8. The Past
Marta tidak tahu apa yang harus ia lakukan selain membawa Herman ke Bolon dan membiarkannya istirahat di kamarnya. Pria itu tampak sangat terguncang. Badannya gemetar ketika gadis itu menyelimutinya.
Semua itu berawal ketika ia dan Herman menyusul Dokter Jayden ke tepi danau karena kuatir kalau Julia akan melakukan hal-hal yang nekad. Pada saat keduanya tiba di tepi danau, Marta dan Herman menyaksikan Dokter Jayden menyeret Julia keluar dari danau. Marta berpikir kalau Julia pastilah telah nekad berenang dan membuat Dokter Jayden sangat marah.
Marta baru saja hendak berteriak memanggil Julia ketika disadarinya kalau Herman tiba-tiba gemetar dan ketakutan. Bibirnya mengucapkan sesuatu dengan tidak jelas. Satu-satunya yang bisa ditangkap dengan telinganya adalah,"Jangan bertengkar," sambil menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya. Ketakutan tergambar jelas di dalam wajahnya yang pucat.
Jangan mati, gumamnya saat itu dan membuat Marta terkejut. Ia berusaha menenangkan Herman tetapi Herman terus-menerus mengulangi kata yang sama. Yang menjadi kecurigaan Marta adalah Herman yang tidak berani menoleh ke arah tepi danau tempat Jayden dan Julia berada. Jadi Marta mengambil keputusan segera membawa Herman meninggalkan tempat itu.
Selama perjalanan kembali, Marta menggenggam tangannya yang beku bagai es. Pria itu juga mengucapkan hal-hal aneh seperti ia takut kalau seseorang akan mati karena dirinya. Marta hanya bisa merangkulnya karena ia juga bingung dengan apa yang ditakutkan oleh Herman.
Sekarang gadis itu menarik nafas panjang sambil memandangi Herman yang tidur meringkuk di tempat tidur sederhana miliknya. Wajahnya masih sedikit pucat.
Ia pasti mengalami hal yang membuatnya seperti itu, pikir Marta.
Marta berpikir kalau semua ketakutan Herman pastilah berhubungan dengan Jayden dan Julia karena pria itu berubah setelah menyaksikan kemarahan Dokter Jay pada Julia.
Herman menggeleng dalam tidurnya. Kelihatannya ia bermimpi buruk.
"Jangan! Jangan! Kembali...."
"Herman," bisik Marta sambil menggenggam tangannya.
***
Herman terbangun oleh mimpi itu lagi. Mimpi yang sama yang selalu menghantuinya. Tentang Agnes dan Riky, kakak tirinya. Berulang kali ia berusaha meyakinkan dirinya kalau Agnes sudah mati dan mimpi itu hanya sekedar mimpi. Ia harus bisa berjalan terus tanpa menoleh lagi ke belakang. Ia berusaha untuk hidup normal, tersenyum, tertawa, hidup seperti Hermansyah Putera seperti biasa, menyembunyikan rasa kehilangan dan rasa berdosa rapat-rapat dalam topeng diri yang ceria.
Namun ia hanya mampu membohongi orang-orang di sekitarnya dan tak bisa membohonginya sendiri. Alam bawah sadarmnya menolak setiap kali ia berusaha menghapus bagian gelap itu dari hidupnya.
"Nes..."
Dia sudah mati. Walaupun tadi ia kelihatan nyata dalam mimpinya.
Agnes Tanubrata, adalah seorang gadis malang yang telah salah memilih orang yang dicintainya. Ia memilih Riky, kakak tiri Herman untuk dicintai. Seorang bajingan yang hanya menganggap Agnes sekedar kutu yang kehadirannya sangat mengganggunya. Riky tak pernah menyayangi orang lain selain dirinya sendiri. Dibesarkan oleh seorang ayah tunggal yang kaya raya membuatnya sangat dimanja oleh keluarga besar. Ayahnya menyadari itu, dan memutuskan untuk mencari ibu untuk dapat mengurus keluarganya. Ia memilih ibu Herman sebagai pendamping hidupnya. Ayah kandung Herman sendiri sudah meninggal karena penyakit jantung ketika Herman baru berusia dua tahun. Jadilah Herman yang sebelumnya anak tunggal memiliki saudara laki-laki.
Ketika Herman menjadi bagian dari keluarga Riky, Herman menganggap Riky seperti kakak kandungnya sendiri yang tak pernah dimilikinya. Herman pernah dengan tulus menyayangi kakak tirinya itu. Tapi Riky memang pribadi yang sulit. Ia selalu bersikap seperti anak yang manis ketika di depan orang tuanya dan berubah menjadi pribadi yang berbeda ketika berada di belakang. Riky adalah seorang anak yang egois. Rasa sayang dan hormat Herman menguap begitu saja, entah sejak kapan namun itu baru disadarinya ketika Agnes hadir di antara mereka. Agnes adalah teman Herman, adik kelas Riky. Riky tahu kalau Agnes menyukainya tapi Riky gemar mempermalukan gadis itu hanya karena Agnes adalah teman Herman.
Tapi Agnes adalah sosok gadis yang baik. Ia selalu tersenyum meski diperlakukan hina oleh Riky. Herman pernah kesal ketika Agnes mengirimkan kado ulang tahun untuk kakak tirinya, sebuah pulpen sederhana dengan ucapan Selamat Ulang Tahun. Semoga tahun ini lulus dengan nilai memuaskan. Keesokan harinya sekolah heboh karena ada yang menempelkan foto pulpen itu di dinding sekolah. Meskipun Riky mengatakan kalau ia tidak melakukannya, Herman tetap mencurigai kakak tirinya. Siapa yang tahu Agnes memberikan hadiah ulang tahun sampai bisa memotretnya kalau bukan penerima sendiri?
Agnes tetaplah seorang gadis yang menyenangkan, ia tetap tidak sakit hati meskipun seisi sekolah mengoloknya. Sampai Agnes akhirnya berhasil menjadi kekasih Riky karena ayahnya adalah karyawan di salah satu perusahaan ayah Riky. Ayah Riky menyukai sifat manis Agnes dan menjodohkan keduanya. Riky menerima usulan pertunangan itu hanya untuk menyenangkan hati ayahnya. Ia tak pernah membalas perasaan Agnes. Ia juga tak pernah berubah. Tetaplah orang yang egois. Ia bersandiwara di depan ayahnya agar dapat secepatnya menjadi penerus bagi perusahaan. Ia bekerja di salah satu perusahaan ayahnya, demikian juga Agnes.
Bukannya sekali Herman menjadi saksi Riky melakukan kekerasan terhadap Agnes. Semua bawahannya tahu tetapi tidak ada satu pun yang berani melaporkan ini pada ayahnya. Mungkin karena takut dipecat atau memang sebelumnya pernah diancam oleh Riky.
"Pergilah, Nes. Menjauh dari kakakku. Ia tak pantas untukmu."
"Aku harus ke mana? Disinilah tempatku, di sisi kakakmu."
"Tapi kau menderita."
"Siapa bilang aku menderita? Mencintai Riky adalah hal yang membuatku bahagia."
Dan cintanya itu harus dibayar dengan kematian.
Kejadian itu, Herman menyalahkan dirinya atas terjadinya kejadian tragis yang menimpa Agnes.
Ia melihat Riky bersama seorang wanita penghibur di sebuah klub malam. Saat itu Agnes kuatir pada kesehatan tunangannya karena sebelumnya ayah Riky menghubunginya dan menanyakan apakah gadis itu ikut dalam perjamuan makan malam dengan tamu dari luar yang diselenggarakan Riky. Ayah Riky kuatir dengan Riky karena Riky agak kurang sehat paginya. Agnes berbohong dan mengatakan kalau saat ini ia sedang bersama dengan Riky. Lalu ia meminta bantuan Herman untuk mengantarnya ke klub malam itu hanya untuk membawa Riky pulang.
Herman masih bisa menahan diri sesampaiknya ia di sana melihat kelakuan Riky yang tidak pantas. Kakak tirinya itu sedang bersama seorang wanita penghibur. Herman tahu pasti kalau wanita yang duduk di pangkuannya itu sama sekali bukan wanita baik-baik dari dandanannya dan juga pakaiannya yang memakai gaun warna silver yang sangat pendek. Tangan Riky yang kanan sedang meraba pahanya dan yang kiri memeluk pinggang wanita itu.
Namun Riky yang kurang senang dengan kehadiran Agnes langsung berdiri dan menampar wajah Agnes di depan Herman. Herman tidak bisa bersabar lagi. Sebagai orang yang pernah belajar ilmu bela diri, Riky bukanlah tandingan Herman. Riky langsung jatuh terjembab ditendang Herman dan membuat baik Agnes maupun wanita penghibur itu berteriak. Herman menarik krah kemeja krah kemeja kakak tirinya lalu meninju wajahnya. Kemarahannya pada kakak tirinya selama bertahun-tahun meledak bagai bom dengan daya ledak yang dasyat. Riky tak berdaya, berniat membalas Herman namun tak sanggup melawan seorang pejudo. Semua pukulan hanya memukul udara.
Agnes marah kepada Herman. Herman tak bisa melupakan tatapannya ketika ia membawa Riky keluar dari klub malam itu.
Riky masih tetap keras kepala dan menepis tangan Agnes ketika gadis itu membantunya berjalan ke luar dari klub. Herman menyaksikan itu dari seberang jalan. Masih saja kepalanya mendidih. Dengan langkah lebar Herman menyusul mereka, merencanakan untuk mendaratkan beberapa pukulan lagi. Agnes merasakan aura kemarahan dari sahabatnya. Namun Herman yang sedang emosi sama sekali tidak memperhatikan sekitarnya, sebuah truk datang ke arahnya. Agnes menjerit, melepaskan Riky yang terjatuh dan menerjang ke arah Herman.
Gadis itu menyelamatkan nyawa Herman.
Dibayar dengan kematiannya.
Pada hari berkabung, Riky menyalahkanku atas kematian tunangannya. Herman tidak membalas ketika Riky menghajarnya karena menurutnya kakak tirinya itu benar kalau ia penyebab kematian Agnes. Dia pembunuh.
Kalau saja aku tidak emosi. Kalau saja Agnes tidak mencintainya. Kalau saja...
Begitu banyak kalau saja.
"Herman."
Herman menangis tanpa suara. Ia bahkan tidak mengeluarkan air mata pada saat hari berkabung padahal ia ada di sana waktu itu, hari pada saat Agnes dikuburkan.
"Ada apa denganmu?"
Herman menggeleng tak sanggup bicara. Marta mengambil inisiatif untuk memeluknya. Herman hanya membutuhkan pelukan saat ini. Sebuah pelukan.
***
Marta harus menunggu satu jam setelah Herman tenang barulah ia menceritakan masa lalunya kepada Marta. Tentang gadis bernama Agnes Tanubrata yang dicintainya yang menjadi tunangan dari kakak tirinya, Riky sampai kejadian tragis yang menimpa gadis itu yang menyebabkan Herman meninggalkan kuliahnya yang sudah memasuki tahap akhir.
Rupanya pertengkaran Dokter Jay dan Julia membuatnya kembali mengingat peristiwa memilukan itu.
"Herman, aku kira ini bukan salahmu. Jangan menyalahkan dirimu lagi," tukas Marta sambil menepuk bahu pria itu. Herman menekuk kedua kakinya dan membenamkan kepalanya di antara kedua lututnya.
"Lalu siapa yang harus disalahkan? Riky?"
Marta menghela nafas. Ia tahu kata-kata penghiburan tak pernah sanggup mengobati rasa kehilangan yang dialami oleh Herman. Yang Herman butuhkan saat ini adalah semangat untuk bangkit lagi supaya pengorbanan Agnes tidak sia-sia.
Pengorbanan Agnes tidak sia-sia.
Marta terus mengulang-ulang perkataan itu dalam benaknya. Ada yang aneh dengan kalimat itu.
Agnes mati demi menyelamatkan hidup Herma jadi pastilah Herman adalah orang yang sangat disayangi oleh gadis itu.
"Herman, kau bilang Agnes yang mendorongmu begitu ia melihat truk itu datang ke arahmu?"
Herman menutup telinganya dengan kedua tangannya seolah ia tidak sanggup lagi mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang sangat menyiksa dirinya.
Marta menarik kedua tangan Herman tapi Herman berkeras menutup telinganya dan tak mau mendengarkan Marta.
"Dengarkan aku, Hermansyah Putera!"
Untuk pertama kalinya Marta berteriak pada Herman. Ia tak pernah berteriak kalau tidak sedang marah. Sekarang ia tidak sedang marah, ia hanya ingin agar Herman mendengarkannya.
Herman cukup terkejut dengan nada dalam suara Marta. Pria itu menurunkan tangannya dan menatap Marta.
"Herman, aku yakin hal ini dan aku merasa wajib menyampaikannya padamu sekarang!"
Pria itu masih menatap Marta seperti anak kecil yang sedang diberitahu tentang kesalahan yang telah dilakukannya.
"Ketika Agnes menyelamatkanmu, ia ingin kau hidup dengan baik. Kau benar-benar harus memaafkan dirimu," ucap Marta dengan tegas.
Herman menatap wajah Marta seakan ia mencari sebuah kepastian dalam mata gadis itu. Marta mengangguk untuk meyakinkannya. Ia yakin jika Agnes masih hidup, gadis itu pasti akan setuju dengannya kalau Herman harus memaafkan dirinya sendiri dan melanjutkan hidupnya.
"Agnes tidak membencimu. Ia memberikan hidupnya, ia menyayangimu. Karena ia menyelamatkanmu, maka kau harus hidup untuk bagiannya juga," sambung Marta pelan. Mata Herman berkaca-kaca. Ia tak sanggup menatap ke dalam mata Marta, ia memalingkan wajahnya.
"Percayalah, Agnes tidak ingin kau menghukum dirimu karenanya."
Herman tidak menjawab tapi ia maju dan memeluk Marta. Marta agak terkejut namun ia segera sadar dan menepuk punggung Herman.
***
Jayden mengantarkan Julia kembali ke bolon, walau dengan hati yang enggan melepaskan gadis itu. Ia sempat berpikir untuk menyandera gadis itu dengan alasan apapun juga sampai Julia mengemukakan banyak alasan mengapa ia tidak bisa tinggal lebih lama di klinik. Dan salah satunya adalah ia kuatir Marta panik jika tak menemukannya di mana pun. Ia sudah banyak membuat kuatir sahabatnya itu.
Mereka berdua tiba di depan bolon ketika Jayden baru saja mengatakan kalau Julia memang sering membuat semua orang kuatir dan dibalas Julia dengan menendang kaki dokter itu. Dokter tampan itu meringis.
"Ternyata selain gemar membuat orang kuatir juga gemar menyiksa pria!"
"Hei!"
Jayden tertawa dan menarik gadis itu lebih dekat dengannya.
"Ehem!"
Suara deheman membuat keduanya sadar kalau mereka tidak sedang berdua saja di tempat itu. Marta duduk di tangga Bolon.
"Halo Marta," sapa Jayden ringan. Suaranya lebih ramah dari biasanya dan Marta merasakannya juga. Gadis itu tersenyum dan bangkit dari duduknya.
"Kelihatannya ada yang gencatan senjata," sindirnya sambil melirik Julia. Sebagai sahabat Julia, Marta bisa membaca dari ekspresi wajah Julia kalau gadis itu sedang bahagia. Tetapi Julia malah melotot padanya. Sedangkan Jayden hanya bisa mengacak rambutnya sambil tersenyum-senyum.
"Apa kau akan menjelaskan ke mana kau menghilang?" tanya Marta pada sahabatnya. Gadis berpipi chubby itu melirik pakaian yang dikenakan Julia. Pakaian yang serba kebesaran. Julia memang tampak aneh dengan pakaian itu tapi untunglah ia memakai pakaian dalamnya meskipun masih basah kalau tidak, Marta akan semakin curiga padanya.
"Aku hanya.... ehm, ah, pokoknya aku baik-baik saja dan kau tak perlu mencemaskanku, oke?"
Marta menyeringai tajam.
"Kau memang berbakat membuat semua orang kuatir," tukasnya tajam. Julia meringis.
"Aku baru saja mengatakan hal itu padanya," sahut Jayden membuat Julia jengkel.
Tapi Jayden buru-buru menambahkan, "Tapi jangan kuatir, aku akan menjaganya sekarang."
Marta mengerutkan keningnya menatapnya sahabatnya dan Jayden dengan bergantian.
"Apa artinya ini? Jangan kuatir, aku akan menjaganya sekarang?" tanya Marta sambil mengulangi kata-kata Jayden. Tapi belum dijawab, Marta sudah tertawa cekikikan.
"Mulai saat ini ada orang yang menjagamu, aku tak perlu kuatir lagi, " goda Marta. Julia cemberut.
"Jay bukan..."
"Oh, kau sudah memanggil Dokter Jay dengan namanya," goda Marta lagi. Jayden hanya tersenyum melihat Julia menjadi canggung.
"Aku tidak..." Julia kehilangan kata-kata.
"Hei, Pengacau, apa kau baik-baik saja?" tanya Herman tiba-tiba muncul di pintu bolon.
"Kau? Mengapa kau ada di sini?" tanya Julia heran. Jayden diam tetapi memperhatikan wajah Marta yang tampak kikuk. Ini agak aneh menurutnya. Mengapa Marta harus kikuk?
"Di mana akhirnya kau menemukan gadis merepotkan ini, Bang?" tanya Herman tidak berusaha menyembunyikan kekesalannya.
"Menurutmu bisa di mana lagi?" Jayden menjawab pertanyaan Herman dengan pertanyaan. Herman terkekeh lalu menuruni tangga bolon dan memakai sepatunya yang ada di ujung tangga tanpa berusaha mengikat talinya. Ia hanya menjejalkan kakinya begitu saja dan menginjak ujungnya.
"Kau pasti bisa membaca pikirannya sehingga kau bisa tahu kalau Gadis Pengacau ini akan membahayakan dirinya sendiri," guraunya. Jayden tertawa, Marta juga ikut tertawa, hanya Julia yang tampak kesal.
"Pergi kau!" usir Julia marah.
"Hm.... Kelihatannya sejak tadi aku memang tak kau perlukan lagi, benarkan Bang?" sindir Herman sambil melirik Jayden. Sepertinya Herman mulai mencium adanya sesuatu yang berbeda antara Jayden dan Julia saat ini. Julia memberinya tatapan membunuh.
"Kau juga bisa membaca pikiran orang," tukas Jayden pada Herman. Herman tertawa mengejek.
"Ada yang berbeda. Apa ya? Sulit kukatakan," goda Marta sambil menyeringai. Kedua orang ini mulai berkomplot untuk menyudutkan Jayden dan Julia.
"Oh oh, kurasa itu karena kau melihat mereka bergandengan tangan tadi."
"Kau! Cari mati!!!"
Wajah Julia memerah karena malu digoda oleh Herman dan Marta. Sambil menahan tawa agar ia tidak tambah meledak, Jayden menepuk pundaknya.
"Sudahlah, tak ada gunanya kau menyembunyikan rahasia dari mereka," bisiknya pelan. Herman mencuri dengar dan mengangguk setuju.
"Aku sudah tahu sejak awal," katanya.
"Aku juga," tambah Marta.
Julia menatap Marta dengan curiga.
"FYI, Julia, kau satu-satunya orang bodoh di antara kami. Aku bahkan sudah tahu ketika aku mengantarmu ke klinik ketika kau digigit ular," tukas Herman. Lalu ia beralih pada Jayden.
"Bang Jay, mengapa kau mempersulit keadaan?"
"APA MAKSUDMU ANAK MUDA?"
Julia dan Marta tampak terkejut dengan suara kuat dokter itu. Hanya Herman yang masih menatapnya dengan santai.
"Hanya bertanya, mengapa kau berjalan dengan lambat jika akhirnya kau juga menuju ke arah ini?"
Jayden mengusap dagunya yang kasar sambil berpikir apa yang sedang dibicarakan anak muda ini.
"Menahannya di klinik. Meskipun itu bukan ide buruk tapi kurasa itu sedikit berlebihan."
Marta menutup mulutnya sementara Julia melotot. Jayden menduga kali ini gadis itu pasti marah padanya.
"Kau sengaja melakukannya, Jayden!!!"
Herman terbahak. Jayden hampir berencana untuk mencekiknya jika tidak ingat kemarahan Julia padanya.
"Jangan percaya padanya, Mooie Vrouw. Aku yang dokter, dia bukan," raungnya putus asa. Herman makin senang karenanya.
"Oh oh, harusnya Bang Jay minta maaf, bukannya menyalahkanku. Ingat Bang, aku yang mengantarkannya ke depan pintu klinikmu," Herman berusaha mengingatkan Jayden.
"Herman, bantulah aku. Bukannya makin memojokkanku."
Herman tertawa.
"Seingatku Nona Galak ini bilang ia tidak menyukaimu, Bang."
"Herman!!!"
Jayden dan Julia sama-sama berteriak. Lalu keduanya sama-sama bertatapan. Jayden segera menyadari situasi dan beralih pada Herman.
"Apa yang dikatakannya padamu?" pancingnya. Ekor matanya masih mengawasi Julia. Ketika Herman hampir membuka mulutnya, Julia mendelik. Herman mengurungkan niatnya.
"Herman!!!"
"Lupakan saja yang ia katakan padaku, Bang. Bukankah yang dikatakan padamu lebih penting?" ujar Herman dengan cengiran khasnya. Jayden melirik Julia dan Julia juga sedang mencuri-curi pandang padanya. Herman segera mendorong tubuh Jayden ke sisi Julia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top