Twenty Four • Status Hubungan

Will dan Hannah akhirnya mengakhiri kencan mereka hari itu. Dan Will selayaknya pria yang baik mengantar Hannah ke rumahnya.

“Terima kasih, Will, sudah mengajakku berkencan dan mengantarku pulang,” ujar Hannah.

“Tidak masalah,” jawab Will singkat diakhiri dengan senyum tipis yang tidak biasanya. “Baiklah aku pulang dulu,” pamitnya.

“Will!” Hannah tiba-tiba memanggilnya dan menahannya. Lalu, beberapa detik kemudian bibir Hannah bersentuhan dengan bibir Will.

“Hannah! Tunggu dulu!” Refleks Will mendorongnya. “Aku tidak suka dengan sikapmu ini Hannah! Sudah yang kedua kalinya!” ucap Will dengan nada marah.

“Tapi … bukankah kita berkencan?” tanya Hannah.

“Waktu kencan kita sudah habis dan aku ingin menegaskan bahwa sebenarnya aku tidak akan berkencan denganmu lagi. Sudah kukatakan sebelumnya, kan? Kita hanya kencan sehari,” cecar Will menjelaskan.

“Baiklah. Aku tahu Will, tapi aku ingin memberikan ciuman perpisahan untukmu,” rayu Hannah dan seakan tidak bersalah dia mencoba mencium Will lagi.

“Sudah cukup, Hannah! Aku akan pulang sekarang!” tegas Will lalu meninggalkan Hannah begitu saja.  Gadis itu hanya diam dan menatapnya pergi.

Pikiran Will berkecamuk dengan apa yang terjadi hari ini. Bukan karena sikap kurang ajar Hannah yang seenaknya saja menciumnya, tapi karena Ashilla! Gadis itu merasuki pikirannya. Membuat hatinya dibakar rasa cemburu. “Jadi selama ini dia menghindariku karena akan berkencan dengan Jackson?” batin Will tersenyum sinis. “Seandainya aku tak berniat menggoda Hannah dengan mengajaknya berkencan, mungkin aku tidak akan pernah tahu Ashilla berkencan dengan Jackson,” pikirnya.

Begitu sampai di rumahnya, Will langsung menuju kamarnya. Hari yang melelahkan baginya dan dia sangat membutuhkan istirahat untuk menenangkan hati dan pikirannya. Lalu, tanpa sengaja dia memandang ke seberang kamarnya, lebih tepatnya ke kamar Ashilla. Dilihatnya kamar itu masih gelap dan tirai jendelanya masih terbuka.

“Apa Ashilla belum pulang?” Biar pun dirinya sedang emosi dan kesal karena melihat Ashilla pergi dengan Jackson. Tetap saja dia khawatir jika mengetahui sudah semalam ini gadis itu belum pulang.

“Will, di bawah ada orang tua Ash. Mereka ingin bicara denganmu.” Eleanor tiba-tiba masuk ke kamarnya.

“Ada apa ya mom?” tanya Will gelisah.

“Kata mereka, Ash belum pulang. Mereka bilang, Ash pergi dengan seseorang bernama Jackson, tapi mereka tidak tahu bagaimana menghubungi Jackson.”

“Memangnya Ash tidak memberitahu keberadaannya? Tidak biasanya dia seperti itu.”

“Mereka sudah menghubungi ponsel, Ash. Namun, tidak tersambung. Sepertinya ponselnya mati. Apa kau tahu sesuatu?”

“Tunggu sebentar aku akan menghubungi Jackson.”

Eleanor pun kembali ke bawah menemui orang tua Ashilla. Lalu Will segera menghampiri mereka setelah menghubungi Jackson.

“Jackson bilang dia sudah mengantar Ash sampai ke rumah,” ujar Will yang juga terlihat sangat khawatir. “Ashilla ... sekarang kau ada di mana?”

“Kami juga sudah menghubungi sahabat-sahabatnya. Karen bilang dia pergi berkencan dengan Jackson. Kalau memang benar katamu Jack sudah mengantarnya pulang. Lalu di mana Ash sekarang?” tanya Melissa begitu khawatirnya.

Will pun memutar otaknya. Kira-kira di mana Ashilla sekarang? Pikirannya tiba-tiba teringat pada suatu tempat. MARKAS!

“Sepertinya aku tahu di mana Ash sekarang,” ucap Will lalu begitu saja keluar dengan cepat setelah mengambil jaketnya.

∞∞∞

Ash mulai kedinginan di markas, tapi hatinya masih terasa panas. Ponselnya mati karena kehabisan baterai dan dia tidak peduli. Dia biarkan dirinya merasakan angin musim dingin yang tidak begitu dingin dirasakan hatinya. Air matanya sudah sedari tadi menetes, tapi langsung diusapnya. Dia berharap Will tiba-tiba muncul dan menjelaskan semuanya, tapi dia rasa itu tidak mungkin. Lagipula untuk apa penjelasannya? Biar saja jika Will memang ingin bersama Hannah. Kan, Will bilang sendiri bahwa dia mnyukai Hannah.

Tanpa Ash sadari ternyata orang yang dipikirkannya sudah ada di bawah rumah pohon tua itu. Refleks dia tiba-tiba terbangun dan tak sengaja menyebut namanya, “Will….”

Ash pun beranjak turun dari rumah pohon dan hendak pergi mengacuhkan Will, tapi dengan cepatnya Will menahan lengannya.

“Ash! Apa yang kau pikirkan? Sudah semalam ini kau bukannya kembali pulang justru ingin bermalam di sini? Apa kau sudah gila? Ini musim dingin! Kau bisa sakit! Orang tuamu khawatir padamu! Aku juga khawatir padamu!”

“Kau tak usah peduli padaku, Will! Bersenang-senang saja dengan Hannah!”

“Jangan menyindirku, Ash! Kau juga bersenang-senang dengan Jackson!” ucap Will dengan nada yang ditegaskan dan terdengar cemburu. “Apa kau tahu? Menyakitkan buatku melihatmu pergi dengannya! Seakan belum cukup, kau pun bermanja-manja dengannya di hadapanku! Itu membuatku sangat cemburu!”

“Kau sendiri? Apa tadi kau bilang? bahwa kau sepertinya menyukai Hannah karena ciumannya di pesta Halloween waktu itu?” Ash tersenyum sinis dan tanpa sadar air matanya menetes yang dengan cepat diusapnya sebelum menyentuh pipinya.

Will melihat air mata Ash, ada getir kepedihan yang dirasakan htainya. Perasaan bersalah yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. Perlahan dia melepaskan cengkramannya dari lengan Ash. Lalu, langsung meraba pipinya yang berusaha dipalingkan gadis itu.

“Jika kau memang tidak menyukaiku. Jangan biarkan aku jatuh cinta terlalu dalam. Karena kau tahu betul, aku jatuh cinta padamu, Will …” ucap Ash sambil menundukkan kepalanya menahan tangis.

“Kau tahu apa yang menyakitkan bagi seorang pria?” tanya Will, dan Ash hanya menggeleng perlahan sambil menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Melihat wanita yang disayanginya menangis,” jawabnya.

Lalu, Will mendekati wajah Ash. Bibirnya menyentuh bibir gadis itu perlahan. Lembut dan hangat. Ash yang awalnya hanya diam saja, kemudian mengikuti permainan indah ciumannya. Terasa manis dia rasa di malam musim dingin yang menusuk. Bahkan tidak terasa dingin dirasakan Ash karena pelukan hangat dari Will. Setelah beberapa saat Will melepaskan ciumannya.

“Aku menyukaimu Ash, aku menyukaimu dari ketika aku melihat dirimu di kamarmu saat pertama kali aku pindah ke sini,” ucap Will menatap lekat kedua manik indah milik Ash dan seperti biasa diakhiri dengan senyum mautnya.

“Tapi... bagaimana dengan Hannah? Kau bukannya berkencan dengannya?” tanya Ash pensaran. Karena yang benar saja jika Will berkencan dengan Hannah lalu kini dia menciumnya dan mengatakan menyukainya.

“Kau sendiri? Bukannya kau berkencan dengan Jackson?” Will bukannya menjawab malah balik menuduh Ash.

“Aku berkencan dengan Jackson hanya sebagai hadiah ulang tahun untuknya. Tadi kau bukannya mendengarkan penjelasan Jackson saat di bioskop?” jawab Ash agak kesal karena Will tidak menjawab pertanyaannya.

“Aku tidak mendengarkan dan tidak memperhatikan siapa pun tadi di bioskop. Pikiranku hanya tertuju padamu, Ash! Kau membuatku cemburu setengah mati seharian ini. dan aku hanya bercanda saja mengajak Hannah berkencan, tapi dia menganggapnya serius. Jadi kami berkencan hanya untuk sehari saja. Aku sudah mempertegasnya pada Hannah.” Will menjelaskan panjang lebar dan kata-kata –kau membuatku cemburu setengah mati– entah bagaimana menciptakan sensasi luar biasa di hati Ash. Bahagia sekaligus bersalah.

“Maafkan aku, Will….”

“Kau tidak cemburu melihatku dengan Hannah?”

“Tentu saja aku cemburu, Will! Kau tidak lihat tadi aku pulang duluan?”

Will tersenyum lebar. Dia sangat puas dan senang mendengar jawaban Ash. Dia pun memeluknya erat dan Ash membalas pelukannya. Sangat hangat dan serasa melebur jadi satu. Untuk beberapa lama mereka berpelukan, Will melepas pelukannya dan mengajak Ash pulang.

Ash agak merasa bersalah kepada orangtuanya karena bersikap seperti ini, tapi memang bukan maksudnya tidak memberitahu keberadaannya. Baterai ponselnya habis dan dia dalam kondisi yang memang ingin sendiri tak ingin diganggu siapapun.

“Ash! Kau dari mana saja? ini sudah hampir tengah malam! Kau tahu aku sangat khawatir sekali padamu!” ucap Melissa sambil mengusap pipi putri semata wayangnya itu lalu memeluknya.

“Maaf mom, baterai ponselku habis dan aku tidak bisa menghubungimu,” jawab Ash.

“Will, terima kasih sudah membawa pulang kembali putri kami. Tidak tahu bagaimana jadinya jika tidak ada kau,” kata Mr.Thompson.

“Tidak masalah, aku juga khawatir padanya. Kau tahu, kan, kalau aku jatuh cinta pada putrimu? Aku harap kau tidak masalah jika aku berpacaran dengannya?” tanya Will.

“Ya ampun! Apa katanya? Dia jatuh cinta padaku? Lalu bertanya seperti itu seakan meminta izin pada Ayahku. Sungguh, kau sudah gila Will!” teriak Ash dalam hati.

Mr. dan Mrs. Thompson hanya saling pandang dan kemudian tertawa melihat Will. Lalu, melihat Ash yang sedang berharap tertawa mereka itu tanda setuju atas pertanyaan dari Will.

“Tidak masalah. Sungguh tidak masalah. Justru kami senang akhirnya kau berpacaran dengan putri kami,” jawab Mr.Thompson yang kemudian memandang istrinya. “Tapi kau tahu, kan, etikanya? Yeah, aku sadar ini Amerika dan aku paham betul bagaimana kehidupan remaja Amerika sekarang. Jadi, meskipun aku memberi izin bukan berarti kau punya hak menghancurkan masa depan putriku. Kau paham, kan, maksudku?” lanjutnya menambahkan.

“Tenang saja Mr.Thompson. akan aku jaga baik-baik putrimu,” ucap Will dengan sopannya kemudian dia mengerlingkan kedipan pada Ash. Astaga!

Ash merasa beruntung ayah ibunya tidak permasalahkan status hubungannya dengan Will yang kini berpacaran. Namun, bukan Mr.Thompson namanya jika tidak mengingatkan aturan-aturan dan etika. Bukannya dia kuno tapi cukup konservatif dan sangat religius.
Ash juga tidak ingin menghancurkan masa depannya. Dia juga punya cita-cita yang harus digapai menjadi seorang pianis. Sangat rugi jika dia lebih memilih membuang mimpinya hanya karena jatuh cinta, menurutnya. Lagipula Ash dan Will masih remaja SMU berumur 16 tahun. Apapun bisa terjadi bukan di masa depan?

Will pun berpamitan pulang ke rumahnya. Ash mengantarnya sampai ke pintu. Sesaat sebelum dia menutup pintu, Will berbisik, “tunggu aku di jendela kamarmu ya!” Astaga Will!

Ash langsung berlari ke kamarnya dan stand by di jendela. Ini adalah ritual mereka setiap malam bahkan sebelum berpacaran. Mengucapkan ‘selamat malam’ di antara jendela kamar. Namun, kali ini ritual itu menjadi lebih istimewa karena mungkin status mereka kini yang berpacaran.

Will sudah ada di depan jendela kamarnya lalu dia keluar, memanjat beberapa dahan pohon hendak menuju jendela kamar Ash.

“Will! Apa yang kau lakukan?” bisik Ash setengah berteriak.

Will tak menghiraukan ucapan Ash. Dia terus menyusuri dahan pohon dan menghampiri gadis itu. Ash yang sudah di jendela menunggunya datang mendekatinya.

“Selamat Malam, Ash! Aku mencintaimu! Dan jangan lupa mimpikan aku saat kau tidur.” Will kemudian mendekatkan dirinya kepada Ash lalu mengecup singkat bibirnya. “I love you, Ash!”

Ash hanya terpaku dan tersenyum kepadanya. Kau tahu, kan, kisah romeo dan Juliet? Di mana romeo menaiki balkon kamar Juliet lalu mengatakan betapa dia mencintai Juliet? Hampir seperti itulah kejadiannya, tapi ini bukan kisah sastra romantis. Hanya dua orang remaja yang saling jatuh cinta, William dan Ashilla bukan Romeo dan Juliet.
Kecupan hangat William meski singkat benar-benar hangat dirasakan Ash hingga ke dalam jantung hatinya. Oke, ini sungguhan! Meskipun terdengar menggelikan. Mereka mengakhiri ritual ‘selamat malam’ layaknya sebuah kisah sastra romantis abad pertengahan. Sungguh langka. Mengingat zaman sekarang sudah jarang sekali yang mau melakukannya seperti itu. Ash tertawa geli dalam hati. Will! Selalu ada saja tingkahnya yang membuatnya tidak habis pikir.

∞∞∞

Keesokan paginya. Ash yang samar-samar membuka matanya kaget sekali melihat Will sedang berada di samping tempat tidurnya dan dia sedang memandangnya.Sontak saja Ash terlonjak dan setengah berteriak kepadanya.

“Will! Apa yang kau lakukan di sini?”

“Memandangmu … menunggumu terbangun dari tidurmu,” jawab Will.

“Bagaimana kau bisa masuk?” tanya Ash.

“Tuh,” tunjuk Will ke jendela kamar Ash yang terbuka. “Jendela kamarmu tidak terkunci semalam. Untung saja aku yang masuk ke kamarmu, Ash! Kalau itu Jackson, aku tidak akan memaafkanmu!” Will melanjutkan dan sedikit mengancam. “Lain kali jangan lupa mengunci jendela kamarmu!” tegasnya lagi.

Ternyata Ash lupa mengunci jendela kamarnya semalam. Pasti itu karena terlalu menikmati momen –ketika Romeo menaiki balkon kamar Juliet– dia jadi tertawa geli di dalam hati. Kemudian tanpa aba-aba, Will memberikan kecupan hangat ‘selamat pagi’ di bibirnya.

“Aku bahkan belum membersihkan diriku.” Ash memegang bibirnya sedikit terkejut.

“Aku suka bibirmu dalam kondisi apapun,” ucap Will dengan senyuman mautnya.

Oh Tuhan! Bagaimana tidak hati seorang Ashilla Thompson menjadi serasa melayang? Dan Ash berusaha menangkap hatinya itu sebelum menghilang di awan-awan. Agak berlebihan, tapi memang seperti itu rasanya.

“Bersiap-siaplah kita akan pergi berkencan seharian hari ini,” kata Will mantap

Ash jadi ingin menggodanya . “Will ... sepertinya aku ada acara dengan Karen. Maaf ya, aku tidak bisa berkencan denganmu hari ini.”

Will kemudian menatap Ash. Agak lama dan membuat Ash salah tingkah. Lalu dia tertawa kecil.

“Ash, kau tidak bisa membohongiku. Aku tahu kau tidak ada acara apapun hari ini. Jadi, cepatlah bangun dan bersiap-siap. Kita akan berkencan hari ini!” Will menegaskan dengan tatapan –aku tidak mau mendengar jawaban tidak– di wajahnya.

Ash melongo. Kini, Will yang dia kenal bukan hanya suka mencegat orang, tapi juga sedikit memaksa. Namun, Ash justru tidak masalah dengan itu

“Baiklah. Aku akan bersiap-siap. Kau kembalilah ke kamarmu.”

“Kenapa aku harus kembali ke kamarku?”

“Will! Karena aku akan bersiap-siap dengan acara kencan kita dan aku tidak mau kau tetap di sini. Sudah kembali sana!”

“Oke, oke, aku akan kembali ke kamarku, tapi ucapkan satu hal dulu padaku, Ash”

“Apa? Apa maumu?”

“Ucapkan kau mencintaku juga.”

Astaga! Pagi-pagi Will sudah mengeluarkan rayuan manjanya!

Dengan tatapan melekat kepada kedua matanya yang biru dan indah, Ash pun mengucapkan kata itu. “I love you, William Alexander. Aku sungguh mencintaimu.”

Kemudian perlahan Will memeluk gadis di hadapannya itu. Ash bisa merasakan tangannya yang cukup kekar di pinggangnya yang ramping. Agak lama mereka berpelukan, sampai akhirnya Will melepaskannya. Lalu kembali ke kamarnya melalui jendela dan menyusuri dahan pohon yang tepat berada di antara jendela kamar mereka.

Ash beranjak menuju kamar mandi dan bersiap-siap untuk acara kencan dengan Will. Akhir pekan ini mereka habiskan waktu bersama. Ash pikir Will akan mengajaknya ke kota atau ke suatu tempat untuk berkencan. Namun, ternyata dia hanya mengajak duduk bersama di dahan pohon yang berada tepat di antara jendela kamar mereka.

Mereka membicarakan banyak hal, mendengarkan lagu favorit, menikmati camilan dan soda juga tidak lupa sesekali berciuman. Sederhana dan romantis. Will paham sekali kalau seorang Ashilla Thompson suka dengan hal-hal yang sederhana.


∞∞∞

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top