Fourteen • Pulang Bareng
Pukul lima sore, akhirnya Ash selesai latihan dengan klub teater. Masih banyak kesalahan yang dilakukan, beberapa kali harus mengulang dari awal. Tapi waktu masih dua bulan untuk mempersiapkan pertunjukkan natal. Ash berpamitan kepada teman-temannya dan Ms.Brooke lalu bergegas menuju gymnasium menjemput Will untuk pulang bersama.
Ddrrrrrrttttt. Ddrrrrrtttttt.
Ponselnya bergetar, terlihat di layarnya, panggilan masuk dari Lindsay Willow, Ibunya Karen. Ash berpikir sejenak, kenapa ibunya Karen meneleponnya?
“Halo.”
“Halo Ms.Willow, ada yang bisa dibantu?”
“Maaf Ash, tapi bisakah aku berbicara dengan Karen? Ini keadaan mendesak.”
“Oh itu ... aku sedang tidak bersama Karen, dia sedang ada rapat, tapi saya bisa memanggilnya jika memang ini keadaan mendesak.”
“Baiklah, tolong ya Ash. Saya tutup teleponnya dan tolong suruh Karen menghubungi saya.”
“Baiklah.”
Ash bergegas menuju ruang klub organisasi siswa, benar saja, Karen masih rapat bersama anggota lainnya. Dia mengetuk pintu lalu membukanya. “Maaf, bisakah saya memanggil Karen sebentar? Ibunya menelepon, katanya mendesak," tanyanya pada Jackson, si ketua klub organisasi siswa, pemimpin rapat tersebut.
“Oh silahkan, tapi jangan lama-lama,” jawabnya tersenyum kepada Ash dan Karen.
“Ada keadaan mendesak apa?” tanya Karen.
“Entahlah, kau harus segera menelepon Ibumu,” jawab Ash.
Karen pun menelepon Ibunya. Kalau di pikir-pikir, Ash juga penasaran dengan keadaan mendesak apa yang sedang terjadi.
“Jadi, ada apa?” tanya Ash kepada Karen.
“Mom tidak bisa menjemputku nanti malam.” Karen mendesah. “Aku harus pulang dengan siapa? Rapatnya masih lama, paling cepat selesai jam 8 malam, tapi kurasa baru akan selesai jam 9 malam.”
“Apa perlu kutemani? Kita pulang bersama nanti malam? Ayahku pasti mau menjemputku.”
“Aku maunya kau menemaniku sampai nanti malam. Kita pulang bersama, tapi tidak perlu meminta ayahmu menjemputmu. Kita naik taksi saja nanti? Ya? Mau, kan?” Karen memelas.
“Udah nggak usah memelas begitu, tanpa kau minta juga aku akan menemanimu pulang, lagian aku khawatir kau bukannya pulang nanti malah menginap di rumah Jackson!”
Karen tertawa. “Ya sudah kau tidak usah menungguku, lebih baik aku menginap di rumah Jackson.”
“Hei! Kita pulang bersama pokoknya!”
Ash bergegas menuju gymnasium untuk menemui Will, sesampai di sana laki-laki itu masih bermain basket di lapangan. Ash duduk di bangku penonton agak menjauh dari pinggir lapangan karena dia melihat Hannah dan sekutunya ada di sana.
Ash memperhatikan Will yang sedang bermain basket. Sumpah! Dia ganteng banget! Will memakai kaos tanpa lengan yang memamerkan sedikit ototnya dan celana pendek. Sepertinya, Will terlihat ganteng dalam bentuk apapun. Ditambah keahliannya bermain basket, oh seriously, Ash terpesona dengan dirinya.
Lalu, Will tiba-tiba melambaikan tangannya pada Ash. Tentu saja Ash jadi kaget, tapi dibalas lambaian tangan Will. Ini apa-apaan Will melambai padanya di tengah-tengah para gadis predator dan cowok-cowok ganteng di lapangan?
Ash melihat Jem menepuk bahu Will dan berbicara padanya. Dia berani yakin Jem pasti membicarakan dirinya. Hannah terlihat melihat Ash dengan sinis dari pinggir lapangan dan Ash pura-pura tidak peduli.
Jem dan Hannah dulu sempat pacaran waktu SMP, tapi sekarang mereka hanya sebatas teman. Jem bisa di katakan sekutu Hannah, walau tidak sepenuhnya dia selalu ada di pihak Hannah, setidaknya bukan seperti Sam dan Emily, yang jelas terlihat seperti budaknya daripada sahabatnya.
Menurut Ash, dunia Will berbeda dengan dunianya. Bayangkan saja, pemuda kota dari New York pindah ke kota pinggiran Amerika lalu bertemu dengan gadis desa sepertinya? Sebuah keajaiban jika mereka bisa cocok. Tapi Ash merasa Will berusaha untuk memasuki dunianya.
Dunia Ash hanya sebatas dunia gadis rumahan, gadis desa, yang lebih suka di rumah daripada pesta, bercengkrama dengan kasur dan buku-buku karya Shakespeare, Paulo Coelho, Jostein Gaarder, Stephen King, hingga JK Rowling. Yep! Bacaan dari karya sastra hebat zaman renaissance, filsafat zaman modern hingga kisah fiksi imajinasi sihir abad 20.
Dibandingkan dirinya, Will lebih serasi dengan Hannah, yang meskipun lahir dan besar di kota pinggiran tapi Hannah mengerti dunia kosmopolitan. Kecantikan Hannah serasi dengan ketampanan Will yang rupawan, walau sebenarnya bukan hanya Will cowok tampan di Windsor High School. Tapi jika disandingkan dengan dirinya yang bertampang asia, sangat tidak serasi. Banyak yang bilang Ash memiliki tampang asia yang cukup manis apalagi jika sedang tersenyum. Harus diakui, tampang manisnya adalah satu kelebihan yang membuat kepercayaan dirinya setingkat lebih tinggi jika harus membandingkan dengan Hannah.
Ash melirik jam di ponselnya yang menunjukkan pukul tujuh malam. Will baru saja selesai latihan dan sedang membereskan barang-barangnya di pinggir lapangan. Hannah yang masih di sana mendekatinya. Ash berpikir lebih baik menunggunya di luar saja. tapi Will dengan cepat berlari ke arahnya meninggalkan Hannah begitu saja.
“Ash! Kau janji, kan, pulang bersamaku?” cegat Will menyambar salah satu tangan Ash.
“Aku hanya, aku akan menunggumu di luar,” kata Ash canggung sambil mencoba melepas genggaman tangan Will. Terlihat murid lainnya memperhatikan mereka, apalagi Hannah dan sekutunya.
“Baiklah, tunggu aku ya! Aku membersihkan badan dulu. Tidak akan lama kok,” ujar Will melepaskan tangan Ash lalu dia menuju kamar ganti.
Beberapa saat kemudian, Hannah dan sekutunya mendekati Ash di tempatnya menunggu. Ash pikir, penyihir pirang itu akan melabraknya atau apapun itu yang biasa disebut ancaman untuk musuhnya.
Tapi ternyata dia hanya melewati Ash begitu saja sambil memicingkan mata penuh kesinisan yang bagi Ash cukup dipahami bahwa Hannah menandainya. Oke, Ash! Bukan salahmu kalau Will yang ingin pulang bersamamu!
“Maaf, kelamaan nunggu ya?” Tiba-tiba saja Will muncul dari arah belakang.
“Ah, nggak kok,” jawab Ash.
“Yuk! Kita pulang?” ajak Will.
“Mmm, Will maaf. Kali ini aku harus menunggu Karen, Ibunya tidak bisa menjemputnya jadi aku harus menemaninya pulang naik taksi.”
“Benarkah? Jam berapa Karen pulang?”
“Dia masih rapat, sekitar jam 9 dia baru selesai.”
“Wah, masih dua jam lagi.” Will merlirik arlojinya. “Ya sudah kita tunggu saja, enaknya nunggu di mana ya?”
“Eh, nggak perlu ikut menunggu. Kau pulang saja duluan.”
“Yang benar saja, Ash! Masa aku harus menyia-nyiakan waktu dua jam bersamamu?”
Seketika Ash melongo setelah mendengar Will mengatakan hal itu, ditambah lagi dengan senyuman maut di sentuhan akhir kalimatnya. Sensasi aneh di hatinya kini menaiki satu level menjadi degupan jantung yang sangat cepat.
Akhirnya mereka memutuskan untuk menunggu di depan ruang rapat organisasi klub, karena hanya ruangan itu kini yang lampunya masih menyala.
“Jadi, malam minggu besok kalian kumpul di markas?”
“Sepertinya tidak.” Ash menggeleng. “Karen tidak bisa kumpul, peraturannya jika salah satu dari kami tidak bisa kumpul maka kami memutuskan untuk tidak kumpul di markas.”
Will mendesah. “Padahal aku ingin sekali kumpul di markas, kalian belum mengundangku lagi” ujarnya kecewa.
“Maaf Will, kami belum bisa mengundangmu.” Ash agak bersalah pada Will, karena memang sebenarnya mereka tidak ada niat untuk mengundangnya. Waktu itu karena Will membuntutinya yang akhirnya dia tahu tempat rahasia mereka, terpaksa Ash dan sahabat-sahabatnya mengajaknya bergabung dan berjanji lain kali akan mengundangnya.
Ash berpikir untuk mengajaknya ke markas malam minggu besok, hanya dirinya dan Will. Tapi Ash harus meminta izin sahabat-sahabatnya dan dia tidak yakin mereka akan menyetujuinya. Jadi, dia putuskan untuk mengajak Will diam-diam.
“Will, bagaimana kalau malam minggu besok kita ke markas berdua? Yah, sebenarnya aku nggak yakin sahabat-sahabatku menyetujuinya, tapi kau bisa jaga rahasia, kan?”
“Hmm … entahlah….”
Ash menangkap Will mau menggodanya. “Ya sudah mending nggak usah, daripada aku bertengkar dengan sahabat-sahabatku. Kau, kan, tidak bisa jaga rahasia,” sambar Ash dengan cepat
“Eh tunggu dulu, kalau jaga rahasiamu, sih, aku pasti akan menjaganya seumur hidup. Aku janji! Lagipula, aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk menikmati malam minggu bersamamu.” Will mencoba meyakinkan Ash dengan senyuman dan tatapannya. Kali ini mata birunya yang membuat Ash tidak tahan.
Ash menjadi salah tingkah, tapi berusaha untuk tidak menunjukkannya. “Baiklah Will, besok kita berdua ke markas. Aku bawa camilan, kamu bawa soda, ya?”
“Tidak masalah. Apapun itu untukmu, Ash.”
“Jangan menggodaku!”
Cukup banyak yang mereka perbincangkan saat menunggu Karen hingga tak terasa waktu dua jam sudah berlalu. Tepat pukul 9 malam, pintu rapat organisasi terbuka. Karen keluar paling terakhir bersama Jackson. Terlihat Jackson agak kaget melihat Ash bersama Will.
“Hey, Will! Kau juga menungguku?” tanya Karen.
“Sebenarnya Ash yang menunggumu, tapi karena aku berjanji pulang bersamanya, jadi, aku menunggunya bukan menunggumu,” jelas Will.
Karen mendecak. “Terlihat sekali kau tidak menyukaiku, Will!”
“Jadi, sudah memanggil taksi?” tanya Ash pada Karen.
“Taksi? Jadi kalian akan pulang naik taksi?” Tiba-tiba Jackson menyela.
“Memang kau pikir kami akan pulang bagaimana? Bus sekolah sudah tidak beroperasi jam segini, apa kau pikir kami akan jalan kaki?” Karen bertanya dengan tampang bingung.
“Ah bukan begitu maksudku,” jawab Jackson, “Kalau memang tidak ada yang menjemput kalian, bagaimana kalau aku mengantar kalian pulang dengan mobilku?”
“Kau bawa mobil?” tanya Ash dan Karen bersamaan.
“Eh tidak, tadi supirku mengantarkan mobilnya ke sekolah karena aku akan pulang malam, tapi yeah … aku membawa mobilnya.” Jackson mengeluarkan kunci mobil. “Aku sudah punya SIM, kok,” ujarnya memperlihatkan kartu SIM-nya.
“Maaf, Jack," ujar Ash, “Aku hanya tidak mau kena masalah.”
“Tenang saja, Ash. Aku tidak akan membuatmu jatuh ke dalam masalah,” ucap Jackson tersenyum kepada Ash.
Senyum Jackson berbeda dengan senyum Will. Jika Will tersenyum dengan begitu rupawan, tampan dengan mata biru dan rambut cokelatnya. Jackson tersenyum dengan begitu manisnya, lembut dengan mata cokelat dan rambut hitamnya. Dua-duanya sempurna bagi Ash, tapi senyuman Jackson tidak bisa membuat sensasi aneh di hatinya, hanya saja, senyumnya sangat hangat, menenangkan dan memberi kenyamanan.
Untuk beberapa saat Ash dan Jackson saling tersenyum dan bertatapan, Will tampak tidak suka melihatnya. Dia pun berdeham.
“Sebaiknya kita pulang sekarang,” ujar Will
Mereka lalu menaiki mobil Jackson. Pasti sudah tidak masalah bagi Jack untuk pulang larut malam, dia sendiri yang membawanya. Mobilnya keluaran terbaru Audi, sudah pasti keluarganya cukup kaya bisa membelikannya mobil sekeren ini.
“Ini mobil ayahku, aku belum diizinkan memiliki mobil sampai tahun ketigaku di SMU,” jelas Jackson, “untungnya aku sudah memiliki SIM.”
“Oh begitukah? Lagipula peraturan SMU kita agak kolot menurutku, hanya senior tahun ketiga yang diperbolehkan membawa mobil? Peraturan macam apa itu?” ujar Karen.
“Kalau di New York, peraturannya bagaimana Will?” tanya Ash kepada Will.
“Di sekolahku dulu, yang terpenting sudah memiliki SIM, tidak apa-apa membawa mobil ke sekolah."
“Ngomong-ngomong, kita belum saling kenal. Aku Jackson White.” Jackson memperkenalkan diri. “Jadi kau murid baru pindahan dari New York itu?” Will mengernyit tak menjawab pertanyaan Jackson. “Ah, kau cukup populer di sekolah.”
“Populer? Apa maksudmu?”
“Kau tidak tahu? Hannah menjadikanmu target selanjutnya. Dia sudah membawamu kepada kami, komunitas anak-anak elite.”
Will mendecak. “Aku tidak pernah merasa bergabung dnegan komunitas kalian.”
Jackson terdiam. Dia yakin sekali sudah terjadi salah paham.
Ash dan Karen juga tak mengeluarkan suara apapun. Suasana pun menjadi canggung. Ash melirik sebentar ke arah Will yang duduk di sampingnya, laki-laki itu memandang keluar jendela kaca mobil. Ash tidak bisa melihat wajah Will, tapi dia juga yakin sekali seperti Jackson kalau sudah terjadi kesalahpahaman. Will mungkin merasa tersinggung, tapi Ash tidak merasa yakin juga.
Masa iya, Will tersinggung karena dia populer dan masuk dalam komunitas anak-anak elite? Oh ayolah, siapapun anak-anak SMU Windsor High School akan merasa senang sekali bisa populer dan masuk dalam komunitas itu alih-alih tersinggung!
Setelah mengantar Karen ke rumahnya, Jackson mengantar Ash dan Will ke rumah mereka yang saling bertetangga.
“Ah, jadi ini rumahmu? Aku selalu ingin tahu rumahmu,” ujar Jackson.
Ash menatap Jackson heran. Untuk apa Jackson ingin tahu rumahnya? Dibandingkan dengan rumah keluarga White, luas rumahnya tidak ada setengah luas rumah Jackson.
“Terima kasih sudah mengantarku, Jackson.”
“Mmm, bolehkah aku minta nomormu?”
Ash yang agak bingung karena Jackson meminta nomornya, hanya diam saja dan menyerahkan ponselnya yang sudah ada info kontak di layarnya.
“Baiklah sudah kusimpan,” ujar Jackson. “Terima kasih, Ash.”
“Eh, harusnya aku yang berterima kasih.”
Ash memandangi Jackson yang berlalu menuju mobilnya dan pergi. Dia tetap memperhatikan mobilnya dari teras rumah hingga akhirnya menghilang di belokan, lalu masuk ke dalam rumah.
Saat hendak masuk tadi Ash sempat melihat Will masih di teras rumahnya memandangnya lalu tersenyum kemudian menghilang di balik pintu. Ash tidak berpikir apa-apa, mungkin Will hanya ingin memastikan dirinya pulang dengan selamat.
Ash merebahkan diri di atas kasur. Lelah sekali rasanya hari jumat ini, untungnya besok kegiatan latihan teaternya dimulai siang hari. Dia lalu membangunkan diri dan duduk di atas kasur, melihat ke seberang jendela, ternyata Will sedang mengamatinya.
Ddrrrrrtttttt. Ddrrrrrtttttt.
“Halo Will, tumben kau menelepon?”
“Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.”
“Kau lihat, kan? Aku baik-baik saja.”
Ash melambai ke arah Will untuk meyakinkan kalau dirinya memang tidak terluka.
“Jackson mengantarku sampai depan pintu rumah tadi.”
“Yeah, aku melihatnya tadi. Sepertinya dia tertarik padamu.”
“Yang benar saja, Will! Seorang Jackson White? Bagiamana kau tahu dia tertarik padaku?”
“Percayalah Ash, aku tahu. Aku ini laki-laki, cukup tahu bagaimana laki-laki tertarik pada seorang cewek, itu alamiah.”
Ash terdiam untuk beberapa saat. Entahlah, dia mendengar sepertinya Will cemburu pada Jackson. Tapi bagaimana mungkin? Ingin rasanya Ash bertanya pada Will, apa benar laki-laki itu cemburu padanya? Tapi Ash sadar diri, kalau mereka hanya berteman.
“Selamat malam Ash, mimpi yang indah.”
“Selamat malam juga Will.”
Mereka saling menutup telepon setelah mengucapkan selamat malam. Ash melihat Will tersenyum padanya dari seberang lalu dia langsung menutup tirai jendelanya. Tidak seperti biasanya Will bersikap agak dingin, walaupun terlihat sekali dia berusaha untuk tetap bersikap hangat pada Ash.
Ash menutup tirai jendelanya kemudian merebahkan diri di kasur dengan mata terpejam. Entah kenapa, dia malah memikirkan Jackson. Masih membuatnya penasaran kenapa Jackson ingin sekali tahu rumahnya dan dia juga meminta nomornya. Tunggu dulu, haruskah dia menceritakan pada Karen? Setahunya, Jackson tidak pernah meminta nomor Karen, tapi Karen yang memberikan nomornya pada Jackson. Ash mencoba berpikir, sebaiknya untuk sekarang dia tidak perlu memberitahu Karen, ini akan membuat segalanya menjadi rumit. Karen menyukai Jackson, Ash!
Ash tidak bisa membayangkan Karen cemburu karena tahu Jackson meminta nomornya lalu mereka bertengkar. Tidak! Mereka belum pernah bertengkar sebelumnya. Ash sebisa mungkin berusaha untuk tidak bertengkar dengan Karen. Sahabatnya ini emosional dan sensitif bila sudah menyangkut perasaannya. Berdebat dengan Karen juga sebisa mungkin dihindarinya. Bukannya Ash tidak bisa berdebat, tapi Karen tipe orang yang harus memenangkan perdebatan. Walau terkadang dia mengalah jika dia sadari apa yang dia yakini sepenuhnya salah.
Danny dan Alex pasti tidak akan terlalu ambil pusing jika tahu Jackson meminta nomornya, mereka pasti langsung menggodanya walau tahu Karen sangat menyukai Jackson. Mungkin karena Danny dan Alex keduanya adalah pria, jadi mereka tidak terlalu sensitif dengan hal seperti ini. Sudah memang seperti itu, kan? Pria pada dasarnya tidak peka, apalagi menyangkut dunia cewek. Jujur saja, Ash dan Karen tidak pernah curhat sepenuhnya tentang dunia mereka kepada Danny dan Alex. Hanya saja saat butuh pendapat pria, mereka menceritakan permasalahannya.
Ash, Karen, Danny dan Alex tidak pernah bertengkar sekali pun di tujuh tahun persahabatan mereka hingga kini. Kalau berdebat, saling mengejek, saling merundung, itu sih tiap hari mereka lakukan. Mereka berempat sudah tahu sifat dan tabiat masing-masing. Keburukan dan kejelekan adalah hal yang tidak pernah mereka tutupi satu sama lain. Bukankah, memang seharusnya seperti itu yang dinamakan persahabatan? Tapi bukan berarti mereka tidak tahu kelebihan masing-masing. Mereka cukup tahu hal itu.
∞∞∞
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top