6. Cinta yang Diingkari
Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
...
Song Fict : Gray Paper
by Ye Sung
(Ost. That Winter The Wind Blows)
Aku tak mengerti tubuh ku seolah bergerak sendiri. Aku berlari. Ya, aku berlari melihat gadis buta itu tersungkur sambil meraba lantai mencari tongkat besinya.
Aku terobos kerumunan orang-orang yang berjalan cepat tanpa mempedulikan sekitar mereka.
Ya, tak jauh seperti mereka, aku kini berlari tanpa meperhatikan sekelilingku. Beberapa kali aku menabrak orang, aku tak peduli.
Hanya gadis itu. Gadis yang bernama Hyuga Hinata yang baru ku kenal beberapa jam lalu yang sekarang menjadi tujuan ku.
'Kyubi-kun, tolong, kakiku terkilir...'
'Hime kau dimana?'
'Kyubi-kun tolong truknya semakin dekat aku takut di tabrak."
'Usagi Hime tunggu aku akan kesana..'
Mutiara lavender itu. Entah kenapa kejadian itu muncul lagi di kepalaku saat menatap mutiara lavender si buta ini.
Aku berjongkok di hadapannya, membantunya untuk duduk...
Duggghh
Punggungku tertendang oleh orang yang lalu lalang. Sial, jika aku dan dia terus disini kami bisa terinjak.
Tanpa buang waktu aku bopong tubuh mungil gadis buta ini.
Tidak seperti tadi pagi, tak ada perlawanan darinya. Dia meringkuk ketakutan dalam dekapanku dengan keringat dingin membasahi pipinya.
Safirku, entah kenapa menatapnya dengan penuh kelembutan. Ah, perasaan apa ini?, aku tak boleh memiliki rasa apapun, mengasihani, apalagi sampai jatuh cinta padanya. Bukan hanya dia, aku bisa mati konyol di tangan Neji bila melakukan hal itu.
Aku bawa tubuh mungil yang bergetar ketakutan itu ke tempat yang cukup sepi. Di salah satu terminal tunggu shinkansen. Terminal ini cukup sepi di banding terminal yang lain. Ya, tentu saja karena tujuannya ke Kamagasaki. Kota ternistaku.
Aku dudukan dirinya di bangku tunggu panjang. Dia bergetar ketakutan. Tanganku, tanganku bergerak sendiri tanpa ku perintahkan, mengelus pucuk kepala yang di tumbuhi helaian indigo yang lembut.
"Kita sudah aman..." Aku berbicara sangat dekatnya.
Aku berjongkok dihadapannya dengan wajahku yang kudongakan menghadap wajahnya.
Agghhh, sial tangan ku lagi-lagi lancang menangkup sepasang pipi gembulnya yang kemerahan karena ketakutan.
Aku buru-buru melepaskan tangan lancangku dari pipinya.
Dia sepertinya masih tak sadar aku menyentuhnya. Gadis itu masih bergetar ketakutan. Mungkin dia sedikit shok karena kejadian tadi.
Mataku kini beralih pada lututnya. Stocking hitam pada bagian dengkulnya terkoyak. Aku bisa melihat jelas lebam biru di dengkul itu.
Kusentuh lebam membiru itu. Dia mengerenyit kesakitan.
"Sakit?" Tanyaku memastikan.
Dia hanya mengangguk.
"Kau tunggu disini. Aku akan mengambilkan tongkatmu." Dia tak merespon perintahku.
Dia masih ketakutan rupanya. Aku menjauhinya sebentar, memgambil tongkatnya yang tergeletak di cukup jauh.
Setelah tongkat besi yang sekarang rusak itu berada di genggamanku, aku beralih kembali ke tempat gadis itu.
Safirku memandang gusar bangku panjang tempat tadi dia duduk. Tapi tidak ada siapapun. Aku terus mencari keberadaannya.
"HIMEEE!!!!" Entah nama siapa yang kupanggil untuk gadis itu. Aku berlari sekencang mungkin.
Gadis itu berjalan menuju rel shinkansen. Entah apa yang ada di pikirannya. Sirine pertanda kapsul kilat itu sedang mendekat sangat terdengar jelas. Aku tahu dia buta. Tapi dia itu tidak tuli.
Grebbb
Aku tanggkap tubuh mungil itu. Ku peluk dan berbalik.
Tak lama setelah itu kapsul cepat bernama shinkansen itu melaju bagai kilat.
"Hhhhhhh" Aku terengah-engah. Satu detik saja aku terlambat tubuh mungil dalam dekapan ku ini sudah dipastikan hancur berkeping-keping.
Aku masih mendekapnya dari belakang. Aku tak mengerti bukan karena warisannya ada rasa lain yang membuat tubuhku bergerak sendiri untuk melindunginya.
"Kau dengar bunyi sirine itu kan. Kenapa tetap berjalan, kenapa tidak diam dan menungguku. " Aku berbisik tepat di telinganya.
Ku kecupi tiap sisi kepalanya. Entah kenapa aku begitu takut jika dia benar-benar tertabrak shinkansen.
...
Nafas itu begitu hangat berhembus di telingaku. Suara pria itu.. itu adalah suara pria yang tadi pagi mengaku calon suamiku.
Dia..dia.. memelukku. Apa yang terjadi kenapa aku diam saja di dekapnya seperti ini.
"Lepas!!!" Aku berontak dalam dekapannya. Dan dengan mudah dia melepaskannya. Tunggu kenapa aku merasakan tak rela. Tak rela dia melepaskan dekapannya padaku.
"Pergi!!, jauhi aku!!!" Aku mengusirnya. Sungguh aku hanya ingin sendirian sekarang.
"Hei, aku sudah menyelamatkan nyawamu dan kau mengusirku." Dia membantah perkatakaanku.
Aku tak menggubrisnya. Aku berjongkok dan meraba-raba lantai mencari tongkatku.
"Tongkatmu patah." Tanpa aku bertanya dia sudah tau apa yang kucari.
...
"Kenapa menolongku?" Tanya Hinata dingin sambil bangkit dari posisi jongkoknya.
"Kau calon istriku." Jawab Naruto enteng.
"Khe.., apa kau orang suruhan Neji. Kau menginginkan warisanku setelah menikahiku." Tebak Hinata.
Naruto tersenyum miring dia berjalan mendekati Hinata. Tangan tannya membelai pipi seputih bulu kelinci milik Hinata.
Jika gerakannya saat menyelamatkan Hinata tadi adalah refleks dari tubuhnya. Maka kali ini dia sedang menjalankan siasatnya.
"Tak bolehkah aku peduli padamu." Jika saja Hinata bisa melihat safir Naruto yang saat ini menatapnya. Dia tak akan menemukan kebohongan dimata itu, sekalipun yang keluar dari bibir merah kecoklatan itu adalah bagian dari siasatnya.
Hinata melepaskan kasar tangan Naruto yang menempel dipipinya.
Ia mundur beberapa langkah menjauhi Naruto. Hingga punggung kecilnya menabrak pelan tembok di belakangnya.
"Pergilah, jika kau anak keluarga Namikaze, aku bebaskan kau dari janji ayahku. Orang tua kita semuanya sudah meninggal. Kau terbebas dari janji itu." Hinata menahan isakannya. Dia mengigit bibirnya menahan rasa sakit di dadanya.
Naruto berjalan mendekati Hinata. Kedua tangannya kini mengungkung tiap sisi tubuh Hinata yang tersandar si tembok
Tubuh mungil itu merosot. Hinata memeluk lututnya. Menenggelamkan kepalanya di kedua lututnya yang tertangkup.
"Tak perlu mengasihaniku." Gumamnya lirih di tengah isakannya. Sangat pelan Namun jangan kira Naruto tidak mendengarnya.
"Kau percaya aku calon suamimu?" Suara berat itu membuat Hinata mendongak.
Hinata diam seribu bahasa. Dia tidak tahu, dia tidak mengerti siapa pria yang ada dihadapannya ini.
Komplotan para keluarganya yang serakah itu. Atau memang benar orang yang akan mengeluarkannya dari kesepian yang menyiksanya.
Naruto menggenggam kedua lengan Hinata. Membawa Hinata berdiri. Jarak mereka begitu dekat. Hingga Hinata dapat dapat merasakan hembusan nafas hangat Naruto. Kening tannya beradu dengan kening putih Hinata yang tertutupi poni rata indigo. Safirnya menatap lekat mutiara lavender gadis itu. Hidung mereka bahkan hampir beradu.
"Aku tak akan memaksamu, tapi izinkan aku untuk membuatmu percaya bahwa aku adalah milikmu. Ayahmu menjanjikan pada ayahku dirimu sebagai pendampingku. Aku akan berusaha mengambil dirimu, kau hakku. Hyuuga Hinata."
Hinata diam. Dia tak membantah atau melakukan perlawanan lagi. Kebohongan Naruto benar-benar indah terdengar di telinganya.
Tanpa persetujuan sang pemilik tubuh dengan mudah Naruto membawa tubuh mungil itu dalam gendongannya.
Berjalan menyusuri stasiun, saling menikmati aroma tubuh masing-masing.
Hinata yang merasakan kelelahan menyandarkan kepala indigonya di dada bidang Nartuto.
Perlahan mutiara ungu pucatnya mulai bersembunyi di balik kelopak mata sewarna susu itu.
Senyum kecil terukir di bibir merah kecoklatan milik Naruto. Gadis buta yang menjadi targetnya itu terlelap dalam damai di dekapannya.
Sesekali bibirnya lancang mengecupi puncak kepala indigo yang bersandar manja di dada bidangnya.
'Aku tahu perasaanmu bahkan bila kau tak berkata apa-apa. Kau adalah seseorang yang tersakiti, seseorang yang sangat mirip denganku. Karena aku tak pernah diajarkan tentang cinta, jadi aku tidak begitu tahu tentang itu'
...
Hinata tertidur pulas di bahu tegap Naruto. Mereka duduk di bangku panjang ruang tunggu stasiun.
Senyum simpul tersungging di bibir Naruto. Tangan kekarnya sesekali mengusap pucuk kepala Hinata.
'Aku akan memberikanmu kenangan yang indah sebelum ku antarkan pada mautmu'
Tangan Naruto merogoh ponsel di saku celananya.
"Neji, bisa kau kirim orang mejemput kami di stasiun Shi-osaka."
...
"Apa yang kau lakukan disana?" Tanya Neji sedikit panik.
Tak ada jawaban lagi karena Naruto langsung menutup panggilannya.
"Dimana mereka?" Sasuke yang sudah hendak meninggalkan mansion itu, kembali berbalik setelah mendengar Neji menjawab teleponnya.
"Stasiun." Jawab Neji santai.
"Aku yang akan menjemput mereka."
"Ko, yang akan menjemputnya. Lagi pula kau harus segera terbang ke Tokyo kan. Untuk mengawasi perusahaan Hiashi Ji-san." Jawab Neji dengan senyum penuh kemenangan.
Onix itu melirik jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Kau awasi mereka." Perintah sasuke pada kekasih merah mudanya yang berdiri disebelahnya. Di kecupnya kening Sakura sebelum dia meninggalkan mansion sengketa itu.
Sakura mengangguk dan menatap punggung sang kekasih yang mulai menjauh.
...
Mansion megah itu cukup tenang hingga suara deru mesin mobil sedan mewah berhenti di depan pintu utama itu.
Tiga orang Hyuuga serakah itu, bersama sang perawat merah muda berlarian menuju pintu utama.
Pandangan mereka terbelalak melihat Hinata yang tertidur lelap dalam gendongan pria yang tadi pagi baru saja di tolaknya.
Naruto terus berjalan tanpa memperhatikan tatapan orang-orang itu. Langkahnya berhenti tepat di hadapan Sakura, si perawat dengan surai merah muda.
"Dimana kamarnya?" Tanya Naruto sambil menatap wajah Hinata yang begitu polos tertidur dalam dekapannya.
Sakura berjalan menuju tangga dan diikuti oleh Naruto.
Hizashi tersenyum puas melihat akting Naruto yang sangat memukau.
"Kau benar-benar pintar memilih pembunuh bayaran." Ujar Hisazhi bangga.
Neji tersenyum penuh kebanggaan "Belum satu hari. Dia sudah bisa menggendong si buta itu."
"Neji-nii dia benar-benar tampan dan romantis. Bolehkah jika si buta itu sudah mati aku berpacaran dengannya." Hanabi masih memperhatikan Naruto yang berjalan dilantai dua sambil menggendong Hinata.
"Bodoh mau jadi apa kau jika berpacaran dengan pembunuh bayaran macam itu." Ejek Neji
....
Sangat halus, itulah yang dilakukan Naruto saat merebahkan tubuh Hinata di atas ranjang luas yang mewah.
Dengan sangat hati-hati dia melepaskan sepatu coklat muda itu dari kaki Hinata.
Dan saat tangannya mencoba melepaskan stocking hitam yang membalut kaki jenjang Hinata, tangan lain menepis tangannya kasar.
"Biarkan aku saja." Ujar Sakura kasar. "Kau bisa keluar sekarang."
Perintah Sakura dingin.
Naruto tersenyum tipis dan beranjak dari kasur Hinata. Tangannya mengelus poni rata Hinata.
"Oyasuminasai"
Pria berkulit tan itu menuju pintu. Tapi langkahnya terhenti saat suara perawat merah muda itu menguar di telinganya.
"Kau berhutang penjelasan padaku, bagaimana Hinata bisa begini."
Naruto membalikan tubuhnya menghadap kekasih pengacara keluarga Hyuga yang sedang melepaskan stocking Hinata.
"Kau tanya saja jika dia sudah bangun."
...
"Kerja bagus." Tepukan di bahunya yang terbalit kaos putih membuat Naruto mengalihkan pandanganya dari pemandangan taman yang dinikmatinya dari jendela besar kamar mewah yang sekarang dihuninya.
Naruto tersenyum tipis saat melihat Neji yang berdiri di belakangnya.
Pemuda bersurai coklat itu kemudian ikut duduk di sofa kecil berhadapan dengan sofa yang diduduki oleh Naruto.
"Ini." Neji meletakan amplop coklat yang berisi beberapa jutaan Yen di meja kecil yang terletak diantara mereka.
Safir Naruto menatap mutiara lavender Neji, seolah bertanya 'apa ini.'
Neji terkekeh karena mengeri maksud tatapan Naruto. "Uang mukamu."
Naruto tersenyum kecil tangannya menggeser amplop itu ke arah Neji. "Aku tak pernah di bayar sebelun pekerjaanku selesai."
Neji terekekeh "Baiklah." Dia bangkit dari duduknya. "Kau benar-benar profesional." Neji berjalan menuju pintu. Tapi sebelum dirinya benar-benar meninggalkan Naruto. "Ku harap kau ingat perkataan ku, jangan coba-coba mengasihaninya apalagi sampai jatuh cinta." Neji memperingatkan tanpa melihat Naruto.
Naruto tersenyum simpul mendengar peringatan yang lebih mirip ancaman. "Khe dia meragukanku."
...
Tak perlu berbasa-basi mengetuk pintu putih itu. Seolah langit merestui rencananya pagi ini pintu ruangan dimana tuan putri yang kehilangan cahaya itu sedang berada, sudah terbuka dihadapannya.
Safir birunya menangkap pemandangan yang sangat menakjubkan. Paha seputih susu milik Hinata tersingkap dari gaunt tidur putih yang dikenakannya.
Tangan mungil dan putih itu beradu dengan pahanya kala Hinata sedang mengoleskan lotion di paha putihnya.
Naruto meneguk ludahnya melihat keindahan yang secara tidak sengaja tertangkap oleh netranya.
Tapi keindahan itu tak berlangsung lama. Perawat merah muda yang selalu berada di samping Hinata muncul tanpa diundang dihadapannya.
Emerald Sakura melotot saat mendapati Naruto memperhatian Hinata yang sedang mengenakan lotion.
Tanpa aba-aba Sakura menutup pintu itu mengusaikan penglihatan Naruto atas kemolekan tubuh Hinata.
...
"Kau berhutang penjelasan padaku kenapa kau bisa tertidur di gendongan pria pirang itu." Omel Sakura sambil menyisir rambut Hinata.
Baru saja Hinata akan membuka mulutnya. Ponsel pintar Sakura berdering.
"Moshi-moshi tou-san..., apa Kaa-san sakit. Baiklah akan ku usahakan" Sakura menutup teleponnya dengan lesu.
"Pulanglah.." Ucap Hinata yang mengerti keaadaan Sakura.
"Tapi Hinata....." Sakura ragu.
Hinata meraba-raba udara mencoba mencari tangan Sakura.
Sakura yang mengerti segera mengulurkan tangannya pada Hinata.
Hinata menggenggam erat tangan Sakura. "Pulanglah, dan rawat ibumu, Sasuke-nii berada di Tokyo selama sebulan. Aku akan katakan padanya kau selalu berada di dekatku. Kau juga harus membohonginya. Hihihi.."
"Tapi mereka...," Sakura benar-benar takut akan keselamatan Hinata jika dia meninggalkan Hinata bersama tiga Hyuga serakah itu. Belum lagi sekarang bertambah satu pria pirang yang mengaku calon suami Hinata.
"Hei..., mereka tidak akan melakukan apapun padaku. Jika aku sampai mati sebelum menikah mereka tak akan dapat apapun. Dan mereka tidak bisa menikahkan ku dengan siapapun tanpa surat persetujuan yang di tanda tangani Sasuke-nii." Hinata menggegam punggung tangan Sakura dan mengelusnya agar gadis merah muda itu yakin padanya.
"Aku yang akan menjaganya selama kau pergi." Pria pirang itu masuk kedalam kamar Hinata tanpa permisi.
...
つづく
Tsudzuku
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top