."
"Ah, yeah ... dan kita harus membereskan barang-barang ini," ujar Will canggung.
Ashilla tersenyum dan membantunya membereskan barang-barang kemudian masuk ke dalam rumah.
"Mom, perkenalkan ini Ash."
"Ashilla Thompson, miss...."
"Eleanor, Eleanor Blair Hall. Panggil saja aku, Elle. Aku ibunya Will" sambar Eleanor sambil tersenyum dan menjabat tangan Ashilla. Mata Elle melirik putranya. Ingin sekali dia menggoda Will, tapi diurungkan niatnya itu.
"Aku tinggal di sebelah rumah ini, kita akan menjadi tetangga. Jadi, kupikir untuk membantu Will, karena sepertinya dia kesulitan membawa barang-barangnya di kardus." Ashilla memberi penjelasan.
"Ah! Itu bagus! Setidaknya Will langsung berkenalan dengan teman sebayanya begitu dia pindah ke sini. Tunggu ... kau sebaya dengan Will, kan?" tanya Eleanor hati-hati.
"Umurku 16 tahun. Aku bersekolah di SMU Windsor High School."
"Oh, berarti kita sebaya," celetuk Will, "dan mungkin saja kita akan menjadi teman sekelas nanti, karena aku juga akan bersekolah di SMU Windsor High School."
"Mungkin ... aku mengharapkan itu," sahut Ash sambil tertawa kecil.
"Oke, sebaiknya kalian membawa barang-barang ini ke kamarmu Will. Apa kau sudah menemukan kamar yang cocok?" tanya Eleanor.
"Tentu saja." Will mengangguk. "Ayo kita ke kamarku!" ajaknya kepada Ash.
Ashilla mengikutinya menuju lantai dua dan memasuki kamarnya, melihat sekeliling, dan terfokus pada jendela kamarnya. Dia tersenyum geli karena melihat jelas kamarnya di seberang. "Kau sengaja, ya, memilih kamar ini?"
"Apa maksudmu?" Will pura-pura tidak mengerti.
"Di sana." Ashilla menunjuk jendela kamarnya. "Kamarmu tepat berseberangan dengan kamarku. Kau tidak bermaksud mengintip atau menguntitku, kan?" selidiknya sambil memicingkan mata ke arah Will.
Kontan, ekspresi Will seperti tertangkap basah hendak mencuri. "Astaga Ash! Yang benar saja!" sanggahnya. "Aku memilih kamar ini karena aku merasa nyaman di kamar ini, dan yeah ... seberang kamarku adalah kamarmu dan bukan salahku itu kamarmu. Lagipula tidak masalah, bukan? Setidaknya kita bisa saling berbincang di antara jendela kamar kita?" jelas Will panjang lebar seakan membela diri.
Ashilla tertawa mendengar penjelasan Will. "Yang benar saja!" decaknya.
Penjelasan Will tentang pemilihan kamarnya yang berseberangan dengan kamarnya memang agak mencurigakan, tapi alibinya - agar bisa berbincang di antara jendela kamar - cukup unik. Tidak buruk juga melakukan hal itu untuk anak remaja zaman sekarang, setidaknya bagi Ashilla.
"Jadi, kau pindah dari mana?" tanya Ash.
"Mm, New York," jawab Will.
"Wow! Berarti kau anak kota? Aku belum pernah ke kota besar seperti New York." Ashilla mendesah. "Aku pindah ke sini saat aku kecil dan hingga sekarang aku tidak pernah keluar dari kota ini. Menyedihkan, ya?" sindirnya pada diri sendiri.
Will tertegun. Dia menatap Ashilla dengan tatapan yang seolah-olah mengatakan "Tidak! Itu sama sekali tidak menyedihkan!" Perlahan dia mendekati Ashilla. "Kau tidak akan menyukainya, kota besar, hanya ada sekumpulan orang-orang yang sibuk dengan dunianya sendiri dan juga kemacetan," ujarnya.
"Benar." Ashilla mengangguk dan tersenyum. "Setidaknya maaf, di kota ini masih memiliki keindahan alam, udara segar, dan jauh dari kebisingan hiruk pikuk kota besar," lanjutnya.
"Yeah, itu maksudku," sahut Will. Kemudian mereka pun terawa bersama menikmati perbincangan sebelum akhirnya harus terhenti karena pintu kamar dibuka oleh seseorang.
Eleanor mengingatkan masih banyak barang-barang yang harus dipindahkan. Ashilla dan Will bergegas turun dan memindahkan semua barang-barang. Hingga semua selesai. Ashilla pun pamit. Namun, Ibunya Will hendak memaksanya tinggal untuk makan malam, kalau saja dia tidak menjelaskan ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikannya.
"Terima kasih sudah membantu," ucap Will sambil mengantar Ashilla keluar.
"Tidak masalah. Kalau butuh bantuan lainnya, kau bisa memberitahuku." Ashilla tersenyum. Mereka pun berpamitan. Ashilla bergegas menuju rumah dan memasuki kamarnya.
Oke Ash, sekarang lanjutkan tugasmu! Bagaimana kau akan menyelesaikan makalahnya? Belum satu halaman pun kau tulis! Jangankan satu halaman, satu kata pun belum kau tulis!
Ashilla merebahkan dirinya di tempat tidur dan memejamkan mata. Tugas makalah ini membuatnya kelaparan. Tapi Ayah dan Ibunya belum pulang. "Seharusnya kuterima saja ajakan makan malam dari tetangga baru di sebelah tadi," ucapnya menyesal. "Ah sudahlah! Lebih baik kutunggu saja mom dan dad." Dia pun memasang earphone dan mulai mendengarkan lagu -Lazarus by Porcupin Tree - Ashilla memejamkan mata dan perlahan mulai terlelap. Tanpa dia sadari di seberang kamarnya, remaja laki-laki itu, Will memandanginya dengan kedua sudut bibirnya melengkung ke atas.
∞∞∞
"Will."
"Yeah, mom?"
"Bagaimana menurutmu? Gadis itu, Ashilla? Dia tak tampak seperti kita, maksudku ... dia terlihat sangat Asia dengan kulit gelap dan rambut hitam legam," tanya ibunya.
Will mengangguk. "Aku juga berpikir sama denganmu. Mungkin dia memang orang Asia yang tinggal di Amerika? Matanya besar dan indah, senyumnya juga cukup manis...."
"Kau menyukainya, ya?"
"Yeah aku menyukainya. Entahlah, bukan rasa suka yang berlebih. Kau tahu maksudku, kan? Aku baru saja bertemu dan berkenalan dengannya ... " jelas Will agak canggung.
Eleanor tertawa kecil. "Aku mengerti maksudmu," ucapnya sambil menepuk bahu putranya. Will pun tersenyum salah tingkah. "Ayo! Kita harus menyiapkan makan malam. Kau tidak lapar?"
"Tentu saja aku lapar! Apa yang akan kita masak?"
"Kau mau makan apa? Atau kita makan di luar saja? Mumpung bibimu masih di sini pastinya dia tidak keberatan mengajak kita makan malam di luar."
"Baiklah kita makan di luar saja, aku sudah terlalu lapar untuk memasak makan malam."
Will dan Eleanor menuruni tangga sambil tertawa kecil. Lalu memberitahu Bibi Lina maksud mereka. Untungnya Bibi Lina tidak keberatan dan memang dia bermaksud mengajak ibu dan anak tersebut makan di luar. Mereka pun beranjak keluar, bersiap-siap menuju ke mobil.
Sesaat Will melihat rumah di sebelahnya masih gelap. Teras depan tidak dinyalakan lampu. Dia pun melihat ke jendela kamar di lantai dua, gelap, tidak ada tanda-tanda ada orang di kamar tersebut. "Apa Ash sudah bangun? Lalu pergi?" Karena dia dengan jelas tadi melihat Ash tertidur di atas tempat tidurnya, tapi keadaan rumahnya seperti tidak ada penghuninya.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan rumah. Seorang wanita dan pria kira-kira seumuran ibunya keluar dari mobil dan masuk ke dalam. Will memperhatikan. Lampu teras menyala dan seluruh isi rumah terang benderang. "Itu pasti orang tuanya." Will tampak lega. Lalu, dia pun bergegas menaiki mobil dan bersama ibu juga bibinya pergi untuk mencari makan malam.
∞∞∞
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top