9 : Forest, Mountain and (H)earthquake
Jayden mengajak Julia, Marta, dan Herman ke kota Pematang Siantar, sebuah kota yang terdekat dengan kota Parapat. Ia bilang akan ke Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Jasamen Saragih untuk menemui beberapa teman seprofesinya. Mungkin merasa tak enak meninggalkan Marta sendirian di bolon maka ia mengajak Herman dan Marta padahal keduanya tahu Jayden hanya ingin mengajak Julia jalan-jalan.
Seorang penduduk kota Parapat kenalan Jayden meminjamkan mobilnya kepada Jayden sehingga mereka tak perlu berdesak-desakan naik angkutan umum menuju kota Pematang Siantar. Herman tidak pernah melupakan pengalamannya ketika ia menumpang angkutan kota dari Medan menuju kota Parapat, di mana kaca depan angkutan kota yang ditumpangi itu bertuliskan Raja Jalanan. Dan memang seperti itulah ketika berada di jalanan, tidak ada mobil lain yang berani menyalip lajunya angkot berjulukan Raja Jalanan itu. Herman mengatakan pada Jayden kalau seorang Schummy pun bisa kalah darinya bila melaju di track Medan – Parapat. Jayden terkekeh mendengar gurauan ini dalam perjalanan.
Begitu tiba di kota Pematang Siantar, ketika Jayden menghentikan mobil kijang commander pinjamannya di depan RSUD, Herman ingin secepatnya mengajak Marta memisahkan diri dari Jayden dan Julia. Tapi ia tak memiliki kesempatan untuk berkomplot dulu dengan Marta tapi ia berharap Marta juga sepaham dengannya.
"Bang Jay," panggilnya ketika Jayden memastikan semua pintu telah terkunci.
Ia menoleh.
"Kurasa sebaiknya aku menemani Marta belanja beberapa bumbu dapur sementara Abang bisa bersama Julia ke rumah sakit. Lalu kita bertemu di Pasar Horas," usul Herman. Ia sempat mengedipkan matanya pada Marta dan berharap gadis itu mengerti.
Sewaktu dalam perjalanan, Herman sudah bertanya pada Jayden letak Pasar Horas, meskipun ia belum pernah ke sana tapi rasanya akan mudah mencari lokasinya.
Jayden menaikkan alisnya menatap Herman.
"Kenapa tidak mengatakannya tadi? Aku bisa menurunkan kalian di Pasar Horas," tukasnya. Herma meringis.
"Baru kepikiran," jawabnya asal.
"Ah, naiklah. Kuantar kalian," tukasnya sambil kembali membuka pintu mobil. Herman menggeleng beberapa kali.
"Tidak usah, Bang. Aku dan Marta bisa pergi sendiri. Pasar Horas gampang ditemukan kok. Tadi kita sudah melewatinya kan? Iya kan?" tanyanya pada Marta. Marta sesuai harapan Herman, mengangguk-angguk. Kelihatan sekali kalau ia pun ingin berpisah dengan kedua orang itu.
"Kalian pakai saja mobilnya," tukas Jayden berbaik hati. Lagi-lagi Herman menggeleng.
"Lokasinya dekat kok, Bang. Kita bertemu saja saat makan siang di rumah makan," usulnya.
Jayden tampak ragu tapi kemudian mengangguk.
"Baiklah, katakan di rumah makan yang mana," tukasnya.
"Terserah Abang. Abang yang tahu lokasi mana yang enak di sini," tukas Herman.
"Rumah makan Miramar saja," tukas Jayden. Ia mengeluarkan pulpen dari sakunya dan mengeluarkan memo dari dalam tasnya kemudian menuliskan alamat rumah makan itu lalu menyerahkannya kepada Herman. Herman membaca sekilas kemudian memasukkan kertas kecil itu ke dalam saku kemejanya.
"Kalau kau tidak tahu, tanyakan saja pada penduduk di sini," tukas Jayden. Herman mengangguk lalu menarik tangan Marta meninggalkan area parkir RS.
Dalam hati Herman tersenyum.
Masa jalan-jalan ke Pematang Siantar, aku dan Marta masih harus menguntit orang pacaran.
"Ingat jam makan siang ya. Ponselmu aktif kan?"
Suara teriakan Jayden hanya terdengar samar-samar karena Herman sudah berlari meninggalkan tempat itu bersama Marta.
"Leganyaaaaaa....."
Herman menghirup udara sebanyak-banyaknya, membuat Marta terbahak melihat tingkahnya.
"Benar-benar sesak karena menyaksikan mereka?"
Herman meringis.
"Hanya merasa tidak enak. Aku tahu Bang Jay ingin berdua dengan Julia tapi tidak tega mengusir kita," tukasnya.
"Aku sependapat. Aku sedang mencari alasan ketika kau mengusulkan menemaniku berbelanja."
"Untung saja kau mengerti maksudku waktu kukatakan pada Bang Jay akan menemanimu ke pasar. Sekarang, ayo kita belanja," tukas Herman sambil menarik tangan Marta. Marta mengerjap.
"Kau tahu di mana pasar Horas?"
"Tidak, tapi siapa peduli," jawab Herman santai.
***
Meskipun awalnya Marta dan Herman tidak tahu di mana letak Pasar Horas tetapi akhirnya keduanya berhasil menemukan pasar itu setelah bertanya-tanya pada tukang becak. Becak di kota Pematang Siantar cukup unik, becak motor di mana penumpangnya duduk di depan dan motornya di belakang. Becak ini merupakan ciri khas kota ini.
"Ini apa namanya? Seperti merica," tanya Herman sambil mengambil andaliman dan mencium baunya.
"Ah, ini namanya andaliman, merica Batak. Hanya dipakai untuk masakan Batak," jawab Marta sambil ikut mencium bau andaliman itu.
"Biasanya dipakai untuk apa?" tanyanya lagi.
"Arsik. Bahan dasarnya ikan mas berbumbu andaliman," jawab Marta. Herman memasang wajah yang patut dikasihani. Marta tahu kalau pria itu sedang merayunya untuk memasak arsik untuknya.
"Ah, entahlah, rasanya aku tidak bisa memasak arsik," alasannya. Herman tersenyum kecut.
"Benarkah?"
Marta menyeringai. Dia bohong. Ia bisa memasak arsik karena diajari oleh menantu Amang Pangulu tapi entah mengapa gadis itu tetap merasa rasa masakannya masih kurang.
Herman menyipitkan matanya menatap gadis berpipi chubby itu. Ia kelihatannya tidak percaya kalau gadis itu tidak bisa memasak arsik. Matanya memandang menyelidik seperti seorang polisi sedang menanyai pencuri.
"A-aku rasa, rasanya masih belum terlalu enak," jawab Marta jengah karena ditatap terus oleh mata jenaka milik Herman yang berkilat-kilat nakal.
"Jangan merendah begitu. Kita beli saja andalimannya dan kau masak arsik!" tukasnya.
"Hei, itu pemaksaan!"
Tanpa memperdulikan protes dariku, ia meminta sang penjual menimbang satu ons bumbu dapur itu lalu membayar tiga ribu rupiah.
"Mahal banget segitu tiga ribu," tukas Marta pada sang penjual yang merupakan seorang wanita berusia lima puluh tahun. Herman menjentikkan tangannya di wajah Marta sambil tersenyum.
"Sudahlah," bisiknya sambil mengambil andaliman yang dibelinya dan mengucapkan terima kasih pada sang penjual lalu menarik tangan Marta menuju toko yang lain.
"Kau butuh apa lagi? Beras?"
"Kopi!" seru Marta cepat.
Herman terkekeh.
"Ya, aku juga butuh kopi. Can't live without it!"
Herman kelihatan gembira. Setidaknya Marta agak lega karena tidak melihatnya ketakutan seperti waktu itu lagi.
Sebenarnya Marta terus berpikir tentang meminta bantuan Dokter Jay tapi sebelumnya ia harus meminta izin Herman tentang masalah ini. Tapi ia agak segan menanyakannya kepada Herman ketika ia sedang gembira seperti sekarang ini.
"Menurutmu apa yang sedang mereka lakukan sekarang?" tanya Herman tiba-tiba membuat gadis yang berada di sampingnya tergelak.
"Kau yang bersikeras memisahkan diri dan sekarang kau penasaran tentang apa yang mereka lakukan?" tanya Marta sambil memandang Herman dengan takjub. Herman terkekeh.
"Tentu saja aku penasaran. Tapi aku lebih memilih mengintai mereka daripada membuat mereka canggung," tukasnya.
"Mengapa tidak kita intai saja mereka?" usul Marta sambil tersenyum jail. Herman merengut.
"Aku tidak tahu ke mana mereka sekarang," ujarnya dengan nada putus asa.
"Dokter Jay akan menghajarmu jika kau ketahuan mengintainya," tukas Marta lagi sambil tertawa.
"Jangan sampai ketahuan, dong. Pencuri kan tidak harus ditangkap polisi," tukas Herman. Lagi-lagi Marta tertawa.
"Kalau ketahuan juga Julia akan membelaku. Bang Jay kan takut pada Julia, huh!" cibirnya.
"Tidak setuju ah! Bang Jay bukan pria penakut," tukas Marta tanpa pikir panjang dan membuat wajah pria di sampingnya langsung berubah pucat dan sadarlah gadis itu kalau telah mengatakan hal yang salah, mengingatkannya akan pristiwa yang membuatnya trauma.
"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu. Maaf," ucap Marta dengan nada menyesal. Herman mengacak rambutnya.
"Sudahlah."
Marta menatap matanya yang menyimpan ketakutan itu. Kini mata itu tidak bersinar jenaka seperti biasanya.
"Herman."
"Hm," jawabnya dengan suara rendah.
"Mintalah bantuan pada Dokter Jay ."
Herman menoleh.
"Maksudku... Kau perlu berkonsultasi pada seorang ahli," tukas Marta cepat. Herman menghela nafas panjang.
"Entahlah. Kurasa Bang Jay tak bisa menangani ini."
"Tapi ia bisa memberimu saran. Ia pasti punya kenalan yang bisa membantumu," tukas Marta yakin.
"Oh!"
"Pikirkanlah saranku," pinta Marta memohon. Herman tampak tidak yakin tapi ia mengangguk juga karena mendengar nada suara Marta yang begitu mengharapkan jawaban positif darinya.
Tiba-tiba dari arah belakang keduanya, seseorang menarik lepas tas sandang Marta yang berwarna cokelat. Marta kaget ketika tas sandangnya lepas dari bahunya, saking kagetnya ia tidak sempat mempertahankan tasnya.
"Tasku!!!" teriaknya sambil mengejar sang penjambret yang berlari menuju ke gang sempit.
"Tahan Marta!!!" teriak Herman. Beberapa orang di sekitar mereka ikut kaget tapi karena kejadian begitu cepat, tak seorang pun menyadari kalau Marta baru saja dijambret.
Herman berlari mengejar pencuri itu. Sekarang Herman berada di depan dan Marta mengikutinya dari belakang. Tapi penjambret itu kabur dengan cepat. Marta tidak memiliki stamina seperti Herman. Ia tidak sanggup berlari lagi. Nafasnya terengah-engah.
"Tunggu aku!" teriak Herman sebelum berbelok ke kanan di persimpangan gang sempit itu yang Marta tidak tahu akan menuju ke mana gang itu.
***
Bangsat!
Herman masih berlari mengejar penjambret berambut gondrong yang mengenakan baju kaos hitam sampai akhirnya penjambret itu berhenti di ujung jalan yang sempit dan buntu.
Cari mati?
Herman menyeringai melihat sang penjambret tidak memiliki jalan untuk kabur lagi. Sekarang si gondrong itu membalikkan badannya menghadap ke Herman. Tapi kemudian dari arah yang tak diperhatikan Herman, muncul beberapa orang yang berjumlah tiga orang.
Damn!
Herman berpikir kalau mereka adalah kawanan penjambret itu. Herman berhenti berlari dan ia menyadari kalau ia juga tak bisa kabur lagi. Satu-satunya jalan adalah menghadapi kawanan itu.
Herman mulai menyesali mengapa ia harus mengejar penjambret itu tadi. Ia juga menyesali diri mengapa harus memisahkan diri dengan Jayden dan Julia. Paling tidak jika ada Jayden, ia tak perlu sendirian menghadapi masalah seperti ini.
Herman melangkah mundur. Ia memejamkan matanya selama sedetik dan pada saat itu wajah kakak tirinya terbayang.
Kawanan pencuri itu mulai maju dan tertawa karena melihat wajah Herman mulai pucat.
Lalu ekspresi Agnes yang sedang marah juga terbayang tepat ketika seseorang dari kawanan penjambret itu telah menghantam wajahnya. Dilanjutkan oleh temannya meninju perut Herman membuat pria itu sempoyongan dan terjatuh.
Sial!
Kawanan penjambret itu mendekat lagi sambil tertawa-tawa menghina Herman yang ternyata lemah tapi memiliki nyali untuk mengejar mereka. Herman masih belum bisa bangkit membuat salah satu dari mereka menendang tubuhnya lagi.
Herman meringis. Ia memejamkan matanya menahan rasa sakit di pinggangnya akibat ditendang oleh kawanan itu.
Hiduplah untuk bagiannya.
Tiba-tiba kata-kata itu terngiang-ngiang di telinganya.
Agnes tidak membencimu. Ia memberikan hidupnya, ia menyayangimu. Karena ia menyelamatkanmu, maka kau harus hidup untuk bagiannya juga.
Wjah Marta muncul tanpa bisa dicegah oleh Herman. Ia melihat senyuman Marta kepadanya ketika Marta mengatakan kalimat itu padanya.
Herman menggerakkan kakinya berusaha untuk bangkit. Komplotan itu menertawakannya karena mengira Herman akan menyerah begitu saja. Herman tersenyum. Ia mengepalkan tangannya.
Bagus! pikirnya.
Tangannya sudah gatal untuk menghajar mereka semua.
***
Marta masih menunggu Herman kembali. Sekarang ia sendirian di persimpangan jalan Dr. Cipto. Ia tahu nama jalan itu karena membaca plat penunjuk jalan. Ia tidak tahu harus bagaimana. Ia ingin kembali ke rumah sakit tempat Jayden memarkirkan mobilnya tetapi ia kuatir dengan Herman. Ia takut jika sesuatu terjadi pada pria itu. Ingin menghubungi ponsel Julia tapi ponselnya itu ada di dalam tas yang dijambret oleh orang yang dikejar Herman.
Marta ingin mengatakan pada Herman kalau ia tidak butuh tas itu lagi beserta isinya. Ia hanya ingin Herman kembali. Ia sungguh takut kalau terjadi sesuatu yang buruk terhadap pria itu. Bagaimana kalau ia dihajar oleh penjambret itu? Biasanya kaum penjambret pasti membawa senjata tajam. Bagaimana kalau Herman terluka dan tidak ada yang tahu? Bagaimana?
Herman.
Marta hampir menangis di persimpangan jalan itu. Ia bersandar di tiang listrik yang ada di sana. Ia sadar semua orang yang melewatinya pasti mengira dirinya gila. Wajahnya menunjukkan betapa frustasinya ia.
Keringat dingin membasahi pelipisnya meskipun cuaca panas di kota kecil ini. Ia masih bingung dengan pilihan antara menunggu atau mencari Jayden dan Julia. Jika ia memutuskan mencari kedua orang itu, paling tidak Jayden dan Julia akan membantunya mencari Herman tapi ia tidak lupa kalau Herman juga berpesan padanya kalau ia harus menunggu di tempat ini.
"Hei, Marta!"
Marta mengangkat kepalanya, mendongak. Herman tampak berantakan dengan wajah sedikit lebam tapi ia tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya. Ia berdiri kira-kira berjarak sepuluh meter dari tempat Marta.
"Herman."
Marta tak bisa mengungkapkan dengan kata-kata betapa ia lega melihat Herman. Gadis itu berlari menghampiri Herman dan ketika ia sampai di hadapan pria itu, ia memukul dada Herman berkali-kali sampai Herman kebingungan.
"Ada apa?" tanyanya tapi ia tak mengelak dipukul gadis itu.
"Kau!"
"Ada apa?"
"Aku takut terjadi sesuatu padamu," aku Marta dengan suara sesak.
***
Dia bilang apa?
Telinga Herman seperti berdengung. Marta hampir menangis dan ia tidak mengerti mengapa melihatnya Marta menjadi seperti itu.
Apa salahnya?
Ia tidak pengalaman menghadapi tangisan wanita. Agnes selalu menyembunyikan kesedihannya atau bahkan memang ia tidak pernah bersedih karena baginya mencintai adalah kebahagiaannya.
Tanpa sadar Herman mengangkat tangannya, menarik Marta ke dalam pelukannya meskipun mereka jadi bahan tontonan beberapa orang yang melewati jalan itu. Herman tidak peduli.
"Aku takut terjadi sesuatu padamu. Aku tidak bisa pergi meminta bantuan Dokter Jay dan Julia karena kau telah berpesan agar aku menunggumu di sini. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selain menunggu. Aku..."
Herman menepuk-nepuk punggungnya dan mengangguk. Jantungnya melompat-lompat tak karuan. Ada rasa puas ketika mendengar gadis itu menyampaikan kekuatirannya. Dan ia masih menganggap jantungnya yang berderap bagai lari kuda itu karena ia baru saja menghajar sekawanan penjambret.
"Ssttt.... Apakah kau baik-baik saja? Kau tidak perlu meminta bantuan siapa pun. Kau hanya perlu menunggu. Aku pasti kembali," bisiknya berusaha menenangkan Marta.
"Maaf. Aku terlalu cengeng."
Herman tersenyum, senyum yang begitu menenangkan.
"Hm, kurasa aku harus memberitahukan bahwa tadi aku baru menghajar 4 orang kawanan pencuri dan merebut tasmu kembali."
Marta menatap Herman dengan mata berbinar.
***
" Mijn Lieve."
Julia tidak perlu menoleh karena ia tahu satu-satunya pria yang memiliki suara khas yang bisa membuat jantungnya mendetak kencang hanyalah suara milik Jayden.
Julia mendongak. Wajah Jayden tepat ada di depannya, sedang tersenyum padanya. Wajahnya memang seperti itu, sangar dan tidak ramah, jika ia tersenyum pun wajahnya tetap membuat orang takut tapi sekarang matanya menatap Julia dengan lembut dan Julia merasa beruntung saat ini ia sedang duduk di salah satu bangku di selasar rumah sakit, kalau ia sedang berdiri, lututnya pasti sudah lemas karena ditatap begitu oleh Jayden.
"Sudah selesai?" tanyanya.
"Ehm ya. Bosan?" tanyanya sambil duduk di samping Julia. Gadis itu menggeleng sementara Jayden melirik jam tangan tali kulit berwarna hitam di pergelangan tangan kirinya.
"Setengah sebelas. Masih terlalu pagi kalau kita ke rumah makan. Kau mau minum kopi? Aku tahu cafe yang kopinya terkenal di sini."
Julia mengangguk bersemangat dan langsung berdiri. Jayden ikut bangkit dan segera menarik tangannya lalu merangkulnya dengan posesif. Di sepanjang koridor rumah sakit, beberapa kali mereka berpapasan dengan kenalan Jayden baik itu sesama dokter, suster atau pegawai rumah sakit. Tangan Jayden tidak pernah melepaskan rangkulannya. Pria itu tampak nyaman saja dengan tatapan para kenalannya.
"Kau bilang tunanganmu seorang pegawai hotel?" tanyanya ketika mereka berdua menikmati kopi di Kok Tong, cafe tradisional di Pematang Siantar. Pemiliknya turun temurun dari sang ayah ke anak lalu sekarang turun lagi ke cucunya.
Julia sedang menghirup kopi dari cangkirnya melirik Julia sebelum meletakkan cangkirnya.
"Mengapa kau penasaran soal itu?" anya gadis itu sambil menyelipkan seuntai rambutnya di belakang telinga. Bibir Jayden mencibir. Kumis tipisnya melengkung naik. Rahangnya mengeras. Julia menyembunyikan senyumnya. Timbul niatnya untuk menggoda pria itu.
"Cemburu?"
Jayden mengedikkan bahunya. Lagi-lagi mencibir. Sekarang alisnya menyatu.
"Penasaran. Terserah padamu mau bercerita atau tidak," tukasnya berusaha menjaga nada ucapannya agar tetap tenang. Julia hampir tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Ia meraih cangkirnya dan menyesap kopinya supaya Jayden tidak bisa melihat senyumnya.
"Wah, kopinya harum sekali!"
Jayden menggertakkan giginya. Ia mengangkat cangkirnya dan mengabaikan Julia yang memuji-muji harum dan rasa kopinya.
"Seperti apa dia?" tanya Jayden ketika meletakkan cangkirnya kembali ke atas meja sementara Julia masih sibuk menyesap kopinya pura-pura tidak mendengar pertanyaan Jayden.
"Seperti apa ya dia?" Julia seolah bertanya pada dirinya sendiri. Diletakkannya cangkir kopi kembali ke tempatnya semula.
Julia tampak berpikir apa yang harus diucapkannya dan itu membuat Jayden makin jengkel.
"Ah!"
Jayden tersentak ketika Julia bersorak. Ia memasang telinganya baik-baik untuk mendengar apa yang akan dikatakan oleh gadis itu. Dan yang membuatnya makin jengkel adalah mata Julia tampak berbinar.
"Dia tampan," lanjutnya pendek. Jayden makin sebal. Setelah ia bersusah payah memancing gadis itu menceritakan sedikit tentang mantannya, yang ia dengar sekarang benar-benar secuil.
"Lalu?" tanyanya lagi. Penasaran.
"Wah, kurasa Marta pasti akan menyukai kopi di sini," komentar Julia sambil mengangkat cangkirnya lagi. Jayden mengangguk-angguk tak sabaran. Menjentik kening Julia terlintas di kepalanya.
"Tunanganmu? Selain tampan, apalagi?" cecar Jayden.
"Itu," Julia diam lagi lalu berpikir. Pikirannya menerawang.
"Ya?"
"Pria yang menarik. Banyak wanita suka padanya," lanjutnya.
Grgrgrgr.
Jayden ingin sekali menggigit gadis di depannya ini. Biasanya dia cerewet. Sekarang membicarakan mantannya bicaranya seirit ini.
"Bisakah kau memberikan penilaian yang objektif, Mooie Vrouw?" tanyanya kesal sambil mengusap-usap dagunya dengan kasar. Jayden merasa dirinya kepanasan dan ia menduga hanya dua alasan mengapa ia panas, pertama karena kopinya terlalu panas dan kedua karena Julia sedang memuji mantannya. Jayden lebih memilih karena alasan pertama.
"Kau tidak sedang cemburu pada orang yang tidak pernah kau temui kan?" tanya Julia dengan jail. Bibir jayden cemberut.
"Tentu tidak. Aku hanya..."
Pria itu menatap Julia yang sedang menunggunya menyelesaikan kalimatnya.
"....hanya penasaran dengan pria itu."
"Oh ya?"
Jayden masih berpikir untuk menggigit gadis itu setiap ia mengeluarkan nada suara mengejek seperti itu.
"Kapan kau mau kembali ke Jakarta?" tanya Jayden tiba-tiba. Julia diam dan tampak berpikir sejenak. Gadis menghela nafas.
"Ya, aku harus kembali. Mengurus ini dan itu dan yang paling penting adalah mengurus pekerjaanku kalau tidak aku dipecat," tukasnya.
Jayden hampir tertawa, Julia tidak menyebut mantannya. Mantannya itu bukan masalah penting lagi buatnya.
"Kapanpun kau akan kembali, aku akan menemanimu," janji Jayden.
Julia meringis.
"Buat apa?"
"Hei, aku tidak mau menjadi pacar simpananmu ketika kau masih berstatus tunangan pria lain. Kau harus segera menjelaskan kepada Paman dan Bibimu. Atau lakukan saja lewat telepon," tukas Jayden cemberut. Julia tertawa.
Walau aku lebih suka melihat wajah mantanmu ketika kau memutuskannya dan aku akan menonjok wajahnya untuk kenang-kenangan.
Jayden tersenyum kejam membayangkan hal itu di kepalanya dan Julia memperhatikan raut wajah Jayden yang terkesan kejam itu.
"Apa yang sedang kau rencanakan?" tanyanya.
"Aku tidak merencanakan apa-apa," ujar Jayden membela diri. Untuk menghindari tatapan gadis itu, Jayden menegak langsung kopinya dan ia lupa kalau kopinya masih panas. Ia meringis dan menumpahkan sedikit kopi ke atas meja dan membuat gadis di depannya ini tertawa walaupun begitu ia tetap membantu Jayden dengan menyodorkan tisu pada Jayden. Jayden meneerima tisu itu dan membersihkan tangannya yang terkena tumpahan kopi.
"Tahukah kau, Jay, bila kau sedang tersenyum seperti itu, aku tahu kau pasti sedang merencanakan sesuatu," katanya.
Jayden menaikkan alisnya.
Benarkah aku semudah itu terbaca?
Jayden melempar tisunya ke meja dan meraih jemari gadis itu. Ia berusaha menariknya kembali karena malu dengan perhatian pengunjung coffee shop yang melirik ke arah mereka tapi Jayden tidak peduli.
"Lepaskan tanganku," pinta Julia setengah berbisik karena risih diperhatikan orang di coffeeshop itu. Jayden tertawa kecil.
"Akan semakin sulit melepaskanmu."
Julia cemberut, matanya semakin sipit dan ia mencoba menarik tangannya lagi.
"Kau berniat melepaskanku?"
"Tidak. Hanya mengingatkanmu. Kau tidak akan bisa pergi begitu saja dariku," tukas Jayden santai.
"That's great! Jangan harap kau juga tidak bisa pergi begitu saja dariku sekarang," gumamnya. Jayden bengong.
"Ayo, kita pergi ke tempat lain. Kurasa masih ada tempat jajanan menarik di kota ini sebelum aku kembali ke Bandung nantinya, aku ingin makan sepuasnya," tukas Julia santai sambil bangkit dari duduknya. Jayden tak mau ketinggalan, ia pun segera bangkit dan memanggil pelayan untuk menghitung pesanannya lalu buru-buru menyusul Julia yang sudah berada di luar coffeeshop.
***
Waktu berlalu begitu cepat ketika kita sedang bersama dengan orang yang tepat, itulah yang dirasakan oleh Herman. Keduanya pergi ke toko roti Ganda yang menurut penduduk di sini adalah toko roti yang sangat tenar. Herman dan Marta juga berbelanja oleh-oleh khas Pematang Siantar di toko Asli. Ia tidak tahu merk Asli ini jadi diborongnya saja semua makanan yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Marta menertawainya yang kalap melihat snack dengan nama aneh yang langsung dimasukkan pria itu dalam keranjang belanjaannya.
Snacknya kebanyakan berbahan dasar kacang. Ada namanya Akam, Teng-teng, Ting-ting, kubeli semua.
"Kau yakin ingin membeli semuanya?" tanya Marta sambil melirik keranjang belanjaan Herman yang sudah penuh. Herman mengangguk yakin sambil memasukkan beberapa bungkus kacang Sihobuk ke keranjang. Ia pernah mendengar dari Amang Pangulu kalau kacang Sihobuk ini merupakan kacang yang paling terkenal se-Sumatera Utara.
Setelah puas berbelanja, Marta dan Herman keluar dari toko Asli dengan tangan penuh dengan kantong belanjaan. Marta menduga kalau Jayden pasti akan mengomel jika akan melihat kantong-kantong belanjaan ini memenuhi mobilnya dan ketika ia menyampaikan hal itu pada Herman, pria itu hanya tertawa dan mengatakan kalau hari ini Jayden sedang senang jadi tidak mungkin ia marah. Marta hanya bisa tersenyum membayangkan apa yang menjadi alasan Jayden senang.
"Sekarang kita mau ke mana?" tanya Marta. Herman mengeluarkan ponsel dari saku kemeja corak kotak-kotak biru yang dipakainya itu. Jam di ponsel sudah menunjukkan pukul 11.40 siang. Kalau mereka berjalan ke rumah makan Miramar, mungkin akan telat sedikit dari waktu yang dijanjikan.
"Kurasa sebaiknya kita segera menuju ke tempat yang dijanjikan. Kecuali kau ingin ke tempat lain lagi. Biarkan saja Bang Jay dan Julia menunggu di sana," tukas Herman jail. Marta terbahak.
"Tidak. Kukira kita ke sana sekarang saja. Aku tidak mau jadi sasaran kemarahan Julia," jawab gadis itu sambil tergelak.
"Kalau dia marah, berikan saja snack itu padanya," balas Herman juga tergelak. Hari ini benar-benar hari yang menyenangkan buatnya. Meski diawali dengan penjambretan tetapi akhirnya ia bisa merebut kembali tas Marta dan satu hal yang disadari dari kejadian itu kalau ia memang harus move on dari masa lalunya. Marta benar kalau ia harus hidup untuk bagian Agnes.
Herman menarik nafas panjang sambil melirik Marta yang sedang bertanya pada pemilik toko jam di jalan yang mereka lewati. Gadis itu sedang bertanya tentang arah menuju rumah makan Miramar. Pemilik toko yang bermata sipit dan berkulit langsat itu menunjuk arah depan. Marta mengucapkan terima kasih padanya. Lalu ia melambaikan tangannya kepada Herman yang tertinggal di belakang sambil memberi kode kalau ia sudah tahu arah menuju rumah makan itu. Marta tersenyum, senyum yang membuat matanya yang sipit tinggal segaris. Herman membalas senyuman gadis itu dan segera menyusul.
"Kau tidak takut penjambretan tadi?" tanyanya iseng dalam perjalanan menuju rumah makan. Marta tersenyum lalu menggeleng.
"Ada seorang pria kuat yang bersamaku. Mengapa aku harus takut?" balasnya.
Herman meringis mendengar jawaban itu. Ia selalu merasa Marta tahu kalimat apa yang harus diucapkannya untuk membangkitkan semangat orang.
Marta, Herman membisikkan nama itu dalam hatinya.
Jam 12 lewat 10 menit, Marta dan Herman tiba di rumah makan Miramar. Jayden dan Julia sudah berada di sana. Mereka berdua memilih tempat duduk di sisi kiri di dalam restoran yang didominasi oleh warna putih dan cokelat itu. Jayden melambaikan tangannya pada Herman dan Marta untuk memberitahukan kalau mereka sudah ada di sana.
Keduanya segera menghampiri mereka. Seperti yang sudah diduga oleh Marta kalau Jayden akan mengomel melihat kantong-kantong belanjaan mereka hanya saja ia belum mengomel, hanya mengangkat tinggi sebelah alisnya.
"Apa yang kalian beli itu semua bumbu dapur?" tanya Jayden ketika Marta baru saja duduk di kursi di sebelah Julia. Herman duduk di antara Jayden dan Marta hanya menyeringai.
"Tidak juga, Dok. Kami membeli roti Ganda. Kami juga singgah ke toko Asli dan Herman gelap mata di sana," tukas Marta sambil terkikik geli. Julia dengan iseng membongkar isi kantung belanjaan kami.
"Hei! Hei! Itu bagianku!" protes Herman berusaha mencegah Julia mengambil sesuatu dari kantong itu. Julia mencibir.
"Pelit!"
"Nanti aku bagi snackku untukmu, J," janji Marta menengahi. Julia menjulurkan lidahnya mengejek Herman.
"Sudah, bila Herman tidak mau membagi snacknya, kita tinggalkan saja dia di sini. Biar dia pulang dengan angkot," tukas Jayden membuat Herman mendelik.
"Hei!"
Jayden tertawa. Entah mengapa Herman merasa dokter itu jadi sering tertawa sejak bersama dengan Julia.
Jay tidak memperdulikan protes dari Herman, ia memanggil pelayan untuk mengambil menu. Sambil melihat menu, ia bertanya menu apa yang harus dipesan. Marta bertanya kepada pelayan apa yang menjadi menu andalan dari rumah makan ini. Dan pelayan mengatakan kalau menu andalan mereka adalah tahu. Jayden langsung memesan 2 porsi. Lalu menambahkan ikan serta sayur lainnya.
Setelah makan siang, jam satu lewat tiga puluh menit, mereka kembali menempuh perjalanan kembali ke Parapat dengan mobil kijang pinjaman itu. Herman duduk di depan di samping Jayden yang menyetir setelah sebelumnya ia berbaik hati menawarkan agar ia menggantikan posisi Jayden menyetir tapi dokter itu menolak.
"Hanya sejam. Naiklah!" tolaknya. Marta dan Julia sibuk membongkar snack di jok belakang dan Herman harus mengingatkannya agar jangan sampai menghabiskan semua snack yang dibeli.
Julia hanya mencibir sebal sambil menyindir,"Tinggalkan saja Herman kalau cerewet, Jay!"
"Provokator! Jay? Sekarang kau memanggil Dokter ini dengan panggilan Jay?" balas Herman. Ia sadar pipi Julia memerah bagai tomat matang. Marta terkikik sedangkan Bang Jay hanya menyembunyikan senyumnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top