4. Cahaya diantara kegelapan

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

"Hei.... berhenti!!!" Naruto berteriak mencoba menghentikan langkah gadis buta yang terus berjalan di atas rumput rapi yang terhampar di taman yang di rancang oleh ibunya.

Hinata terus berjalan tak mempedulikan suara pria yang mendeklarasikan diri sebagai calon suaminya itu.

Peduli apa dia tentang Namikaze, keluarga sederhana itu menurut sang ayah adalah orang yang sangat berjasa dalam bisnis Hyuuga Hiashi. Namikaze Minato adalah tangan kanan sang ayah.

"Kau selain buta juga tuli heh!!!" Teriak Naruto sambil tetap berlari. Jarak antara pintu gerbang dari pintu utama mansion ini memang cukup jauh mengingat berapa luas tamannya.

Hizashi, Neji, Hanabi, Sasuke dan Sakura, memandang dari jendela besar mansion mewah itu bagaimana cara Naruto mendapatkan hati Hinata.

Tak butuh usaha keras langkah panjang Naruto dapat dengan mudah mengimbangi langkah pendek kaki mungil Hinata.

Grebbb

Lengan kekar Naruto dapat dengan mudah menggapai lengan mungil yang tertutup sweeter ungu pucat itu. "Aku mendapatkan mu."

Tanpa aba-aba Hinata berbalik cepat mengayunkan tongkatnya dan...

Crasss

Tongkat yang terbuat dari besi itu menghantam pipi tan Naruto. Segores luka terukir dan mengeluarkan darah. Tangan tan Naruto sontak melepaskan genggaman dari tangan Hinata.

"Iss..." Hanabi meringis seolah dia lah yang terkena sambaran tongkat itu.

Sakura tersenyum puas melihat aksi Hinata dari balik jendela. Sama seperti kekasihnya yang berdiri disampingnya sambil melipat tangan di depan dada.

Neji dan Hizashi? Dua pria bersurai coklat panjang itu menatap tak percaya Naruto dengan mudah di lukai oleh gadis buta.

"Kau!!!" Naruto mengeram sambil memegangi pipinya yang tergores dan berdarah.

Hinata tak mempedulikan sama sekali eraman Naruto. Dia tetap berjalan menuju gerbang yang menjadi jalan keluar dari mansion itu.

....

Naruto mendengus sambil mengusap ujung hidungnya dengan jempol. "Kau tau nona kau sedang berurusan dengan siapa? Uzumaki Naruto." Gumam Naruto kesal.

Udara penghujung musim gugur sama sekali tak berpengaruh apapun pada tubuh Naruto yang sekarang terasa panas.

Dengan cepat Naruto berlari mengejar Hinata yang sudah keluar dari mansion dengan bantuan tongkatnya.

"Kau yakin dia bisa?" Hizashi ragu. Dengan suara sangat pelan karena takut pengacara Uchiha itu mendengar.

"Dia sudah pernah melakukan dengan wanita lain sebelumnya." Jawab Neji tak kalah pelannya.

Hizashi mengangguk dan berbalik meninggalkan ruangan itu di ikuti oleh sepasang anaknya.

"Kau masih meragukan gadis itu?" Tanya Sasuke sambil tetap memandang keluar jendela.

Sakura menaikan bahunya, pertanda jika dia tidak tahu. Perawat merah muda itu kemudian berbalik menuju dapur.

"Kau mau makan Sasuke-kun?" Sakura sedikit berteriak.

"Hn."

...

Kaki mungil yang tertutup sepatu datar berwarna coklat muda itu terus menyusuri trotoar jalanan kota Osaka yang cukup ramai.

Tangan mungil putihnya menggerakan tongkat besinya kekanan dan kekiri mencari arah.

Hinata cukup tau kenama arah yang dia tuju. Dia selalu berlatih keras untuk dapat menghafal jalan dari rumahnya menuju tempat yang dia tuju.

Tanpa sepengetahuannya seorang pria dengan tubuh tegap yang di balut setelan jas hitam sedang mengikutinya.

Pria berambut pirang itu mengikuti langkah kaki mungil Hinata, hingga Hinata berhenti tepat di sebuah gerbang besar dengan papan nama.

OSAKA INTERNATIONAL ELEMENTARY SCHOOL

'Si buta ini mengajar di sekolah normal.' Naruto bergumam dalam hati.

Kakinya mengikuti langkah Hinata yang memasuki gerbang beton itu.

"Hinata-sensei...!!!" Baru satu langkah kaki Hinata menapak di halaman sekolah dasar itu, seorang anak kecil berlarian dan langsung memeluk kaki Hinata.

Pandangan Naruto melembut melihat yang terjadi dihadapannya. Hinata berjongkok sambil di bantu gadis kecil itu.

Hatinya merasa hangat melihat kedekatan Hinata dengan anak-anak.

Mengingat masa kecilnya yang sangat kekurangan kasih sayang.

Kini tinggi mereka sama. Hinata mencoba meraba-raba wajah mungil dan tembam gadis bersurai hitam itu.

"Kau Yuki?" Hinata memastikan sambil meraba wajah lucu itu.

Gadis kecil bernama Yuki itu tertawa kegirangan karena wajahnya di raba halus oleh tangan lembut Hinata.

"Kau benar, aku sangat merindukan mu selama liburan." Gadis kecil itu memeluk leher Hinata dengan manja.

"Hontou, aku juga sangat merindukan mu Yuki-chan." Hinata balas memeluk.

"Jadi hanya Yuki yang dipeluk." Suara anak kecil lain terdengar merajuk.

"Heh, Rin-chan.., ayo kemari." Hinata merentangkan satu tangannya membawa anak kecil itu kedalam pelukannya.

Rin bocah kecil itu dengan semangat berhambur kepelukan Hinata.

"Ah aku juga.. aku juga..." Dan tak butuh lama untuk membuat bocah-bocah yang lain mengerubuni Hinata.

Hinata adalah guru kesenian yang mengajar di sekolah dasar bertaraf internasional ini. Selain mengajar kesenian. Hinata adalah wali kelas untuk siswa yang duduk di tingkat pertama atau kelas satu.

Hinata sangat telaten dan sabar dalam menghadapi anak kecil. Alasan ini lah yang membuat Sarutobi Kurenai kepala sekolah disini memberi Hinata tanggung jawab menjadi wali kelas di kelas satu.

Mengingat anak-anak di tahun pertama sekolah sangat sulit diatur dan hanya orang-orang dengan tingkat kesabaran yang tinggi yang mampu menghadapinya.

"Hinata-sensei... nanti mainkan kami sebuah lagu ya...." Pinta salah satu anak.

Hinata tersenyum mengangguk sambil menciumi satu-satu pipi tembam bocah-bocah lucu itu.

Tak jauh di salah satu sudut halaman sekolah itu seorang pria pirang sedang mengamati gerak-gerik Hinata. Tanpa sadar senyunan kecil tertarik dari bibir pria pirang itu. Hatinya yang tadi memanas kini menghangat setelah menyaksikan pemandangan penuh kasih sayang di hadapannya.

'Maaf nyawamu harus berakhir di tanganku.'

Seketika pemandangan menyejukan mata itu berakhir. Saat satu persatu orang tua dari bocah itu menarik anaknya dari pelukan Hinata.

"Mama kenapa?"

"Kaa-chan, aku masih rindu dengan Hinata-sensei..."

Anak-anak kecil polos itu mulai protes saat para ibu mereka menarik tubuh kecil mereka dari dekapan sang guru kesayangan.

Raut wajah kebingungan tampak jelas di wajah Hinata yang dengan pasrah melepaskan pelukan dari murid-murid kesayanganya.

...

"Kami membayar mahal untuk menyekolahkan anak-anak kami disini. Kami tidak mau anak-anak kami diajar dan diwalikan oleh guru buta itu."

Kurenai memijit pelipisnya pelan, di ruangannya sekarang sudah di penuhi oleh orang tua, atau lebih tepatnya ibu dari para siswa kelas satu yang kelasnya di walikan oleh Hinata.

"Anda sudah berjanji Kurenai-sama jika setelah liburan semester pertama anda akan memecat guru buta itu. Jika tidak kami akan menarik anak-anak kami untuk pindah dari sekolah ini." Satu orang ibu-ibu lagi memperuncing keaadaan.

Kurenai mendongakkan kepalanya yang sedari tadi dia tundukkan bertopang dengan tangannya. "Saya tidak bisa memecat begitu saja Hyuuga-san dia adalah guru tetap disini. Lagi pula dia sekarang hanya mengajar seni musik, aku tidak akan menjadikan dia wali kelas lagi mulai tahun ajaran ini, setidaknya biarkan dia tetap mengajar, anak-anak kalian sangat menyayanginya."

"Bagaimanapun kami tidak sudi ada guru cacat di sekolah anak-anak kami."

"Sekolah bertaraf internasional seperti ini mempekerjakan guru cacat."

Satu persatu orang tua siswa itu keluar dari ruangan Kurenai.

"Kita tidak punya pilihan lain Kurenai-san. Selain memberhentikan Hinata secara terhormat." Suara wanita sang pemimpin yayasan membuat Kurenai mendongak.

"Tapi Terumi-sama, Hinata sudah banyak memberi jasa untuk sekolah ini, dan juga anak-anak..."

"Reputasi sekolah ini di pertaruhkan Sarutobi-san. Aku akan mengurus pesangonnya dan surat pemberhentiannya." Tubuh sintal Terumi Mei sang pemilik yayasan, berbalik dan menghilang setelah melewati ruangan sang kepala sekolah.

"Kurenai sensei..." Suara lembut itu membuat hati Kurenai bagai teriris sembilu.

Hinata masuk keruangannya sambil tersenyum. Tangannya yang memegang tongkat bergerak mencari arah.

Kurenai bangkit dari duduknya dan membantu Hinata duduk di sofa yang ada di ruangan itu.

"Aku sudah mendengar semuanya..," Hinata memulai pembicaraan tanpa melepas senyuman yang tersungging di bibir mungilnya.

Dari balik jendela ruangan itu. Naruto sedang berdiri mengamati tiap gerak-gerik Hinata.

Kurenai tersenyum kecut. Ia mengamit tangan mungil gadis yang semasa kecinya adalah murid privat les pianonya.

"Maafkan aku Hinata..., tapi.."

"Tak apa Kurenai sensei..., ini memang seharusnya terjadi. Aku saja yang terlalu egois tidak ingin berpisah dari mereka."

Kurenai terdiam sambil menunduk. Ia tahu bagaimana perjuangan Hinata berlatih dengan kebutaannya agar tetap bisa mengajar dan membagi ilmu dengan para muridnya.

Hinata bekerja di sekolah ini bukan karena uang. Karena jika mengharapkan uang, harta ayahnya jauh lebih dari cukup untuk membiayai hidupnya.

Kecintaannya pada musik dan anak-anaklah yang membuatnya mengajar di sini.

"Oh ya gaji dan pesangon ku, tolong disumbangkan ke panti asuhan yang biasa ya." Bahkan selama tiga tahun bekerja gajinya ia sumbangkan pada panti asuhan.

"Aku juga akan kesana untuk membesuk mereka. Mungkin aku juga tidak bisa lagi mengajar di panti itu. Akan ku carikan guru pengganti ku untuk dipanti itu masalah gajinya biar aku yang membayar."

Kurenai menarik Hinata kedalam dekapannya. Ketulusan gadis ini benar-benar tidak berubah sekalipun cahaya telah di renggut dari hidupnya.

"Kurenai sensei.., apa aku boleh berpamitan dengan mereka..." Pinta Hinata lembut.

"Tentu saja boleh," Kurenai mengamit tangan Hinata dan beranjak dari ruangan itu.

Safir biru itu memandangi Hinata yang berjalan tertatih dengan susah payah. Tanpa dia sadari cairan hangat itu mengalir sedikit membasahi pipinya.

'Kau begitu bercahaya diantara kegelapan disekelilingmu, maaf...'

つづく
Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top